Anda di halaman 1dari 48

Referat Ilmu Penyakit Dalam

TB-Paru pada Orang dengan HIV-AIDS (ODHA)

Dokter Pembimbing :

dr. Shelvi Febianti . Sp.

PD

Disusun oleh :

Indah Kusumo Wardani Puteri

1102010129

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD dr. SLAMET

GARUT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2014

1
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Tuberkulosis (TB) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar

selama berabad-abad. Pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk

 pencegahan dan pengendalian TB secara bermakna telah banyak menurunkan beban penyakit

secara global. Tetapi, munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya

 pengendalian TB secara global.1Peningkatan prevalensi HIV di Regional Asia Tenggara

yang 40 persen dari populasinya telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB),

 jika tidak segera ditanggulangi dapat mengancam upaya pengendalian TB. HIV

meningkatkan epidemi TB dengan beberapa cara.. Telah diketahui bahwa HIV merupakan

faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru

terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Risiko terjadinya TB pada orang dengan

ko-infeksi HIV/TB berkisar antara 5 – 10% per tahun.HIV meningkatkan angka kekambuhan
TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan kasus TB

 pada ODHA akan meningkatkan risiko penularan TB pada masyarakat umum dengan atau

tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB melebihi pelaksanaan sepenuhnya dari

DOTS, karena juga mencakup pencegahan infeksi HIV sejak awal, pencegahan

 berkembangnya infeksi TB laten menjadi penyakit aktif serta ketentuan dan penyediaan

 pengobatan dan perawatan HIV/AIDS.

TB dapat terjadi pada tahap awal infeksi HIV ketika jumlah CD4 masih di atas 200

sel/µL. Kebanyakan kasus HIV dengan TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru yang

tidak khas, dengan meningkatnya supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis TB

 berubah dan lebih sulit untuk didiagnosis. Selanjutnya kemungkinan besar akan terjadi

 peningkatan kasus TB paru dengan Basil Tahan Asam (BTA) negatif dan ekstra-paru.

Indonesia menempati ranking ketiga dalam prevalensi TB di dunia.Namun berbeda dengan

negara-negara lain dengan angka prevalensi TB yang tinggi, Indonesia belum menghadapi

epidemi HIV/AIDS, yang merupakan salah satu faktor resiko utama penyebaran TB.

Angka prevalensi HIV orang dewasa tahun 2005 adalah 0.1%, dan pada tahun 2004

terdapat 275 kasus baru TB per 100.000. Sejak tahun 1999, surveilans sentinel di antara

2
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Tuberkulosis (TB) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar

selama berabad-abad. Pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk

 pencegahan dan pengendalian TB secara bermakna telah banyak menurunkan beban penyakit

secara global. Tetapi, munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya

 pengendalian TB secara global.1Peningkatan prevalensi HIV di Regional Asia Tenggara

yang 40 persen dari populasinya telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB),

 jika tidak segera ditanggulangi dapat mengancam upaya pengendalian TB. HIV

meningkatkan epidemi TB dengan beberapa cara.. Telah diketahui bahwa HIV merupakan

faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru

terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Risiko terjadinya TB pada orang dengan

ko-infeksi HIV/TB berkisar antara 5 – 10% per tahun.HIV meningkatkan angka kekambuhan
TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan kasus TB

 pada ODHA akan meningkatkan risiko penularan TB pada masyarakat umum dengan atau

tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB melebihi pelaksanaan sepenuhnya dari

DOTS, karena juga mencakup pencegahan infeksi HIV sejak awal, pencegahan

 berkembangnya infeksi TB laten menjadi penyakit aktif serta ketentuan dan penyediaan

 pengobatan dan perawatan HIV/AIDS.

TB dapat terjadi pada tahap awal infeksi HIV ketika jumlah CD4 masih di atas 200

sel/µL. Kebanyakan kasus HIV dengan TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru yang

tidak khas, dengan meningkatnya supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis TB

 berubah dan lebih sulit untuk didiagnosis. Selanjutnya kemungkinan besar akan terjadi

 peningkatan kasus TB paru dengan Basil Tahan Asam (BTA) negatif dan ekstra-paru.

Indonesia menempati ranking ketiga dalam prevalensi TB di dunia.Namun berbeda dengan

negara-negara lain dengan angka prevalensi TB yang tinggi, Indonesia belum menghadapi

epidemi HIV/AIDS, yang merupakan salah satu faktor resiko utama penyebaran TB.

Angka prevalensi HIV orang dewasa tahun 2005 adalah 0.1%, dan pada tahun 2004

terdapat 275 kasus baru TB per 100.000. Sejak tahun 1999, surveilans sentinel di antara

2
kelompok berisiko tinggi di beberapa daerah menunjukkan peningkatan jumlah infeksi HIV.

Pada akhir tahun 2005 kematian akibat AIDS mencapai 5500 jiwa. 6 Melihat kecederungan

epidemiologi TB dan HIV/AIDS di Indonesia sebagaimana diuraiakan di atas, muncul

kekhawatiran akan ancaman epidemi ganda (dual epidemics) yang telah melanda beberapa

negara berkembang terutama di benua Afrika. Epidemi HIV akan memperparah epidemi TB

karena HIV akan meningkatkan risiko terjadinya reaktivasi TB laten dan lebih rentan akan

infeksi baru TB karena imunitas yang rendah. Infeksi HIV merupakan faktor risiko

terpenting berkembangnya infeksi Mycobacterium tuberculosis menjadi penyakit TB.Risiko

untukterkena penyakit TB pada penderita HIV positif meningkat 50% dibanding mereka

yang tidak terinfeksi HIV.Sampai saat ini sepertiga dari kasus HIV positif di dunia

mempunyai koinfeksi dengan TB.

3
HIV AIDS

1.1 Definisi dan Sejarah HIV/AIDS

HIV ( Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem

kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari

sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit

yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel

limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-

sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk

ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara

1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal

 pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun bahkan pada

 beberapa kasus bisa sampai nol.7

AIDS adalah singkatan dari  Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti

kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi

virus HIV. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya

 berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media

hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa

 pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat

virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi

oportunistik

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul

akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi human

immunodeficiency virus (HIV). AIDS ini bukan merupakan suatu penyakit saja, tetapi

merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai jenis mikroorganisme

seperti, infeksi bakteri, virus, jamur, bahkan timbulnya keganasan akibat menurunnya daya

tahan tubuh penderita. Pada 5 Juni 1981, kasus pertama AIDS dilaporkan di Los Angeles pada

lima orang laki-laki homoseksual yang menderita Pneumonia Pneumocystis carinii (PPC) dan

infeksi opotunistik lainnya Pada tahun 1983, ilmuwan Prancis, Luc Montagnier (Institut

4
Pasteur, Paris) mengisolasi virus dari pasien dengan gejala limfadenopati dan menemukan

virus HIV dan virus ini dinamakan lymphadenopathy assosiated virus (LAV). Pada tahun

1984, Gallo (National Institute of Health, USA) menemukan virus human T lymphotropic

virus (HTLV-III) yang juga menyebabkan AIDS. LAV dan HTLV-III adalah virus penyebab

HIV yang sama dan dikenal sebagai HIV-1.

3.3 Etiologi HIV/AIDS

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang

termasuk retrovirus dari famili Lentivirus.Retrovirus berdiameter 70-130 nm. Masa inkubasi

virus ini selama sekitar 10 tahun . Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung

luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis ganda yang banyak mengandung tonjolan

 protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein yaitu gp120 dan gp41. Terdapat suatu

 protein matriks yang disebut gp17 yang mengelilingi segmen bagian dalam membran virus.

Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang disebut p24. Di dalam kapsid

terdapat dua untai RNA identik dan molekul preformed reverse transcriptase, integrase dan

 protease yang sudah terbentuk. Reverse transcriptase adalah enzim yang mentranskripsikan

RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel sasaranStrukturnya tersusun atas

 beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat

 pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4

 pada permukaan T-helper lymphosit  dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian

dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat

dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).

Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai

lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi.

Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di

seluruh dunia adalah grup HIV-1.

Adapun struktur HIV yaitu bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut „envelope‟

dan di bagian dalam terdapat sebuah inti (CORE), sebagai berikut:

5
1. Envelope.HIV bergaris tengah 1/10.000 mm

dan mempunyai bentuk bulat seperti bola.

Lapisan paling luar disebut ENVELOPE,

terdiri dari dua lapisan molekul lemak yang

disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel

manusia ketika partikel virus yang baru

terbentuk dengan membentuk tonjolan dan

lepas dari sel tersebut.Selubung virus terisi Gambar struktur virus HIV-
WHO. TB/ HIV:A
oleh protein yang berasal dari sel induk,
ClinicalManual; 2004.Diakses dari:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.
termasuk 72 turunan (rata-rata) protein HIV
 pdf. Accessed on: 25 October 2013.
komplek yang menonjol dari permukaan

selubung. Protein ini disebut env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul

GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41

sebagai rangka struktur dalam envelope virus.7

2. Inti atau CORE. Dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang

 berbentuk peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus lainnya,

P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing memiliki 9

gen dari virus. Tiga diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi yang diperlukan

untuk membuat protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya

mengkode

 protein gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan gp 41, yang

merupakan komponen env. Tiga buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan,

vif, vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk memproduksi protein

yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat turunan virus baru atau

menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef misalnya menyebabkan virus dapat

melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu

 berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV juga

mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan 3 buah

enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu:

REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV lainnya

adalah P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan envelope.

6
3.4 Cara Penularan

3.4.1 Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual

merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi (penularan seksual merupakan

cara infeksi yang paling utama diseluruh dunia, yang berperan lebih dari 75% dari semua

kasus penularan HIV). Risiko seorang wanita terinfeksi dari laki-laki yang seropositif lebih

 besar jika dibandingkan seorang laki-laki yang terinfeksi dari wanita yang seropositif.

Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat

ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV

tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks.

Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok

manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.8

3.4.2 Transmisi Non Seksual

1. Transmisi Parenteral

1.1 Transmisi ini sebagai akibat penggunaan  jarum suntik dan alat tusuk lainnya

(alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkoba

suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama.

Disamping dapat juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas

kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental

ini kurang dari 1%. Hal ini terkait penyalah guna obat-obat intravena.

Penggunaan

 jarum suntik secara bersama-sama dan bergantian semakin meningkatkan

 prevalensi HIV/AIDS pada pengguna narkotika. Di negara maju, wanita pengguna

narkotika jarum suntik menjadi penularan utama pada populasi umum melalui

 pelacuran dan transmisi vertikal kepada anak mereka.

1.2 Darah atau Produk Darah.Transfusi darah dan produk darah. HIV dapat

ditularkan melalui pemberian whole blood, komponen sel darah, plasma dan faktor-

faktor pembekuan darah. Kejadian ini semakin berkurang karena sekarang sudah

dilakukan tes antibodi-HIV pada seorang donor. Apabila tes antibodi dilakukan

 pada masa sebelum serokonversi maka antibodi-HIV tersebut tidak dapat

7
terdeteksi. Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara

 barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara

 barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan.

Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.8

2. Transmisi Transplasental

Maternofetal. Sebelum ditemukan HIV, banyak anak yang terinfeksi dari darah

ataupun produk darah atau dengan penggunan jarum suntik secara berulang. Sekarang

ini, hampir semua anak yang menderita HIV/AIDS terinfeksi melalui transmisi vertikal

dari ibu ke anak. Diperkirakan hampir satu pertiga (20-50%) anak yang lahir dari

seorang ibu penderita HIV akan terinfeksi HIV. Peningkatan penularan berhubungan

dengan rendahnya jumlah CD4 ibu. Infeksi juga dapat secara transplasental, tetapi 95%

melalui transmisi perinatal. Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak

mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan

dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan

resiko rendah.

3. Pemberian ASI.  Peningkatan penularan melalui pemberian ASI pada bayi adalah

14%. Di negara maju, ibu yang terinfeksi HIV tidak diperbolehkan memberikan ASI

kepada bayinya.

Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan faktor resiko dilapor sampai

dengan Desember 2010

Faktor Resiko AIDS

Heteroseksual/HeterosexuaL 12717

Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724

Transfusi Darah/Blood Transfusion 48

Transmisi Perinatal/Perinatal Trans. 628

Tak Diketahui/Unknown 772

8
4. Petugas kesehatan  sangat berisiko terpapar bahan infeksius termasuk HIV.

Berdasarkan data yang didapat dari 25 penelitian retrospektif terhadap petugas

kesehatan, didapatkan rata-rata risiko transmisi setelah tusukan jarum ataupun

paparan

 perkutan lainnya sebesar 0,32% atau terjadi 21 penularan HIV setelah 6.498 paparan,

dan setelah paparan melalui mukosa sebesar 0,09%.

Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui

ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air

liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV.8 Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara

dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:

1. Kontak fisik.

Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara

yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular.

Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS

tidak akan menyebabkan seseorang tertular.

2. Memakai milik penderita

Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja

 penderita HIV/AIDS tidak akan menular.

3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.

4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

3.5. Patogenesis dan Patofisiologi HIV/AIDS

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical,

horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan

diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak

langsung melalui kulit dan mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu

mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat

dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai

gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi,

nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom

retroviral akut. Pada vase ini terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load.

9
Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian turun sampai pada suatu

titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus

meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4 secara perlahan dalam

waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5

tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS.

Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi

target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel

target, gp 120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada

 permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan‟s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain

itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5,

 beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan

diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan

terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse

transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target,

HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan menggunakan

RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh

ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double

 stran DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan

kromosom host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus

menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak

aktif ini disebut sebagai keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi

dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain

maka sel akan memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR

( Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur

yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu

replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain., misalnya bakteri, jamur,

 protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling cepat menginduksi

replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA.

Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur

 berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalami

1
translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti

virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan

sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim  protease menjadi protein dan enzim

fungsioal. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host,

sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan

akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi

hingga mencapai 109-1011 virus baru.

Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun

dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah Limfosit T-

CD4 melalui beberapa mekanisme:

1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat

adanya penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak

terintegritasi dengan nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.

2. Syncytia formation,  yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan

limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi.

3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat menyebabkan

disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal sekitarnya.

4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk

mengeliminasi sel yang terinfeksi.

5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan reseptor

CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel

melalui apoptosis.

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4

secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah

lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun, sehingga pertahanan

individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan resiko terjadinya

infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan

munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.

1
Gambar Patogenesis Infeksi HIV

Sumber Gambar: HIV/ AIDS. Available at:

whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf.Accessed on: 22 Ocotober 2013.

Respon Imun Terhadap Infeksi HIV

Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang intensif.

Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus. Ditemukan

antibodi netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal gp41.

Deteksi anti bodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzime-linked immunosorbent

assay [ELISA]). Di dalam darah dijumpai kelas antibodi imunoglobulin G (IgG) maupun

imunoglobulin M (IgM), tetapi seiring dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian

 besar kasus) tetap tinggi sepanjang infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang

digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi

awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV dalam 6 bulan setelah pajanan.

 Namun, antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV atau menimbulkan perlindungan terhadap

infeksi lebih lanjut.

Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T CD+ diaktifkan oleh sel

 penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin-2 (IL-2), yang

membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel-sel

 plasma ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang

1
merangsangnya. Sitokin IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi

respons imun baik humoral maupun selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan potensi

fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus diteliti, namun sitokin jelas penting dalam

aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-12 (faktor stimulasi sel NK)

tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang terjadi pada infeksi

HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel inilah yang

mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan perforin

yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.8

Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan

mengeluarkan perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8 sangat

hebat pada awal infeksi HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam limfosit

CD4+. Penekanan ini terbukti bervariasi tidak saja di antara orang yang berbeda tetapi juga

 pada orang yang sama seiring dengan perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8

menurun seiring dengan perkembangannya penyakit. Dengan semakin beratnya penyakit,

 jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai hipotesis tentang penyebab penurunan

 bertahap tersebut akan dibahas berikut ini.

Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak terbantahkan.

Limfosit CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya

 produksi imunoglobulin dan pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik

yang dihasilkan oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan penting dalam

imunitas selular. Pada kondisi normal, limfosit CD4+ mengeluarkan interferon gama yang

menarik makrofag dan mengintensifkan reaksi imun terhadap antigen. Namun, apabila limfosit

CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon gama akan menurun. IL-2

 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel plasma tetapi juga pertumbuhan dan

aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi-diri populasi limfosit CD4+.8

Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui, namun

dapat diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis, anergi,

 pembentukan sinsitium, dan lisis sel.  Antibodi-dependent, complement-mediated cytotoxicity

(ADCC, sitotoksisitas yang dependen antibodi dan diperantarai oleh komplemen) mungkin

salah satu efek imun humoral yang membantu menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi

1
oleh HIV. Antibodi terhadap dua glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel

seperti sel NK kemudian bertindak untuk mematikan sel yang terinfeksi.

Perkembangan klinis

AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang

dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan

dan pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot

dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu

diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif

selama beberapa bulan. Namun, pasien ini bersifat menular selama periode ini dan dapat

memindahkan virus ke orang lain. Fase ini disebut “window period” (“masa jendela”).

Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah

 pajanan.9

 Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif.

Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa

yang berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare,

limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut,

seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar

tinggi di darah perifer. Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di

 bawah kadar semula untuk pasien yang bersangkutan.

Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke  fase asimtomatik.

Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun,

kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini,

 baik virus maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya,

replikasi virus berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam

 periode laten walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten.9

Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah

turun di bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala

ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah

mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini

1
Bagan Perjalanan Penyakit HIV/ AIDS

3.6 Manifestasi Klinis

Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara HIV dan sistem

imun:

1. Fase akut.Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia,

demam, ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik. Pada fase ini terdapat produksi virus

dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer,

yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah hal itu terjadi,

muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi

(biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui

munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda,

sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal.9  Namun, berkurangnya jumlah virus

dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus

 berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan.

1
2. Fase kronis.Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini,

sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa

tahun. Para pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten

dan banyak penderita yang mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan

(Candida) atau herpes zoster. Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut.

Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut.

 Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun yang besar, sel CD4+ akan

tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah melewati periode yang panjang dan

 beragam, pertahanan pejamu mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan

 jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat

3. Fase kritis. Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang

sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien

khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan,

dan diare; jumlah sel CD4+ menurun di bawah 500 sel/µL. Setelah adanya interval yang

 berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma

sekunder dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan

AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang

digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel

CD4+ kurang atau sama dengan 200 sel/µL sebagai pengidap AIDS. Hampir semua orang

yang terinfeksi HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala

yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan

infeksi oportunistik :

1. Manifestadi tumor diantaranya

a) Sarkoma kaposi,kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi

kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang

terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.

 b) Limfoma ganas,terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan

 bertahan kurang lebih 1 tahun.

1
2. Manifestasi Infeksi Oportunistik diantaranya 2.1.

Manifestasi pada Paru-paru

2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)

Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-

 paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan

demam.

2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)

Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi

dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada

30% penderita AIDS.

2.1.3. Mycobacterium Avilum

Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit

disembuhkan.

2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis

Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar

ke organ lain diluar paru.

2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal

Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.

4 Manifestasi Neurologis

Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul

 pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis,

demensia, mielopati dan neuropari perifer.

Selain pengelompokan manifestasi klinis diatas, pengelompokan gejala juga dapat dibagi

sebagai berikut.

1. Gejala Konstitusi

Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita mengalami paling

sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut berupa:

• Demam terus menerus lebih dari 37°C.

• Kehilangan berat badan 10% atau lebih.

1
• Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di

luar daerah inguinal.

• Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

• Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus.

2. Gejala Neurologi

Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beranekaragam seperti kelemahan otot,

kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa,

 psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang otak).

3. Gejala Infeksi

Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan penderita sudah sangat

lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi, misalnya:

a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)

PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada penderita AIDS

(80%). Disebabkan parasit sejenis protozoa yang pada keadaan tanpa infeksi HIV

tidak menimbulkan sakit berat. Pada penderita AIDS, protozoa ini berkembang pesat

sampai menyerang paru-paru yang mengakibatkan pneumonia. Gejala yang

ditimbulkannya adalah batuk kering, demam dan sesak nafas. Pada pemeriksaan

ditemukan ronkhi kering. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya P.carinii pada

 bronkoskopi yang disertai biopsi transbronkial dan lavase bronkoalveolar.

b. Tuberkulosis

Infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada penderita AIDS sering mengalami

penyebaran luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten

terhadap obat anti tuberkulosis yang biasa. Gambaran klinis TBC pada

penderita AIDS tidak khas seperti pada penderita TBC pada umumnya. Hal

ini disebabkan karena tubuh sudah tidak mampu bereaksi terhadap kuman.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil kultur.

c. Toksoplasmosis

Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi Toxoplasma

gondii, yang sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala dapat berupa sakit kepala

dan panas, sampai kejang dan koma. Jarang ditemukan toksoplasmosis di luar otak.

1
d. Infeksi Mukokutan. Herpeks simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oris merupakan

 penyakit paling sering ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul satu jenis atau

 beberapa jenis secara bersama. Sifat kelainan mukokutan ini persisten dan respons

terhadap pengobatan lambat sehingga sering menimbulkan kesulitan dalam

 penatalaksanaannya.

4. Gejala Tumor

Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalam Sarkoma Kaposi dan

limfoma maligna non-Hodgkin.

3.7 Diagnosis HIV/AIDS

3.7.1 Anamnesis

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap ODHA saat kunjungan pertama kali

ke sarana kesehatan.Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data

dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang

infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya. Dari Anamnesis, perlu digali

factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien

dengan tersangaka ODHA.

Faktor risiko infeksi HIV


Penjaja seks laki-laki atau perempuan
Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)
Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi

 pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor yang berkaitan

1
dengan 1 gejala minor, dan gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang

tidak berkaitan dengan infeksi HIV, atau ditemukan sarcoma Kaposi atau pneumonia yang

mengancam jiwa yang berulang.Karena banyak negara berkembang, yang belum memiliki

fasilitas pemeriksaan serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO menetapkan

kriteria diagnosis AIDS sebagai berikut:

Gejala Mayor :

1. Berat badan turun lebih dari 10 % dalam 1 bulan

2. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan

3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bukan

4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi

5. Demensia atau ensefalopati HIV

Gejala Minor :

1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan

2. Dermatitis generalisata yang gatal

3. Herpes Zooster berulang

4. Kandidiasis Orofaring

5. Herpes Simpleks kronis progresif 

6. Limfadenopati generalisata

7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

3.7.2 Pemeriksaan fisik

2
3.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan diagnosis

dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid) penderita.

Pemeriksaan khusus untuk HIV :

1. Tes AntibodI HIV

Tes ini berfungsi untuk mendeteksi antibody terhadap HIV. Tes ini dapat dilakukan

dengan menggunakan tiga cara, yaitu ELISA ( Enzyme Link Immunobinding Assay),

Aglutinasi, dan juga dot blot. Bahan yang digunakan adalah serum, cairan plasma, darah, dan

 juga liur. Metode yang paling sering digunakan adalah ELISA. Tetapi ada beberapa hal yang

harus diperhatikan bila menggunakan tes Ab ini, karena pada infeksi HIV, terdapat masa

 jendela atau window period. Masa jendela adalah keadaan dimana jumlah Ab yang terbentuk

 belum cukup untuk dapat terdeteksi di dalam darah, padahal virus telah masuk di dalam tubuh,

oleh karena itu hasilnya akan menunjukkan negatif. Biasanya antibody dapat terdeteksi

kurang lebih 4-8 minggu setelah infeksi. Apabila tingkat kecuringaan terhadap pasien tinggi,

tes ini harus diulang 3 bulan lagi.9

1.1 ELISA (enzyme linked immunosorbent assay).   ELISA digunakan untuk menemukan

antibodi. Kelebihan teknik ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100%.

Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah

menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap envelope dan core.

1.2 Western Blot. Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari

suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya

 protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai

makna klinik, seperti gp120 dan gp41. Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu

99,6% - 100%. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24

 jam.

1.3 PCR (Polymerase Chain Reaction). Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi,

 pada saat zat antibodi maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan

secara serologis maupun status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko

tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk

2
HIV-2. Pemeriksaan CD4 dilakukan

dengan melakukan imunophenotyping

yaitu dengan flow cytometry dan cell

sorter. Prinsip flowcytometry dan cell

sorting(fluorescence activated cell sorter,

FAST) adalah menggabungkan

kemampuan alat untuk mengidentifasi

karakteristik permukaan setiap sel

dengan kemampuan memisahkan sel-sel

yang berada dalam suatu suspensi menurut karakteristik masing-masing secara otomatis

melalui suatu celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati

 berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai

karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel

manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan satu atau

lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis

dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-masing dalam suatu populasi campuran.

2. Deteksi antigen, dapat berfungsi untuk :

• Deteksi dini pada neonatus ( 18 bulan )

• Untuk pasien dengan seronegatif tetapi dengan riwayat terpapar terhadap HIV

• Deteksi Antigen hanya dapat dilakukan dan terdeteksi saat pasien :

Jumlah Ag > Ab : pada stadium dini

: pada stadium lanjut dimana Ab tidak terbentuk lagi.

3.8 Stadium Klinis

Penilaian

Klinis

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi

 penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan

HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang

membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik,

2
serta mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi

 pemilihan terapi.

Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),

stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau

AIDS).Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat

dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai

atau mengubah terapi ARV.

Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status

imunitas ODHAdan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan

 pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV.Namun

yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak

 boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi ARV.CD4 juga digunakan sebagai

 pemantau respon terapi ARV.Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count  – 

TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun

TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan

kegagalan terapi ARV.

Stadium klinis HIV menurut WHO


Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis) Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)

2
Dermatitis seboroik Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia(Hb<8g%),netropenia(<5000/ml),trombositopenikronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS) Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal TB Extraparu* Sarkoma kaposi Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis* Encefalopati HIV Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

3.9 Penatalaksanaan HIV/AIDS

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.Namun data

selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan

menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas

dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

2
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).

 b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi

HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi,

limfoma, kanker serviks.

c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan

 pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga

tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap

tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi

oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:

• Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,

zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

• Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan

nevirapin

• Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

NoNama Golongan Fungsi

1 NRTI (nucleoside reverse- penghambatkuatenzimreversetranscriptase 


transcriptase inhibitor ) dari RNA menjadi DNA yang terjadi sebelum
 penggabungan DNA virus dengan kromosom sel inang.

2 NNRTI (non-nucleoside menghambat  aktivitas enzim r ever se- 

reverse-transcriptase transcriptase dengan mengikat secara langsung


inhibitor (NNRTI) tempat yang aktif pada enzim tanpa aktivasi sebelumnya.

3 PI (Protease Inhibitor ) menghambatenzim protease HIVyang


dibutuhkan untuk memecah prekursor poliprotein
virus dan membangkitkan fungsi protein virus.

2
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat

antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi

 penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang

tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada

dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang

tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV.
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium3 dan 4 harus memulai
terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan2 harus dipantau secara seksama, setidaknya
setiap 3 bulan sekaliuntuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atautanda
klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel di
 bawah ini.

Terapi pada ODHA dewasa

Stadium Jika tidak tersedia


Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi ARV tidak diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200 Bilajumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4200  –  350/mm , pertimbangkan terapi sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi ARV dimulaitanpa
Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil
3memandang jumlah limfosit
dengan CD4 350
total
Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan
CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi
 bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah
4
CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB

 paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang

2
menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam

 berkepanjangan).

2.  Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum

dapat ditentukan.

3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4

tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II

atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak

ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada

saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.9

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV

adalah sebelumpasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembanganpenyakit

akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 <200/mm3 dibandingkan bila terapi

dimulai pada CD4 di atas jumlahtersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV

sebaiknyadimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang palingoptimum untuk

memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200-350/mm3 masih belum diketahui, dan

 pasien dengan jumlah CD4tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun

imunologis.Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksibakterial berat

dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinismanapun dengan CD4 < 350 /

mm3.Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada

 pemeriksaan klinis dan imunologis. NamunPada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja

dapat memandukeputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah(viral load)

tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulaiterapi.

Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang

aktif.Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.Namun pada kondisi-kondisi

dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka

 pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII).Contohnya pada

kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi

 M.tuberculosis,  penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan

untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau

meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.

2
Tabel Golongan Obat dan Dosis ARV
Golongan obat Dosis
 Nukleosida TI (NsTI)

• Abakavir (ABC) 200mg 2x/hr atau 400mg


• Didanosin (ddI) 1x/hr 250 mg 1x/hr (BB<60kg)
• Lamivudin (3TC) 150mg 2x/hr atau 300mg

• Stavudin (d4T) 1x/hr

• Zidovudin (ZDV,AZT) 40mg 2x/hr (30mg 2x/hai bila BB<60kg)

 Nukleotida RTI 300mg 2x/hr

• TDF 300mg 1x/hr

 Non nukleosida (NNRTI)

• Efavienz (EFV) 600mg 1x/hr


•  Nevirapine (NVP) 200mg 1x/hr untuk 14 hr kemudian
200mg 2x/hr
Protease Inhibitor

• Indinavir / ritonavir (IDV/r) 800mg/100mg 2x/hr


• Lopinavir/ ritonavir (LPV/r) 400mg / 100mg
•  Nelvinafir (NFV) 2x/hr 1250mg 2x/hr
• Saquinavir / ritonavir (SQV/r) 1000mg/100mg 2x/hr atau
1600mg/200mg x/hr

• Ritonavir (RTV/) Kapsul 100mg larutan oral 400mg/5ml

Panduan Kombinasi Obat ARV

Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang

dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai  Highly Active AntiRetroviral Therapy  atau

HAART.Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV

menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan

manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2

NRTI dan 1 NNRTI.Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT,

lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T).Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin

(NVP) dan efavirenz (EFZ).

2
Tabel Terapi ARV Kombinasi

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +

 NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan

anemia.Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC +

 NVP.Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T

seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer.Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat

digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil

karena EFZ tidak boleh diberikan Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan

mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat. Adapun kombinasi

terapi ARV yang tidak dianjurkan:

2
Tabel Keunggulan dan Kekurangan ARV

Sindrom Pemulihan Imunitas (ImmunReconstitution Syndrome = IRIS)


Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalantubuh selama terapi
ARV.Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidupatau mati) dari pasien
yang baru memulai terapi ARV danmengalami pemulihan respon imun terhadap antigen
tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasusIRIS. Frekuensinya 10% dari
seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan
CD4 <50 / mm3.Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.

3
Tabel Pedoman Tatalaksana IRIS

Tabel Definisi Kegagalan Terapi

secara klinis dan kriteria CD4

pada ODHA.

Obat ARV juga diberikan pada

 beberapa kondisi khusus seperti

 pengobatan profilaksis pada orang

yang terpapar dengan cairan tubuh

yang mengandung HIV (post

exposure prophylaxis.

3
3.10 Prognosis HIV/AIDS

Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS

meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV

yang tetap sehat secara klinis dan imunologis.

3
TUBERKULOSIS PARU PADA PENDERITA HIV/ AIDS

4.1 Definsi

Tuberkulosis ( TB )  adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

 Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan

organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme  MTB  adalah saluran

 pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB

menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil

tuberkel dari seseorang yang terinfeksi.2

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS

dengan cara menyerang T helper atau CD4, terutama limfosit T, yang dapat menyebabkan

 penurunan imunitas seluler dan peningkatan terjadinya infeksi oportunistik. AIDS (Acquired

Immunodeficiency Syndrome) adalah tahap akhir dari infeksi HIV yang memiliki satu atau

lebih infeksi oportunistik dan keganasan dengan jumlah CD4 sel T kurang dari 200 sel per

mm3. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit

TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular

immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka

yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila

 jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan

demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

4.2 Epidemiologi

Pada akhir tahun 2000 terdapat sekitar 11,5 juta penderita HIV yang terinfeksi M.

Tuberkulosis. 70% adalah penderita berada di sub-sahara Afrika, 20% berada di Asia

Tenggara, 4% di Amerika latin dan Carribian. Penderita TB-HIV usia 15-49 tahun pada akhir

tahun 2000. Pada Tahun 2010, dari 8,8 juta orang yang terinfeksi TB, 1,1 juta diantaranya

mengidap HIV. Data Kementrian Kesehatan per Juni 2011 menunjukkan jumlah pengidap

AIDS mencapai 26.400 orang dan lebih dari 66.600 orang telah terinfeksi HIV positif. 10

3
Tabel Jumlah orang yang terkena TB – HIV
Bagan Faktor resiko TB dengan HIV

4.3 Patogenesis Dampak Infeksi HIV terhadap Paru

Makrofag dan limfosit alveoler yang terdapat di permukaan epitel alveoli adalah sel

defender utama parenkim paru.2 Terinfeksinya makrofag dan limfosit alveoler oleh HIV

(paparan endogen) merupakan proses krusial pada patogenesis penyakit paru pada AIDS.

Molekul CD4 pada permukaan sel merupakan receptor untuk masuknya HIV dan untuk

masuknya virus ke dalam sel diperlukan kerjasama dengan ko-reseptor kemokin.CCR5 adalah

ko-reseptor yang digunakan untuk menginfeksi makrofag oleh strain monoscytetropic (M-

tropic), namun tidak untuk menginfeksi limfosit dan sebaliknya CXCR4 atau fusin untuk strain

lymphocyte-tropic (L-tropic) Makrofag alveoler merupakan reservoir HIV yang utama.Hal ini

dibuktikan dengan terdeteksinya HIV reverse transcriptase dari hasil Bronchoalveolar Lavage

(BAL).Pada paru, CD4 ini terdapat pada permukaan makrofag alveoler dan ko-reseptor yang

 paling berperan adalah CCR5 walaupun terdapat pula ekspresi CXCR4.Infeksi oleh strain M-

tropic dapat diblokir oleh CC chemokines RANTES, macrophage inflammatory proteidanyang

 berperan sebagai ligand CCR5. Seiring dengan perkembangan infeksi HIV, maka peran strain

M-tropic digantikan oleh T-tropic, disertai penurunan yang cepat status imunologik penderita.

Sebagai reaksi defensif lokal paru terhadap masuknya virus: dengan bantuan limfosit CD4 (T-

helper), maka limfosit CD8 yang merupakan efektor system imunitas seluler, membunuh sel

3
yang terinfeksi HIV melalui cytotoxic T-cell lymphocyte (CTL) CD8. Sel limfosit sitotoksik

CD8 ini akan aktif dan berproliferasi sebagai respon terhadap adanya epitope virus HIV,

sehingga menekan replikasi virus secara langsung Walaupun telah ada mekanisme penekanan

ini, namun replikasi virus tetap berlangsung (mekanismenya masih belum jelas) sehingga

terjadi destruksi dan penurunan jumlah dan kualitas CD4, selanjutnya menyebabkan respon

CTL CD8 menjadi suboptimal (secara in vitro, tidak dapat melakukan lisis sel target dengan

 baik) CD4/CD8 pada paru lebih kecil dibandingkan darah perifer. Pada beberapa penderita

menunjukkan symptom pulmonologis sebagai akibat influks limfosit CD8 ke sel paru

(lymphoid interstitial pneumonitis), dimana hal ini berkorelasi dengan tingginya viral

load.Namun pada tahap lanjut jumlah limfosit CD8 ini juga mengalami penurunan.

Didapatkan bahwa abnormalitas sel B terjadi pada masa-masa awal infeksi sebelum

terpengaruhnya fungsi sel T) dengan gangguan pembentukan antibodi sebagai respon terhadap

mitogen dan gangguan inisiasi sistesis antibodi secara normal sebagai respon terhadap antigen.

Penurunan konsentrasi IgG pada paru kemungkinan akibat gangguan kemampuan makrofag

alveoler dalam merangsang sekresi IgG dari sel B.14 Mekanisme defensif lainnya adalah

surfaktan paru (disekresi oleh sel epitel alveolar tipe II) yang secara fisiologis berguna untuk

menurunkan tegangan permukaan sehingga memudahkan reinflasi pada setiap akhir ekspirasi.

Surfaktan tersusun atas kompleks fosfolipid dan protein spesifik, sel-sel bronkoalveoler juga

terdapat didalamnya.Surfaktan menekan proses oksidatif dan produksi beberapa jenis sitokin

seperti IL-1, IL-6 dan TNF alfa (sitokin-sitokin yang merangsang replikasi virus HIV),

menghambat aktivasi limfosit sehingga menghambat replikasi virus HIV. Paparan terhadap

infeksi mikroorganisme tertentu akan merangsang produksi TNF oleh makrofag alveoler,

 berikutnya TNF akan mengaktifkan replikasi virus HIV sekaligus mengganggu sistesis protein

surfaktan, dan akhirnya terjadi deplesi natural antiviral factor pada paru

3
Bagan Perjalanan TB Primer

Bagan Perjalanan Tuberculosis Post-Primer

4.4. Diagnosis TB HIV


Gejala klinis pada pasien HIV/AIDS dengan TB

Riwayat Penyakit Dahulu dan Riwayat Kehidupan Pribadi:11


Riwayat seks dengan berganti-ganti pasangan

Riwayat infeksi menular seksual

Riwayat pemakaian narkotika secara suntikan

Herpes zoster yang meninggalkan scar

Riwayat pneumonia

Infeksi bakteri seperti sinusitis, bakteriemia, dan lain-lain

Riwayat TB

3
Gejala:

Penurunan berat badan (>10 kg atau >20% dari berat badan semula)

Diare (lebih dari 1 bulan)

Batuk berdahak (lebih dari 3 minggu)

Sesak nafas

 Nyeri dada

Malaise, lemah

Penurunan nafsu makan

Keringat malam

Demam

Tanda (Pemeriksaan Fisik):

Herpes zoster scar

Sarcoma Kaposi

Pembesaran KGB

Oral candidiasis
Pada pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda konsolidasi: Perkusi redup, terdapat ronkhi basah atau kering

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium:


Cara penegakan diagnosis TB pada ODHA tidak berbeda dengan yang bukan

ODHA.Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada ODHA sekitar 50% dan tes

tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha.Pada foto toraks, gambaran TB paru pada

ODHA

dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non  –  HIV. Berikut beberapa pemeriksaan

 penunjang yang dapat ditemuakan pada penderita TB pada ODHA:12


Pemeriksaan sputum yaitu apabila BTA positif (sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum)
Pemeriksaan darah dengan hasil HIV reaktif dan pemeriksaan CD4 yang nilainya kurang dari normal

3
Infeksi dini (CD4 Infeksi lanjut
Jenis Pemeriksaan
>200/mm3 (CD4<200/mm3)

Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatif

TB ekstra pulmonal Jarang Umum atau banyak

Mikobakteriemia Tdak ada Ada

Tubekulin Positif Negatif

aktivasi TB, kaviti di Tipikal pimer TB milier


Foto thoraks
 puncak atau intestisial

Adenopati hilus atau


Tidak ada Ada
mediastinum

Efusi pleura Tidak ada Ada

Pemeriksaan Penunjang Radiologi:

Gambaran radiologi pada penderita TB HIV dapat menentukan derajat

immunocompromise. Pada immunocompromise sedang, akan terlihat gambaran radiologi TB

 paru pada umumnya, sedangkan pada immunocompromise berat maka akan terlihat gambaran

yang atipikal.

Jadi, TB paru merupakan jenis infeksi yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi

HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/mikroL, sedangkan TB ekstraparu atau

3
diseminata dijumpai pada ODHA dengan jumlah CD4 yang lebih rendah. Gejala TB paru yang

 paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu, demam, penurunan berat badan,

 penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk

darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris,

 perikarditis, efusi pleura dan osteomielitis.Sayangnya, gambaran klinis TB pada ODHA

seringkali tidak khas dan sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih

sulit.Diagnosis definitif TB pada ODHA adalah dengan ditemukannya  M.tuberculosis  pada

kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya

BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi

OAT.

4.5 Penatalaksanaan TB dengan HIV

Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti

 pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang

tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan

pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral ) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV

sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-

 prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal). Pasien TB yang berisiko

tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT ( Voluntary Counceling and

Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).12

PasienHIV-AIDS dengan TB ekstrapulmo, maka harus perhatikan dahulu, apakah pasien

sudah diberikan terapi ARV (Antiretroviral Virus) atau belum, dan apakah pasien sudah

mengkonsumsi OAT (Obat Anti TB) atau belum. Masalah koinfeksi Tuberkulosis dengan HIV

merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada

ODHA tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV terutama

dengan hepatotoksiknya. Pada ODHA yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian

OAT harus disesuaikan dengan kondisinya.

3
Tabel Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2
mm3 segera setelah terapi TB dapat – 8 minggu setelah OAT

ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2


 bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
 pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Setelah 8 minggu terapi
Mulai terapi TB
mm3 TB
Tunda terapi ARV , evaluai
CD4 >350/ kembali pada saat minggu
Mulai terapi TB
mm3 ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Pertimbangkan terapi ARV
mungkin Mulai terapi TB mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai

Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS .

Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah yang

cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS

sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit. Injeksi

streptomisin hanya boleh diberikan jika tesedia alat suntik sekali pakai yang steril.

Desentisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang

serius pada hati. Pada

4
 pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, selain

dipikiran terdapatnya resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi

obat. Pada pasien HIV/AIDS tedapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat

 penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat

rendah dalam serum. Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan

 jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada. Setiap pasienn TB-HIV harus

diberikan profilaksis Cotrimoksazol dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama

 pemberian OAT.13

4.5.1 Indikasi Pemberian ARV pada pasien dengan Tuberculosis Paru yang telah

mendapatkan OAT:

1. Kadar CD4

2. Keberhasilan pengobatan dan paduan OAT yang sedang dilakukan

3. Kepatuhan pengobatan dan efek samping

4. Jika belum diobati dengan ARV pada saat didiagnosis TB, maka keputusan

 penggunaan ARV didasarkan atas faktor-faktor berikut ini:

Tabel Pemberian OAT dan ARV Menurut kadar CD4


Waktu Pemberian Regimen OAT dan ARV
Kondisi Rekomendasi

TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB Mulai terapi OAT. Segera mulai terapi ARV
ekstrapulmonal  jika toleransi terhadap OAT telah tercapai.

TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau hitung Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai
limfosit total < 1200 sel/mm3 setelah 2 bulan

Mulai terapi TB. Jika memungkinkan monitor


TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung
hitung CD4. Mulai ARV sesuai indikasi
limfosit total > 1200 sel/mm3
setelah terapi TB selesai

4
Tabel Pemberian OAT dan ARV Menurut gambaran klinis

Gambaran klinis ARV

Adanya TB paru dan tanda HIV Mulai ARV begitu pengobatan TB tidak
advanced, atau tidak ada perbaikan disertai efek samping (2-8 minggu
secara klinis; adanya TB ekstra paru OAT)

TB paru BTA negative, berat badan


Mulai ARV setelah OAT fase intensif
 bertambah dengan pengobatan, tanpa
selesai
tanda atau gejala HIV advanced

TB paru BTA positif, berat badan


Tunda ARV sampai pengobatan TB
 bertambah dengan pengobatan, tanpa
selesai
tanda atau gejala HIV advanced

Tabel Efek Samping OAT dan ARV


Kemungkinan Penyebab
Efek samping
OAT ARV

Pirazinamide, Rifampisin,  Nevirapine, Delavirdine,


Skin rash
Rifabutin, INH Efavirenz, Abacavir

Pirazinamide, Rifampisin, Zidovudine, Ritonavir,


Mual, muntah Rifabutin, INH Amprenavir, Indinavir

 Nevirapine, PI, perbaikan


Pirazinamide, Rifampisin, respon setelah pemberian
Hepatitis Rifabutin, INH ARV pada penderita dengan hepatitis virus kronik

Leukopenia, anemia Rifabutin, Rifampin Zidovudine

4
Interaksi obat TB dengan ARV (antiretovirus):

Interaksi antara OAT dan ARV, terutama efek hepatotoksisitasnya, harus sangat

diperhatikan. Pemakaian obat HIV/ AIDS misalanya zidovudin akan meningkatkan

kemungkinan terjadinya efek toksik OAT. Tidak ada interaksi bemakna antara OAT dengan

AV golongan nukleosida, kecuali didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1jam dengan

OAT karena bersifat sebagai buffer antasida. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan

AT golongan non-nukleosida dan inhbitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersamaan

dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin 82%. Rifampisin dapat

menurunkan kadar nevirapin ampai 37% tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis

nevirapin yang direkomendasikan.14

4.5.2 Interaksi antara obat golongan Rifampisin dengan Obat ARV

Saat ini regimen ARV biasanya terdiri dari 3 atau lebih obat dengan tiga kelas yang

 berbeda yaitu, nucleoside analogue non nucleoside transcriptase inhibitors (NNRTI), dan

 protease inhibitor (PIs). Interaksi antara obat ARV dan Rifampisin terjadi melalui sistem

sitokrom P-450 – 3A yang terdapat pada dinding usus dan hati. Rifampisin merupakan inducer

CYP3A, sehingga dapat menurunkan kadar obat-obatan yang dimetabolisme oleh sistem

enzim tersebut. Kekuatan induksi CYP3A obat-obatan Rifampisin itu berbeda-beda.

Rifampisin merupakan inducer  paling kuat, kemudian ada Rifampetine dengan kekuatan

menengah serta Rifabutin yang paling lemah.  Protease Inhibitor dan NNRTI dimetabolisme

oleh CYP3A sehingga kadar kedua golongan obat tersebut dalam darah akan dipengaruhi oleh

Rifampisin. Delavirdine dan PI merupakan inhibitor CYP3A sehingga dapat meningkatkan

kadar obat-obat yang dimetabolisme oleh sistem enzim ini. Rifabutine merupakan substrat dari

CYP3A sehingga hambatan pada CYP3A akan meningkatkan kadar Rifabutin hingga

mencapai kadar yang toksik. Sedangkan untuk Rifampin dan Rifapentin walaupun keduanya

adalah inducer CYP3A, tetapi bukan merupakan substrat enzim tersebut, sehingga hambatan

 pada CYP3A tidak akan mempengaruhi kadar kedua obat tersebut.

4
4.5.3 Dampak klinis interaksi antara Rifampycin dengan obat antiretrovirus

Beberapa interaksi obat dari kedua golongan obat tersebut dapat menimbulkan efek

yang dramatis sehingga tidak boleh digunakan secara bersama-sama. Rifampin dapat

menyebabkan penurunan kadar obat PIs (kecuali Ritoravir) hingga 75-95%, sehingga

menyebabkan penurunan aktifitas antivirus yang nyata dan akibatnya dapat mempercepat

timbulnya resistensi terhadap PIs tersebut. Selain itu kadar Delavirdine akan menurun hingga

> 90% bila diberikan bersama-sama Rifampin atau Rifabutin sehingga obat antiretrovirus

tersebut tidak boleh digunakan bersama-sama dengan semua golongan Rifamycin. Sebaliknya

Rifabutin bila diberikan dengan dosis standard (300 mg/hari) bersama-sama dengan PIs dapat

menyebabkan peningkatan kadarnya hingga 2-4 kali lipat sehingga menyebabkan efek

samping. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan modifikasi dosis Rifabutin.

4.5.4 Tatalaksana penanganan interaksi antara obat golongan Rifampycin dan obat

antiretrovirus

Jika penderita HIV/AIDS dengan infeksi TB memerlukan obat antiretrovirus maka

untuk pengobatan tuberkulosisnya sebaiknya digunakan Rifabutin. Rifabutin dapat diberikan

 bersama dengan obat golongan NNRTIs (kecuali Delavirdine). Rifabutin mempunyai

efektifitas yang sama dengan Rifampin untuk pengobatan tuberkulosis dengan atau tanpa HIV.

Untuk menghindari toksisitas maka dosis harian Rifabutin harus dikurangi menjadi 150

mg/hari bila diberikan bersamaan dengan PI (kecualiSaquinavir).

Pengobatan dengan cara DOTS sangat dianjurkan dengan pemberian Rifabutin secara

intermiten. Pada pemberian Rifabutin secara intermiten yang perlu diperhatikan adalah harus

dihindarkan pemberian dosis yang tidak adekuat. Karena itu pedoman terapi yang saat ini

dianjurkan adalah Rifabutin 450  –  600 mg bila diberikan bersama Efavirenz, dan bila

diberikan 2  –  3 kali seminggu bersama dengan PI (kecuali Ritonavir) digunakan dosis 300
mg/hari. Bila diberikan bersama dengan Ritonavir maka dosisnya dikurangi menjadi 150 mg 2

kali seminggu (tanpa Ritonavir dosis ini sebanding dengan Rifabutin 300 mg perhari).

Bila Rifabutin digunakan bersama dengan 2 obat dari golongan PI atau diberikan

 bersama dengan PI dan NNRTI akan terjadi interaksi obat yang lebih kompleks sehingga

4
menimbulkan dampak yang masih harus diteliti lebih lanjut. Untuk sementara ini dosis

Rifabutin yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel.

4.5.6 Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV

Peningkatan jumlah penderita HIV di indonesi membuat pemerintah membuat

“Kebijakan Nasional Kolaborai TB HIV”. Program ini memiliki tujuan umum yaitu

memberikan arah dalam pelaksanaan kolaborasi TB-HIV untuk mengurangi beban TB dan

HIV pada masyarakat akibat kedua penyakit ini. Tujuan khusus dari pelaksanaan kolaborasi
14

TB-HIV:

a) Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV/AIDS

 b) Menurunkan beban TB pada ODHA

c) Menurunkan beban HIV pada pasien TB

Pelaksanaan dari program ini terbagi menjadi 3 bagian besar yaitu, membentuk mekanisme

kolaborasi, menurunkan beban TB pada ODHA, dan menurunkan beban HIV pada pasien TB.

A. Membentuk mekanisme kolaborasi

1. Membentuk kelompok kerja (POKJA) TB HIV di semua lini. Kelompok kerja TB-

HIVdibentuk pada tingkat nasional dan pada tingkat provinsi. Di daerah prioritas,

kelompok kerja dibentuk di tingkat kabupaten/kota dan tingkat UPK (rumah sakit,

 puskesmas dan klinik dalam bentuk tim TB-HIV). Koordinator kolaborasi TB-

HIVditunjuk pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, yang bertugas purna

waktu, harus berasal dari program TB atau program AIDS.

2. Pelaksanaan survailans untuk mengetahui prevalensi HIV diantara pasien TB.

Penetapan UPK DOTS sebagai tempat pelaksanaan surveilans sentinel harus sesuai

 pedoman yang berlaku (yaitu pada tempat dan dengan metode yang sama). Semua

surveilans dilaksanakan dengan informed consent dari pasien, tes HIV dengan metode

unlinked anonymous dan tetap menghormati prinsip-prinsip etika.

3. Melaksanakan perencanaan bersama TB HIV. Program TB dan HIV/AIDS

memerlukan perencanaan strategis secara bersama untuk melakukan kerjasama

secara sistematis dan berhasil. Mereka harus melengkapi dengan rencana TB-HIV

bersama, atau memperkenalkan komponen TB-HIV pada rencana pengendalian

nasional TB dan rencana pengendalian nasional HIV/AIDS. Peran dan tanggung

jawab masing-masing

4
 program dalam pelaksanaan kegiatan TB-HIV yang spesifik pada tingkat pusat maupun

tingkat daerah harus dinyatakan dengan jelas. Perencanaan bersama TB HIV

dilaksanakan dalam bidang-bidang sebagi berikut :

a. Mobilisasi sumber daya untuk TB-HIV

 b. Membangun kapasitas TB HIV termasuk pelatihan

c. Kombinasi TB HIV: advokasi, komunikasi program dan mobilisasi sosial

d. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan kolaborasi TB HIV

e. Penelitian operasional untuk meningkatkan kegiatan kolaborasi TB HIV.

4. Monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi TB HIV

B. Menurunkan beban TB pada ODHA

1. Mengintensifkan penemuan kasus TB

2. Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat orang

terkumpul (Rutan/Lapas, panti rehabilitasi NAPZA)

C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB

1. Menyediakan pelayanan konseling dan tes HIV sukarela (KTS) untuk pasien TB

2. Pencegahan HIV dan infeksi menular seksual.

4
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Tuberculosis control 2012: epidemiology, strat gy,

financing. WHO/HTM/TB/2012.6. Geneva, Switzerland: WHO; 2012.


2. Isbaniyah F. dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: PDPI; 2011. Available at: www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html. Accessed oh: 18
October 2013.
3. Amin Z. Bahar A. Tuberkulosis Paru. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata

MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006.p. 2230-9

4. Djojodibroto D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.p. 25-9


5. Misnadiarly. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium Atipik.
Jakarta: Dian Rakyat; 2006.p. 1-50
6. HasanH. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Airlangga University Press; 2010
7. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds.  Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006.p. 2861-2870

8. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders.

In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison‟s

Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill.p. 115-8

9. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors.

Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.p. 23-59

10. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 .Available at url:

http://www.aidsindonesia.or.id. Accessed on: 23 October 2013

11. KEMENTERIAN KESEHATAN RI (2011). Rencana Aksi Nasional TB-

HIV. Pengendalian Tuberkulosis 2011 –2  014. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011.p. 1-45

12. Lan, V.M. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi

Didapat (AIDS). Dalam: Hartanto,H. (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses

Penyakit. Vol I. Ed.6. Jakarta:EGC; 2006. p. 224-245.

13. WHO. TB/ HIV: A Clinical Manual; 2004. Available at:

whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf. Accessed on: 23 October 2013.

Anda mungkin juga menyukai