GLOMERULONEFRITIS AKUT
Oleh :
Rada Puspita
1410070100101
Preseptor :
PADANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan case report ini yang berjudul
“Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS)”. Case report ini dibuat untuk
memenuhi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian ilmu kesehatan anak Rumah Sakit
Umum Daerah Mohammad Natsir Solok.
Ucapan terimakasih penulis kepada dr. Fetria Faisal, Sp.A selaku pembimbing dalam
case report ini dengan memberikan bimbingan dan nasehat sehingga penulis dapat
menyelesaian case report ini. Serta mengucapkan terimakasih kepada teman-teman dan
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Dengan
menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan
case report ini, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan penulisan makalah
selanjutnya.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga case report ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB 5 KESIMPULAN…………………………………………………….. . 46
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 47
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
GNAPS lebih banyak ditemukan pada golongan sosial ekonomi rendah, masing – masing
68,9%1 & 66,9%.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom nefritik akut (SNA) merupakan suatu kumpulan gejala klinik berupa
proteinuria,hematuria, azotemia, red blood cast, oliguria & hipertensi (PHAROH)
yang terjadi secara akut. Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu istilah yang lebih
bersifat umum dan lebih menggambarkan suatu proses histopatologi berupa proliferasi
& inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik.2,5
Dalam kepustakaan istilah GNA dan SNA sering digunakan secara bergantian.
GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik, sedangkan SNA lebih bersifat
klinik. Dalam kepustakaan disebutkan bahwa selain GNAPS, banyak penyakit yang
juga memberikan gejala nefritik seperti hematuria, edema, proteinuria sampai
azotemia, sehingga digolongkan ke dalam SNA.2,3
o Glomerulonefritis fokal
3
Glomerulonefritis progresif cepat
Bila dijumpai full blown cases yaitu kasus dengan gejala nefritik yang lengkap
yaitu proteinuria, hematuria, edema, oliguria, dan hipertensi, maka diagnosis GNAPS
dapat ditegakkan, karena gejala tersebut merupakan gejala khas (tipikal) untuk suatu
GNAPS.4
2.2 Epidemiologi
GNAPS dapat terjadi secara sporadik ataupun epidemik. Biasanya kasus terjadi
pada kelompok sosio ekonomi rendah, berkaitan dengan higiene yang kurang baik dan jauh
dari tempat pelayanan kesehatan.3,4 Risiko terjadinya nefritis 5% dari infeksi kuman
streptokokus beta hemolitikus grup A yang menyerang tenggorokan sampai 25% yang
menyerang kulit (pioderma),2 sedangkan tanpa melihat tempat infeksi risiko terjadinya
nefritis 10-15%.3 Rasio terjadinya GNAPS pada pria dibanding wanita adalah 2:1. Penyakit
ini terutama menyerang kelompok usia sekolah 5-15 tahun, pada anak < 2 tahun
kejadiannya kurang dari 5%.3
4
Kejadian glomerulonefritis pasca streptokokus sudah mulai menurun pada negara
maju, namun masih terus berlanjut pada negara berkembang, penurunan kejadian GNAPS
berkaitan banyak faktor diantaranya penanganan infeksi streptokokus lebih awal dan lebih
mudah oleh pelayanan kesehatan yang kompeten.2 Di beberapa negara berkembang,
glomerulonefritis pasca streptokokus tetap menjadi bentuk sindroma nefritik yang paling
sering ditemui. Attack rate dari glomerulonefritis akut terlihat memiliki pola siklus, yaitu
sekitar setiap 10 tahun.4,5
2.3 Patogenesis
Patogenesis GNAPS belum diketahui dengan pasti. Faktor genetik diduga berperan
dalam terjadinya penyakit dengan ditemukannya HLA-D dan HLADR. 3 Periode laten
antara infeksi streptokokus dengan kelainan glomerulus menunjukkan proses imunologis
memegang peran penting dalam mekanisme penyakit. Diduga respon yang berlebihan dari
sistim imun pejamu pada stimulus antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan
menyebabkan terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran basal
glomerulus. Disini terjadi aktivasi sistim komplemen yang melepas substansi yang akan
menarik neutrofil. Enzim lisosom yang dilepas netrofil merupakan faktor responsif untuk
merusak glomerulus.2,4,10 Hipotesis lain adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh
streptokokus akan mengubah IgG endogen menjadi autoantigen. Terbentuknya
autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut, mengakibatkan pembentukan
komplek imun yang bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal.6,7
5
sering dijumpai di daerah tropis dan biasanya menyerang anak-anak dari golongan
ekonomi rendah. Di Indonesia 68.9% berasal dari keluaga sosial ekonomi rendah dan 82%
dari keluarga berpendidikan rendah.6 Keadaan lingkungan yang padat, higiene sanitasi
yang jelek, malnutrisi, anemia, dan infestasi parasit, merupakan faktor risiko untuk
GNAPS, meskipun kadang-kadang outbreaks juga terjadi dinegara maju. Faktor genetik
juga berperan, misalnya alleles HLA-DRW4, HLA-DPA1 dan HLA-DPB1 paling sering
terserang GNAPS.2,3
Proses GNAPS dimulai ketika kuman streptokokus sebagai antigen masuk kedalam
tubuh penderita,yang rentan, kemudian tubuh memberikan respon dengan membentuk
antibodi. Bagian mana dari kuman streptokokus yang bersifat antigen masih belum
diketahui. Beberapa penelitian pada model binatang dan penderita GNAPS menduga yang
bersifat antigenik adalah: M protein, endostreptosin, cationic protein, Exo-toxin B,
nephritis plasmin-binding protein dan streptokinase.3 Kemungkinan besar lebih dari satu
antigen yang terlibat dalam proses ini, barangkali pada stadium jejas ginjal yang berbeda
dimungkinkan akibat antigen M protein dan streptokinase.3,7
Protein M adalah suatu alpha-helical coiled-coil dimer yang terlihat sebagai rambut
rambut pada permukaan kuman. Protein M menentukan apakah strain kuman tersebut
bersifat rematogenik atau nefritogenik. Strain nefritogenik dibagi menjadi serotype yang
berkaitan dengan faringitis (M 1, 4, 12, 25) dan serotipe infeksi kulit (M 2, 42, 49, 56, 57,
60).2,3,8
Saat ini penelitian lebih menitikberatkan terhadap protein M yang terdapat pada
streptokokus sebagai tipe nefritogenik yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus.
Selain itu penelitian-penelitian terahir menemukan adanya dua fraksi antigen, yaitu
6
nephritis associated plasmin receptor (NAPlr) yang diidentifikasi sebagal glyceraldehide 3-
phosphate dehydrogenase (GAPDH) dan streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB)
sebagai fraksi yang menyebabkan infeksi nefritogenik. NAPlr dan SPEB didapatkan pada
biopsi ginjal dini dan menyebabkan terjadinya respon antibodi di glomerulus. Penelitian
terbaru pada pasien GNAPS memperlihatkan deposit SPEB di glomerulus lebih sering
terjadi daripada deposit NAPlr.8
Proses terjadinya jejas renal pada GNAPS diterangkan pada gambar dibawah ini:
7
Gambar 3.1 Mekanisme imunopatogenik GNAPS
Sistem imun humoral dan kaskade komplemen akan aktif bekerja apabila terdapat
deposit subepitel C3 dan IgG dalam membran basal glomerulus. Kadar C3 dan C5 yang
rendah dan kadar komplemen jalur klasik (C1q, C2 dan C4) yang normal menunjukkan
bahwa aktivasi komplemen melalui jalur alternatif.10 Deposisi IgG terjadi pada fase
berikutnya yang diduga oleh karena Ab bebas berikatan dengan komponen kapiler
glomerulus, membran basal atau terhadap Ag Streptokokus yang terperangkap dalam
glomerulus. Aktivasi C3 glomerulus memicu aktivasi monosit dan netrofil. Infiltrat
inflamasi tersebut secara histologik terlihat sebagai glomerulonefritis eksudatif. Produksi
sitokin oleh sel inflamasi memperparah jejas glomerulus.
Hiperselularitas mesangium dipacu oleh proliferasi sel glomerulus akibat induksi
oleh mitogen lokal.3 Mekanisme cell-mediated turut terlibat dalam pembentukan GNAPS.
Infiltrasi glomerulus oleh sel limfosit dan makrofag, telah lama diketahui berperan dalam
menyebabkan GNAPS. Intercellular leukocyte adhesion molecules seperti ICAM-I dan
8
LFA terdapat dalam jumlah yang banyak di glomerulus dan tubulointersisial dan
berhubungan dengan intensitas infiltrasi dan inflamasi.11 Hipotesis lain yang sering disebut
adalah adanya neuraminidase yang dihasilkan oleh Streptokokus, mengubah IgG menjadi
autoantigenic sehingga terbentuk autoantibodi terhadap IgG itu sendiri. Pada pemeriksaan
mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapan-endapan terpisah atau
gumpalan karateristik pada mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan
miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan molekul
antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen komplomen seperti C3,C4
dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini.11,12,13
Gambar 3.2
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi
glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan
menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%. Keadaan ini akan
menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan
tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan
menyebabkan retensi Na dan air.
Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air
didukung oleh keadaan berikut ini: 10,11
1 Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di
glomerulus.
9
2 Overexpression dari epithelial sodium channel.
3 Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air,
sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi.
Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih
berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin
angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat. Edema yang
berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut meningkat.14
GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang pada usia
di bawah 2 tahun.1,2 GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten 1-2 minggu
pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma. Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan
bahwa infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar
31,6%.1
10
terjadi berhubungandengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang
mengakibatkan ekskresi air, natrium,zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga
terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi
air dan natrium.2,3
Gejala klinik GNAPS dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang khas. Bentuk
asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik maupun epidemik.
Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria
mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.
GNAPS simtomatik
1. Periode laten :
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-2
minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3
minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1
minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus
dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis
kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schöenlein atau Benign recurrent
haematuria.4,6
2. Edema :
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan
menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah
periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat,
maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema
skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik.
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan
jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun
pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau
11
berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi
karena gaya gravitasi. Kadang- kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak
tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan.
Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke
jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.
3. Hematuria
Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau
berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama
dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu.
Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam
waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria
walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa
menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan
terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan
adanya glomerulonefritis kronik.
4. Hipertensi :
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Albar
mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan
ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasmemasih belum diketahui dengan jelas.
Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan
menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi
ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab
dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali.
12
Adakalanya hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang
disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan
kejang- kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi
berkisar 4-50%.1
5. Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi
urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau
timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya
timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis
pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan
adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek.
6. Gejala Kardiovaskular :
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang terjadi
pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat
hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi
walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan
terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan air
sehingga terjadi hipervolemia.
a. Edema paru
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara
radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada pemeriksaan
fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini disebut acute
pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama dan kadang-kadang
bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai bronkopnemonia sehingga penyakit
utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu
anamnesis yang teliti dan jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik
13
toraks berkisar antara 62,5-85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya
timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya
gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik toraks dapat berupa kardiomegali, edema
paru dan efusi pleura. Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan
radiologik dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus.
Kanan (LDK).
7. Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan
anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema
atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.
14
2.5 Pemeriksaan Penunjang
2.5.1 Urin
Proteinuria :
Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++, jarang
terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan
adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif
proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/ m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu
dapat melebihi 2 gram/ m2 LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan
dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya proteinuria bervariasi antara
beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai
batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria
menetap yang menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang
memerlukan biopsi ginjal untuk membuktikannya.
Hematuria mikroskopik :
15
Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada kasus
GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini menunjukkan adanya suatu peradangan
glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula
dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut.
2.5.2 Darah
Reaksi serologis
Aktivitas komplemen :
Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta
berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang
nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1C
globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah.
16
Beberapa penulis melaporkan 80- 92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun.
Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama
perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya
gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini masih
rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada
glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus. 4,7
LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik
menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter
kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi
walaupun gejala klinik sudah menghilang.
2.5.3 Pencitraan
Gambaran radiologi dan USG pada penderita GNAPS tidak spesifik. Foto
toraks umumnya menggambarkan adanya kongesti vena sentral daerah hilus, dengan
derajat yang sesuai dengan meningkatnya volume cairan ekstraseluler. Sering terlihat
adanya tanda-tanda sembab paru (diIndonesia 11.5%), efusi pleura (di Indonesia
81.6%), kardiomegali ringan (di Indonesia 80.2%),dan efusi perikardial (di Indonesia
81.6%). Foto abdomen dapat melihat adanya asites.3,6 Pada USG ginjal terlihat besar
dan ukuran ginjal yang biasanya normal. Bila terlihat ginjal yang kecil, mengkerut
atau berparut, kemungkinannya adalah penyakit ginjal kronik yang mengalami
eksaserbasi akut. Gambaran ginjal pada USG menunjukkan peningkatan
echogenisitas yang setara dengan echogenisitas parenkhim hepar. Gambaran
tersebut tidak spesifik dan dapat ditemukan pada penyakit ginjal lainnya.3
2.6 Diagnosis
Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown case
17
dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang merupakan
gejala-gejala khas GNAPS.4,5
18
adanya oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B meninggi pada
GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang menurun
pada GNAPS, jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS umumnya baik,
sedangkan prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya meninggal karena gagal
ginjal.
2. Penyakit-penyakit sistemik.
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura Henoch-
Schöenlein, eritematosus dan endokarditis bakterial subakut. Ketiga penyakit ini
dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria,
proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan tenggorok negatif
dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri abdomen dan
artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala demikian. Pada SLE terdapat
kelainan kulit dan sel LE positif pada pemeriksaan darah, yang tidak ada pada
GNAPS, sedangkan pada SBE tidak terdapat edema, hipertensi atau oliguria. Biopsi
ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang kelainan histologiknya
bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit tersebut umumnya bersifat fokal.
3. Penyakit-penyakit infeksi :
GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh
Group A β-hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala GNA
yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus ECHO.
Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit dasarnya.
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai adalah :
1. Ensefalopati hipertensi (EH).
EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun
dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan
memberikan nifedipin (0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual pada
anak dengan kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat diulangi
tiap 15 menit hingga 3 kali. Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara
19
bertahap. Bila tekanan darah telah turun sampai 25%, seterusnya ditambahkan
kaptopril (0,3 – 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal.
2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI) Pengobatan konservatif :
a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan memberikan
kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari
b. Mengatur elektrolit :
Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
Bila terjadi hipokalemia diberikan :
Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari
NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari
K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari
Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 – 1 g glukosa 0,5 g/kgbb
3. Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering
disangka sebagai bronkopneumoni.
4. Posterior leukoencephalopathy syndrome
Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan ensefalopati
hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti sakit kepala,
kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.4,15
2.9 Penatalaksanaan
1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya
timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut,
tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti
sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu
dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan
hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan
20
sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi. Bila masih
dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan lanjut pada waktu
berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat tidur menyebabkan anak tidak
dapat bermain dan jauh dari teman- temannya, sehingga dapat memberikan beban
psikologik.
2. Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan
makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi
sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1
g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita
oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan
pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25
ml/kgbb/ hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10
ml/kgbb/hari).
3. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan tenggorok
atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin
dengan alasan biakan negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan
negatif dapat terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit
atau akibat periode laten yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa
golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb
dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin,
dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari.
4. Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan,
dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat
21
atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid.
Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal.
b. Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi
ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah
bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat
tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau
furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut diatas, pada
keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara sublingual
dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat diulangi setiap 30-60 menit bila
diperlukan. Pada hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral
(ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang
dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/ kgbb/hari secara intravena
(I.V). Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1 – 3 mg/kgbb).
c. Gangguan ginjal akut
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan,
pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis
harus diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca
glukonas atau Kayexalate untuk mengikat kalium.
2.10 Pemantauan
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang
berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua gejala- gejala seperti
edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai menghilang, sebaliknya gejala-gejala
laboratorium menghilang dalam waktu 1-12 bulan. Penelitian multisenter di Indonesia
memperlihatkan bahwa hematuria mikroskopik terdapat pada rata-rata 99,3%, proteinuria
98,5%, dan hipokomplemenemia 60,4%.1 Kadar C3 yang menurun (hipokomplemenemia)
menjadi normal kembali sesudah 2 bulan. Proteinuria dan hematuria dapat menetap selama
6 bln–1 tahun. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melacak adanya
22
proses penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat menetap hingga 6 bulan, sedangkan
hematuria mikroskopik dapat menetap hingga 1 tahun.
Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau proteinuria yang
berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah dipulangkan dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. Bila ternyata masih terdapat
hematuria mikroskopik dan atau proteinuria, pengamatan diteruskan hingga 1 tahun atau
sampai kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai satu atau kedua
kelainan tersebut, perlu dipertimbangkan biopsi ginjal.
2.11 Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada
komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun sangat
jarang, GNAPS dapat kambuh kembali. Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS
ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan
menghilangnya gejala laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam
waktu 1-12 bulan. Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada
orang dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik maupun secara
histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-30% kasus masuk ke dalam
proses kronik, sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis kronik.
Walaupun prognosis GNAPS baik, kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat
gangguan ginjal akut (Acute kidney injury), edema paru akut atau ensefalopati hipertensi.
2.12 Krisis Hipertensi
A. Hipertensi
Nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolic lebih dari persentil ke-90
berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tinggi badan pada pengukuran sebanyak 3 kali atau
lebih.
B. Teknik pengukuran tekanan darah
Tekanan darah sebaiknya diukur dengan menggunakan sfigmomanometer air raksa,
sedangkan sfigmomanometer aneroid memiliki kelemahan yaitu memerlukan kalibrasi
23
secara berkala . Osilometrik otomatis merupakan alat pengukur tekanan darah yang sangat
baik untuk bayi dan anak kecil, karena saat istirahat teknik auskultasi sulit dilakukan pada
kelompok usia ini.18
Panjang Cuff manset harus melingkupi minimal 80% lingkar lengan atas, sedangkan
lebar Cuff harus lebih dari 40% lingkar lengan atas.
Tekanan darah diukur setelah istirahat selam 3-5 menit.
Anak diukur dalam posisi duduk dengan lengan kanan diletakkan sejajar jantung.
Sedangkan bayi diukur dalam keadaan telentang.
Jika tekanan darah menunjukkan angka diatas persentil ke 90 => tekanan darah
harus diulang dua kali pada kunjungan yang sama untuk menguji kesahihan
pengukuran.18
Hipertensi emergensi suatu keadaan yang menunjukkan tekanan darah yang harus
diturunkan dalam waktu satu jam, karena pada penderita didapatkan kejang, nyeri kepala,
gangguan penglihatan, atau payah jantung. Pemberian nifedipin secara oral atau sublingual
sangat membantu pada tahap awal pengobatan.18 Pengobatan secara intravena yang harus
segera dibrikan adalah natrium nitroprusid atau infus labetolol bila tersedia.pada anak yang
menderita hipertensi kronik dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah sebesar 20-30 %
dala waktu 60-90 menit.18
Salah satu bentuk hipertensi emergensi adalah krisis hipertensi, yaitu tekanan darah
meningkat dengan cepat hingga mencapai sistolik > 180 mmHg atau diastolic > 120
mmHg. Pada anak dengan hipertensi kronis atau yang kurang terkontrol, masalah
pengobatan lebih rumit. Beberapa anak dengan keadaan tersebut seringkali memerlukan
obat antihipertensi kombinasi untuk mamantau kenaikan tekanan darah. Pemilihan obat
juga harus sederhana mungkin, yaitu dengan menggunakan obat dengan masa kerja
panjang, sehingga obat cukup diberikan satu atau dua kali sehari.18,
Lama pengobatan yang tepat pada anak dan remaja hipertensi tidak diketahui
dengan pasti. Beberapa keadaan memerlukan pengobatan jangka panjang, sedangkan
24
keadaan yang lain dapat membaik dalam waktu singkat. Oleh karena itu, bila tekanan darah
terkontrol dan tidak terdapat kerusakan organ, maka obat dapat diturunkan secara bertahap,
kemudian dihentikan dengan pengawasan yang ketat setelah penyebabnya diperbaiki.18
25
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : An. H
Umur : 13 tahun
No MR : 217494
3.2 Anamnesis
• 2 minggu SMRS pasien nyeri tenggorokan selama 3 hari, keluhan disertai sakit
ketika menelan, keluhan dirasakan hilang timbul, pasien tidak ada berobat
• sejak 8 hari SMRS pasien demam, demam hilang timbul, tidak menggigil maupun
keringat dingin, demam berkurang ketika pasien minum Paracetamol.
• Pasien juga batuk , disertai dahak berwarna putih, tidak ada sesak nafas, pilek tidak
ada.
26
• Sejak 3 hari SMRS pasien tampak sembab, semabab pada wajah terutama pada
kelopak mata terlihat pada pagi hari, tetapi sembab tidak disertai pada badan pasien.
• BAK sedikit seperti air cucian daging, tidak disertai nyeri, tidak berbusa dan tidak
berpasir. Jumlah tidak diperhatikan.
27
• Berat lahir : 3.300 gr
Bayi
o ASI : 0-22 bulan
o Susu formula : 22-30 bulan
o Buah biskuit : 6 bulan
o Bubur susu : 6 bulan
o Nasi tim : 8 bulan
Anak
o Makan utama : nasi 3x/sehari menghabiskan 1 porsi sebanyak 2 centang
nasi
o Daging : 3 x/minggu
o Ikan : 3 x/minggu
o Telur : 2 x/minggu
o Sayur : 5 x/minggu
o Buah : 3 x/minggu
Kesan: Kuantitas dan kualitas makan baik
28
2 3 bulan -
3 4 bulan -
Polio 0 1 bulan -
1 2 bulan -
2 3 bulan -
3 4 bulan
Hepatitis B 1 Lahir -
2 2 bulan -
3 3 bulan -
4 4 bulan
Campak 9 bulan -
29
Membangkang -
Ketakutan -
Pergaulan jelek -
Kesukaran belajar -
Kesan: Perkembangan Dalam Batas Normal
Ayah Ibu
Nama Tn. A Ny. D
Umur 38 tahun 40 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Sopir IRT
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita - -
No. Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang
1 Santi 17 tahun Sehat
2 Tari 8 tahun Sehat
30
o Hipertensi grade I : 121/79 mmHg (P95-99 + 5)
o Hipertensi grade II : 131/91 mmHg (>99 + 5)
o Krisis Hipertensi : 180/120 mmHg
Frekuensi nadi : 105 x/menit
Frekuensi napas : 22 x/menit
Suhu : 36,8°C
Edema : wajah
Ikterus : tidak ada
Anemia : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Lingkar kepala : 48 cm
Berat badan : 33 kg
Tinggi badan : 140 cm
BB/U : 73% ( Underweight )
TB/U : 90 ( Perawakan Normal )
BB/TB : 97% ( Gizi Baik )
Status Gizi : Gizi baik, Perawakan Normal
31
32
33
3.3.2 Khusus
Kulit : Warna sawo matang, terdapat hiperpigmentasi, ekskoriasi
pada kaki, teraba hangat
Kepala : Bulat, simetris
Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
edema palpebra(+/+), pupil isokor, refleks cahaya (+/+),
Telinga : sekret tidak ada
Hidung : Napas cuping hidung (-)
Gigi dan mulut : Mukosa bibir dan mulut basah, sianosis tidak ada, lidah tidak
kotor , faring tidak hiperemis, T1-T1
Leher : Tidak ada kelainan, KGB tidak membesar
Toraks
o Paru
Inspeksi : retraksi (-) dinding dada, pergerakan dinding dada simetris
kiri dan kanan
Palpasi : tidak ada dinding dada yang tertinggal
Perkusi : sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi : suara napas vesikuler, Rhonki -/- , Wheezing -/-
o Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : irama reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
o Inspeksi : distensi tidak ada
o Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
o Perkusi : Timpani
34
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : Tidak terdapat kelainan
Genitalia : Tidak ada kelainan genitalia
Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik , udem ( - )
Darah Lengkap
Hb 11,1 g/dL 10,3-14,9 g/dL
Leukosit 17.900/mm3 4.800-10.800/mm3
Trombosit 512.000/mm3 150.000-450.000
Hematokrit 32,5 % 32-42 %
MCV 76,8 fl 73-87 fl
MCH 26,2 pg/cell 24-30 pg/cell
MCHC 34,2 g/dl 32-36 g/dl
RDW-CV 13,5% 11,5-14,5%
Basofil 0% 0-1%
Eosinofil 3% 1-3%
Neutrofil 74% 50-70%
Limfosit 17% 20-40%
Monosit 6% 2-8%
ALC 3043/ μL 1500-4000/ μL
NLR 4.35 <3,13
Kesan : Anemia normositik normokrom, Leukositosis, trombositosis dan neutrofilia
35
o Kreatinin : 0,78 mg/dl 0,5-1,5 mg/dl
Kesan : Uremia
Urine
o Warna : kuning kuning muda jernih
o Blood : 3+ Negatif
o Protein : 2+ Negatif
o Bilirubin : Negatif Negatif
o Urobilinogen :1EU 1 EU
Sedimen
o Leukosit : 6-8/LPB 0-3/LPB
o Eritrosit : 18-20/LPB 0-4/LPB
o Epitel : 4-5/LPK 0-1/LPK
o Silinder : Negatif Negatif
o Kristal : Negatif Negatif
Rontgen Thorax
36
Trakea di tengah, kedua hilus suram
Tampak infiltrat di perihiler bilateral
Kedua hemidiafragma licin. Kedua
sinus kostofrenikus lancip.
Jaringan lunak dinding dada terlihat
baik
3.3.5 Diagnosis Kerja
GNAPS
Bronkitis Akut
Hipertensi gr II
3.3.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana Medikamentosa :
o Furosemid 2 x 20 mg (IV)
o Ampisilin 4 x 500 mg (IV)
o Nifedipin 3 x 5 mg
o Ambroxol tab 3 x 1
Tatalaksana Non medikamentosa
Bed Rest
Vasocat
Cek TD/4 jam
Kebutuhan kalori 1800 kkal/ hari.
Minum 1800
37
Follow Up :
38
tanggal hasil Pemeriksaan
07,08/7/20 S/ - sembab wajah, kelopak mata(+)
21 - Pasien mengalami episode Krisis Hipertensi
(H-1,2) - BAK berwana cucian daging
- Demam (+), batuk (+), muntah (-)
- BAB (+)
O/ KU Kes BP HR RR T BB
sedang CM 150/105mmHg 100x/i 22x/i 36.6’ C 33 Kg
B : -850 D : 3,28
JAM TD
14.00 160/130 ( nifedipin 5 Sub lingual )
14.20 150/110 (nifedipin 7Sub Lingual )
14.45 140/100 ( nifedipin 10 Sub Lingual )
15.05 130/80
P/ Vasocat
Ampicillin 4 x 500 mg (IV) (2)
Furosemid 3 x 20 mg (IV)
Nifedipin 3 x 5 mg
Captopril 3 x 12,5 g
Ambroxol tab 3x1
TTV/4 jam
S/ - wajah sembab, kelopak mata (-)
- BAB (-)
39
O/ KU Kes TD HR RR T BB
sedang CMC 130/100 95x/i 21x/i 37,4’ C 30 kg
BAB IV
ANALISA KASUS
Telah didiagnosis seorang pasien anak laki-laki berusia 13 tahun dengan diagnosis
Penunjang.
2 minggu SMRS nyeri tenggorokan selama 3 hari, disertai demam sejak 8 hari
SMRS, terdapat hematuria dan edema sejak 3 hari SMRS. Tungkai pasien sering korengan .
Keluhan pasien sesuai dengan manifestasi klinis dari GNAPS. Penyakit ini biasanya
didahului oleh infeksi GABHS yang terjadi dengan periode laten 1-2 minggu, hal ini sesuai
dengan adanya riwayat nyeri tenggorokan pada pasien ± 2 minggu SMRS . Pada GNAPS
ditemukan adanya edema hal ini juga ditemukan pada pasien yang tampak sembab sejak 3
hari SMRS. Pada GNAPS ditemukan 30-70% kasus dengan hematuria makroskopik, hal
ini sesuai dengan keluhan pasien BAK seperti cucian daging sejak 3 hari SMRS.1
Pada pemeriksaan fisis didapatkan tekanan darah pasien 150/100 mmHg (>P99 +5).
Menurut literatur hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS.
TD di atas P>99+5 merupakan hipertensi grade II. Ekspansi volume intravaskular dan
ekstravaskular hingga vasospasme akibat faktor neurogenik dan hormonal dapat
menyebabkan hipertensi pada GNAPS. Saat inspeksi ditemukan edema palpebra dimana hal
ini sesuai dengan teori, edema paling sering ditemukan pada daerah periorbital. 1,15,16
Untuk pemeriksaan penunjang pada kasus ini sudah tepat, dilakukan pemeriksaan
hematologi lengkap untuk menyingkirkan kemungkinan yang dapat memperberat kondisi
pasien, seperti kemungkinan infeksi. Serta melihat anemia akibat hematuria. Pemeriksaan
kimia klinik dan elektrolit serum didapatkan uremia, dan hiperkloremia. Secara teori pada
40
GNAPS dapat terjadi azotemia. Hipernatremia terjadi akibat retensi natrium oleh ginjal
karena penurunan laju filtrasi glomerulus.
Pemeriksaan serologi ASTO didapatkan hasil Negatif, sebab dalam teori dikatakan
Asto Positif meningkat 70-80 % pada GNAPS.
Terapi yang diberikan pada pasien sudah sesuai dengan teori, yaitu kebutuhan cairan
anak dengan BB 30 kg adalah 1800 cc/hari. Pasien juga diberi furosemid 3 x 20 mg untuk
mengatasi edema selain itu furosemid dapat juga berfungsi sebagai terapi awal untuk
hipertensi pasien. Pasien juga diberikan Ampisilin 4 x 500 mg untuk eradikasi kuman.
Ampisilin merupakan antibiotik pilihan untuk mengatasi infeksi streptokokus.
Prognosis pada pasien ini dalam hal quo ad vitam: bonam karena tidak ada komplikasi
serius. pada GNAPS keadaan yang dapat membahayakan pasien biasanya terjadi pada fase
akut, dengan angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7%.17 Kondisi yang dapat
menyebabkan kematian pada fase akut adalah gagal ginjal akut, edema paru akut, atau
hipertensi ensefalopati.17 Quo ad functionam: dubia ad bonam karena pasien bisa
beraktivitas sehari-hari meskipun harus dengan bedrest terlebih dahulu, insiden gangguan
fungsi ginjal pada GNAPS berkisar antara 1-30% masih perlukontrol rutin atau pemantauan
fungsi ginjal.17 Quo ad sanationam: bonam karena pada anak dengan kasus GNAPS
41
biasanya 85-95% sembuh sempurna dan kemungkinan GNAPS menjadi kronik antara 5-
10%.17 Pasien menunjukkan perbaikan klinis yang baik. Hematuria makroskopik dan
hipertensi membaik setelah 1 minggu perawatan.
Edukasi yang dapat diberikan pada orang tua dengan anak yang telah didiagnosis
GNAPS antara lain, jelaskan mengenai perjalanan penyakit pasien, orangtua perlu
memahami bahwa meskipun kesembuhan yang sempurna diharapkan, masih ada
kemungkinan kecil terjadinya kelainan yang menetap dan bahkan memburuk sehingga
perlu dijelaskan rencana pemantauan selanjutnya, pengukuran tekanan darah dan
pemeriksaan urine untuk protein dan hematuria dilakukan dengan interval 4-6
minggu untuk 6 bulan pertama, kemudian tiap 3-6 bulan sampai hematuria dan
proteinuria menghilang dan tekanan darah normal untuk selama 1 tahun, dirumah anak
perlu diet rendah garam dan jelaskan juga kepada orang tua perlunya penerapan perilaku
hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan, menggunakan masker dan merawat
kebersihan kulit anak agar terhindar dari infeksi streptokokus karena GNAPS dapat terjadi
kembali yang disebkan oleh infeksi saluran nafas atas dan infeksi kulit sehingga harus
menjaga kebersihan dan kelembaban kulit dengan mandi teratur 2x sehari menggunakan
sabun bayi.
42
BAB V
KESIMPULAN
43
DAFTAR PUSTAKA
44
12. Noer MS. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Dalam: Noer MS,
Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T dkk,
penyunting. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2011.h.57-
62.
13. Pan GC. Evaluation of gross hematuria. Pediatr Clin N Am. 2006;53:401-
12.11.Ahn SY, Ingulli E. Acute poststreptococcal glomerulonephritis: an
update. Curr Opin Pediatr. 2008;20:157-62.
14. Welch TR. An approach to the child with acute glomerulonephritis, review
article. Int J Pediatr. 2012;3:1-3
15. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Konsensus Tatalaksana Hipertensi Pada
Anak. Jakarta: Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.h.4-14
16. Doucet A, Favre G, Deschênes G. Molecular mechanism of edema formation in
nephrotic syndrome: Therapeutic implications. Pediatr Nephrol. 2007;22(12):1983–
90.
17. Lumbanbatu, SM. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus Pada Anak. Sari
Pediatri, Vol. 5, No. 2, September 2009: 58 - 63
18. Nanan S, Dedi R, Dany H. Konsensur Tatalaksana Hipertensi Pada Anak. Jakarta :
Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.h.2-13.
45