Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan retrovirus yang

menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4

positive T-sel dan makrofag komponen-komponen utama sistem

kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi

virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang

terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh.

Sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)

menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan

menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah ditetapkan sebagai

penyebab AIDS, tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi

tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi

AIDS (Djoerban, Djauzi, 2009)

Human Immunodeficency Virus / Acquired Immune Deficiency

Syndrome (HIV/AIDS) adalah masalah besar yang mengancam Indonesia

dan banyak negara di seluruh dunia. Indonesia merupakan Negara

dengan percepatan peningkatan epidemi HIV yang tertinggi di Asia.

Secara nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi dewasa

1
2

adalah 0,2% dengan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia

sekitar 190.000-400.000.(Kemenkes RI, 2014)

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi akibat infeksi kuman

Mycobacterium yang bersifat sistemis (menyeluruh) sehingga dapat

mengenai hampir seluruh organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru-

paru yang biasanya merupakan lokasi pertama kali terjadi. (Kapita Selekta

Kedokteran, 2000) penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit kronis

(menahun) telah lama dikenal masyarakat luas dan ditakuti, karena

menular. Namun demikian Tuberkulosis dapat disembuhkan dengan

memakan obat anti TB dengan benar yaitu teratur sesuai petunjuk dokter

atau petugas kesehatan lainnya. (Depkes RI, 2003)

Tuberkulosis merupakan penyebab kematian ke-3 terbanyak di

Indonesia. Jumlah penderita TB paru dari tahun ke tahun di Indonesia

terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TB

paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru TB paru yang

menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat

TBC di Indonesia. (Zulkifli Amin, 2006) Diperkirakan setiap tahun ada

539.000 kasus baru, dan dari kasus tersebut 101.000 orang meninggal

karena tuberkulosis. ( Depkes RI, 2009)

Data World Health Organization (WHO) tahun 2015 menyatakan

bahwa Indonesia berada pada posisi dua terbesar penderita tuberkulosis

paru pada 2015 mencapai 10,4 juta jiwa meningkat dari sebelumnya

hanya 9,6 juta. Adapun jumlah temuan TB terbesar adalah di India


3

sebanyak 2,8 juta kasus, diikuti Indonesia sebanyak 1,02 juta kasus dan

Tiongkok sebanyak 918 ribu kasus.

TB merupakan tantangan bagi pengendalian Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena merupakan infeksi

oportunistik terbanyak (49%) pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi

TB di seluruh dunia yang berdampak pada meningkatnya jumlah kasus TB

di masyarakat. TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan

penyebab utama kematian pada ODHA. (Kemenkes RI, 2012)

Menurut data Global Report WHO 2013 menunjukkan 1,3 juta orang

meninggal karena TB, termasuk 320 ribu kematian di antara orang dengan

HIV positif. Resiko terkena TB diperkirakan antara 12-20 kali lebih besar

pada penderita HIV dibandingkan tanpa infeksi HIV. Diperkirakan pada

tahun 2012 dari 8,7 juta kasus baru TB, sebanyak 1,1 juta orang adalah

HIV positif.

Dalam laporan yang bertajuk Global Tuberculosis Report 2015 itu,

angka kematian akibat TB di Indonesia mencapai 100 ribu jiwa dalam

setahun ditambah 26 ribu penderita tuberkulosis yang terindikasi HIV

positif. Sementara angka kematian dunia yang diakibatkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis ini mencapai 1,4 juta jiwa ditambah 390 ribu

jiwa penderita yang positif terkena HIV. Sedangkan prevalensi penderita

TBC di Indonesia pada 2015 sebesar 395 per 100 ribu populasi dengan

angka kematian sebesar 40 per 100 ribu populasi.


4

Infeksi laten terjadi ketika kuman yang dormant teraktivasi

setelah beberapa bulan atau tahun pasca infeksi primer disebabkan

karena sistem imunitas seluler menurun. Pada infeksi HIV terjadi

penurunan signifikan sel-sel daah putih yaitu limfosit T CD4 yang

merupakan mediator utama pertahanan imun melawan

Mycobacterium tuberkulosis. Hal ini menyebabkan infeksi

opoertunistik tuberculosis yang akan meningkat seiring dengan

derajat beratnya imunosupresi yang terjadi pada infeksi HIV.

(Manalu M dkk, 2012)

Didalam tubuh, leukosit berasosiasi secara bebas dan tidak

berasosiasi secara ketat dengan organ atau jaringan tertentu.

Leukosit mampu bergerak secara bebas dan berinteraksi

menangkap partikel asing atau mikroorganisme penyusup. Selain

itu, leukosit tidak bisa membelah diri atau bereproduksi dengan

cara mereka sendiri, melainkan mereka adalah produk dari sel

punca hematopoietic pluripotent yang ada pada sumsum tulang.

(Effendi, Z. 2003)

Untuk penunjang pengendalian HIV AIDS yang disertai

dengan infeksi penyakit Tuberkulosis dibutuhkan data tentang

jumlah leukosit, terutama bagi pihak rumah sakit maupun dokter

yang menangani dan atas dasar itulah penulis melakukan

penelitian tentang jumlah leukosit pada penderita HIV koinfeksi

Tuberkulosis di RSUD KOJA.


5

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dibahas, maka identifikasi masalah

dalam penulisan ini adalah :

1. Dalam Global Tuberkulosis Report tahun 2015 itu, angka kematian

akibat tuberkulosis di Indonesia mencapai 100 ribu jiwa dalam

setahun ditambah 26 ribu penderita tuberkulosis yang terindikasi HIV

positif.

2. Resiko terkena TB pada penderita HIV diperkirakan antara 12-20 kali

lebih besar dibandingkan tanpa infeksi HIV

3. Pada tahun 2012 dari 8,7 juta kasus baru TB, sebanyak 1,1 juta

orang adalah HIV positif

4. Belum diketahui gambaran jumlah leukosit pada penderita HIV

koinfeksi tuberkulosis

C. Pembatasan Masalah

Penelitian dibatasi pada pemeriksaan jumlah leukosit pada pasien

penderita HIV koinfeksi Tuberkulosis di RSUD Koja.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas bagaimana gambaran jumlah

Leukosit pada penderita HIV koinfeksi Tuberkulosis ?


6

E. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran jumlah leukosit pada penderita HIV

koinfeksi tuberkulosis

F. Manfaat Penelitian

1. Menambah literatur tentang Bakteri Tahan Asam (BTA) dan Leukosit

pada penderita HIV koinfeksi Tuberkulosis di program Pendidikan

Diploma III Analis Kesehatan Universitas MH. Thamrin.

2. Mengetahui gambaran Leukosit pada pasien penderita HIV koinfeksi

Tuberkulosis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HIV AIDS

1. Pengertian

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus

bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem

kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih

spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4

(CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili

Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama infeksi berlangsung, sistem

kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan

terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai

infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah

berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome)

(Depkes RI, 2006).

AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang

disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat virus

HIV.(Rubenstein, 2007). Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila

tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS

dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa

infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia

(World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana

7
8

pada stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan

sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi

oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi

tersebut dapat diobati (Depkes RI, 2006)

2. Epidemiologi HIV/AIDS

Kasus HIV/AIDS pertama di dunia dilaporkan pada tahun 1981.

Menurut UNAIDS, salah satu bagian dari WHO yang mengurus tentang

AIDS menyebutkan bahwa perkiraan jumlah penderita yang terinfeksi

HIV/AIDS di seluruh dunia sampai dengan akhir tahun 2010 mencapai

34 juta. Dilihat dari tahun 1997 hingga tahun 2011 jumlah penderita

HIV/AIDS mengalami peningkatan hingga 21%. Pada tahun 2011,

UNAIDS memperkirakan jumlah penderita baru yang terinfeksi

HIV/AIDS sebanyak 2,5 juta. Jumlah orang yang meninggal karena

alasan yang terkait AIDS pada tahun 2010 mencapai 1,8 juta, menurun

dibandingkan pada pertengahan tahun 2000 yang mencapai

puncaknya yaitu sebanyak 2,2 juta.5

Di Indonesia, jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat dari

tahun ke tahun tetapi jumlah kasus baru yang terinfeksi HIV/AIDS

relatif stabil bahkan cenderung menurun. Menurut Laporan HIV-AIDS

Triwulan II Tahun 2012, didapatkan jumlah kasus baru HIV pada

triwulan kedua (April-Juni 2012) sebanyak 3.892 kasus dan jumlah

kasus kumulatif HIV pada Januari 1987- Juni 2012 sebanyak 86.762

kasus. Sedangkan kasus baru AIDS pada triwulan kedua (April-Juni


9

2012) sebanyak 1.673 kasus dan jumlah kasus kumulatif AIDS pada

Januari 1987- Juni 2012 sebanyak 32.103 kasus. Pada kasus baru

HIV, Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ke 7 se-Indonesia

dan pada kasus baru AIDS, Provinsi Jawa Tengah menduduki

peringkat ke 2 se-Indonesia. Kasus HIV menurut usia pada Januari-

Juni 2012 terbanyak pada 25-49 tahun. Pada kasus AIDS, terbanyak

pada usia 30-39 tahun. Jenis kelamin pada kasus HIV adalah laki-laki

sebanyak 57% dan wanita sebanyak 43%. Jenis kelamin pada kasus

AIDS adalah laki-laki sebanyak 61,8% dan perempuan sebanyak

38,1%. Jadi dapat disimpulkan, kasus HIV dan AIDS menurut jenis

kelamin lebih banyak pada laki-laki. Pada tahun 2012 angka kematian

AIDS mengalami penurunan menjadi 0,9% dibandingkan dengan tahun

2011 (Davey Patrick. 2006).

3. Patofisiologi HIV/AIDS

Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit

T helper yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah

pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak

langsung dalam menginduksi fungsi imunologik. Menurun atau

menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena virus HIV

menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem

kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV

mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan

melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse


10

transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid)

agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel target.

Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan

genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan

berlangsung seumur hidup (Levy.J, 2007)

Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian

dari sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi

sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita

tersebut dan lambat laun akan merusak limfosit T4 sampai pada

jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi. Masa

inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus

HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV

tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3

bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa “window

period”. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat

gejala klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut

(Syaiful W, 2003). Pada sebagian penderita memperlihatkan gejala

tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala

yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar

getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah

infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini

umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil

penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2


11

tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor) (Levy.J,

2007).

Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus

HIV akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan

tubuh yang rusak akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang

bahkan hilang, sehingga penderita akan menampakkan gejala-gejala

akibat infeksi oportunistik (Levy J. HIV, 2007).

4. Manifestasi klinis HIV/AIDS

Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS

umumnya sulit dibedakan karena bermula dari gejala klinik umum yang

didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara umum dapat

dikemukakan sebagai berikut:

a. Rasa lelah dan lesu

b. Berat badan menurun secara drastis

c. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam

d. Mencret dan kurang nafsu makan

e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut

f. Pembengkakan leher dan lipatan paha

g. Radang paru

h. Kanker kulit

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi

3 hal yaitu:
12

a. Manifestasi tumor

1) Sarkoma Kaposi

Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini

sangat jarang menjadi sebab kematian primer.

2) Limfoma ganas

Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf

serta dapat bertahan kurang lebih 1 tahun.

b. Manifestasi oportunistik

1) Manifestasi pada Paru

a) Pneumoni pneumocystis (PCP)

Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS

merupakan infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas,

batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.

b) Cytomegalovirus (CMV)

Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada

paru

paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV

merupakan 30% penyebab kematian pada AIDS.

c) Mycobacterium avilum

Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan

sulit disembuhkan.

d) Mycobacterium tuberculosis
13

Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan

cepat menyebar ke organ lain di luar paru.

c. Manifestasi gastrointestinal

Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan

>10% per bulan.

d. Manifestasi neurologis

Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis

yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf

yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati,

neuropati perifer (Skiest D,2002)

B. Tuberculosis Paru

1. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronik pada saluran

pernapasan bagian bawah yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis (Alsagaff & Mukty, 2006). Penyakit ini sangat mudah

menular yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung basil M.

tuberculosis yang berasal dari pasien TB paru aktif (Amin & Bahar,

2014). Dari keseluruhan kejadian infeksi M. tuberculosis, sekitar 80%

kasus merupakan tuberkulosis paru dan 20 % kasus lainnya

merupakan tuberkulosis ekstrapulmonal (Djojodibroto, 2012).

Penularan penyakit dapat terjadi akibat transmisi udara dan kontak

dekat dengan penderita tuberkulosis aktif. Faktor risiko terjangkit


14

penyakit tuberkulosis diantaranya usia lanjut, malnutrisi, defisiensi

imun (penderita HIV, diabetes melitus, terapi kortikosteroid,

alkoholisme, dan limfoma rekuren), dan higienitas lingkungan buruk

(Ward J., et. al., 2006).

2. Klasifikasi Tuberkulosis

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

a. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang hanya menyerang

jaringan parenkim paru dan tidak termasuk pleura (selaput paru).

Tipe ini diklasifikasikan menjadi TB paru primer dan TB paru

sekunder berdasarkan mekanisme patogenesisnya.

b. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang

organ tubuh lainnya selain paru. Tuberkulosis dapat menyerang

hampir seluruh sistem organ, berdasarkan frekuensi kejadiannya

organ ekstra paru yang paling sering terinfeksi adalah kelenjar

getah bening, pleura, saluran kencing, tulang dan sendi, meninges,

peritoneum, dan perikardium.

c. Tuberkulosis campuran

Tuberkulosis campuran adalah tuberkulosis yang menyerang

parenkim paru dan organ ekstra paru. Tipe ini sering terjadi pada

penderita tuberkulosis dengan infeksi HIV (Raviglione & O’Brien,

2016).
15

3. Etiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis yang merupakan bakteri :

a. Bentuk = batang

b. Ukuran = panjang ± 1–4 μm dan tebal ± 0,3–0,6 μm

(Amin & Bahar, 2014).

Mycobacterium tuberculosis adalah salah satu dari 30 anggota

genus Mycobacterium yang dikenali dengan baik (Daniel, 2014).

Spesies patogenik penyebab tuberkulosis yang tersering dan

terpenting dalam menyerang manusia adalah M. tuberculosis hominis

(Husain, 2015). Terdapat beberapa spesies patogenik yang juga

termasuk dalam M. tuberculosis kompleks, diantaranya adalah M.

bovis, M. caprae, M. africanum, M. microti, M. pinnipedii, dan M canetti.

Spesies tersebut biasanya menyebabkan tuberkulosis pada berbagai

hewan namun pernah diisolasi dari manusia pada sebagian kecil kasus

tuberculosis (Raviglione & O’Brien, 2016).

Mikobakterium diklasifikasikan sebagai basil tahan asam (BTA). Hal

ini disebabkan tingginya kandungan asam lemak (lipid) pada dinding

sel bakteri yang menyebabkan mikobakterium resisten terhadap

penghapusan warna dengan asam alkohol pada pengecatan gram

(Amin & Bahar, 2014).

Asam lemak pada dinding sel mikobakterium berikatan dengan

arabinogalaktan dan peptidoglikan yang menyebabkan rendahnya


16

permeabilitas dinding sel sehingga menurunkan keefektifan sebagian

besar antibiotik (Raviglione & O’Brien, 2016). Mikobakterium

difagositosis oleh makrofag di dalam jaringan. Namun, tingginya

kandungan lipid dan adanya lipoarabinonmannan yang berperan

dalam interaksi patogen-pejamu menyebabkan bakteri ini disenangi

oleh makrofag dan menjadi parasit intrasel dalam sitoplasma makrofag

(Amin & Bahar, 2014, Raviglione & O’Brien, 2016).

Mycobacterium tuberculosis memiliki sifat dormant yang dapat

membuatnya bertahan hidup di udara kering maupun dingin dalam

waktu lama. Sifat dormant ini memungkinkan bakteri untuk bangkit dan

dapat menyebabkan penyakit tuberkulosis paru menjadi aktif lagi (Amin

& Bahar, 2014). Walaupun tahan terhadap keadaan kering dan dingin,

bakteri ini tidak tahan dengan paparan sinar matahari dan dapat mati

akibat sinar ultraviolet (UV) dalam waktu beberapa detik (Kemenkes

RI, 2014).

Mikobakterium merupakan bakteri aerob yang menyukai jaringan

dengan kandungan oksigen tinggi. Bagian apikal paru-paru merupakan

tempat dengan tekanan oksigen tinggi, sehingga bagian ini merupakan

predileksi dari penyakit tuberkulosis (Amin & Bahar, 2014).

4. Gejala Klinis Tuberkulosis


17

Gejala klinis yang dapat terjadi pada penderita TB adalah

demam yang menyerupai demam influenza, terkadang demam dapat

mencapai suhu 40 – 41 °C. Kondisi demam dipengaruhi oleh daya

tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman yang masuk.

Gejala berikutnya adalah batuk. Batuk terjadi karena adanya infeksi

bronkus. Batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan

baru yakni setelah berminggu – minggu atau berbulan – bulan

peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non

produktif), kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk

produktif (menghasilkan sputum) (Bahar, A., 2006:1000).

Gejala sesak nafas terjadi pada penyakit yang sudah berlanjut,

pada tahap ini infiltrasi yang terjadi sudah setengah bagian paru-paru.

Kemudian nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai pleura

sehingga menimbulkan pleuritis (Bahar, A., 2006:1000).

Gejala malaise yang sering ditemukan berupa : anoreksia, tidak

ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit

kepala, badan panas dingin, nyeri otot dan keringat malam. Gejala ini

bersifat tidak teratur dan dapat menjadi berat (Bahar, A., 2006:1000).

Gejala utamanya adalah batuk berdahak terus – menerus

selama 3 minggu atau lebih. Gejala-gejala tersebut di atas dijumpai

pula pada penyakit paru selain TB. Oleh sebab itu setiap orang dengan

gejala tersebut di atas harus dianggap sebagai seorang suspect


18

tuberkulosis atau tersangka penderita TB dan perlu dilakukan

pemeriksaan dahak secara mikroskopik (Bahar, A., 2006:1000).

5. Faktor – faktor yang mempengaruhi Tuberkulosis

Penyakit TB pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti: status sosial ekonomi, status gizi, dan jenis kelamin

(Hiswani,2004:5)

a. Faktor sosial ekonomi

Faktor sosial ekonomi berhubungan dengan kondisi rumah

kepadatan penduduk, lingkungan perumahan, lingkungan dan

sanitasi tempat kerja. Jika kondisi ini buruk maka dapat

memudahkan penularan penyakit (Hiswani,2004:5).

b. Status gizi

Status gizi meliputi asupan makanan yang meliputi: kalori, protein,

vitamin, zat besi dan lain – lain. Jika asupan gizi berkurang maka

akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan

terhadap penyakit termasuk TB (Hiswani,2004:5).

c. Jenis kelamin

Penderita TB cenderung lebih tinggi pada laki – laki dibandingkan

perempuan. Hal ini dimungkinkan karena adanya aktivitas merokok

yang cukup tinggi dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh,

sehingga lebih mudah terpapar dengan kuman penyebab TB

(Hiswani,2004:5).
19

6. Pencegahan penyakit Tuberkulosis Paru

Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat

dan petugas kesehatan (Eka Agustina, 2013:11).

a. Petugas kesehatan

1) Menganjurkan penderita untuk menutup mulut disaat batuk dan

tidak membuang dahak di sembarang tempat.

2) Penderita dengan TBC aktif dilakukan pengobatan yang lengkap

dan tepat untuk menghindari terjadinya kekebalan penyakit

terhadap obat.

3) Memakai alat pelindung diri seperti masker ketika melakukan

perawatan penderita tuberkulosis paru.

4) Memberikan penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat

tentang pentingnya pengobatan dan pencegahan penyakit

tuberkolosis paru (Eka Agustina, 2013:11).

b. Masyarakat

1) Melakukan pola hidup sehat dalam aktivitas masyarakat sehari –

hari.

2) Menciptakan pola hidup dengan sanitasi lingkungan yang baik.

3) Ikut serta dalam program pencegahan tuberkolosis paru seperti

melakukan vaksinasi pada bayi di pelayanan kesehatan terdekat.

4) Bagi keluarga penderita dapat ikut mengawasi penderita dalam

hal keteraturan meminum obat TB (Eka Agustina, 2013:11).


20

c. Penderita

1) Menjalankan perawatan dan pengobatan tuberkolisis paru secara

menyeluruh seperti meminum obat secara terartur.

2) Mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk menjaga kondisi

tubuh selama pengobatan (Eka Agustina, 2013:11).

Pecegahan untuk penyakit tuberkolosis paru di Indonesia pada

akhirnya harus melibatkan semua pihak khususnya pemerintah pusat

bersama unsur – unsurnya pelaksanannya serta masyarakat untuk

dapat bersama – sama menjalankan program pencegahan penyakit ini

(Eka Agustina, 2013:11).

7. Pemeriksaan Mikrobiologi

a. Pemeriksaan sputum

Sputum (dahak) adalah bahan yang dikeluarkan dari paru dan

trakea melalui mulut biasanya juga disebut dengan

ecpectoratorian. Sputum yang dikeluarkan oleh seorang pasien

hendaknya dapat dievaluasi sumber, warna, volume dan

kosistennya karena kondisi sputum biasanya memperlihatkan

secara spesifik proses kejadian patologik pada pembentukan

sputum itu sendiri. Pemeriksaan sputum diperlukan jika diduga

terdapat penyakit paru – paru. Membran mukosa saluran

pernafasan berespons terhadap inflamasi dengan meningkatkan

keluaran sekresi yang sering mengandung mikrooganisme

penyebab penyakit (Nurhidayah, 2012).


21

Sputum berbeda dengan sputum yang bercampur dengan air

liur. Cairan sputum lebih kental dan tidak terdapat gelembung busa

diatasnya, sedangkan cairan sputum yang bercampur air liur encer

dan terdapat gelembung busa di atasnya. Sputum diambil dari

saluran nafas bagian bawah sedangkan sputum yang bercampur

air liur diambil dari tenggorakan (Nurhidayah, 2012).

b. Kriteria kondisi sputum yang baik

Untuk memperoleh kondisi sputum yang baik petugas

Laboratorium harus memberikan penjelasan mengenai pentingnya

pemeriksaan sputum baik pemeriksaan pertama maupun

pemeriksaan sputum ulang. Memberi penjelasan tentang batuk

yang benar untuk mendapatkan sputum yang dibatukkan dari

bagian dalam paru – paru setelah beberapa kali bernafas dalam

dan tidak hanya air liur dari dalam mulut. Teliti pula volume

sputumnya yaitu 3 – 5 ml, kondisi sputum untuk pemeriksaan

Laboratorium adalah penting, sputum yang baik mengandung

beberapa partikel atau sedikit kental dan berlendir kadang –

kadang malah bernanah dan berwarna hijau kekuningan

(Nurhidayah, 2012).

Kondisi sputum yang baik ada 5 kriteria yang didapatkan ketika

menerima specimen sputum yaitu:

1) Purulen yaitu kondisi sputum dalam keadaan kental dan

lengket.
22

2) Mukopurulen yaitu kondisi sputum dalam keadaan kental,

berwarna kuning kehijauan.

3) Mukoid yaitu kondisi sputum dalam keadaan berlendir dan

kental.

4) Hemoptisis yaitu kondisi sputum dalam keadaan bercampur

darah.

5) Saliva yaitu air liur.

c. Cara pengumpulan sputum

Spesimen sputum dikumpulkan dalam pot sputum yang bermulut

lebar, penampang enam sentimeter atau lebih dengan tutup

berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor, pot ini harus selalu

tersedia di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) (Depkes RI, 2011).

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan

dengan mengumpulkan 3 bahan dahak yang dikumpulkan dalam

dua hari kunjungan yang berurutan berupa, yang dikenal dengan

konsep sewaktu – pagi – sewaktu (SPS) :

1) S ( Sewaktu ) : Dahak dikumpulkan pada saat pasien yang

diduga TB dating berkujung pertama kali. Pada saat pulang,

suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak

pagi pada hari kedua.

2) P ( Pagi ) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari

kedua, segera setelah bagun tidur. Pot di bawa dan di serahkan

sendiri kepada petugas kesehatan.


23

3) S (Sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi.

Diagnosis tuberculosis paru pada orang dewasa di tegakkan

dengan ditemukannya kuman tuberkolusis (BTA). Pada program

tuberculosis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak

mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti

foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai

penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya

(Nurhidayah, 2012)

d. Interpretasi hasil

Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung

Disease)

TABEL 1
Skala IUATLD

Apa yang terlihat Apa yang dilaporkan


Tidak ditemukan BTA minimal dalam 100 BTA Negatif
lapang padang
1-9 BTA dalam 100 lapang padang Tuliskan jumlah BTA yang
ditemukan/100 lapang pandang
10 – 99 BTA dalam 100 lapang pandang 1+
1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang 2+
(periksa minimal 50 lapang pandang)
Lebih dari 10 BTA dalam 1 lapang pandang 3+
(periksa minimal 20 lapang padang)

8. Hubungan HIV dengan Tuberkulosis

HIV / AIDS dan Tuberkulosis (TB), terutama TB paru, saat ini

merupakan masalah kesehatan global. TB paru merupakan infeksi


24

oportunistik paling sering terjadi pada penderita HIV/AIDS di dunia.

Mycobacterium tuberkulosis adalah agen menular yang dapat muncul

sebagai reaktivasi infeksi laten pada pasien imunokompromais atau

sebagai infeksi primer setelah penularan dari orang ke orang pada

berbagai stadium HIV. Tuberkulosis adalah penyebab kematian pada

13% orang dengan infeksi HIV.

Infeksi tuberkulosis dapat muncul sebagai tuberkulosis paru

atau tuberkulosis ekstraparu pada berbagai jumlah sel CD4. Gambaran

klinis terdiri dari demam, penurunan berat badan, dan gejala

konstitusional seperti batuk dan nyeri dada.

Tuberkulosis paru merupakan infeksi yang paling sering muncul

pada pasien koinfeksi TB-HIV. Tuberkulosis ekstraparu (termasuk

keterlibatan limfonodi, sistem saraf pusat dan bakteremia) dapat timbul

pada pasien defisiensi imun stadium lanjut.

a. Gejala klinis

Antara gejala klinis yang ditemui pada pasien HIV yang

menderita Tuberkulosis adalah seperti :

a. batuk yang berlanjutan selama tiga minggu atau lebih

b. kekurangan berat badan

c. demam selama empat minggu atau lebih berkeringat di malam

hari selama empat minggu atau lebih

d. indeks massa tubuh (BMI) 18 atau kurang

e. limfadenopati di bawah kulit


25

f. batuk berdahak

g. nyeri dadah

h. kelemahan atau kelelahan

b. Faktor Risiko Terjadinya Koinfeksi Tuberkulosis pada Pasien

HIV/AIDS

Koinfeksi Tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS menjadi salah

satu kendala besar dalam menanggulangi penyakit tersebut.

Infeksi Tuberkulosis merupakan hasil dari interaksi kompleks

antara lingkungan, host, dan patogen. Strategi komprehensif yang

terfokus pada faktor risiko utama TB sangat penting untuk

mencapai target Stop TB Partnership (Taha M, Deribew A,

Tessema F, 2011)

Terdapat banyak risiko tinggi terhadap pasien koinfeksi HIV/TB

dalam munculnya TB aktif, baik dari reaktivasi infeksi laten atau

dari progresivitas infeksi baru. Risiko munculnya TB pada pasien

HIV meningkat 5-15% setiap tahunnya, disebabkan oleh reaktivasi

infeksi laten tersebut, sehingga tergantung pada derajat

imunokompromais pada pasien HIV/AIDS. (Taha M, Deribew A,

Tessema F, 2011)

Dalam hal ini tercatat bahwa TB paru terjadi lebih awal dalam

spektrum infeksi HIV dan sering kali sebelum kondisi AIDS.

Peningkatan risiko munculnya TB dalam waktu singkat setelah

terinfeksi HIV dapat dijelaskan dengan adanya serokonversi


26

penyakit atau sedang bersamaan terinfeksi HIV dan TB.

Berdasarkan hal tersebut, individu yang terinfeksi HIV akan lebih

rentan terkena TB, sehingga HIV merupakan faktor risiko utama

dalam munculnya Tuberkulosis (Taha M, Deribew A, Tessema F,

2011)

Faktor risiko TB dapat dikategorikan menjadi distal dan

proksimal. Faktor risiko distal atau faktor status sosial ekonomi

diantaranya yaitu kepemilikan rumah, penghasilan, status

perkawinan, pekerjaan dan pendidikan. Faktor risiko proksimal

terdiri faktor host yang meliputi umur, jenis kelamin, riwayat asma,

riwayat diabetes, riwayat merokok, riwayat anemia, jumlah CD4,

serta Indeks Masa Tubuh dan faktor lingkungan yang meliputi

kondisi rumah, pembuangan limbah, serta kontak dengan pasien

TB (Taha M, Deribew A, Tessema F, 2011)

Faktor risiko distal atau faktor sosial ekonomi menjelaskan

risiko munculnya Tuberkulosis secara tidak langsung dimana

faktor risiko proksimal juga meningkatkan pajanan terhadap agen

infeksius, sehingga meningkatnya terjadinya koinfeksi

Tuberkulosis (Taha M, Deribew A, Tessema F, 2011)

Faktor risiko distal juga erat sekali kaitannya dengan perilaku

yang tidak sehat, seperti merokok maupun alkohol. Selain itu,

status sosial ekonomi juga merefleksikan seberapa sering kontak

dengan orang lain maupun pajanan di lingkungan tempat bekerja


27

yang dapat meningkatkan risiko terjadinya Tuberkulosis (Taha M,

Deribew A, Tessema F, 2011)

Faktor risiko proksimal terdiri atas faktor host dan faktor

lingkungan, dimana menurut Teori Blum faktor lingkungan

mempunyai pengaruh paling besar dalam mempengaruhi

terjadinya penyakit (Taha M, Deribew A, Tessema F, 2011)

C. Leukosit

1. Pengertian Sel darah Putih (Leukosit)

Sel darah putih atau leukosit (White Blood cell) adalah sel yang

membentuk komponen darah. Sel darah putih ini berfungsi untuk

membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian

dari sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih tidak berwarna, memiliki

inti, dapat bergerak secara amoebeid, dan dapat menembus dinding

kapiler / diapedesis. Dalam keadaan normalnya terkandung 4x109

hingga 11x109 sel darah putih di dalam seliter darah manusia dewasa

yang sehatsekitar 7.000 - 25.000 sel per tetes. Dalam setiap milimeter

kubik darah terdapat 6.000 - 10.000 (rata-rata 8.000) sel darah putih.

(Effendi, Z. 2003)

Didalam tubuh, leukosit tidak berasosiasi secara ketat dengan

organ atau jaringan tertentu, tetapi secara independen. Leukosit

mampu bergerak secara bebas dan berinteraksi menangkap partikel

asing atau mikroorganisme penyusup. Selain itu, leukosit tidak bisa


28

membelah diri atau bereproduksi dengan cara mereka sendiri,

melainkan mereka adalah produk dari sel punca hematopoietic

pluripotent yang ada pada sumsum tulang.

Jenis-jenis Sel Darah Putih (Leukosit)

Ada beberapa jenis sel darah putih yang disebut granulosit (seri

granulapoietik) atau sel polimorfonuklear yaitu:

1) Basofil

2) Eosinofil

3) Neutrofil

Dan dua jenis lain tanpa granula dalam sitoplasma:

1) Limfosit

2) Monosit

2. Fungsi Sel Darah Putih (Leukosit)

Granulosit dan Monosit mempunyai peranan penting dalam

perlindungan badan terhadap mikroorganisme, dengan

kemampuannya sebagai fagosit (memakan), maka dapat

mengeliminisir bakteri hidup yang masuk ke istem peredaran darah.

Melalui mikroskop adakalanya dapat dijumpai sebanyak 10 - 20

mikroorganisme tertelan oleh sebutir granulosit, dengan kekuatan

gerakan amuboidnya mereka dapat bergerak bebas di dalam dan

dapat keluar pembuluh darah dan berjalan mengitari seluruh bagian

tubuh. (Effendi, Z. 2003)


29
30

3. Hubungan leukosit pada HIV

Sewaktu virus HIV menulari manusia, sel yang paling sering

terinfeksi adalah sel limfosit dengan CD4. Semakin lama seseorang

terinfeksi HIV, maka kadar CD4 nya semakin menurun. Hal ini

menandakan bahwa sistem kekebalan tubuhnya semakin rusak.

(Yayasan Spiritia, 2013). Dalam respon terhadap infeksi, sel-sel darah

putih akan datang dan berkumpul di tempat terjadinya infeksi. Sel-sel

tersebut akan bereaksi untuk mencegah meluasnya infeksi sekaligus

menurunkan tingkat infeksi. Sel darah putih yang meninggalkan

lokasinya (menuju ke tempat infeksi) akan dengan cepat digantikan sel

darah putih yang baru. Sel pengganti dapat berasal dari sel-sel darah

sekitar yang mampu berproliferasi atau terdifferensiasi menjadi sel

darah putih baru.

Partikel virus HIV yang masuk ke dalam tubuh manusia akan

bergabung dengan DNA sel penderita. Akibatnya satu kali seseorang

terinfeksi HIV seumur hidup orang tersebut akan tetap terinfeksi.

Hampir semua orang yang terinfeksi HIV menderita AIDS. Pejalanan

penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sel

yang terutama diserang oleh virus HIV adalah salah satu jenis leukosit

yang disebut limfosit, sub jenis Thelper. Prolimfosit akan berkembang

menjadi limfosit muda. Pada tahap ini, limfosit belum dapat berperan

dalam sistem kekebalan tubuh. Sebagian limfosit muda akan menuju

ke kelenjar Thymus, dan akan berdifferensiasi menjadi limfosit T muda


31

dan dewasa. Sebagian lagi akan berada dalam jaringan atau tetap

dalam sum sum tulang untuk berdifferensiasi menjadi limfosit B.

Gejala penyakit AIDS merupakan manifestasi rendahnya kadar

limfosit T Helper yang secara bertahap dirusak virus HIV. Jumlah

limfosit T Helper akan berkurang dari 2.000/mm3 menjadi karang

1.000/mm3 dan kemudian secara bertahap jumlahnya akan semakin

berkurang. Limfosit T memegang peranan penting dalam sistem

kekebalan tubuh manusia, sehingga jumlah dan fungsinya apabila

terganggu menyebabkan seseorang mudah diserang penyakit infeksi

(Yayasan Spiritia, 2013).

4. Hubungan leukosit pada Tuberkulosis

Pada saat TB baru aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang

sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah

limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat.

Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah

limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun kea rah normal lagi

(Israr, 2009).

Mikobakterium tuberculosis yang jumlahnya banyak dalam

tubuh menyebabkan penglepasan komponen toksik kuman ke dalam

jaringan Induksi hipersensitif seluler yang kuat dan respon yang

meningkat terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan

jaringan dan penyebaran kuman lebih lanjut. Akhirnya populasi sel


32

supresor yang jumlahnya banyak akan muncul menimbulkan anergik

dan prognosis kuresikorang baik. Perjalanan dan interaksi imunologis

dimulai ketika makrofag bertemu dengan kuman TB, memprosesnya

lalu menyajikan antigen kepada limfosit. Dalam keadaan normal,

infeksi TB merangsang sel darah putih yaitu limfosit T untuk

mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh

kuman. (Amaylia Oehadian, 2003).


33

D. Kerangka Berfikir
Gambar 1

Penderita HIV koinfeksi Tuberculosis

Uji Mikrobiologi terhadap M. tuberculosis

BTA (Bakteri Tahan Asam)

BTA (-) BTA (1+)

BTA (2+)

BTA (3+)

Uji Hematologi

Leukosit

Menurun Normal Meningkat

Keterangan :

Variabel yang di teliti

Variabel yang tidak di teliti


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1) Suspect penderita HIV koinfeksi Tuberkulosis dalam karya tulis ini

adalah pasien yang dateng dengan catatan HIV, BTA, dan Leukosit

pada rekamedis di Rumah Sakit Umum Daerah KOJA.

2) Penderita HIV adalah pasien yang positif terinfeksi virus HIV yang telah

diperiksa dengan 3 metode pemeriksaan rapid tes sesuai rekamedik di

RSUD KOJA.

3) BTA (+) adalah ditemukannya bakteri tahan asam pada sputum

penderita tuberculosis. Berdasarkan IUATLD pemeriksaan metode

Ziehl Neelsen positif apabila terdapat 1-9 BTA / 100 lapang pandang,

1+ apabila terdapat 10-99 BTA / 100 lapang pandang, 2+ apabila

terdapat 1-10 BTA / lapang pandang, 3+ apabila terdapat >10 BTA /

lapang pandang.

4) Jumlah Leukosit adalah hasil kadar leukosit pada pemeriksaan

laboratorium menggunakan sampel EDTA menggunakan alat

Hematology Analyzer Sysmex XN-1000 dengan nilai normal 4.0000-

10.5000/mm³, pada penderita HIv koinfeksi Tuberkulosis di RSUD

KOJA.

34
35

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui pengambilan data dibagian instalasi

Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umun Daerah (RSUD)

KOJA Jakarta Utara.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2018 dan data yang diambil pada

periode Januari 2017 – Desember 2017

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien penderita HIV

koinfeksi Tuberkulosis paru di RSUD KOJA Jakarta Utara.

2. Sampel

Pada penelitian ini adalah data pasien penderita HIV yang terinfeksi

Tuberkulosis melakukan pemeriksaan Leukosit di RSUD KOJA pada

periode Januari 2017 sampai dengan Desember 2017.

D. Teknik Pengambilan Data

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder dari

instalsi Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

KOJA dengan tahapan :


36

1. Melakukan observasi dan menanyakan prosedur izin pengambilan

data pada bagian dari instalasi Laboratorium Patologi Klinik Rumah

Sakit Umum Daerah (RSUD) KOJA.

2. Melakukan izin pengambilan data ke bagian Laboratorium dengan

membawa surat izin pengambilan data dari pihak akademik.

3. Melakukan pengambilan data ke Instalasi Laboratorium Patologi Klinik

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) KOJA dengan melihat

pemeriksaan HIV positif disetai pemeriksaan BTA positif dan dilihat

hasil hitung jumlah leukosit pada pasien tersebut.

4. Mencatat hasil pemeriksaan HIV dan BTA positif, jumlah leukosit yang

dilihat ada working result computer Instalasi Laboratorium Patologi

Klinik Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) KOJA.

5. Mencatat data-data pendukung seperti nama, usia dan jenis kelamin.

E. Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini diolah menggunakan

perhitungan persentase.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Data hasil pemeriksaan Leukosit pada penderita HIV koinfeksi

Tuberkulosis di RSUD Koja Jakarta Utara periode Januari – Desember

2017 terdapat 35 pasien yang memenuhi kriteria penelitian, kemudian

dilakukan perhitungan persentase berdasarkan jenis kelamin, umur

pasien.

Tabel 2
Distribusi Frekuensi Leukosit Berdasarkan Jenis Kelamin.

Jenis kelamin Frekuensi (f) Persentase(%)

Perempuan 12 34.3
Laki-laki 23 65.7
Jumlah 35 100

Pada tabel 2 distribusi frekeunsi leukosit pada penderita HIV

koinfeksi Tuberkulosis berdasarkan jenis kelamin didapat hasil pada jenis

kelamin perempuan berjumlah 12 orang (34.3%), sedangkan pada jenis

kelamin laki-laki berjumlah 23 orang (65.7%).

37
38

Tabel 3
Distribusi Frekuensi Leukosit Berdasarkan Kelompok Usia.

Usia Frekuensi (f) Persentase (%)

20-40 27 77.1
41-55 6 17.1
56-70 2 5.7
Jumlah 35 100

Pada tabel 3 distribusi frekuensi leukosit pada penderita HIV

koinfeksi Tuberkulosis berdasarkan kelompok usia 20-40 tahun berjumlah

27 orang (77.1%), usia 41-55 tahun berjumlah 6 orang (17.1%), dan usia

56-70 tahun berjumlah 2 orang (5.7%).

Tabel 4
Distribusi frekuensi Leukosit.
Leukosit Frekuensi (f) Persentase (%)
Rendah 17 48.6
(1.000-3.900 sel/µl)
Normal 11 31.4
(4.000-10.500 sel/µl)
Tinggi 7 20.0
(>10.500 sel/µl)
Jumlah 35 100

Pada tabel 4 distribusi frekuensi Leukosit pada penderita HIV

koinfeksi Tuberkulosis yang memiliki hasil leukosit rendah sejumlah 17

orang (48.6%), yang memiliki hasil leukosit norma sejumlah 11 orang

(31.4%), dan yang memiliki hasil leukosit tinggi sejumlah 7 orang (20.0%).
39

B. Pembahasan

Pada penelitian ini adalah dalam gambaran hitung jumlah leukosit

pada penderita HIV koinfeksi Tuberkulosis di RSUD Koja periode Januari-

Desember 2017.

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi leukosit

pada penderita HIV koinfeksi Tuberkulosis berdasarkan jenis kelamin yang

tertinggi pada jenis kelamin laki-laki yaitu 65.7% dibandingkan dengan

perempuan yaitu 34.3%.

Hal ini sesuai dengan penelitian Yaathavi (2013) di Balai Pengobatan

Penyakit Paru Provinsi Medan menyatakan persentase laki-laki terbanyak

yaitu 92,3% . Penelitian Made (2015) di RSUD Buleleng juga ditemukan

pasien koinfeksi TB-HIV mayoritas laki-laki yaitu 24 pasien (68,6%). Selain

itu menurut Kementrian kesehatan RI melaporkan bahwa laki-laki lebih

banyak menderita koinfeksi TB Paru dibandingkan perempuan. Penelitian

dari Muhammed Taha (2011) menyatakan bahwa laki –laki merupakan

faktor risiko terjadinya tuberkulosis pada pasien HIV-TB yang disebabkan

faktor kebiasaan perilaku dan sosiol ekonomi yang tidak sehat salah

satunya merokok, dan pergaulan bebas yang bisa meningkatkan transmisi

penularan. Penelitian yang dilakukan oleh Abdallah et al (2012)

melaporkan bahwa perempuan lebih sedikit yang memiliki kebiasaan

merokok dibandingkan laki-laki. Merokok dapat menyebabkan fungsi silia

di saluran pernapasan terganggu sehingga meningkatkan resiko terinfeksi

TB Paru.
40

Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi leukosit

pada penderita HIV koinfeksi Tuberkulosis berdasarkan kelompok usia 20-

40 tahun yaitu 77.1%, pada kelompok usia 41-55 tahun yaitu 17.1%, dan

frekuensi yang terendah pada kelompok usia 56-70 tahun yaitu 5.7%.

Hasil penelitian berdasarkan kelompok usia di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo paling banyak pada usia 30-40 tahun (47,1%), dan

terendah pada usia>40 tahun (24,3%). Hal ini sesuai dengan penelitian

Yaayhavi (2013) di Balai Pengobatan Penyakit Paru Provinsi Medan

menyatakan kelompok usia tertinggi pada usia 31-35 tahun. Penelitian

Desy (2012) di RSUP dr. Kariadi Semarang Kelompok dengan golongan

umur 15 -35 tahun memiliki presentasi tertinggi yaitu sebanyak 49 orang

(59%) dan golongan umur >35 tahun: 34 orang (41%). Hasil penelitian

Thaha et al (2009) di Ethiopia juga melaporkan golongan umur yang

mempunyai insidensi tinggi adalah 15-35 tahun. Selain itu menurut WHO

proporsi usia <45 tahun merupakan usia yang terbanyak menderita TB di

Indonesia. Jayakody et.al (2013) melaporkan bahwa pasien TB paru usia

<45 tahun lebih banyak dibandingkan usia ≥45 tahun. Koinfeksi HIV-TB

Paru banyak diusia <45 tahun disebabkan mobilitas tinggi sehingga resiko

tertular tinggi. Kelompok umur tersebut masuk ke dalam kelompok umur

produktif yang aktif secara seksual dan termasuk kelompok umur yang

menggunakan NAPZA suntik. Hal ini kemungkinan karena pengaruh

aktifitas seksual yang masih tinggi pada usia produktif, pengaruh

lingkungan, dan pekerjaan


41

Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi leukosit

pada penderita HIV koinfeksi Tuberkulosis yang memiliki hasil leukosit

rendah yaitu 48.6%, hasil leukosit normal yaitu 31.4%, dan hasil leukosit

tinggi yaitu 20.0%.

Penelitian tentang hitung jumah leukosit pada penderita HIV koinfeksi

tuberculosis belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya hanya pernah

dibahas tentang hitung CD4 dan limfosit total dengan hasil

Hasil penelitian berdasarkan hitung CD4 di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo paling banyak <100 sel/mm3 sebanyak 50 orang (71,4%).

Hal ini sesuai dengan penelitian di RSUP dr. Kariadi Semarang paling

banyak hitung CD4 <100 sel/mm3 (87.3%). Rata-rata jumlah CD4 49.17

sel/µL. Penelitian Chidzwere Nzou dkk di Zimbabwe juga menunjukkan

bahwa 72% jumlah CD4 pasien HIV dengan koinfeksi tuberkulosis di

bawah 200 sel/mm3 dengan nilai rata -rata dari jumlah CD4 pasien

mencapai 104.5 sel/mm3. Penelitian Andy (2012) di RSUP H. Adam malik

Medan juga menyatakan proporsi jumlah CD4 tertinggi adalah < 200

sel/mm3 180 orang (80,7%) dan terendah >200 sel/mm3 43 orang

(19,3%). Hasil dari penelitian ini banyak memiliki hitung limfosit total

<1000 sel/mm3 67,1%, dan terendah dengan 1000-1200 sel/mm3 sebesar

7,1%. Hal ini sesuai dengan penelitian Made (2015) di RSUD Buleleng

menyebutkan mayoritas pasien mengalami penurunan hitung limfosit total

<1000sel/mm3 yaitu 22 pasien (62,9%). Semakin tinggi progresivitas virus

dalam tubuh host maka akan menyebabkan sistem imunitas semakin


42

menurun. Hal ini menyebabkan limfosit total sebagai salah satu respon

imun pun jadi menurun juga. Limfosit total dapat digunakan sebagai

penanda imunosupresi pada pasien HIV, namun tidak dapat digunakan

sebagai pengganti CD4 menentukan derajat imunosupresi pasien.

Hasil pemeriksaan ini menunjukan hasil dari keseluruhan penderita

HIV/AIDS dengan infeksi tuberkulosis ternyata tidak semua penderita

mengalami penurunan jumlah leukosit, yaitu sebanyak 31.4%% dari

penderita mempunyai jumlah leukosit yang normal dan 20% bahkan

mempunyai jumlah leukosit meninggi.

Hal ini menunjukan bahwa tidak kemungkinan semua penderita

mengalami penurunan daya tahan tubuhnya akibat faktor gizi yang baik

ataupun masa infeksi yang belum terlalu lama dibandingkan dengan

kelompok penderita yang jumlah leukositnya menurun.

Pada kelompok penderita yang jumlah leukositnya meninggi

kemungkinan jumlah limfosit T-helper mempunyai jumlah yang cukup

tinggi, sehingga masih mampu bertahan dengan kondisi yg global infeksi.


43
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Distribusi penderita HIV koinfeksi tuberkulosis berdasarkan kelompok

jenis kelamin lebih banyak kelompok laki-laki (65.7%)

2. Penderita HIV koinfeksi tuberkulosis berdasarkan kelompok usia yang

tertinggi terdapat pada kelompok usia 20-40 tahu (77.1%)

3. Pada penderita HIV koinfeksi tuberkulosis dengan jumlah leukosit

rendah pada angka 1000-3900 sel/mm3 didapat (48.6%), dengan

jumlah leukosit normal pada angka 4.000-10.500 sel/mm3 didapat

(31.4%) dan jumlah leukosit meningkat pada angka >10.500 sel/mm3

didapat (20.0%).

B. Saran

1. Kepada pihak RSUD Koja Jakarta Utara agar menjadi pedoman klinisi

bagi para klinisi dan petugas kesehatan dalam menangani penderita

HIV dengan koinfeksi TB dengan cara mempertimbangkan keadaan

jumlah leukosit masing-masing penderita yang merupakan gambaran

perjalan penyakit tersebut diperlukan suatu strategi pelayanan

kesehatan yang lebih baik untuk meningkatkan pengendalian dan

pencegahan penyakit.

44
45

2. Kepada masyarakat khususnya pada usia produktif agar lebih

meningkatkan kewaspadaan dan menghindari faktor-faktor resiko yang

bisa menyebabkan penularan serta melakukan pola hidup sehat.


46

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z., & Bahar, A. (2014). Tuberkulosis Paru. In S. Setiati, I. Alwi, A. W.


Sudoyo, M. Simadirata, B. Setiyohadi, & A. F. Syam (Eds.), Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam (VI). Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI.
AVERT. 2009. HIV & AIDS discrimination and stigma.
http://www.avert.org. 3 Mei 2010.
Bahar, A., 2000. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor
Soeparman . jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI hal. 715 – 727
Davey Patrick. 2006. Infeksi HIV dan AIDS. Dalam A. Safitri: At a Glance
Medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga. p.288-289.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2009. Pedoman Nasional
Penanggulangan TB 2009.http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN
2007.pdf 2009. Diunduh 13 Desember 2012.
Depkes RI, 2003 Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan
Penanggulangannya. Ditjen PPM & PLP Depkes RI: Jakarta.
Depkes RI., 2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1987-2006.
Jakarta : Pusat Data dan Informasi Depkes R.I
Depkes RI., 2011. TBC Masalah Kesehatan Dunia. Jakarta: BPPSDMK
Djoerban, Z. Djauzi, S. 2009. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. 2861-70.
Djojodibroto, D., (2012). Respirologi (Respiratory Medicine) (2nd ed.).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. http://doi.org/145 - 163.
Effendi, Z. (2003). Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam
Tubuh. Sumatra Utara: Bagian Histologi Kedokteran Universitas
Sumatra Utara.
Hiswani, 2004. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih
Menjad Masalah Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-
hiswani12.pdf http://eprints.ums.ac.id/1143/1/1-8.pdf
Kementerian Kesehatan RI. Strategi Nasional Pengendalian TB di
Indonesia 2010-2014. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI; 2011
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan [Kemenkes
RI]. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
Kementrian Kesehatan RI. Jakarta.
47

Levy J. HIV and pathogenesis of AIDS (e-book). 3yh ed. Washington DC:
Americana Society for Microbilogy Press; 2007 (cited 2011 May
23). Available from: http://books.google.co.id/books.
Manalu, M.S.M, dan Biran, H.S.I. 2012. Infeksi Bakteri Pada Pejamu
Immunocompromised Dexa Media. Jurnal Kedokteran dan Farmasi,
20(1).
Raviglione, M. C., & O’Brien, R. J. (2016). Tuberculosis. In C. Wiener, D.
L. Kasper, A. S. Fauci, S. L. Hausen, D. L. Longo, J. L. Jameson,
B. Huston (Eds.), Harrison’s : Principles of Internal Medicine (19th
ed.). USA: McGraw-Hill Medical Education.
Syaiful W Harahap. 2003. Diskriminasi terhadap pengidap HIV.
http://www.kesrepro.info/?q=node/318.10 Agustus 2010.
Skiest D. Focal neurologicaldisease in patient with acquired
immunodefiency syndrome. Clin Infect Dis, 2002; 34:103-15.
Taha M, Deribew A, Tessema F, Assegid S, Duchateau L, Colebunders R.
Risk factors of active tuberculosis in people living with HIV/AIDS in
Southwest Ethiopia: A case control study. 2011.
Ward, J. P. T., Ward, J., Leach, R. M., & Wiener, C. M. (2006). The
Respiratory System at a Glance (2nd ed.). United Kingdom: Wiley-
Blackwell.
Zulkifli Amin., Asril Bahar. 2006. Tuberkulosis paru. Ilmu penyakit dalam.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbit IPD FKUI. p. 988-994.
48

Lampiran 1
Tabel 5.
Hasil Pemeriksaan Jumlah Leukosit pada Penderita HIV koinfeksi
Tuberkulosis

No Nama Jenis Kelamin Usia Jumlah Leukosit (sel/mm3)

1 AD L 37 15.100
2 NL P 36 11.350
3 NS L 39 15.010
4 SC P 26 3.460
5 MT P 28 3.920
6 NS L 63 8.270
7 RN L 25 3.930
8 MR P 50 19.060
9 PN L 35 1.570
10 SD L 27 6.080
11 HL L 36 6.290
12 AY L 34 3.980
13 SH L 45 3.500
14 FN P 48 2.120
15 EW L 25 3.260
16 YD L 27 5.990
17 SR P 34 8.230
18 SA P 28 4.800
19 RD L 24 2.560
20 RA L 25 8.070
21 RH L 39 3.510
22 LV P 25 6.160
23 EN P 35 8.440
24 MH L 37 4.240
49

25 WH L 33 2.830
26 FD L 34 2.980
27 JM L 41 12.600
28 ES P 27 11.470
29 IH L 51 7.040
30 FR L 43 4.080
31 PN L 58 1.640
32 MZ L 31 3.330
33 AL P 30 2.910
34 AP L 37 3.040
35 FZ P 33 23.460
Lampiran 2

Gambar 2
Hematology Analyzer Sysmex XE-5000 dan XE-2100

Prosedur :
1) Dipastikan Main Unit ready dan lampu hijau menyala.
2) Ditekan tombol “MANUAL” pada panel keyboard main unit.
3) Dimasukan nomor sample melalui keyboard atau scanner
bila dilengkapi dengan barcode reader.
4) Ditekan tombol “▼” gunakan fungsi “◄►” untuk memilih
mode analisa Closed.
5) Dipastikan tabung sampel tertutup dengan bena.
6) Dilakukan homogenisasi pada sampel secara baik dan
benar.
7) Diletakkan tabung sampel pada rak sampel di posisi paling
kiri (posisi no 1).
8) Dietakkan rak sampel pada sampler disebelah kanan.
9) Untuk menjalankan tekan tombol “Start Switch”
Gambar 3.
Rapid test HIV

Prosedur kerja :
1) Dikeluarkan Test Pack Anti HIV dari aluminium foil.
2) Diteteskan 30 µl serum sampel ke dalam lubang sampel dan
dibiarkan sampai meresap (1 tetes dengan pipet yang tersedia).
3) Diteteskan 1 tetes buffer dan biarkan sampai meresap.
4) Dibaca hasil reaksi yang terjadi setelah 15 menit.

Gambar 4
Genexpert

Prosedur kerja :
1) Lihat tampilan GeneXpert Dx System, klik “CREATE TEST”.

2) Pindai barcode pada catridge Xpret MTB/RIF.

3) Akan tampil Create Test Window.

4) Menggunakan informasi barcode, mesin secara otomatis akan


mengisi kotak-kotak pada: Select Assay, Reagent Lot ID, Catridge

SN, and Expiration Date.

5) Pindai atau ketik identitas contoh uji. Pastikan identitas benar.

Identitas contoh uji berhubungan dengan hasil uji dan akan

ditampilkan “View Result” window dan semua laporan.

6) Klik “Start Test”.

7) Ketik kata sandi.

8) Bila lampu hijau berkedip, buka pintu modul dan masukkan catridge.

9) Tutup pintu.

10) Selama pengujian lampu hijau tetap menyala tanpa berkedip.

11) Apabila pengujian selesai lampu hijau akan padam.

12) Tunggu sampai sistem membuka pintu pada akhir pengujian,

kemudian buka pintu modul dan keluarkan catridge.

13) buang cantridge yang telah dipakai ke dalam wadah limbah sesuai

pedoman pengendalian penyakit infeksi (PPI)


GAMBARAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PENDERITA

HIV KOINFEKSI TUBERKULOSIS DI RSUD KOJA

PERIODE JANUARI – DESEMBER 2017

KARYA TULIS ILMIAH


Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Ahli Madya Analis Kesehatan

Oleh :

ARDINA NURPRATIWI

110151053

PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS M.H THAMRIN
JAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN
Karya Tulis Ilmiah Yang Berjudul
GAMBARAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PENDERITA HIV KOINFEKSI
TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
PERIODE JANUARI-DESEMBER 2017

Karya Tulis Ini Telah Diuji Pada Sidang Karya Tulis Ilmiah
Program Studi Diploma III Analis Kesehatan
Fakultas Kesehatan Universitas MH. Thamrin
Tanggal :
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, saya:

Nama : Ardina Nurpratiwi

NIM : 110151053

Program Studi : Diploma III Analis Kesehatan Fakultas Kesehatan

Universitas MH. Thamrin Jakarta.

Menyatakan bahwa saya tidak akan melakukan kegiatan plagiat dalam

penulis Karya Tulis Ilmiah yang berjudul:

GAMBARAN JUMLAH LEUKOSIT PENDERITA HIV KOINFEKSI

TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA PERIODE

JANUARI-DESEMBER 2017.

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat maka saya

menerima sanksi yang telah ditetapkan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Jakarta, Juli 2018

(Ardina Nurpratiwi)
ABSTRAK

HIV adalah virus sitopatik yang berasal dari famili retrovirus yang
mampu menginfeksi tubuh dalam periode inkubasi yang lama dan
menyebabkan tanda dan gejala AIDS sehingga menyebabkan kerusakan
sistem kekebalan tubuh pada host. Infeksi HIV meningkatkan resiko
terserangnya TB Paru dan sebaliknya infeksi TB meningkatkan
progresifitas HIV. TB Paru merupakan penyakit infeksi oportunistik yang
paling sering dijumpai yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Koinfeksi HIV-TB Paru sekarang ini merupakan penyebab
mortalitas utama di dunia dikarenakan oleh agen infeksius tersebut.HIV-
TB double infeksi yang membuat keadaan semakin parah, untuk itu harus
mengetahui hasil jumlah leukosit. Hitung jumlah leukosit dapat digunakan
sebagai rentan nilai suatu perjalanan penyakit. Dalam respon terhadap
infeksi, sel-sel darah putih akan datang dan berkumpul di tempat
terjadinya infeksi. Sel-sel tersebut akan bereaksi untuk mencegah
meluasnya infeksi sekaligus menurunkan tingkat infeksi.
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien penderita HIV
koinfeksi Tuberkulosis dan sampel pada penelitian ini adalah data pasien
penderita HIV yang terinfeksi Tuberkulosis melakukan pemerikaan leukosit
di RSUD KOJA periode Januari – Desember 2017.Dari hasil penelitian ini
diperoleh distribusi penderita HIV koinfeksi Tuberkulosis terbanyak
terdapat pada jenis kelamin laki-laki (65.7%), kelompok usia 20-40 tahun
(77.1%), jumlah leukosit rendah (48.6%).
Pihak RSUD Koja Jakarta Utara agar menjadi pedoman klinisi bagi
para klinisi dan petugas kesehatan dalam menangani penderita HIV
dengan koinfeksi TB diperlukan suatu strategi pelayanan kesehatan
yang lebih baik untuk meningkatkan pengendalian dan pencegahan
penyakit. Memberikan anjuran kepada masyarakat khususnya pada usia
produktif agar lebih meningkatkan kewaspadaan dan menghindari faktor-
faktor resiko yang bisa menyebabkan penularan serta melakukan pola
hidup sehat.

Kata Kunci : HIV, Tuberkulosis, Leukosit.


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan
penyusunan karya tulis yang berjudul “Hubungan Kadar Kolestrol Total
Dengan Tekanan Darah pada Rumah Sakit Umum Daerah Koja Periode
Januari-Desember 2017”. Karya tulis ilmiah ini dibuat untuk memenuhi
salah satu syarat ujian Diploma III Program Studi DIII Analis Kesehatan
Fakultas Kesehatan Universitas MH. Thamrin Jakarta.
Dalam penulisan karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan dan
banyak menemukan kesulitan yang sukar dipecahkan, akan tetapi atas
bimbingan, bantuan serta dorongan moril dari berbagai pihak, sehingga
karya tulis ini dapat di selesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. Sediarso, M. Farm, Apt. Selaku Ketua Program Studi DIII
Akademik Analis Kesehatan Fakultas Kesehatan Universitas MH.
Thamrin Jakarta.
2. Hadi Susanto, S.Pd, MMPd. selaku dosen pembimbing materi yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan untuk terselesaikannya
penulis karya tulis ilmiah ini.
3. Sumiati Bedah, SPd, SKM, MMPd. selaku dosen pembimbing teknis
yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan untuk
terselesaikannya penulis karya tulis ilmiah ini.
4. Pada dosen dan staff Program Studi Diploma III Analis Kesehatan
Universitas MH. Thamrin yang telah membantu dalam menyelesaikan
Karya Tulis Ilmiah ini.
5. Direktur Utama RSUD Koja dan Kepala Diklat RSUD Koja yang telah
mengizinkan penulisan untuk pengambilan data di RSUD Koja.
6. Kepada dr. Anugrah Sitta Latumahina, SpPk dan dr. Arleen
Suryatenggara, SpPk serta Cicih Sukaesih, Amd AK dan Staff

i
Instalasi Laboratorium RSUD Koja yang telah membantuk dalam
proses pengambilan data.
7. Bapak Drs Wasidi, ibu Suyati, kaka Subandrio, yang telah
memberikan semanngat, motivasi, inspirasi dan doanya sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
8. Teman terbaikku Dinna Setiyawati, Ani Rahayu, Suci Agustina,Vio
Tirtanigrum yang telah membantu dan memberikan semangat,
dukungan dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
9. Semua teman-teman mahasiswa Analis Kesehatan Angkatan 2015
yang telah memberikan bantuan dan dorongan dalam menyelesaikan
Karya Tulis Ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh
dari sempurna oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik demi
perbaikan Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya
bagi mahasiswa dan pembaca umumnya.

Jakarta, Juli 2018

Penulis

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Karya Tulis Ilmiah Yang Berjudul


GAMBARAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PENDERITA HIV KOINFEKSI
TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA PERIODE
JANUARI-DESEMBER 2017

Menyetujui

Pembimbing Materi Pembimbing Teknis

(Hadi Susanto, S.Pd, MMPd) (Sumiati Bedah, SPd, SKM, MMPd)

Diterima Oleh Panitia Ujian


Program Studi Diploma III Analis Kesehatan
Fakultas Kesehatan Universitas MH. Thamrin Jakarta
Sebagai Salah Satu Syarat Ujian Akhir Program

Mengetahui :
Ketua
Program Studi Diploma III Analis Kesehatan
Fakultas Kesehatan Universitas MH. Thamrin
Jakarta

(Drs. Sediarso, M. Farm, Apt)

iii
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR .. ..................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ...........................................................................

DAFTAR GAMBAR .........................................................................

DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................... 5

C. Pembatasan Masalah............................................................ 6

D. Perumusan Masalah ............................................................. 6

E. Tujuan Penelitian .................................................................. 6

1. Tujuan Umum ............................................................. 6

2. Tujuan Khusus ............................................................ 6

F. Manfaat Penelitian ............................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. HIV dan AIDS .................................................................. 6

1. Definisi HIV/AIDS ........................................................ 6

2. Epidemiologi HIV/AIDS ............................................... 7

3. Patofisiologi HIV/AIDS ................................................ 8

iv
4. Manifestasi klinis HIV/AIDS ........................................ 10

B. Tuberkulosis Paru ............................................................ 12

1. Definisi Tuberkulosis .................................................. 12

2. Klasifikasi Tuberkulosis............................................... 13

3. Etiologi Tuberkulosis ................................................... 14

4. Gejala klinis Tuberkulosis ........................................... 16

5. Factor-faktor yang mempengaruhi TBC ...................... 17

6. Pencegahan penyakit TBC ........................................ 18

7. Pemeriksaan Mikrobiologi .......................................... 20

a) Pemeriksaan Sputum ............................................. 20

b) Kriteria Sputum yang Baik ...................................... 20

c) Cara Pengumpulan Sputum ................................... 22

d) Interpretasi Hasil..................................................... 23

8. Hubungan HIV dengan Tuberkulosis ......................... 23

a) Gejala klinis .......................................................... 24

b) Faktor Risiko Terjadinya Koinfeksi

Tuberkulosis pada Pasien HIV/AIDS ..................... 25

C. Leukosit ........................................................................... 27

a) Pengertian Sel Darah Putih ....................................... 27

b) Fungsi Sel Darah Putih ............................................... 28

c) Hubungan Leukosit pada HIV .................................... 29

v
d) Hubungan Leukosit pada Tuberkulosis ...................... 30

D. Kerangka Berfikir ............................................................. 32

BAB III METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional Variabel Penelitian ......................... 33

B. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................ 34

C. Populasi dan Sampel ................................................... 34

D. Teknik Pengambilan Data ............................................... 34

E. Teknik Analisa Data ................................................... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil ............................................................................... 36

B. Pembahasan .................................................................. 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan .................................................................... 42

B. Saran ............................................................................. 42

DAFTAR PUSTAKA

vi
DAFTAR TABEL

Tabel Naskah Halaman


1. Skala IUATLD ......................................................................... 23
2. Distribusi Frekuensi Leukosit Berdasarkan Jenis Kelamin ...... 36
3. Distribusi Frekuensi Leukosit Berdasarkan usia ..................... 37
4. Distribusi Frekuensi Leukosit .................................................. 37
Lampiran
5. Hasil Pemerikaan Jumlah Leukosit pada Penderita HIV
koinfeksi Tuberkulosis ............................................................ 43

vii
BIODATA PENULIS

Nama : Ardina Nurpratiwi

NIM : 110151053

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 11 Desember 1996

Jenis Klamin : Perempuan.

Alamat : Jl. Bambu Wulung 1. Rt10/02 no 15

Agama : Islam

Email : ardinapratiwi11@gmail.com

Nomor Telepon : 08997614665

Jurusan : Diploma III Analis Kesehatan

Judul :Gambaran Jumlah Leukosit pada Penderita

HIV Koinfeksi Tuberkulosis Di RSUD Koja

Periode Januari-Desember 2017

viii
E. Kerangka Berfikir
Gambar 1

HIV Koinfeksi
Tuberkulosis

 Sosial ekonomi
 Status gizi
 Jenis kelamin
 usia

ix

Anda mungkin juga menyukai