Pembimbing:
Kolonel (CKM) dr. Noerjanto Rahardjo, Sp.PD, FINASM
Disusun Oleh:
Abimanyu Putera Yudha 2210221037
Referat
“Lupus Nefritis: Diagnosis dan Tata Laksana”
Disusun Oleh:
Abimanyu Putera Yudha 2210221037
Jakarta, …...............2022
Pembimbing,
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya sehingga referat dengan judul “Lupus Nefritis: Diagnosis dan
Tata Laksana” dapat diselesaikan dengan baik salah satu syarat mengikuti kegiatan
kepaniteraan klinik di bagian Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada Kolonel
(CKM) dr. Noerjanto Rahardjo, Sp.PD, FINASM, selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan ilmu dan saran serta menyediakan waktu dalam penyusunan
referat ini. Penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat kepada
pembaca.
Jakarta,
………… 2022
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Gambar 2. Anatomi Nefron Ginjal9
Ginjal memiliki banyak fungsi dalam mengatur homoestasis tubuh, antara
lain regulasi volume cairan ekstraseluler dan tekanan darah, regulasi osmolaritas,
menjaga keseimbangan ion, regulasi homeostatis pH, ekskresi limbah dan produksi
hormon. Dalam menjalankan fungsi fisiologisnya, ginjal memiliki tiga mekanisme
utama dalam sistem ekskresi, yaitu filtrasi, reabsorbsi dan sekresi. Filtrasi
merupakan proses perpindahan cairan dari darah menuju lumen nefron melalui
dinding kapiler endotel dan glomerulus serta kapsul Bowman. Kemampuan filtrasi
pada glomerulus bergantung pada tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik cairan
antara kedua lumen. Banyaknya cairan yang terfiltrasi tiap satuan unit disebut
sebagai Glomerular Filtration Rate (GFR). GFR dipengaruhi oleh tekanan cairan
dan koefisien filtrasi. Tiap harinya terdapat 180 L cairan yang terfiltrasi pada proses
tersebut dan 99% cairan tersebut mengalami proses reabsorbsi. Proses reabsorbsi
pada tubulus ginjal dapat terjadi secara pasif melalui perbedaan osmolaritas cairan
atau secara aktif melalui berbagai transport aktif. Pada proses sekresi terdapat
perpindahan berbagai molekul dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen nefron
melalui bantuan transport aktif. Akhir dari ketiga proses tersebut akan membentuk
cairan berupa urin yang akan diekskresikan melalui proses mikturisi.8,9
3
Gambar 3. Fisiologi Ginjal9
4
gangguan pada ginjal. LN dapat mengakibatkan kerusakan jaringan ginjal yang
dapat mengganggu sistem renal dan dapat mengakibatkan gangguan ginjal.1,2,10,11
II.3. Epidemiologi
Prevalensi LES di Indonesia berdasarkan data dari beberapa rumah sakit
menunjukkan adanya peningkatan kunjungan sebanyak 17,9-27,2% di tahun 2015,
18,7-31,5% di tahun 2016 dan 30,3-58% di tahun 2017. Sedangkan prevalensi LES
di Amerika Serikat menunjukkan sebanyak 241 tiap 100.000 penduduk dengan
insidensi sebanyak 23,2 tiap 100.000 penduduk per tahunnya dan 35% pasien
dewasa dengan LES memiliki keterlibatan dengan nefritis.7
Berdasarkan jenis kelamin, perempuan cenderung lebih berisiko
dibandingkan dengan laki-laki dalam mengalamai LES dengan rasio 2:1 hingga
15:1 namun penderita LES dengan jenis kelamin laki-laki lebih cenderung memiliki
keterlibatan pada ginjal. Sebagian besar individu dengan LES memiliki keterlibatan
dengan ginjal pada usia 20-40 tahun dengan LES sendiri cenderung terjadi pada
dekade ketiga kehidupan. Berdasarkan etnis atau ras, LES lebih cenderung terjadi
pada ras kulit hitam pada afrika amerika dan asia dibandingkan dengan orang kulit
putih, dengan insidensi 31,9 per 100.000 penduduk per tahun pada orang kulit hitam
dan 0,9-4,1 per 100.000 penduduk per tahun pada orang asia. Prevalensi
keterlibatan ginjal juga lebih tinggi pada penderita ras Afrika Amerika dan
Hispanik.3,4
5
Gambar 4. Patogenesis LES dan LN2
Terdapat berbagai faktor genetik yang berperan dalam predisposisi kejadian
LES dan LN. Faktor genetik pada Human Leukocyte Antigens (HLA) mendukung
konsep bahwa gen Major Histocompability Complex (MHC) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Defisiensi komplemen, seperti C2, C4, atau C1q juga berisiko
dalam merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear yang membantu terjadinya deposisi jaringan. Gen-gen lain yang ikut
berperan dalam mengakibatkan LES adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin.2,6,13,14
Tabel 1. Genes Associated with Systemic Lupus Erythematosus6
Lokus Gen Nama Gen Produk Gen
Lymphoid-specific protein
1p13.2 PTPN22
tyrosine phosphatase
1q21-q23 CRP CRP
1q23 FCGR2A, FCGR2B FcγRIIA (R131), FcγRIIB
1q23 FCGR3A, FCGR3B FcγRIIIA (V176), FcγRIIIB
1q31-q32 IL10 IL-10
1q36.12 C1QB C1q deficiency
Signal transducer and
2q32.2-q32.3 STAT4
activator of transcription 4
6
Cytotoxic T-lymphocyte-
2q33 CTLA4 associated protein 4
(CTLA-4)
HLA-DRB1: DR2/1501,
6p21.3 HLA-DRB1
DR3/0301C1q deficiency
6p21.3 C2, C4A, C4B C2, C4 deficiencies
6p21.3 TNF TNF-a (promoter, -308)
10q11.2-q21 MBL2 Mannose-binding lectin
Faktor lingkungan yang menjadi risiko penyebab LES antara lain radiasi
UltraViolet (UV), rokok, obat-obatan, dan infeksi virus atau bakteri. Sinar UV
dapat memperburuk lesi LES melalui peningkatan fragmen nukleus dan respon
inflamasi pada sel mati. Kebiasaan merokok melalui aktivasi makrofag alveolar dan
menginduksi aktivitas myeloperoxidase serta produksi radikal bebas yang
ditemukan dalam asap tembakau. Beberapa produk obat seperti procainamide dan
hydralazine dapat menyebabkan demetilasi DNA, yang dapat memengaruhi
ekspresi berbagai gen yang terlibat dalam perkembangan autoimunitas. Infeksi
virus seperti Epstein-Barr virus (EBV) dapat menginisiasi proliferasi sel B setelah
infeksi dan beberapa protein EBV, seperti antigen nuklir EBV (EBNA)-1 dan
EBNA-2 memiliki sequence homolog yang mirip dengan autoantigen dan antibodi
LES.2,12,13,15
Faktor hormonal, terutama pada perempuan, yaitu hormon estrogen berisiko
mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi
berlebihan pada pasien LES. Faktor lain seperti stress berkaitan erat dengan Aksis
Hypothalamo-Pituitary-Adrenal (HPA) yang merupakan komponen utama dari
sistem stress dan emosional. Peningkatan stress melalui HPA axis dapat berperan
dalam abnormalitas produksi glukokortikoid yang berperan dalam autoreaktif atau
respons imun yang tidak terkendali. Faktor-faktor risiko pada LES tersebut akan
mengakibatkan terjadinya deposisi autoantibodi dan kompleks imun. Deposisi yang
terjadi pada struktur ginjal akan mengakibatkan kerusakan sehingga fungsi ginjal
tergangganggu.12,15,16
7
hasil peningkatan kadar kreatinin serum, kadar albumin rendah, atau protein urin
atau sedimen menunjukkan LN aktif. Gejala yang dapat mungkin terjadi adalah
edema perifer akibat dari hipertensi atau hipoalbuminemia. Gejala lain yang
berhubungan langsung dengan hipertensi dan terkait dengan LN meliputi sakit
kepala, pusing, gangguan penglihatan, dan tanda-tanda dekompensasi jantung.6
Gejala klinis lain yang perlu dipertimbangkan adalah gejala-gejala pada
LES yang lebih tampak. Gejala atau tanda klinis yang terjadi pada antara lain:17
▪ Gejala konstitusional berupa demam, kelelahan dan penurunan berat badan
▪ Gejala neuropsikiatri berupa delirium, psikosis atau kejang dan gangguan
kognitif
▪ Gejala paru jantung berupa kelainan pleura, lesi parenkim paru, pericarditis,
endokarditis dan miokarditis
▪ Gejala gastrointestinal berupa mual muntah dan nyeri abdomen
▪ Gejala hematologi berupa leukopenia, trombositopenia dan anemia
▪ Gejala kulit berupa butterfly/malar rash, fotosensitivitas, lesi membran
mukosa, purpura dan vaskulitis
▪ Gejala muskuloskeletal berupa artritis, artralgia dan miositis
II.6. Klasifikasi
Berdasarkan gambaran histopatologi, International Society of Nephrology
dan Renal Pathology Society (ISN/RPS) mengklasifikasikan LN menjadi enam
kelas, antara lain:1,2,7
❖ Kelas I (Lupus Nefritis Mesangial Minimal)
Gambaran glomeruli normal pada mikroskop cahaya, tapi didapatkan
deposit imun pada pemeriksaan imunofluoresen.
❖ Kelas II (Lupus Nefritis Mesangial Proliferatif)
Gambaran Hiperselularitas mesangial dari berbagai tingkat, ekspansi
matriks mesangial disertai deposit imun mesangial pada mikroskop cahaya.
Pada imunofluoresen atau mikroskop elektron terdapat sedikit deposit subepitel
atau subendotel yang terisolasi.
❖ Kelas III (Lupus Nefritis Lokal)
Gambaran glomerulonefritis pada <50% glomerulus dengan karakteristik
endo atau ekstra kapiler segmental atau global, fokal aktif atau inaktif, dan
8
tipikal dengan deposit imun subendotel fokal, dengan atau tanpa perubahan
mesangial. Berdasarkan lesinya dapat dibagi lagi menjadi:
• Kelas III (A) = Lesi aktif: LN proliferatif lokal
• Kelas III (A/C) = Lesi aktif dan kronis: LN proliferatif fokal dan sklerosis
• Kelas III (C) = Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars) glomerular:
LN fokal sklerosis
❖ Kelas IV (Lupus Nefritis Difus)
Gambaran glomerulonefritis endo atau ekstrakapiler segmental atau global
meliputi >50% dari seluruh glomeruli, difus aktif atau inaktif, tipikal dengan
deposit imun subendotel difus, dengan atau tanpa perubahan mesangial. Kelas
ini dibagi dalam LN segmental difus (IV-S) Ketika >50% glomeruli mempunya
lesi segmental, dan LN global difus (IV-G) dimana >50% glomeruli mempunyai
lesi global. Segmental didefinisikan bila lesi glomerulus meliputi <50%
glomerulus tuft. Berdasarkan lesinya dapat dibagi lagi menjadi:
• Kelas IV-S (A) = Lesi aktif: LN proliferatif segmental difus
• Kelas IV-S (G) = Lesi aktif: LN proliferatif global difus
• Kelas IV-S (A/C) = Lesi aktif dan kronis: LN proliferatif fokal dan sklerosis
segmental difus
• Kelas IV-G (A/C) = Lesi aktif dan kronis: LN proliferatif fokal dan sklerosis
global difus
• Kelas IV-S (C) = Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars)
glomerular: LN sklerosis segmental difus
• Kelas IV-G (C) = Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars)
glomerular: LN sklerosis global difus
❖ Kelas V (Lupus Nefritis Membranosa)
Gambaran deposit imun subepitel global atau segmental, atau sequelae
morfologi dengan atau tanpa perubahan mesangial. LN kelas V dapat terjadi
bersamaan dengan kelas III atau IV. LN kelas V dapat menunjukkan gambaran
sklerosis lanjut.
❖ Kelas VI (Lupus Nefritis Sklerotik Lanjut)
Gambaran 90% glomeruli menunjukkan sklerosis global tanpa aktivitas
residual.
9
Gambar 5. Lesi LN: (A) Lupus Nefritis Fokal dengan lesi nekrosis pada glomerulus, (B)
Lupus Nefritis Difus, (C) Lupus Nefritis dengan lesi “wire loop” berupa deposit kompleks
imun di subendotel, (D) Gambaran Glomerulonefritis pada LN melalui mikroskop elektron 2
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, histopatologi dan serologi
WHO mengklasifikasn LN menjadi lima kelas.7
Tabel 2. Klasifikasi Lupus Nefritis menurut WHO7
Kelas Pola Deposit Sedimen Proteinuria Kreatinin Tekanan Anti- C3/C4
Kompleks Serum Darah dsDNA
Imun
I Normal Tidak ada Tidak <200 mg Normal Normal Negatif Normal
ada
II Mesangial Mesangial Eritrosit/ 200-500 Normal Normal Negatif Normal
Tidak mg
ada
III Fokal dan Mesangial, Eritrosit, 500-3500 Normal Normal Positif Menurun
segmental subendotelial, leukosit mg sampai
proliferatif subepitelial meningkat
sedikit
IV Difus Mesangial, Eritrosit, 1000-3500 Normal Tinggi Positif Menurun
proliferatif subendotelial, leukosit, mg sampai
subepitelial silinder titer
tinggi
V Membranosa Mesangial, Tidak >3000 mg Normal Tinggi Negatif Normal
subepitelial ada sampai
titer
sedang
10
II.7. Patofisiologi
Mekanisme patogenesis LES dan LN merupakan berasal dari interaksi
faktor genetik, lingkungan dan faktor lainnya yang berisiko dalam menyebabkan
reaksi autoimun. Bentuk reaksi yang terjadi dapat berupa aktivasi innate immunity
DNA CpG, DNA pada kompleks imun, DNA atau RNA virus, penurunan ambang
batas atau abnormalitas aktivasi pada adaptive immunity, inefektivitas regulasi sel
T CD4+ dan CD8+, sel B dan myeloid-derived suppressor cell, serta penurunan
pembersihan kompleks imun dan sel apoptosis. Pada keadaan normal, suatu antigen
akan dipresentasikan ke sel T dan menginduksi sel T CD4+ untuk merangsang sel
B menghasilkan autoantibodi dan mendorong diferensiasi sel T CD 8+. Disregulasi
innate immunity dan adaptive immunity pada individu dengan LES menghasilkan
produksi autoantibodi yang abnormal dan dapat terdeposisi pada jaringan tertentu.
Autoantibodi yang paling berperan dalam LES adalah Antinuclear Antibodies
(ANAs) yang dapat bereaksi terhadap DNA (Anti-dsDNA), kromatik, histon, Sm,
SSA/Ro, SSB/La, protein terkait anti-C1q, 74 fosfolipid, molekul sitoplasma,
antigen membran endotel, fragmen komplemen, dan IFN. Deposisi ANAs pada
jaringan tertentu mengakibatkan kerusakan jaringan melalui pembentukan
kompleks imun dan aktivasi Classical Complement Pathway (Hipersensitivitas tipe
III). Pada kasus tertentu ANAs juga dapat berikatan dengan eritrosit, leukosit dan
platelet sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe II atau sitotoksik.1,2,14
Pada LN atau keterlibatan ginjal, ANAs dapat membentuk kompleks imun
patogen intravaskular yang terdeposisi di glomeruli. Autoantibodi tersebut juga
dapat berikatan dengan antigen yang sudah terletak di membran dasar glomerulus
membentuk kompleks imun in situ. Kompleks imun yang terbentuk akan
menghasilkan respon inflamasi melalui aktivasi komplemen dan menarik sel-sel
inflamasi, termasuk limfosit, makrofag, dan neutrofil. Deposit yang menumpuk
pada mesangium dan subendotel secara histopatologis dapat memberikan gambaran
mesangial, proliferatif fokal, dan proliferatif difus dan secara klinis memberikan
gambaran sedimen urin dengan eritrosit, leukosit, silinder sel dan granular,
proteinuria, dan penurunan fungsi ginjal. Pada deposit di subepitelial terjadi
aktivasi komplemen namun tidak terdapat influks sel-sel inflamasi akibat
kemoatraktan yang dipisahkan oleh membran basalis glomerulus, sehingga jejas
11
hanya terbatas pada epitel glomerulus dan memberikan gambaran nefropati
membranosa.1,2,10,11
II.8. Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pemeriksaan LN terbatas pada gejala-
gejala lain yang timbul pada LES dan faktor risiko yang menjadi penyebab LES.
Penilaian LES dapat dilakukan berdasarkan riwayat atau hasil dari diagnosis LES.
Diagnosis LES dapat dilakukan berdasarkan kriteria American College of
Rheumatology dan European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2019.
Bila hasil total skor didapatkan ≥10 dengan minimal satu kriteria klinis, maka
individu tersebut dapat diklasifikasikan sebagai penderita LES.7
12
Tabel 3. Kriteria klasifikasi ACR/EULAR 20197
13
Lupus Nefritis kelas II atau V 8
Lupus Nefritis kelas III atau IV 10
DOMAIN IMUNOLOGI POIN
Domain Antibodi Antifosfolipid
IgG anticardiolipin >40 GPL atau IgG anti -2GP1 >40 unit atau 2
antikoagulan lupus
Domain Protein Komplemen
C3 rendah atau C4 rendah 3
C3 rendah dan C4 rendah 4
Domain Antibodi Spesifik
Antibodi anti-dsDNA 6
Antibodi anti-Smith 6
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan penanda utama dalam mendiagnosis LN.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
▪ Pemeriksaan Laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan, LN didefinisikan dengan proteinuria
>0,5 g/24 jam atau >3+ pada pemeriksaan dipstick, dan silinder selular termasuk
eritrosit, hemoglobin, granular, tubular, atau kombinasinya. Proteinuria
umumnya diperiksa dengan cara mengukur jumlah protein secara kuantitatif
dengan mengumpulkan urin selama 24 jam. Selain itu juga bisa didapatkan
adanya hematuria dengan >8 eritrosit/LPB dan penurunan fungsi ginjal sampai
30%. Pemeriksaan juga dapat dilakukan melalui rasio protein/kreatinin urine
sewaktu >500mg/g yang setara dengan rasio albumin/kreatinin >300 mg/g.17,18
▪ Pemeriksaan Biopsi Ginjal
Pemeriksaan biopsi ginjal bermanfaat untuk mengidentifikasi
histopatologi dan klasifikasi serta menentukan indeks aktivitas, kronisitas dan
prognosis. Biopsi dilakukan dengan indikasi proteinuria >0,5g dengan atau
tanpa sedimen urin aktif. Biopsy ginjal tidak dilakukan jika didapatkan adanya
kontraindikasi berupa trombositopenia berat, reaksi penolakan terhadap
komponen darah dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi.1,6,7
14
Tabel 4. Indeks Aktivitas dan Kronisitas Lupus Nefritis7
Indeks Aktivitas Definisi Skor
Hiperselularitas Hiperselularitas Endokapiler pada <25% (1+), 25-50% 0-3
Endokapiler (2+), atau >50% (3+) glomerulus
Netrofil Atau Netrofil Atau Karyorrhexis pada <25% (1+), 25-50% 0-3
Karyorrhexis (2+), atau >50% (3+) glomerulus
Nekrosis Fibronoid Nekrosis Fibronoid pada <25% (1+), 25-50% (2+), atau (0-3) × 2
>50% (3+) glomerulus
Deposit Hialin Lesi wire loop dan atau thrombus hialin pada <25% 0-3
(1+), 25-50% (2+), atau >50% (3+) glomerulus
Celluler/Fibrocellular Celluler/Fibrocellular Crescents pada <25% (1+), 25- (0-3) × 2
Crescents 50% (2+), atau >50% (3+) glomerulus
Inflamasi Interstisial Leukosit interstisial pada <25% (1+), 25-50% (2+), atau 0-3
>50% (3+) korteks
Total 0-24
Indeks Kronisitas Definisi Skor
Skor Total Sklerosis global dan atau segmental pada <25% (1+), 0-3
Glomerulonefritis 25-50% (2+), atau >50% (3+) glomerulus
Fibrous Crescents Fibrous Crescents pada <25% (1+), 25-50% (2+), atau 0-3
>50% (3+) glomerulus
Atrofi Tubular Atrofi Tubular pada <25% (1+), 25-50% (2+), atau 0-3
>50% (3+) glomerulus
Fibrosis Interstisial Fibrosis Interstisial pada <25% (1+), 25-50% (2+), atau 0-3
>50% (3+) glomerulus
Total 0-12
▪ Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi bertujuan untuk mengidentifikasi dan
mendiagnosis LES dan LN. Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan yaitu
pemeriksaan antibodi antinuklear (ANA) dan Antibodi anti-double stranded
DNA (anti-dsDNA). Pemeriksaan serologi ANA merupakan pilihan serologi
pertama pada pasien dengan kecurigaan LES dan dilakukan melalui Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Indirect Immunofluorescence (IIF).
Hasil positif pada pemeriksaan ANA ditemukan pada 95-100% pasien LES,
namun hasil tersebut juga dapat ditemukan pada tuberkulosis, mixed connective
disease (MCTD), artritis rheumatoid dan keganasan.19,20
15
Antibodi anti-double stranded DNA (anti-dsDNA) merupakan salah
satu produk ANA dan dapat dianalisis melalui pemeriksaan ELISA dan IIF.
Pemeriksaan anti-dsDNA memiliki sensitivitas 37-57,3% dan spesifitas 97,4-
100% dalam mendiagnosis LES, namun juga dapat bernilai positif pada induksi
obat, scleroderma, MCTD, artritis rheumatoid, graves disease dan sindrom
sjorgen. Pemeriksaan serologi lain yang memiliki potensi dalam mendiagnosis
LES adalah pemeriksaan antibodi anti-smith, anti-Ro/SSA, anti-La/SSB dan
antibodi antifosfolipid (APL).19–21
II.9. Tatalaksana
Tata laksana pada LN bertujuan untuk mencapai respon komplet ginjal,
mempertahankan fungsi ginjal untuk jangka Panjang, mencegah kekambuhan dan
meningkatkan kesintasan. Pemberian terapi perlu diberikan setelah hasil
pemeriksaan histopatologi dari biopsi ginjal telah didapatkan. Pada umumnya
pemberian terapi pada LN yang dilakukan untuk mengatasi pengaruh terhadap
gejala atau tanda klinis LN dilakukan melalui restriksi protein 0.6-0.8
gram/kgBB/hari bila sudah terdapat gangguan ginjal, pemberian ACE inhibitor dan
ARB untuk mengurangi proteinuria serta mengontrol faktor-faktor risiko dan efek
samping obat. Menurut Indonesian Rheumatology Association (IRA), pemberian
terapi pada LN dapat dilakukan berdasarkan klasifikasi kelas histopatologi LN.1,5,7
Terapi Lupus Nefritis Kelas I
Pada LN kelas I tidak memerlukan terapi spesifik dan pengobatan lebih
diarahkan kepada gejala LES ekstrarenal, sehingga terapi yang diberikan adalah
sesuai dengan manifestasi LES nonrenal.7
Tabel 5. Tatalaksana LES nonrenal berdasarkan derajat LES7
LES derajat ringan LES derajat sedang LES derajat berat
Terapi awal Prednisolon oral 20 Prednisolon oral 0,5 Prednisolon oral 0,5
mg/hari selama 1-2 mg/kgBB/hari dengan mg/kgBB/hari dan injeksi
minggu atau injeksi atau tanpa injeksi Metilprednisolon 500-
Metilprednisolon 80- Metilprednisolon 250 750 mg IV/hari selama 3
120 mg IM/IA. mg IV/hari selama 3 hari. hari atau prednisolon
DAN DAN 0,75-1 mg/kgBB/hari
DAN
16
HCQ 6,5 AZA 1,5-2 mg/kgBB/hari AZA 2-3 mg/kgBB/hari
mg/kgBB/hari dan atau atau MTX 10-25 atau MMF 2-3g/hari atau
MTX 7,5-15 mg/minggu atau MMF 2- MPA 1,44-2,16 g/hari
mg/minggu dan atau 3g/hari atau MPA 1,44- atau skilosporin 2,5
OAINS sesuai gejala 2,16 g/hari atau mg/kgBB/hari atau CYC
skilosporin 2 IV
mg/kgBB/hari DAN
DAN HCQ 6,5 mg/kgBB/hari
HCQ 6,5 mg/kgBB/hari
Pemeliharaan Prednisolon 7,5 Prednisolon 7,5 mg/hari Prednisolon 7,5 mg/hari
mg/hari DAN DAN
DAN HCQ 200 mg/hari HCQ 200 mg/hari
HCQ 200 mg/hari dan DAN DAN
atau MTX 10 AZA 50-100 mg/hari atau AZA 50-100 mg/hari atau
mg/minggu MTX 10 mg/minggu atau MMF 1-1,5 g/hari atau
DAN MMF 1g/hari atau skilosporin 50-100
Penggunaan tabir surya skilosporin 50-100 mg/hari
dan edukasi protektif mg/hari
terhadap sinar UV
Keterangan: AZA: Azatioprin, CYC: Siklofosfamid, HCQ: Hidroksiklorokuin, MMF: Mofetil
Mikofenolat, MTX: Metrotreksat, OAINS: Obat Antiinflmasi Non-Steroid
17
MMF 2g/hari selama 6-12 bulan ATAU CYC 500 mg/2 minggu (6×) atau
atau MMF 1,5g/hari selama 24 CYC 500-1000 mg/m2/bulan IV
bulan atau MPA dengan dosis (6×)
setara
DAN
Metilprednisolon pulse 500-750 ATAU Prednisolon 1 mg/kgBB PO
mg IV (3×), dilanjutkan prednison selama 2-4 minggu, dan
0,5 mg/kgBB/hari PO selama 2-4 diturunkan bertahap selama 6-12
minggu, dan diturunkan bertahap bulan
sampai 10 mg/hari dalam 4-6
bulan
18
Apabila tidak ada perbaikan selama 6 bulan diberikan CYC 500-1000
mg/m2/bulan IV (6×) ditambah dengan kortikosteroid pulse IV (3×), dilanjutkan
dilanjutkan prednison 0,5-1 mg/kgBB/hari. Apabila terdapat perbaikan setelah 6
bulan, dilanjutkan dengan fase lanjutan dengan pilihan terapi berupa:5,7
▪ MMF 1-2 g/hari
▪ AZA 2 mg/kgBB/hari
▪ CYC tiap 3 bulan
Terapi Lupus Nefritis Kelas VI
Pada LN kelas VI dilakukan terapi sebagai penyakit ginjal kronik dan
apabila sudah mengalami End Stage Kidney Disease (ESKD) dilakukan terapi
pengganti ginjal, seperti hemodialisis, dialisis peritoneal atau transplantasi ginjal.5,7
19
II.10. Prognosis
Prognosis pada LN bervariasi terhadap klasifikasi yang timbul. Pada LN
kelas I dan II tidak memiliki penurunan fungsi ginjal yang bermakna sehingga
memiliki prognosis yang baik. Sedangkan pada LN kelas III ke atas memiliki
penurunan fungsi ginjal. Pada LN kelas III dengan keterlibatan glomerulus <50%
dapat memberikan prognosis yang lebih baik, sedangkan dengan keterlibatan
glomerulus >50% dan LN kelas IV memiliki prognosis yang buruk.22
20
BAB V
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
22
14. Rahman A, Isenberg DA. Mechanisms of disease: Systemic Lupus
Erythematosus. N Engl J Med. 2008;358(9):929–39.
15. Asciak R, Rahman NM. Malignant Pleural Effusion: From Diagnostics to
Therapeutics. Clin Chest Med. 2018 Mar 1;39(1):181–93.
16. Straub RH, Buttgereit F, Cutolo M. Alterations of the hypothalamic-
pituitary-adrenal axis in systemic immune diseases - A role for misguided
energy regulation. Clin Exp Rheumatol. 2011;29(5 SUPPL. 68).
17. American Collage of Rheumatology. Guidelines for referral and
management of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum.
1999;42(9):1785–96.
18. Shidham G, Ayoub I, Birmingham D, Hebert P, Rovin B, Diamond B, et al.
Limited Reliability of the Spot Urine Protein/Creatinine Ratio in the
Longitudinal Evaluation of Patients With Lupus Nephritis. Kidney Int
Reports [Internet]. 2018;3(5):1057–63. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ekir.2018.04.010
19. Kavanaugh A, Tomar R, Reveille J, Solomon DH, Homburger HA.
Guidelines for clinical use of the antinuclear antibody test and tests for
specific autoantibodies to nuclear antigens. American College of
Pathologists. Arch Pathol Lab Med. 2000;124:71–81.
20. Agmon-Levin N, Damoiseaux J, Kallenberg C, Sack U, Witte T, Herold M,
et al. International recommendations for the assessment of autoantibodies to
cellular antigens referred to as anti-nuclear antibodies. Ann Rheum Dis.
2014;73(1):17–23.
21. Kavanaugh AF, Solomon DH, Schur P, Reveille JD, Sherrer YRS, Lahita R.
Guidelines for immunologic laboratory testing in the rheumatic diseases:
Anti-DNA antibody tests. Arthritis Care Res. 2002;47(5):546–55.
22. Schwartz N, Goilav B, Putterman C. The pathogenesis, diagnosis and
treatment of lupus nephritis. Curr Opin Rheumatol. 2014;26(5):502–9.
23