Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

LUPUS NEFRITIS: DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA

Pembimbing:
Kolonel (CKM) dr. Noerjanto Rahardjo, Sp.PD, FINASM

Disusun Oleh:
Abimanyu Putera Yudha 2210221037

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RSPAD GATOT SOEBROTO
PERIODE 17 OKTOBER 2022 – 23 DESEMBER 2022
LEMBAR PENGESAHAN

Referat
“Lupus Nefritis: Diagnosis dan Tata Laksana”

Disusun Oleh:
Abimanyu Putera Yudha 2210221037

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


Di SMF Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto
Telah disetujui dan dipresentasikan pada
Tanggal, …………………. 2022

Jakarta, …...............2022
Pembimbing,

Kolonel (CKM) dr. Noerjanto Rahardjo, Sp.PD, FINASM

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya sehingga referat dengan judul “Lupus Nefritis: Diagnosis dan
Tata Laksana” dapat diselesaikan dengan baik salah satu syarat mengikuti kegiatan
kepaniteraan klinik di bagian Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada Kolonel
(CKM) dr. Noerjanto Rahardjo, Sp.PD, FINASM, selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan ilmu dan saran serta menyediakan waktu dalam penyusunan
referat ini. Penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat kepada
pembaca.

Jakarta,
………… 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2
II.1. Anatomi dan Fisiologi Ginjal ................................................................... 2
II.2. Lupus Eritematosus Sistemik dan Lupus Nefritis .................................... 4
II.3. Epidemiologi ............................................................................................ 5
II.4. Etiologi dan Faktor Risiko ....................................................................... 5
II.5. Manifestasi Klinis..................................................................................... 7
II.6. Klasifikasi ................................................................................................. 8
II.7. Patofisiologi............................................................................................ 11
II.8. Diagnosis ................................................................................................ 12
II.9. Tatalaksana ............................................................................................. 16
II.10. Prognosis............................................................................................. 20
BAB V................................................................................................................... 21
KESIMPULAN ..................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan salah satu penyakit


autoimun yang menjadi perhatian dalam bidang reumatologi. LES disebabkan oleh
interaksi kompleks dari berbagai faktor risiko genetik dan lingkungan.
Pembentukan autoantibodi dan kompleks imun abnormal menjadi faktor
mekanisme LES dalam mengakibatkan gejala melalui mekanisme hipersensitivitas
tipe tiga.1,2 Faktor predisposisi pada LES membuat LES cenderung dapat terjadi
terutama pada kelompok individu dengan usia, jenis kelamin dan ras tertentu.
Kelompok individu perempuan pada usia 20 hingga 40 tahun cenderung memiliki
risiko yang lebih tinggi dalam mengalami LES. Secara epidemiologi, kejadian LES
juga semakin meningkat dari 17,9-27,2% di tahun 2015, hingga 30,3-58% di tahun
2017.3,4 LES merupakan penyakit multisistem dengan manifestasi yang bervariasi
dan menyebabkan berbagai komplikasi pada lebih dari satu sistem organ. LES dapat
bermanifestasi pada kulit, muskuloskeletal, jantung, paru, gastrointestinal,
neuropsikiatrik hingga ginjal. Manifestasi LES pada ginjal termasuk pada salah satu
manifestasi yang sering terjadi dan dikenal dengan lupus nefritis.1,5
Lupus Nefritis (LN) merupakan salah satu bentuk komplikasi pada LES
dengan keterlibatan tersering. Keterlibatan ginjal pada LES cenderung meningkat
pada ras Afrika Amerika dan Hispanik atau pada ras kulit hitam dan Asia.6,7 LN
memiliki gejala yang tidak tampak secara langsung, namun memiliki pengaruh
yang besar akibat dari progresivitas penyakitnya. Gejala yang paling berpengaruh
pada LN merupakan manifestasi sekunder akibat dari penurunan fungsi ginjal,
seperti hipertensi dan hipoalbuminemia.6 Pengendalian komplikasi terkait ginjal,
perkembangan diagnosis serta pengobatan imunosupresif menjadi kunci dalam
mengatasi LN. Diagnosis awal pada LN dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan
lab dan ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dan serologi.
Perkembangan diagnosis dan terapi LN telah meningkatkan kemungkinan hidup
penderita sehingga menurunkan mortalitas dan morbiditas.7

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi dan Fisiologi Ginjal


Ginjal atau ren merupakan organ dalam sistem ekskresi yang berfungsi
dalam menjaga homeostasis cairan dan metabolit tubuh. Ginjal terdiri atas sepasang
organ berbentuk kacang dengan ukuran panjang 10-12 cm, lebar 5-7 cm, dan tebal
3 cm dan terletak di rongga retroperitoneal bagian atas. Masing-masing ginjal
memiliki fasies anterior, fasies inferior, margo lateralis, margo medialis,
ekstremitas superior dan ekstremitas inferior. Susunan utama anatomis pada ginjal
adalah nefron yang merupakan truktur kapiler berkelompok yang terdiri atas
glomerulus dan tubulus renalis yang dilingkupi oleh kapsula Bowman. Tiap ginjal
memiliki ±1 juta nefron. Glomerulus terdiri atas arteriol aferen dan sekelompok
kapiler yang dibatasi oleh sel endotel dan dilapisi dengan sel epitel yang
membentuk lapisan kapsula Bowman dan tubulus renalis. Tubulus renalis terdiri
atas tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal.8,9

Gambar 1. Anatomi Ginjal9

2
Gambar 2. Anatomi Nefron Ginjal9
Ginjal memiliki banyak fungsi dalam mengatur homoestasis tubuh, antara
lain regulasi volume cairan ekstraseluler dan tekanan darah, regulasi osmolaritas,
menjaga keseimbangan ion, regulasi homeostatis pH, ekskresi limbah dan produksi
hormon. Dalam menjalankan fungsi fisiologisnya, ginjal memiliki tiga mekanisme
utama dalam sistem ekskresi, yaitu filtrasi, reabsorbsi dan sekresi. Filtrasi
merupakan proses perpindahan cairan dari darah menuju lumen nefron melalui
dinding kapiler endotel dan glomerulus serta kapsul Bowman. Kemampuan filtrasi
pada glomerulus bergantung pada tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik cairan
antara kedua lumen. Banyaknya cairan yang terfiltrasi tiap satuan unit disebut
sebagai Glomerular Filtration Rate (GFR). GFR dipengaruhi oleh tekanan cairan
dan koefisien filtrasi. Tiap harinya terdapat 180 L cairan yang terfiltrasi pada proses
tersebut dan 99% cairan tersebut mengalami proses reabsorbsi. Proses reabsorbsi
pada tubulus ginjal dapat terjadi secara pasif melalui perbedaan osmolaritas cairan
atau secara aktif melalui berbagai transport aktif. Pada proses sekresi terdapat
perpindahan berbagai molekul dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen nefron
melalui bantuan transport aktif. Akhir dari ketiga proses tersebut akan membentuk
cairan berupa urin yang akan diekskresikan melalui proses mikturisi.8,9

3
Gambar 3. Fisiologi Ginjal9

II.2. Lupus Eritematosus Sistemik dan Lupus Nefritis


Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang
mengakibatkan kerusakan pada sel dan berbagai organ yang termediasi oleh
pembentukan autoantibodi dan kompleks imun yang abnormal dan berhubungan
dengan hipersensitivitas tipe III. LES dapat terjadi pada berbagai golongan usia,
jenis kelamin maupun ras, serta mengakibatkan berbagai gejala klinis berdasarkan
sistem organ yang terkena. LES dapat mengenai berbagai sistem organ seperti kulit,
musculoskeletal, vaskular, paru, jantung, gastrointestinal, hematologi, mata, hingga
ginjal.1,2
Lupus Nefritis (LN) merupakan salah satu bentuk manifestasi atau
komplikasi pada LES yang mengenai organ ginjal. LN dapat terjadi akibat dari
deposisi autoantibodi dan kompleks imun abnormal di ginjal sehingga terjadinya

4
gangguan pada ginjal. LN dapat mengakibatkan kerusakan jaringan ginjal yang
dapat mengganggu sistem renal dan dapat mengakibatkan gangguan ginjal.1,2,10,11

II.3. Epidemiologi
Prevalensi LES di Indonesia berdasarkan data dari beberapa rumah sakit
menunjukkan adanya peningkatan kunjungan sebanyak 17,9-27,2% di tahun 2015,
18,7-31,5% di tahun 2016 dan 30,3-58% di tahun 2017. Sedangkan prevalensi LES
di Amerika Serikat menunjukkan sebanyak 241 tiap 100.000 penduduk dengan
insidensi sebanyak 23,2 tiap 100.000 penduduk per tahunnya dan 35% pasien
dewasa dengan LES memiliki keterlibatan dengan nefritis.7
Berdasarkan jenis kelamin, perempuan cenderung lebih berisiko
dibandingkan dengan laki-laki dalam mengalamai LES dengan rasio 2:1 hingga
15:1 namun penderita LES dengan jenis kelamin laki-laki lebih cenderung memiliki
keterlibatan pada ginjal. Sebagian besar individu dengan LES memiliki keterlibatan
dengan ginjal pada usia 20-40 tahun dengan LES sendiri cenderung terjadi pada
dekade ketiga kehidupan. Berdasarkan etnis atau ras, LES lebih cenderung terjadi
pada ras kulit hitam pada afrika amerika dan asia dibandingkan dengan orang kulit
putih, dengan insidensi 31,9 per 100.000 penduduk per tahun pada orang kulit hitam
dan 0,9-4,1 per 100.000 penduduk per tahun pada orang asia. Prevalensi
keterlibatan ginjal juga lebih tinggi pada penderita ras Afrika Amerika dan
Hispanik.3,4

II.4. Etiologi dan Faktor Risiko


Mekanisme terjadi LN berkaitan dengan etiopatogenesis LES. LES
diakibatkan oleh deposisi abnormal autoantibodi dan kompleks imun. Interaksi
antara faktor genetik dan faktor lingkungan dapat mengakibatkan abnormalitas
pembentukan respon imun sehingga terjadi berbagai mekanisme berupa gangguan
pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun, hilangnya toleransi imun,
meningkatnya beban antigentik, bantuan sel T yang berlebihan dan hiperaktivitas
sel B. Terdapat berbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
mekanisme tersebut, antara lain faktor genetik, faktor lingkungan, faktor hormonal
dan faktor stress.2,12

5
Gambar 4. Patogenesis LES dan LN2
Terdapat berbagai faktor genetik yang berperan dalam predisposisi kejadian
LES dan LN. Faktor genetik pada Human Leukocyte Antigens (HLA) mendukung
konsep bahwa gen Major Histocompability Complex (MHC) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Defisiensi komplemen, seperti C2, C4, atau C1q juga berisiko
dalam merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear yang membantu terjadinya deposisi jaringan. Gen-gen lain yang ikut
berperan dalam mengakibatkan LES adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin.2,6,13,14
Tabel 1. Genes Associated with Systemic Lupus Erythematosus6
Lokus Gen Nama Gen Produk Gen
Lymphoid-specific protein
1p13.2 PTPN22
tyrosine phosphatase
1q21-q23 CRP CRP
1q23 FCGR2A, FCGR2B FcγRIIA (R131), FcγRIIB
1q23 FCGR3A, FCGR3B FcγRIIIA (V176), FcγRIIIB
1q31-q32 IL10 IL-10
1q36.12 C1QB C1q deficiency
Signal transducer and
2q32.2-q32.3 STAT4
activator of transcription 4

6
Cytotoxic T-lymphocyte-
2q33 CTLA4 associated protein 4
(CTLA-4)
HLA-DRB1: DR2/1501,
6p21.3 HLA-DRB1
DR3/0301C1q deficiency
6p21.3 C2, C4A, C4B C2, C4 deficiencies
6p21.3 TNF TNF-a (promoter, -308)
10q11.2-q21 MBL2 Mannose-binding lectin

Faktor lingkungan yang menjadi risiko penyebab LES antara lain radiasi
UltraViolet (UV), rokok, obat-obatan, dan infeksi virus atau bakteri. Sinar UV
dapat memperburuk lesi LES melalui peningkatan fragmen nukleus dan respon
inflamasi pada sel mati. Kebiasaan merokok melalui aktivasi makrofag alveolar dan
menginduksi aktivitas myeloperoxidase serta produksi radikal bebas yang
ditemukan dalam asap tembakau. Beberapa produk obat seperti procainamide dan
hydralazine dapat menyebabkan demetilasi DNA, yang dapat memengaruhi
ekspresi berbagai gen yang terlibat dalam perkembangan autoimunitas. Infeksi
virus seperti Epstein-Barr virus (EBV) dapat menginisiasi proliferasi sel B setelah
infeksi dan beberapa protein EBV, seperti antigen nuklir EBV (EBNA)-1 dan
EBNA-2 memiliki sequence homolog yang mirip dengan autoantigen dan antibodi
LES.2,12,13,15
Faktor hormonal, terutama pada perempuan, yaitu hormon estrogen berisiko
mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi
berlebihan pada pasien LES. Faktor lain seperti stress berkaitan erat dengan Aksis
Hypothalamo-Pituitary-Adrenal (HPA) yang merupakan komponen utama dari
sistem stress dan emosional. Peningkatan stress melalui HPA axis dapat berperan
dalam abnormalitas produksi glukokortikoid yang berperan dalam autoreaktif atau
respons imun yang tidak terkendali. Faktor-faktor risiko pada LES tersebut akan
mengakibatkan terjadinya deposisi autoantibodi dan kompleks imun. Deposisi yang
terjadi pada struktur ginjal akan mengakibatkan kerusakan sehingga fungsi ginjal
tergangganggu.12,15,16

II.5. Manifestasi Klinis


Gejala klinis pada LN umumnya dapat berupa asimptomatik. LN umumnya
ditemukan berdasarkan tanda klinis yang didapatkan pada pemeriksaan dengan

7
hasil peningkatan kadar kreatinin serum, kadar albumin rendah, atau protein urin
atau sedimen menunjukkan LN aktif. Gejala yang dapat mungkin terjadi adalah
edema perifer akibat dari hipertensi atau hipoalbuminemia. Gejala lain yang
berhubungan langsung dengan hipertensi dan terkait dengan LN meliputi sakit
kepala, pusing, gangguan penglihatan, dan tanda-tanda dekompensasi jantung.6
Gejala klinis lain yang perlu dipertimbangkan adalah gejala-gejala pada
LES yang lebih tampak. Gejala atau tanda klinis yang terjadi pada antara lain:17
▪ Gejala konstitusional berupa demam, kelelahan dan penurunan berat badan
▪ Gejala neuropsikiatri berupa delirium, psikosis atau kejang dan gangguan
kognitif
▪ Gejala paru jantung berupa kelainan pleura, lesi parenkim paru, pericarditis,
endokarditis dan miokarditis
▪ Gejala gastrointestinal berupa mual muntah dan nyeri abdomen
▪ Gejala hematologi berupa leukopenia, trombositopenia dan anemia
▪ Gejala kulit berupa butterfly/malar rash, fotosensitivitas, lesi membran
mukosa, purpura dan vaskulitis
▪ Gejala muskuloskeletal berupa artritis, artralgia dan miositis

II.6. Klasifikasi
Berdasarkan gambaran histopatologi, International Society of Nephrology
dan Renal Pathology Society (ISN/RPS) mengklasifikasikan LN menjadi enam
kelas, antara lain:1,2,7
❖ Kelas I (Lupus Nefritis Mesangial Minimal)
Gambaran glomeruli normal pada mikroskop cahaya, tapi didapatkan
deposit imun pada pemeriksaan imunofluoresen.
❖ Kelas II (Lupus Nefritis Mesangial Proliferatif)
Gambaran Hiperselularitas mesangial dari berbagai tingkat, ekspansi
matriks mesangial disertai deposit imun mesangial pada mikroskop cahaya.
Pada imunofluoresen atau mikroskop elektron terdapat sedikit deposit subepitel
atau subendotel yang terisolasi.
❖ Kelas III (Lupus Nefritis Lokal)
Gambaran glomerulonefritis pada <50% glomerulus dengan karakteristik
endo atau ekstra kapiler segmental atau global, fokal aktif atau inaktif, dan

8
tipikal dengan deposit imun subendotel fokal, dengan atau tanpa perubahan
mesangial. Berdasarkan lesinya dapat dibagi lagi menjadi:
• Kelas III (A) = Lesi aktif: LN proliferatif lokal
• Kelas III (A/C) = Lesi aktif dan kronis: LN proliferatif fokal dan sklerosis
• Kelas III (C) = Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars) glomerular:
LN fokal sklerosis
❖ Kelas IV (Lupus Nefritis Difus)
Gambaran glomerulonefritis endo atau ekstrakapiler segmental atau global
meliputi >50% dari seluruh glomeruli, difus aktif atau inaktif, tipikal dengan
deposit imun subendotel difus, dengan atau tanpa perubahan mesangial. Kelas
ini dibagi dalam LN segmental difus (IV-S) Ketika >50% glomeruli mempunya
lesi segmental, dan LN global difus (IV-G) dimana >50% glomeruli mempunyai
lesi global. Segmental didefinisikan bila lesi glomerulus meliputi <50%
glomerulus tuft. Berdasarkan lesinya dapat dibagi lagi menjadi:
• Kelas IV-S (A) = Lesi aktif: LN proliferatif segmental difus
• Kelas IV-S (G) = Lesi aktif: LN proliferatif global difus
• Kelas IV-S (A/C) = Lesi aktif dan kronis: LN proliferatif fokal dan sklerosis
segmental difus
• Kelas IV-G (A/C) = Lesi aktif dan kronis: LN proliferatif fokal dan sklerosis
global difus
• Kelas IV-S (C) = Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars)
glomerular: LN sklerosis segmental difus
• Kelas IV-G (C) = Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars)
glomerular: LN sklerosis global difus
❖ Kelas V (Lupus Nefritis Membranosa)
Gambaran deposit imun subepitel global atau segmental, atau sequelae
morfologi dengan atau tanpa perubahan mesangial. LN kelas V dapat terjadi
bersamaan dengan kelas III atau IV. LN kelas V dapat menunjukkan gambaran
sklerosis lanjut.
❖ Kelas VI (Lupus Nefritis Sklerotik Lanjut)
Gambaran 90% glomeruli menunjukkan sklerosis global tanpa aktivitas
residual.

9
Gambar 5. Lesi LN: (A) Lupus Nefritis Fokal dengan lesi nekrosis pada glomerulus, (B)
Lupus Nefritis Difus, (C) Lupus Nefritis dengan lesi “wire loop” berupa deposit kompleks
imun di subendotel, (D) Gambaran Glomerulonefritis pada LN melalui mikroskop elektron 2
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, histopatologi dan serologi
WHO mengklasifikasn LN menjadi lima kelas.7
Tabel 2. Klasifikasi Lupus Nefritis menurut WHO7
Kelas Pola Deposit Sedimen Proteinuria Kreatinin Tekanan Anti- C3/C4
Kompleks Serum Darah dsDNA
Imun
I Normal Tidak ada Tidak <200 mg Normal Normal Negatif Normal
ada
II Mesangial Mesangial Eritrosit/ 200-500 Normal Normal Negatif Normal
Tidak mg
ada
III Fokal dan Mesangial, Eritrosit, 500-3500 Normal Normal Positif Menurun
segmental subendotelial, leukosit mg sampai
proliferatif subepitelial meningkat
sedikit
IV Difus Mesangial, Eritrosit, 1000-3500 Normal Tinggi Positif Menurun
proliferatif subendotelial, leukosit, mg sampai
subepitelial silinder titer
tinggi
V Membranosa Mesangial, Tidak >3000 mg Normal Tinggi Negatif Normal
subepitelial ada sampai
titer
sedang

10
II.7. Patofisiologi
Mekanisme patogenesis LES dan LN merupakan berasal dari interaksi
faktor genetik, lingkungan dan faktor lainnya yang berisiko dalam menyebabkan
reaksi autoimun. Bentuk reaksi yang terjadi dapat berupa aktivasi innate immunity
DNA CpG, DNA pada kompleks imun, DNA atau RNA virus, penurunan ambang
batas atau abnormalitas aktivasi pada adaptive immunity, inefektivitas regulasi sel
T CD4+ dan CD8+, sel B dan myeloid-derived suppressor cell, serta penurunan
pembersihan kompleks imun dan sel apoptosis. Pada keadaan normal, suatu antigen
akan dipresentasikan ke sel T dan menginduksi sel T CD4+ untuk merangsang sel
B menghasilkan autoantibodi dan mendorong diferensiasi sel T CD 8+. Disregulasi
innate immunity dan adaptive immunity pada individu dengan LES menghasilkan
produksi autoantibodi yang abnormal dan dapat terdeposisi pada jaringan tertentu.
Autoantibodi yang paling berperan dalam LES adalah Antinuclear Antibodies
(ANAs) yang dapat bereaksi terhadap DNA (Anti-dsDNA), kromatik, histon, Sm,
SSA/Ro, SSB/La, protein terkait anti-C1q, 74 fosfolipid, molekul sitoplasma,
antigen membran endotel, fragmen komplemen, dan IFN. Deposisi ANAs pada
jaringan tertentu mengakibatkan kerusakan jaringan melalui pembentukan
kompleks imun dan aktivasi Classical Complement Pathway (Hipersensitivitas tipe
III). Pada kasus tertentu ANAs juga dapat berikatan dengan eritrosit, leukosit dan
platelet sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe II atau sitotoksik.1,2,14
Pada LN atau keterlibatan ginjal, ANAs dapat membentuk kompleks imun
patogen intravaskular yang terdeposisi di glomeruli. Autoantibodi tersebut juga
dapat berikatan dengan antigen yang sudah terletak di membran dasar glomerulus
membentuk kompleks imun in situ. Kompleks imun yang terbentuk akan
menghasilkan respon inflamasi melalui aktivasi komplemen dan menarik sel-sel
inflamasi, termasuk limfosit, makrofag, dan neutrofil. Deposit yang menumpuk
pada mesangium dan subendotel secara histopatologis dapat memberikan gambaran
mesangial, proliferatif fokal, dan proliferatif difus dan secara klinis memberikan
gambaran sedimen urin dengan eritrosit, leukosit, silinder sel dan granular,
proteinuria, dan penurunan fungsi ginjal. Pada deposit di subepitelial terjadi
aktivasi komplemen namun tidak terdapat influks sel-sel inflamasi akibat
kemoatraktan yang dipisahkan oleh membran basalis glomerulus, sehingga jejas

11
hanya terbatas pada epitel glomerulus dan memberikan gambaran nefropati
membranosa.1,2,10,11

Gambar 6. Patofisiologi Lupus Nefritis2

II.8. Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pemeriksaan LN terbatas pada gejala-
gejala lain yang timbul pada LES dan faktor risiko yang menjadi penyebab LES.
Penilaian LES dapat dilakukan berdasarkan riwayat atau hasil dari diagnosis LES.
Diagnosis LES dapat dilakukan berdasarkan kriteria American College of
Rheumatology dan European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2019.
Bila hasil total skor didapatkan ≥10 dengan minimal satu kriteria klinis, maka
individu tersebut dapat diklasifikasikan sebagai penderita LES.7

12
Tabel 3. Kriteria klasifikasi ACR/EULAR 20197

• Riwayat titer ANA-ID positif ≥1:80 diperlukan untuk memasukkan pasien ke


dalam klasifikasi LES
• Untuk setiap kriteria, skor tidak dihitung jika terdapat kemungkinan penyebab
selain LES
• Kemunculan satu kriteria minimal satu kali sudah dianggap cukup
• Kriteria tidak perlu terjadi bersamaan
• Dalam setiap domain, hanya kriteria dengan skor tertinggi yang dihitung untuk
skor total
DOMAIN KLINIS POIN
Domain konstitusional
Demam 2
Domain Kulit
Non-scaring alopecia 2
Ulkus oral 2
Lupus kutaneus subakut atau diskoid 4
Lupus kutaneus akut 6
Domain Artritis
Synovitis pada minimal 2 sendi atau nyeri sendi pada minimal 2 6
sendi, dan kekakuan sendi minimal 30 menit
Domain Neurologi
Delirium 2
Psikosis 3
Kejang 5
Domain Serositis
Efusi pleura atau perikardium 5
Perikarditis akut 6
Domain Hematologik
Leukopenia 3
Trombositopenia 4
Hemolisis autoimun 4
Domain Ginjal
Proteinuria >0,5 g/24 jam 4

13
Lupus Nefritis kelas II atau V 8
Lupus Nefritis kelas III atau IV 10
DOMAIN IMUNOLOGI POIN
Domain Antibodi Antifosfolipid
IgG anticardiolipin >40 GPL atau IgG anti -2GP1 >40 unit atau 2
antikoagulan lupus
Domain Protein Komplemen
C3 rendah atau C4 rendah 3
C3 rendah dan C4 rendah 4
Domain Antibodi Spesifik
Antibodi anti-dsDNA 6
Antibodi anti-Smith 6

b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan penanda utama dalam mendiagnosis LN.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
▪ Pemeriksaan Laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan, LN didefinisikan dengan proteinuria
>0,5 g/24 jam atau >3+ pada pemeriksaan dipstick, dan silinder selular termasuk
eritrosit, hemoglobin, granular, tubular, atau kombinasinya. Proteinuria
umumnya diperiksa dengan cara mengukur jumlah protein secara kuantitatif
dengan mengumpulkan urin selama 24 jam. Selain itu juga bisa didapatkan
adanya hematuria dengan >8 eritrosit/LPB dan penurunan fungsi ginjal sampai
30%. Pemeriksaan juga dapat dilakukan melalui rasio protein/kreatinin urine
sewaktu >500mg/g yang setara dengan rasio albumin/kreatinin >300 mg/g.17,18
▪ Pemeriksaan Biopsi Ginjal
Pemeriksaan biopsi ginjal bermanfaat untuk mengidentifikasi
histopatologi dan klasifikasi serta menentukan indeks aktivitas, kronisitas dan
prognosis. Biopsi dilakukan dengan indikasi proteinuria >0,5g dengan atau
tanpa sedimen urin aktif. Biopsy ginjal tidak dilakukan jika didapatkan adanya
kontraindikasi berupa trombositopenia berat, reaksi penolakan terhadap
komponen darah dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi.1,6,7

14
Tabel 4. Indeks Aktivitas dan Kronisitas Lupus Nefritis7
Indeks Aktivitas Definisi Skor
Hiperselularitas Hiperselularitas Endokapiler pada <25% (1+), 25-50% 0-3
Endokapiler (2+), atau >50% (3+) glomerulus
Netrofil Atau Netrofil Atau Karyorrhexis pada <25% (1+), 25-50% 0-3
Karyorrhexis (2+), atau >50% (3+) glomerulus
Nekrosis Fibronoid Nekrosis Fibronoid pada <25% (1+), 25-50% (2+), atau (0-3) × 2
>50% (3+) glomerulus
Deposit Hialin Lesi wire loop dan atau thrombus hialin pada <25% 0-3
(1+), 25-50% (2+), atau >50% (3+) glomerulus
Celluler/Fibrocellular Celluler/Fibrocellular Crescents pada <25% (1+), 25- (0-3) × 2
Crescents 50% (2+), atau >50% (3+) glomerulus
Inflamasi Interstisial Leukosit interstisial pada <25% (1+), 25-50% (2+), atau 0-3
>50% (3+) korteks
Total 0-24
Indeks Kronisitas Definisi Skor
Skor Total Sklerosis global dan atau segmental pada <25% (1+), 0-3
Glomerulonefritis 25-50% (2+), atau >50% (3+) glomerulus
Fibrous Crescents Fibrous Crescents pada <25% (1+), 25-50% (2+), atau 0-3
>50% (3+) glomerulus
Atrofi Tubular Atrofi Tubular pada <25% (1+), 25-50% (2+), atau 0-3
>50% (3+) glomerulus
Fibrosis Interstisial Fibrosis Interstisial pada <25% (1+), 25-50% (2+), atau 0-3
>50% (3+) glomerulus
Total 0-12

▪ Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi bertujuan untuk mengidentifikasi dan
mendiagnosis LES dan LN. Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan yaitu
pemeriksaan antibodi antinuklear (ANA) dan Antibodi anti-double stranded
DNA (anti-dsDNA). Pemeriksaan serologi ANA merupakan pilihan serologi
pertama pada pasien dengan kecurigaan LES dan dilakukan melalui Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Indirect Immunofluorescence (IIF).
Hasil positif pada pemeriksaan ANA ditemukan pada 95-100% pasien LES,
namun hasil tersebut juga dapat ditemukan pada tuberkulosis, mixed connective
disease (MCTD), artritis rheumatoid dan keganasan.19,20

15
Antibodi anti-double stranded DNA (anti-dsDNA) merupakan salah
satu produk ANA dan dapat dianalisis melalui pemeriksaan ELISA dan IIF.
Pemeriksaan anti-dsDNA memiliki sensitivitas 37-57,3% dan spesifitas 97,4-
100% dalam mendiagnosis LES, namun juga dapat bernilai positif pada induksi
obat, scleroderma, MCTD, artritis rheumatoid, graves disease dan sindrom
sjorgen. Pemeriksaan serologi lain yang memiliki potensi dalam mendiagnosis
LES adalah pemeriksaan antibodi anti-smith, anti-Ro/SSA, anti-La/SSB dan
antibodi antifosfolipid (APL).19–21

II.9. Tatalaksana
Tata laksana pada LN bertujuan untuk mencapai respon komplet ginjal,
mempertahankan fungsi ginjal untuk jangka Panjang, mencegah kekambuhan dan
meningkatkan kesintasan. Pemberian terapi perlu diberikan setelah hasil
pemeriksaan histopatologi dari biopsi ginjal telah didapatkan. Pada umumnya
pemberian terapi pada LN yang dilakukan untuk mengatasi pengaruh terhadap
gejala atau tanda klinis LN dilakukan melalui restriksi protein 0.6-0.8
gram/kgBB/hari bila sudah terdapat gangguan ginjal, pemberian ACE inhibitor dan
ARB untuk mengurangi proteinuria serta mengontrol faktor-faktor risiko dan efek
samping obat. Menurut Indonesian Rheumatology Association (IRA), pemberian
terapi pada LN dapat dilakukan berdasarkan klasifikasi kelas histopatologi LN.1,5,7
Terapi Lupus Nefritis Kelas I
Pada LN kelas I tidak memerlukan terapi spesifik dan pengobatan lebih
diarahkan kepada gejala LES ekstrarenal, sehingga terapi yang diberikan adalah
sesuai dengan manifestasi LES nonrenal.7
Tabel 5. Tatalaksana LES nonrenal berdasarkan derajat LES7
LES derajat ringan LES derajat sedang LES derajat berat
Terapi awal Prednisolon oral 20 Prednisolon oral 0,5 Prednisolon oral 0,5
mg/hari selama 1-2 mg/kgBB/hari dengan mg/kgBB/hari dan injeksi
minggu atau injeksi atau tanpa injeksi Metilprednisolon 500-
Metilprednisolon 80- Metilprednisolon 250 750 mg IV/hari selama 3
120 mg IM/IA. mg IV/hari selama 3 hari. hari atau prednisolon
DAN DAN 0,75-1 mg/kgBB/hari
DAN

16
HCQ 6,5 AZA 1,5-2 mg/kgBB/hari AZA 2-3 mg/kgBB/hari
mg/kgBB/hari dan atau atau MTX 10-25 atau MMF 2-3g/hari atau
MTX 7,5-15 mg/minggu atau MMF 2- MPA 1,44-2,16 g/hari
mg/minggu dan atau 3g/hari atau MPA 1,44- atau skilosporin 2,5
OAINS sesuai gejala 2,16 g/hari atau mg/kgBB/hari atau CYC
skilosporin 2 IV
mg/kgBB/hari DAN
DAN HCQ 6,5 mg/kgBB/hari
HCQ 6,5 mg/kgBB/hari
Pemeliharaan Prednisolon 7,5 Prednisolon 7,5 mg/hari Prednisolon 7,5 mg/hari
mg/hari DAN DAN
DAN HCQ 200 mg/hari HCQ 200 mg/hari
HCQ 200 mg/hari dan DAN DAN
atau MTX 10 AZA 50-100 mg/hari atau AZA 50-100 mg/hari atau
mg/minggu MTX 10 mg/minggu atau MMF 1-1,5 g/hari atau
DAN MMF 1g/hari atau skilosporin 50-100
Penggunaan tabir surya skilosporin 50-100 mg/hari
dan edukasi protektif mg/hari
terhadap sinar UV
Keterangan: AZA: Azatioprin, CYC: Siklofosfamid, HCQ: Hidroksiklorokuin, MMF: Mofetil
Mikofenolat, MTX: Metrotreksat, OAINS: Obat Antiinflmasi Non-Steroid

Terapi Lupus Nefritis Kelas II


Pada LN kelas II dengan proteinuria <1g/24 jam tidak memerlukan terapi
spesifik dan Tindakan terapi sesuai dengan manifestasi LES nonrenal. Sedangkan
pada LN kelas II dengan proteinuria >1g/24 jam diberikan kortikosteroid oral dosis
ringan sedang (0,25-0,5 mg/kg/hari) dan atau tanpa azatioprin (AZA) 1-2
mg/kg/hari atau mofetil mikofenolat (MMF) atau inhibitor kalsineurin.1,5,7
Terapi Lupus Nefritis Kelas III & IV
Pada LN kelas III dan IV terbagi menjadi fase induksi dan fase lanjutan.
Fase induksi bertujuan untuk mencapai keadaan remisi aktivitas lupus yang ditandai
oleh resolusi gejala-gejala ekstra renal, manifestasi serologik menjadi lebih baik,
serta resolusi dari hematuria. Pilihan terapi pada fase induksi ialah:1,5,7,22

17
MMF 2g/hari selama 6-12 bulan ATAU CYC 500 mg/2 minggu (6×) atau
atau MMF 1,5g/hari selama 24 CYC 500-1000 mg/m2/bulan IV
bulan atau MPA dengan dosis (6×)
setara
DAN
Metilprednisolon pulse 500-750 ATAU Prednisolon 1 mg/kgBB PO
mg IV (3×), dilanjutkan prednison selama 2-4 minggu, dan
0,5 mg/kgBB/hari PO selama 2-4 diturunkan bertahap selama 6-12
minggu, dan diturunkan bertahap bulan
sampai 10 mg/hari dalam 4-6
bulan

Apabila tidak ada perbaikan selama 3 bulan dilakukan pertukaran


imunosupresan dari MMF ke CYC atau dari CYC ke MMF (2-3 g/hari), ditambah
dengan kortikosteroid pulse IV (3×), dilanjutkan kortikosteroid oral harian. Apabila
terdapat perbaikan setelah 6 bulan, dilanjutkan dengan fase lanjutan dengan
minimal masa terapi selama 3 tahun dan atau 1 tahun setelah remisi. Pilihan terapi
pada fase lanjutan antara lain:5,7
▪ MMF 1-2 g/hari atau MPA dosis setara
▪ AZA 2 mg/kgBB/hari
▪ Inhibitor kalsineurin
▪ CYC tiap 3 bulan
Terapi Lupus Nefritis Kelas V
Pada LN kelas V dengan perubahan proliferatif atau tanpa proteinuria
<3g/24 jam dapat dilakukan terapi sesuai pada terapi LN kelas III dan IV. Namun
pada LN kelas V dengan tanpa perubahan proliferatif atau dengan proteinuria
>3g/24 jam memerlukan tindakan terapi dengan fase induksi dan lanjutan yang
berbeda. Pilihan terapi pada fase induksi dapat berupa:1,5,7,22
MMF 2g/hari selama 6 bulan atau ATAU CYC 500 mg/2 minggu (6×) atau
MPA dengan dosis setara CYC 500-1000 mg/m2/bulan IV
(6×)
DAN (tappering off)
Prednison 0,5 mg/kg/hari selama 6 bulan

18
Apabila tidak ada perbaikan selama 6 bulan diberikan CYC 500-1000
mg/m2/bulan IV (6×) ditambah dengan kortikosteroid pulse IV (3×), dilanjutkan
dilanjutkan prednison 0,5-1 mg/kgBB/hari. Apabila terdapat perbaikan setelah 6
bulan, dilanjutkan dengan fase lanjutan dengan pilihan terapi berupa:5,7
▪ MMF 1-2 g/hari
▪ AZA 2 mg/kgBB/hari
▪ CYC tiap 3 bulan
Terapi Lupus Nefritis Kelas VI
Pada LN kelas VI dilakukan terapi sebagai penyakit ginjal kronik dan
apabila sudah mengalami End Stage Kidney Disease (ESKD) dilakukan terapi
pengganti ginjal, seperti hemodialisis, dialisis peritoneal atau transplantasi ginjal.5,7

Gambar 6. Algoritma Diagnosis dan Tatalaksana Lupus Nefritis5

19
II.10. Prognosis
Prognosis pada LN bervariasi terhadap klasifikasi yang timbul. Pada LN
kelas I dan II tidak memiliki penurunan fungsi ginjal yang bermakna sehingga
memiliki prognosis yang baik. Sedangkan pada LN kelas III ke atas memiliki
penurunan fungsi ginjal. Pada LN kelas III dengan keterlibatan glomerulus <50%
dapat memberikan prognosis yang lebih baik, sedangkan dengan keterlibatan
glomerulus >50% dan LN kelas IV memiliki prognosis yang buruk.22

20
BAB V
KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun akibat


deposisi autoantibodi dan imun kompleks melalui mekanisme hipersensitivitas tiga.
Terdapat berbagai faktor predisposisi dan faktor risiko yang dapat menyebabkan
LES, seperti faktor genetik, lingkungan, hormon dan stress. LES merupakan
penyakit multisistem yang memiliki variasi manifestasi dan tidak mudah diprediksi.
LES dapat menyebabkan berbagai penurunan fungsi organ hingga komplikasi yang
serius. Salah satu bentuk komplikasi LES adalah komplikasi pada ginjal yang
disebut sebagai lupus nefritis.
Lupus Nefritis (LN) merupakan penyakit pada ginjal yang menjadi salah
satu bentuk keterlibatan tersering pada LES. LN memiliki manifestasi yang terbatas
pada hasil lab dengan peningkatan proteinuria >0,5 g/24 jam, namun pada keadaan
tertentu akibat dari penurunan fungsi ginjal, LN dapat memberikan gambaran klinis
berupa gejala-gejala pada hipertensi dan hipoalbumenia. Pemeriksaan
laboratorium, histopatologi dan serologi menjadi merupakan instrumen dalam
menegakkan diagnosis LN dan menentukan klasifikasi. Penentuan klasifikasi LN
bermanfaat dalam perencanaan terapi sehingga didapatkan kesembuhan yang
maksimal.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Bevra Hannahs H. Systemic Lupus Erythematosus. In: Harrison’s Principles


of Internal Medicine Edisi 19. New York: Elsevier; 2015. p. 2124–34.
2. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbin basic pathology. Elsevier. 2015.
125–131 p.
3. Pons-Estel GJ, Ugarte-Gil MF, Alarcón GS. Epidemiology of systemic lupus
erythematosus. Expert Rev Clin Immunol [Internet]. 2017;13(8):799–814.
Available from: https://doi.org/10.1080/1744666X.2017.1327352
4. Rees F, Doherty M, Grainge MJ, Lanyon P, Zhang W. The worldwide
incidence and prevalence of systemic lupus erythematosus: A systematic
review of epidemiological studies. Rheumatol (United Kingdom).
2017;56(11):1945–61.
5. Fava A, Petri M. Systemic lupus erythematosus: Diagnosis and clinical
management. J Autoimmun [Internet]. 2019;96(November):1–13. Available
from: https://doi.org/10.1016/j.jaut.2018.11.001
6. Brent LH. Lupus Nephritis [Internet]. Medscape. 2021 [cited 2022 Nov 3].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/330369-overview
7. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Erimatosus Sistemik. 2019;
8. Silverthorn DU, Johnson BR, Ober WC, Garrison CW, Silverthorn AC.
Human physiology an integrated approach, 6th edition. 2013. 628–649 p.
9. Tortora GJ, Derrickson B. Tortora - Principles of Anatomy & Physiology
13th Edition. Vol. 1 dan 2, penerbit buku kedokteran (EGC). 2017.
10. Anders HJ, Saxena R, Zhao M hui, Parodis I, Salmon JE, Mohan C. Lupus
nephritis. Nat Rev Dis Prim [Internet]. 2020;6(1). Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/s41572-019-0141-9
11. McClure M, Jones R. Update on Lupus Nephritis. Lupus.
2018;27(1_suppl):11–4.
12. Steele M, Lopman B. Pathogenesis and clinical features. Norovirus.
2020;(1909):79–100.
13. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin
Pathol. 2003;56(7):481–90.

22
14. Rahman A, Isenberg DA. Mechanisms of disease: Systemic Lupus
Erythematosus. N Engl J Med. 2008;358(9):929–39.
15. Asciak R, Rahman NM. Malignant Pleural Effusion: From Diagnostics to
Therapeutics. Clin Chest Med. 2018 Mar 1;39(1):181–93.
16. Straub RH, Buttgereit F, Cutolo M. Alterations of the hypothalamic-
pituitary-adrenal axis in systemic immune diseases - A role for misguided
energy regulation. Clin Exp Rheumatol. 2011;29(5 SUPPL. 68).
17. American Collage of Rheumatology. Guidelines for referral and
management of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum.
1999;42(9):1785–96.
18. Shidham G, Ayoub I, Birmingham D, Hebert P, Rovin B, Diamond B, et al.
Limited Reliability of the Spot Urine Protein/Creatinine Ratio in the
Longitudinal Evaluation of Patients With Lupus Nephritis. Kidney Int
Reports [Internet]. 2018;3(5):1057–63. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ekir.2018.04.010
19. Kavanaugh A, Tomar R, Reveille J, Solomon DH, Homburger HA.
Guidelines for clinical use of the antinuclear antibody test and tests for
specific autoantibodies to nuclear antigens. American College of
Pathologists. Arch Pathol Lab Med. 2000;124:71–81.
20. Agmon-Levin N, Damoiseaux J, Kallenberg C, Sack U, Witte T, Herold M,
et al. International recommendations for the assessment of autoantibodies to
cellular antigens referred to as anti-nuclear antibodies. Ann Rheum Dis.
2014;73(1):17–23.
21. Kavanaugh AF, Solomon DH, Schur P, Reveille JD, Sherrer YRS, Lahita R.
Guidelines for immunologic laboratory testing in the rheumatic diseases:
Anti-DNA antibody tests. Arthritis Care Res. 2002;47(5):546–55.
22. Schwartz N, Goilav B, Putterman C. The pathogenesis, diagnosis and
treatment of lupus nephritis. Curr Opin Rheumatol. 2014;26(5):502–9.

23

Anda mungkin juga menyukai