TIM PEMBIMBING
Ns. Akhmad Zainur Ridla S.Kep.,MAdvN Ns. Tinuk Tri Lestari, S.Kep.
NIS. 760019007 NIP. 197605292002122003
Mengetahui,
Kepala Ruang Anturium
OLEH :
Nigitha Novia Permatasari, S.Kep
NIM 212311101122
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Anemia merupakan kondisi klinis akibat kurangnya suplai sel darah merah
sehat, volume sel darah merah dan jumlah hemoglobin. Hipoksia terjadi
karena tubuh kekurangan suplai oksigen. Anemia juga mencerminkan kondisi
patogenik yang mengarah pada abnormalitas jumlah, struktur dan fungsi sel
darah merah dalam tubuh (Joyce & Jane, 2014).
Anemia juga dapat dikatakan sebagai keadaan dimana, masa eritrosit dan
masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh. Secara labolatorium anemia terjadi karena
penurunan kadar hemoglobin serta nilai eritrosit yang tidak normal.
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin
(protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke jaringan menurun. Anemia adalah
istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah dan kadar hematokrit
dibawah normal. anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai
dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah
dibandingkan normal (Soebroto, 2010).
3
1.2. Anatomi Fisiologi
4
a. Eritrosit (Sel Darah Merah)
5
oleh tubuh, misal virus atau bakteri. Secara rinci, fungsi dari masing-
masing jenis lekosit adalah:
1.3.Epidimiologi
Anemi merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat yang sering
dijumpai diseluruh dunia, terutama dinegara berkembang seperti indonesia.
Penduduk dunia yang mengalami anemia berjumlah sekitar 30% atau 2,20
miliar orang dengan sebagian besar diantaranya tinggal pada daerah yang
tropis. Prevalensi anemia secara global sekitar 51% (suryani dkk, 2015).
Terdapat 1,62 miliyar penduduk dunia mengalami anemia (24,8%) dengan
prevalensi tertinggi terdapat di Asia Tenggara, Afrika Tenggara, dan Afrika
Barat. Kurang lebih terdapat 370 juta wanita di berbagai negara berkembang
menderita anemia defisiensi zat besi dengan 41% diantaranya wanita tidak
6
hamil. Sedangkan prevalensi anemia di India menunjukkan angka kejadian
anemia pada remaja putri sebesar 45%. Prevalensi anemia di Indonesia sendiri
masih terbilang cukup tinggi (Fakhidah & Putri, 2016). Kemenkes RI (2013)
menunjukkan angka prevalensi anemia secara nasional pada semua kelompok
umur adalah 21,70%. Prevalensi anemia pada perempuan relatif lebih tinggi
(23,90%) dibanding laki-laki (18,40%). Prevalensi anemia berdasarkan lokasi
tempat tinggal menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di pedesaan
memiliki risisko lebih tinggi (22,80%) dibandingkan tinggal di perkotaan
(20,60%) (Priyanto 2018). Prevalensi anemia di Indonesia cenderung
mengalami peningkatan setiap tahunnya. berdasarkan data Riskesdas tahun
2007, prevalensi anemia sebesar 11,9%. Di Indonesia salah satu penyebab dari
terjadinya anemia itu sendiri karena penggunaan pestisida. Pestisida
merupakan bahan yang digunakan secara luas diberbagai sektor, terutama
disektor pertanian tau perkebunan, kehutanan, perikanan, dan pertanian
pangan (Arwin N. M, Suyud. 2016).
1.4.Etiologi
Anemia merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh berbagai
macam penyebab. Berdasarkan penyebabnya anemia dapat dibedakan menjadi
4 yaitu (Black J & Hawks J, 2014):
A. Akibat Penurunan Produksi Eritrosit
1. Anemia Aplastik terjadi akibat kegagalan produksi, supresi atau
destruksi sel induk di dalam sumsum tulang yang menyebabkan
penurunan produksi eritrosit, leukosit dan trombosit (pansitopenia).
Sumsum tulang menunjukkan penurunan yang nyata pada selularitas.
7
3. Anemia penggantian sumsum (leukoeritroblastik) akibar dari
terkenanya rongga sumsum tulang oleh neoplasma metastatik, limfoma
atau leukimia, penyakit granulomatosa diseminata (misalnya
tuberkulosis), ribrosa atau abses multipel memindahkan dan
menggantikan unsur-unsur sumsum normal. Penggantian sel-sel
sumsum yang berproliferse dengan derajat mamadai dapat
mengakibatkan anemia, leukopenia atau trombositopenia.
4. Anemia megaloblastik adalah bagian anemia makrositik yang terjadi
karena kelainan maturasi fase eritropoiesis dalam sumsum tulang.
Mengakibatkan prekursor eritroid membesar dan menunjukkan
kegagalan maturasi inti (Black J & Hawks J, 2014).
5. Anemia pernisiosa adalah bentuk anemia megaloblastik yang
disebabkan oleh kekurangan vitamin B12.
6. Anemia defisiensi besi adalah penyebab anemia tersering diseluruh
dunia. Anemia defisiensi besi sering terjadi karena infeksi cacing
tambang. Keseimbangan besi normal diatur terutama oleh perubahan
pada absorpsi besi dalam usus untuk menyesuaikan kehilangan zat besi
normal didalam tubuh akibat sekresi, sel-sel tereksfoliasi dan darah
menstruasi. Besi plasma berkompleksi dengan protein transferin
pengikat besi. Plasma normal memiliki transferin yang cukup (kapasitas
pengikat besi) untuk mengikat 250-400 µg besi desiliter darah. Pada
orang dewasa normal, sekitar 30% transfersin mengalami saturasi, besi
plasma normal adalah sebesar 50-150 µ/dl.
7. Anemia penyakit kronik terjadi akibat dari komplikasi penyakit kronik
(misal, infeksi kronik, penyakit kolagen dan neoplasma ganas). Anemia
pada kasus ini disebabkan oleh kegagalan pengankutan cadang besi
menuju plasma dan menuju eritrosit yang sedang berkembang. Han ini
menyebabkan kegagalan hemoglobinisasi dan anemia.
8. Anemia akibat gagal ginjal kronik biasanya terjadi pada pasien gagal
ginjal kronik karena mengalami anemia normokrom normositik yang
disebabkan oleh kegagaln sekresi eritropoietin normal oleh ginjal.
8
Sumsum tulang dapat menunujukkan hipoplasia ringan pada rangkaian
eritroid.
9. Anemia sideroblastik ditandai dengan gambaran eritrosit darah tepi
yang hiprokomik, mikrositik atau dimorfik. Gambaran darah tepi
dimorfik adalah gambaran yang memiliki campuran eritrosit hipokrom
mikrositik dan eritrosit hipokrom makrositik.
C. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah kondisi dimana hancurnya eritrosit lebih
cepat dibandingkan dengan penbentukannya. Anemia hemolitik
disebabkan oleh peningkatan kecepatan destruksi eritrosit yang diikuti
dengan ketidakmampuan sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit
9
untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit.
Penghancuran sel eritrosit yang berlebih dapat menyebabkan terjadinya
hiperplasi sumsum tulang shingga prosuksi sel eritrosit akan meningkat
dari angka normalnya. Hal ini terjadi apabila umur eritrosit kurang dari
120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia. Namun bila
sumsum tulang tidak mampu mengatasi kedaan tersebut akan
mengakibatkan anemia (Reni & Dwi. 2018).
1.5.Klasifikasi
Anemia diklasifikasikan menjadi dua golongan, diantaranya yaitu:
1. Klasifikasi anemia berdasarkan etiologi
Anemia disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (Black J & Hawks J,
2014):
a. Penurunan produksi sel darah merah
Pembuatan sel darah merah akan terganggu apabila zat gizi yang
diperlukan tidak mencukupi. Usia sel darah merah pada umumnya 120
hari dan jumlah sel darah merah harus dipertahankan. Zat yang
10
dibutuhkan oleh sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin
antara lain yaitu vitamin (B12, B6, C, E, asam folat tiamin, riboflavin,
asam pantotenat), protein, dan hormon (eritropoetin, androgen dan
tiroksin). Prosuksi sel darah merah dapat terganggu karena pencernaan
yang tidak berfungsi dengan baik (malabsorpsi) atau kelainan lambung
sehingga zat gizi penting tidak dapat diserap (Sudargo & Hidayati.
2018).
b. Peningkatan kecepatan penghancuran darah (hemolisis)
c. Kehilangan darah
Pada wanita dewasa biasanya kehilangan darah dalam jumlah banyak
terjadi karena menstruasi. Menstruasi menyebabkan kehilangan zat
besi 1 mg/hari pada perempuan, sedangkan wanita hamil (aterm)
sekitar 900mg zat besi dibutuhkan oleh janin dan plasenta yang
diperoleh dari ibu hamil serta pendarahan waktu partus merupakan
penyebab anemia paling sering pada masa ini (Sudargo & Hidayati.
2018).
2. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi
Berdasarkan gambaran morfologi, anemia diklasifikasikan menjadi tiga
jenis, yaitu:
a. Anemia Normositik Normokromik
Anemia normositik normokromik disebabkan karena terjadi
pendarahan akut, hemolisis dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik
pada sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah eritrosit dan tidak
disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin dengan indeks
eritrositnya yaitu (MCV 80-95fl, MCH 27-34 PG).
b. Anemia Makrositik Hipokromik
Anemia yang terjadi karena ukuran eritrosit yang lebih besar dari nilai
normal dan hiperkromik karena konsentrasi hemoglobin lebih normal
(indeks eritrosit: MCV>95fl). Biasanya ditemukan pada anemia
megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat), serta ditemukan
11
pada anemia mikrositik non-megaloblastik (penyakit hari dan
myelodisplasia).
c. Anemia Mikrositik Hipokromik
Anemia yang terjadi karena ukuran eritrosit yang lebih kecil dari nilai
normal dan mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari
nilai normal (indeks eritrosit: MCV<80fl, MCH<27 pg). Biasanya
terdapat penyebab dari terjadinya anemia mikrositik hipokromik, yaitu:
1. Berkurangnya zat besi: Anemia Defisiensi Besi
2. Berkurangnya Sintesis Globin: Thalasemia dan Hemoglobinopati
3. Berkurangnya Sintesis Heme: Anemia Sideroblastik
1.6.Patofisiologi
Transpor oksigen akan terganggu oleh anemia. Kurangnya hemoglobin atau
rendahnya jumlah sel darah merah, menyebabkan kurangnya pasokan oksigen
ke jaringan dan meyebabkan hipoksia. Tubuh berusaha mengompensasi
hipoksia jaringan dengan meningkatkan kecepatan produksi sel darah merah,
meningkatkan curah jantung dengan meningkatkan volume atau frekuensi
denyut jantung, distribusi ulang darah dari jaringan yang membutuhkan sedikit
oksigen ke daerah yang membutuhkan banyak oksigen, serta menggeser kurva
disosiasi hemoglobin oksigen ke arah kanan untuk mempermudah pelepaan
oksigen ke jaringan pada tekanan parsial oksigen yang sama (Black J &
Hawks J, 2014)
12
Manifestasi yang menyertai timbulnya anemia adalah akibat dari tubuh yang
berkreasi terhadap hipoksia. Gejala yang muncul bervariasi tergantung dengan
tingkat keparahan dan kecepatan hilangnya darah, lamanya anemia yang
diderita, usia, dan adanya kelainan yang lain. Kadar hemoglobin (HB)
biasanya digunakan untuk melihat tingkat keparahan dari anemia. Orang
dengan anemia ringan (kadar HB 10-14 g/dl) biasanya asimtomatis. Gejala
klinis muncul biasanya akibat dari kerja yang terlalu keras. Orang dengan
anemia sedang (kadar HB 6-10 g/dl) biasanya terjadi dispnea, demam,
diaforesi (keringat berlebih) saat beraktifitas dan kelelahan. Beberapa orang
dengan anemia berat (kadar HB kurang dari 6 g/dl) biasanya pada orang
dengan gagal ginjal kronik dan asimtomatis karena anemia yang terjadi secara
bertahap. Pemeriksaan eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit untuk
melihat adanya anemia. Spesimen sumsum dilakukan untuk menentukan tipe
dari anemia. Serta asupan perifer atau darah tepi (indeks eritrosit) digunakan
untuk menentukan ukuran dari eritrositnya itu sendiri (Black J & Hawks J,
2014).
1.8.Pemeriksaan Penunjang
Menurut Tarwoto (2010) pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
1.8.1 Pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin (Hb)
13
1. Mean Corpusculer Volume (MCV) adalah volume rata-rata eritrosit,
MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan
pada saat anemia mulai berkembang. MCV ini salah satu indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia
penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit
dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70
fl dan makrositik > 100 fl.
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah
yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter
lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi
dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak
kentara. Kenaikan nilai RDW salah satu manifestasi hematologi paling
awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh
14
transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya
RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila
disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik.
Nilai normal 15 %.
Besi serum ini peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta
menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh.
Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan
spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah
kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok,
pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai
kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi
yang spesifik.
15
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan
suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh
transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin
umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator
status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum
feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh
transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan
kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa
diikat secara khusus oleh plasma
i. Serum Feritin
1.9.Penatalaksanaan Medis
Dalam penangnanan anemia tujuan utamanya untuk menidentifikasi dan
perawatan yang dikarenakan terjadinya destruksi sel darah atau penurunan
produksi sel darah merah. Sedangkan penanganan pada pasien yang
mengalami hipovelemik antara lain:
16
1) pemberian tambahan oksigen, pemberian cairan intravena,
2) resusitasi pemberian cairan kristaloid dengan normal salin.
3) tranfusi kompenen darah sesuai indikator
Terapi yang diberikan pada pasien dengan anemia dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut (Black J & Hawks J, 2014):
1. Terapi Oksigen : diberikan kepada klien dengan anemia berat, karena
darah mengalami penurunan mengikuti oksigen. Oksigen dapat
mencegah hipoksia dan mengurangi beban jantung karena rendahnya
kadar HB
2. Eritripoetin : injeksi eritropoetin dari subkutan diberikan kepada pasien
anemia kronik, karena obat ini akan membantu meningkatkan produksi
sel darah merah. supaya terapi ini efektif, pasien diharuskankan
memiliki sumsul tulang yang normal dan asupan nutrisi yang memadai.
3. Penggantian zat besi : zat besi ni diberikan per oral pada kebuthan yang
segera atau pada saat kebutuhan tubuh diatas normal (biasanya pada
kehamilan). pemberian per oral ini dilakukan karena mudah dan
harganya yang relatif murah. Biasanya obat yang digunakan yaitu fero
sulfat (feosol) atau fero glukanat (fergon), 200-325 mg dosis dengan
melalui oral ¾ kali pemberian/hari setelah makan. konsumsi zat besi
dengan vitamin C akan membantu penyerapan dari zat besi. pasien
biasanya menerima suplementasi zat besi selama 6 bulan agar dapat
disimpan dalam tubuh. efek samping dari hal tersebut biasanya terjadi
mual, muntah, konstipasi atau diare dan feses berwarna hitam.
4. Terapi komponen darah: terapai ini digunakan untuk terapi penyakit
hematologi dan beberapa prosedur bedah yang bergantung pada
produksi darah. produksi darah yang didapatkan dari orang lain disebut
homolog, sedangkan prosuksi darah yang diinfuskan kembali daru
tubuh pasien sendiri disebut autolog.
17
1.10 Komplikasi
1.11 Prognosis
Terdapat beberapa prognosis yang dapat ditimbulkan salah satunya
prognosis baik yang muncul apabila anemia nya hanya karena kekurangan
besi dan penyebabnya diketahui lalu kemudian dilakukan penanganan
yang adekuat. Pemberian preparat besi dapat memperingan gejala dan
manifestasi klinis.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan perlu diperhatikan dan
dipertimbangkan beberapa kemungkinan antara lain :
a. Dosis obat yang tidak adekuat
b. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
c. Diagnosis salah
d. Gangguan absorpsi saluran pencernaan seperti pemberian antasid
dengan dosis berlebihan pada pasien ulkus peptikum sehingga dapat
menyebabkan pengikatan terhadap besi
e. Perdaraharan yang tidak terlihat atau tidak nampak dan tidak teratasi
sehingga berlangsung menetap
f. Pasien dengan penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian
besi seperti infeksi, penyakit hati, keganasan, penyakit ginjal, tiroid
18
1.12 Pathway
- Agen neoplastik
- Radiasi
- 0bat-obatan
- Infeksi
Gangguan Hemapoetik
Intoleran Cardiomegali
Defisit Nutrisi
aktivitas Devisit
perawatan diri
Gagal jantung
RIsiko jatuh/Risiko ceder
19
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Identitas Pasien
Anemia lebih sering terjadi pada umur 14-15 tahun (WHO 2011),
sedangkan menurut jenis kelamin Kemenkes RI (2013) menunjukkan angka
prevalensi anemia pada perempuan relatif lebih tinggi (23,90%) dibanding
laki-laki (18,40%), prevalensi anemia berdasarkan lokasi tempat tinggal
(alamat) menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di pedesaan
memiliki risisko lebih tinggi (22,80%) dibandingkan tinggal di perkotaan
(20,60%) (Priyanto 2018). Penyebab penyakit anemia salah satunya yaitu
penggunaan pestisida, karena pestisida merupakan bahan yang digunakan
secara luas diberbagai sektor, terutama disektor pertanian atau perkebunan,
kehutanan, perikanan, dan pertanian pangan (Arwin N. M, Suyud. 2016),
Diagnosa medis biasanya yang terjadi pada anemia salah satunya yaitu
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, keletihan, risiko
infeksi.
B. Clinical History
1. Diagnosa Medis
Diagnosa medis yang sering terjadi pada penyakit anemia seperti
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, keletihan,
risiko infeksi, intoleran aktifitas, resiko jatuh, defisit perawatan diri dan
gangguan pertukaran gas
2. Keluhan utama
Pasien dengan penyakit anemia biasanya keluhan yang paling khas
adalah pusing, pucat, kelelahan dan kelemahan
3. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan pengembangan dari keluhan
utama pasien dengan menggunakan metode PQRST.
20
P (paliatif/profokatif) : sesuatu yang membuat keluhan menjadi berat atau
ringan
Q (quality) : bagaimana keluhan yang dirasakan (pada anemia, klien
bisanya merasakan lemas dan tidak bisa melakukan aktivitas seperti
biasa)
R (Ronsil) : tempat keluhan dirasakan (biasanya pasien mengeluhkan
mula, muntah)
S (scale) : seberapa besar keluhan dirasakan
T (timing) : kapan keluhan dirasakan
C. Pola Fungsingonal
1. Pola persepsepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan klien, keadaan sehat dan
bagaimana memeliharaan kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu
tentang status dan riwayat kesehatan, hubungan dengan aktiv dan rencana
yang akan datang serta usaha-usaha preventif yang dilakukan klien untuk
menjaga kesehatannya.
2. Pola nutrisi metabolik
a. Makan
21
Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diet, porsi makan, riwayat alergi
terhadap suatu jenis makanan tertentu. pada klien anemia, bisanya
mengalami penurunan nafsu makan karena badan yang terasa lemas
b. Minum
Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari dan tidak ada
perubahan pada pola minum pada pasien
c. Pola eliminasi
Meliputi kebiasaan BAK dan BAB, warnanya, konsisten, frekuensi
dan bau baik sebelum masuk kerumahan sakit atau saat masuk rumah
sakit. klien anemia tidak mengalami perubahan dalam pola
eliminasinya
d. Pola aktivitas
Dikaji tentang kegiatan dalam pekerjaan, mobilisasi, ola raga,
kegiatan diwaktu luang dan apakah keluhan yang dirasakan klien
mengganggu aktivitas klien tersebut. Aktivitas pada klien anemia
biasanya terganggu karena pola istirahat yang tidak teratur, keletihan
atau kelemahan yang dialami klien.
22
Menggambarkan : body image, identitas diri, harga diri, peran diri,
ideal diri dan klien dengan riwayat penyakit anemia biasanya
menginginkan kesmbuhan supaya dapat beraktivitas kembali seperti
biasanya
h. Pola peran hubungan sosial
Menggambarkan : pola hubungan keluarga dan masyarakat, masalah
keluarga dan masyarakat, peran dan tanggung jawab dalam keseharian
akan terganggua karena keadaan yang lemah dan tidak bisa
beraktivitas seperti biasanya.
i. Pola koping toleransi stres
koping yang didapatkan klien biasanya dukungan dari keluarga dan
kedekatan keluarga kepada klien.
j. Pola seksual dan reproduksi
Meliputi hubungan klien dengan keluarga (orang tua), mempunya
berapa saudara dan termasuk anak keberapa. Hubungan keluarga dan
klien bisanya lebih dekat karena keadaan klien yang membutuhkan
kehadiran keluarga.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Pada Pasien anemia, aktivitas dalam beribadah sedikit terganggua
karena klien mengalami lemas.
23
Inspeksi : kedua mata simetris, mata terlihat sayu dan berwarna
merah, konjungtiva merah muda, terdapat kotoran pada sudut-sudut
mata.
c. Telinga
Inspeksi : kedua telingan simetris, tidak terlihat keluarnya serumen
pada kedua telinga, tidak terdapat jejas dan benjolan pada kedua
telinganya
Palpasi : tidak terdapat massa, tidak ada nyeri tekan telinga
d. Hidung
Inspeksi : hidung terlihat simetris, tidak terlihat keluar lendir pada
hidung, dari kedua lubang hidung tidak tampak kotoran, tidak tampak
cuping hidung.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada hidung, tidak teraba benjolan
klien.
e. Mulut
Inspeksi: klien tidak menggunakan gigi palsu, lidah tampak kotor, gigi
tampak kotor, mukosa bibir tampak kering.
f. Leher
Inspeksi: tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak tampak jejas
dan massa.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan pada leher.
g. Dada
Jantung:
Inspeksi: dada terlihat simetris , tidak tampak massa, tidak tampak
ictus cordis.
Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan, teraba ictus cordis.
Perkusi: pekak pada batas jantung.
Auskultasi: terdengar S1 dan S2 tunggal.
Paru:
Inspeksi: dada terlihat simetris,pengembangan dada simetris .
24
Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus
normal.
Perkusi: sonor pada lapang paru.
Auskultasi: tersengar vesikuler.
Payudarah dan ketiak:
Inspeksi : tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tidak
tampak benjolan.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.
h. Abdomen
Inspeksi: perut tampak datar, tidak tampak jejas dan benjolan.
Askultasi: bising usus 14x/menit.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa, tidak teraba
hepatomegaly.
Perkusi: timpani pada batas lambung.
i. Genetalia dan Anus
Tidak terkaji
j. Ekstremitas
Inspeksi: pasien tampak lemah dan mengurangi aktivitas.
Palpasi: penderita anemia umumnya tidak terdapat nyeri tekan, dan
tidak ada krepitasi pada kedua tangan.
k. Kulit dan kuku
Kulit Inspeksi: warna merata, tidak ada jaringan parut, tidak ada lesi,
kuku bersih dan pendek
Palpasi: akaral hangat, suhu 36℃
l. Keadaan lokal
Tidak ditemukan adanya kelainan fisik pada klien, klien
tampak sedikit khawatir jika dibicarakan indikasi yang akan
dijalankan.
25
Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang besar pada diagnosasis
anemia, dan terapi sangat berguna dalam menentukan prognosis dan
pengambilan keputusan untuk intervensi spesifik.
b. Kultur
Kultul dan uji resistensi bila diperlukan
c. Terapi
Dengan diberikan obat Methylprednisolone
Defisit nutrisi
2. Anemia Keletihan b.d kelesuan fisiologis
dan kelesuan fisik
26
Aliran darah perifer menurun
Keletihan
3. Anemia Intoleran Aktivitas b.d Fisik tidak
bugar
Aliran darah perifer menurun
Hipoksia pucat
Intoleran aktivitas
4. Anemia Risiko Jatuh b.d Hambatan
mobilitas
Aliran darah perifer menurun
27
Hipoksia pucat
Intoleran aktivitas
Risiko Jatuh
5. Anemia Defisit Perawatan Diri: makan b.d
Kelemahan
Aliran darah perifer menurun
Keletihan
28
No. Diagnosa Tujuan Intervensi
29
dari skala 2 (cukup memburuk) ke makanan siap saji)
skala 5 (membaik) 4. Monitor hasil laboratorium (kadar kolesterol,
Status Nutrisi: Energi (L.03030) albumin serum, kreatin, hemoglobin, elektrolit
1. Porsi makan yang dihabiskan darah)
ditingkatkan dari skala 2 (cukup 5. Hitung perubahan berat badan
menurun) ke skala 5 (meningkat) 6. Dokumentasikan pemantauan
2. Verbalisasi keinginan untuk 7. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
meningkatkan nutrisi ditingkatkan
dari skala 2 (cukup menurun) ke
skala 5 (meningkat)
3. Berat badan indeks massa tubuh
(IMT) ditingkatkan dari skala 2
(cukup menurun) ke skala 5
(meningkat)
4. Nafsu makan ditingkatkan dari
skala 2 (cukup menurun) ke skala 5
(meningkat)
5. Pengetahuan tentang pemilihan
30
makanan yang sehat di tingkatkan
dari skala 2 (cukup menurun) ke
skala 5 (meningkat)
31
skala 5 (menurun) aktivitas yang sesuai dengan kemampuan
4. Gelisah diturunkan dari skala 2 pasien
(cukup meningkat) ke skala 5
(menurun) Manajemen Lingkungan (L.14514)
5. Pola istirahat ditingkatkan dari 1. Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien
skala 2 (cukup memburuk) ke skala 2. Berikan kamar terpisah seperti yang
5 (membaik) diindikasikan
3. sediakan tempat tidur dan lingkungan yang
bersih dan nyaman
4. Sediakan kasur yang kokoh
32
(cukup meningkat) konsisten sesuai kemampuan fisik,
2. Saturasi oksigen ditingkatkan dari psikologis, dan social
skala 2 (cukup menurun) ke skala 4 4. Jadwalkan aktivitas secara rutin
(cukup meningkat) 5. Anjurkan melakukan aktivitas fisik,
3. Kemudahan dalam melakukan social, spiritual, dan kognitif untuk
aktifitas sehari-hari ditingkatkan menajaga fungsi dan kesehatan
dari skala 2 (cukup menurun) ke 6. Kolaborasi dengan terapis okupasi
skala 4 (cukup meningkat) dalam merencanakan dan memonitor
program aktivitas
33
4. Jelaskan jenis latihan yang sesuai dengan
kondisi kesehatan
5. Ajarkan teknik pernafasan yang benar untuk
memaksimalkan penyerapan oksigen selama
latihan
34
diturunkan dari skala 2 (cukup licin
meningkat) ke skala 5 (menurun)
4. Gangguan mobilitas diturunkan Manajaemen Keselematan Lingkungan
dari skala 2 (cukup meningkat) ke (I.14513)
skala 5 (menurun) 1. Identifikasi kebutuhan keselamatan (kondisi
5. Pola istirahat/tidur ditingkatkan fisik, kognitif, riwayat perilaku)
dari skala 2 (cukup memburuk) ke 2. Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan
skala 5 (membaik) pasien
3. Modifikasi lingkungan untuk meminimalisir
bahaya sekitar
4. Sediakan alat bantu keamanan lingkungan
(pengangan tangan dan commode chair)
5. Fasilitasi relokasi lingkungan yang aman
6. Ajarkan individu, keluarga dan kelompok
risiko tinggi bahaya lingkungan
5. Defisit Perawatan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Perawatan Diri (I.11348)
Diri (D.0109): keperawatan selama 3x24 jam 1. Monitor tingkat kemandirian
makan b.d diharapkan: 2. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan
Kelemahan
35
Kriteria Hasil diri, berpakaian, berhias dan makan
3. Sediakan lingkungan yang terapeutik
Perawatan Diri (L.11103)
4. Dampingi dalam melakukan perawatan diri
1. Kemampuan makan ditingkatkan
sampai mandiri
dari skala 2 (cukup menurun) ke
5. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
skala 5 (meningkat)
6. Anjurkan melakukan perawatan diri secara
2. Verbalisasi keinginan melakukan
konsisten sesuai kemampuan
perawatan diri ditingkatkan dari
skala 2 (cukup menurun) ke skala 5
(meningkat)
3. Mempertahankan kebersihan diri
ditingkatkan dari skala 2 (cukup
menurun) ke skala 5 (meningkat)
4. Kemampuan ke toilet (BAB/BAK)
ditingkatkan dari skala 2 (cukup
menurun) ke skala 5 (meningkat)
36
3.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan sesuai
dengan intervensi yang telah dibuat. Tahap pelaksanaannya dimulai
setelah rencana keperawatan disusun sesuai dengan kebutuhan pasien dan
diharapkan dapat membantu pasien mencapai tujuan yang diharapkan.
Implementasi keperawatan dilakukan dalam beberapa tahapan
diantaranya adalah persiapan pasien, tahap awal tindakan yang akan
diberikan kepada pasien sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.
Selanjutnya tahap intervensi yaitu berfokus pada tindakan perawatan dari
perencanaan yang telah dibuat untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun
emosionalnya, tahap terakhir adalah mendokumentasikan pelaksanaan
tindakan keperawatan harus dicatat lengkap dan sistematis sesuai urutan
dari pelaksanaan tindakan (Basri dkk., 2020).
37
4. P (planning) merupakan rencana ditambah, atau dimodifikasi,
intervensidihentikan, dilanjutkan.
5. I (Implementasi) merupakan tindakan keperawatan yang
dilakuakan sesuai dengan rencana yang telah di susun pada
intervensi.
6. E (Evaluasi) merupakan respon klien settelah dilakukan tindakan
implementasi.
38
5. Diharapkan jika terjadi komplikasi atau masalah yang muncul
setelah perawatan di rumah untuk segera membawa ke Rumah
Sakit untuk dilakukanpemeriksaan lanjutan.
39
Daftar Pustaka
Arwin N. M, Suyud. 2016. Pajanan Pestisida dan Kejadian Anemia Pada Petani
Holistik Di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. BKM Journal Of
Community Medicine And Public Healt Vol 32 No 7
Astutik R.Y, Ertiana D. 2018. Anemia Dalam Kehamilan. Jember: Pustaka Abadi
Kemenkes RI. 2013. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI
Suryani, D., Hafiani, R., & Junita, R. (2015). Analisis pola makan dan anemia gizi
besi pada remaja putri Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Andalas, 10(1), 11– 18.
40
Silalahio V, Aritonang E, Ashar T. 2016. Potensi Pendidikan Gizi Dalam
Meningkatkan Asupan Gizi Pada Remaja Putri Yang Anemia Di Kota
Medan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol 11 No 2
41