TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) meupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi dari
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) dan sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis merupakan salah satu daripada 10
penyebab kematian utama di seluruh dunia. Pada tahun 2017, secara global dianggarkan 10 juta
orang menderita TB dan 1,6 juta meninggal dunia karena penyakit ini. Lebih dari 95% kasus dan
kematian berasal dari negara – negara yang sedang membangun.1
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sering ditemukan di Indonesia. Penyakit ini dapat
menyerang berbagai organ dalam tubuh manusia, terutama paru. Menurut badan kesehatan PBB,
World Health Organization (WHO), Indonesia berada dalam urutan ketiga di dunia dalam jumlah
kasus TB. Infeksi ini menular akibat hubungan dengan orang yang mengalami TB aktif. Lain
daripada infeksi HIV, infeksi TB menyebar melalui udara waktu orang dengan TB yang aktif
bersin atau batuk. Yang paling rentan terhadap penyakit TB adalah orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang kurang sehat, termasuk anak-anak, dan orang yang hidup dengan
HIV/AIDS (ODHA). HIV dapat menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga sistem tersebut
menjadi semakin rusak dan tidak mampu lagi bekerja sebagaimana semestinya.1
Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak lama merupakan penyakit menular yang endemis di
Indonesia dan saat ini Indonesia berada pada kedudukan kelima negara dengan beban TB
tertinggi di dunia. TB adalah penyakit menular secara langsung yang disebabkan oleh kuman TB
yaitu Mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya menyerang jaringan paru (TB paru)
namun dapat juga menyerang organ lain (TB ekstraparu) di dalam tubuh manusia. TB paru
mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit TB, sedangkan 20% selebihnya merupakan
TB ekstrapulmoner. Kuman tersebut masuk tubuh melalui udara pernafasan yang masuk ke
dalam paru, kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran nafas atau penyebaran langsung ke tubuh
lainnya. 2
World Health Organization (WHO) pada tahun 2013 memperkirakan dari 9 juta orang yang
terinfeksi Tuberkulosis (TB), 1.1 juta (13%) diantaranya juga terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus. Tingkat ko-infeksi TB-HIV dari orang-orang dengan hasil tes HIV
positif di 41 negara dengan beban TB dan HIV tinggi berada dikisaran 18-20%. Persentasi
tertinggi berada di wilayah Afrika sekitar 41%, sedangkan di Asia Tenggara sekitar 6%.
Indonesia menempati peringkat terendah dalam hal cakupan pasien TB dengan hasil tes HIV
diketahui, yaitu hanya sekitar 2%. Perkiraan WHO tentang jumlah pasien TB dengan status HIV
positif di Indonesia pada tahun 2013 sekitar 7,5% yang meningkat cukup signifikan
dibandingkan tahun 2012 yang hanya 3,3%. TB masih dilaporkan sebagai sebagai infeksi
oportunistik (IO) terbanyak pada ODHA yaitu sebesar 49% pada tahun 2010. TB juga
merupakan penyebab kematian utama pada ODHA. Termasuk pada mereka yang telah mendapat
Anti Retroviral Terapi (ART). Kematian penderita TB pada ODHA sekitar 40-50% terutama
pada TB paru dengan hasil pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) negatif dan TB ekstra paru
yang kemungkinan disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan terapi TB.5,6
TB paru
Pada pemeriksaan di bawah mikroskop, kuman ini akan tampak berbentuk batang berwarna
merah dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. Kuman ini sangat peka terhadap panas, sinar matahari
dan sinar ultraviolet sehingga sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit
setelah terpapar secara langsung. Manakala di dalam dahak, pada suhu antara 30 – 37°C, kuman
ini akan mati dalam waktu kurang lebih 1 minggu.1
HIV
HIV merupakan virus RNA namun dari RNA dapat berubah menjadi DNA dengan enzim
reverse transcriptase. Hasil transkripnya adalah DNA intermediate yang memasuki inti dan
berinegrasi dengan kromosom. Terdapat 4 jenis retrovirus yang menimbulkan penyakit pada
manusia yang terbagi dalam dua kelompok, virus limfotropik T yaitu: HTLV I dan HTLV II
yang bertransformasi menjadi HIV 1 dan HIV 2, yang mempunyai efek sitopatik langsung dan
tidak langsung menjadi AIDS. HIV 1 merupakan virus klasik pemacu AIDS, HIV 2 merupakan
virus yang diisolasi pada binatang dan sering asimptomatis pada manusia.2,6
Penularan terjadi pada waktu penderita TB paru dengan BTA positif batuk atau bersin
sehingga dapat menyebarkan kuman ke udara dalam percikan ludah (droplet). Orang dapat
terinfeksi jika droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan seseorang dengan daya tahan
tubuh yang lemah. Penderita TB dengan BTA negatif ini juga berkemungkinan untuk
menularkan penyakit TB. Pada penderita TB BTA positif, tingkat penularan adalah 65%,
manakala penderita TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% dan penderita TB
dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif adalah 17%. 2,6
Percobaan yang dilakukan adalah Richard membuat kandang yang berisikan 150 marmut
dan marmut tersebut rentan terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis secara alami. Kandang
marmut dialiri udara dari bangsal pasien penderita TB. Marmut tersebut akan diuji reaktivasi
intradermal puried protein derivative (PPD) dari bakteri Mycobacterium tuberculosis dan yang
mengalami reaktif akan dilakukan pembedahan untuk melihat perubahan patologis infeksi. Hal
tersebut dilakukan setiap bulannya dan diperkirakan ada 0 – 10 hewan yang terinfeksi setiap
bulannya. Selama 2 tahun percobaan, ditemukan setengah dari marmut tersebut terinfeksi TB.
Apabila menghitung volume udara yang dihirup, rata-rata satu kuantum infeksi TB adalah sekitar
12.000 kaki kubik udara.16 Percobaan tersebut mengartikan bahwa lingkungan yang padat dan
pemukiman di perkotaan dapat mempermudah proses penularan dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. 7,8
Selain itu, Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman tahan asam karena
sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglycan, dan
arabinogalactan. 7,9,10
Mycobacterium tuberculosis memiliki sifat dormant sehingga mampu
bertahan hidup pada udara kering dan keadaaan dingin. Selain itu, Mycobacterium tuberculosis
bersifat aerob sehingga kuman ini lebih senang pada jaringan yang tinggi oksigen, yaitu paru.
Mycobacterium tuberculosis juga hidup sebagai parasit intraselular karena banyaknya lipid yang
dimiliki.7
Gejala klinis HIV/AIDS bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan, dan berat.
Menurut WHO 2013, stadium infeksi HIV dapat dibagi sebagai berikut:12
3.6.1 Tingkat klinis 1 (asimptomatik)
- Tanpa gejala sama sekali
- Limfadenopati generalisata persisten (LGP)
Pada stadium ini penderita belum mengalami kelainan dan dapat melakukan aktivitas normal
3.6.2 Tingkat klinis 2 (dini)
- Penurunan berat badan kurang dari 10%
- Kelainan mulut dan kulit ringan: dermatitis seboroik, ulkus pada mulut yang berulang,
dll.
- Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran nafas bagian atas berulang.
3.6.3 Tingkat klinis 3 (menengah)
- Penurunan berat badan lebih dari 10%
- Diare kronik lebih dari satu bulan tanpa penyebab yang jelas diketahui.
- Demam yang tidak diketahui sebabnya lebih dari satu bulan, dapat terjadi terus menerus
atau hilang timbul.
- Kandidosis mulut
- Timbul bercak putih di mulut.
- Menderita tuberkulosis paru setahun terakhir.
- Infeksi bakterial berat.
3.6.4 Tingkat 4 (berat)
Neoplasma yang memberikan petunjuk kemungkinan AIDS:
- Sarkoma Kaposi laki-laki dibawah umur 60 tahun
- Limfoma (non-Hodgkin)
- Karsinoma sel skuamosa pada mulut dan anus.
TB Paru
a. Tuberkulosis Primer
Kuman dapat menetap pada jaringan paru atau ke organ tubuh lainnya, seperti
saluran gastrointestinal, orofaring, dan kulit karena kuman Mycobacterium
tuberculosis dapat menyebabkan limfadenopati regional yang nantinya kuman akan
masuk ke dalam vena dan menyebar ke seluruh organ. Bila kuman Mycobacterium
tuberculosis memasuki arteri pulmonalis, kuman akan menyebar ke seluruh lapangan
paru. Hal inilah yang disebut dengan TB milier. Kuman Mycobacterium tuberculosis
yang menetap pada jaringan paru akan berkembang biak pada sitoplasma makrofag
dan akan membentuk sarang TB disebut sarang primer/afek primer/ fokus Ghon.13,14
Biasanya kompleks primer atau Ranke tersebut dapat sembuh total tanpa
meninggalkan cacat, tetapi dapat juga meninggalkan cacat, seperti kalsifikasi di hilus,
garis-garis fibrotik, dan lesi pneumonia dengan luas >5 mm. Sekitar 10% dapat terjadi
reaktivasi akibat kuman yang dormant. Kompleks primer juga dapat menyebar dan
komplikasi ke organ lain dengan cara perkontinuitatum, limfogen dan hematogen,
bahkan bila kuman dalam sputum tertelan dapat menyebar ke usus.13
Masuknya virus HIV ke dalam tubuh dapat melalui darah, cairan semen, cairan
vagina, cairan serviks, dan ASI yang akan menginfeksi dan mendestruksi sistem imun
terutama sel limfosit CD4 (cluster of differentiation 4). HIV dapat berada laten dalam
sel imun dan sewaktu-waktu dapat aktif kembali. Replikasi virus di dalam sel
menimbulkan kematian sel dan menyebar ke sel CD4 lain yang tidak terinfeksi. Bila
kadar CD4 turun dibawah 100/µl kejadian infeksi oportunistik dan keganasan akan
meningkat17.
HIV merpakan retrovirus dari subfamili lentivirus. HIV memiliki dua subtipe
yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-2 sangat mirip dengan virus simian yang ditemukan
pada simpanse di Afrika Barat dan hanya ditemukan di benua ini. HIV-1 adalah
penyebab paling banyak AIDS di seluruh dunia. Virion HIV terdiri dari struktur bulat
dengan amplop luar dan inti dalam. Inti terdiri dari dua kopi genom RNA, enzim
(reverse transcriptase dan integrase) dan protein regulator. Virion juga dikelilingi oleh
glikoprotein yang berfungsi untuk menempel dan memasuki sel CD4 target. Setelah
penempelan terjadi, enzim reverse transcriptase akan membentuk DNA virus dari
RNA asal. Enzim integrase akan mengintegrasi DNA induk dengan DNA virus.
Poliprotein virus dan RNA terbentuk dan partikel virus baru akan terbentuk. Siklus
HIV ini akan terus berlanjut ke lebih banyak CD4 lain sehingga menyebabkan
turunnya sistem imun. HIV tidak bereplikasi dengan cepat ketika host (limfosit atau
sel makrofag) sedang tidak aktif. Faktor-faktor aktifasi seluler dapat memediasi
ekspresi protein regulator yang berguna untuk replikasi virus seperti Tat, rev dan
nef.12
3.8 Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)2,5
– TB paru BTA positif: minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif
– TB paru BTA negatif: hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis dan
radiologis mendukung TB atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif
– TB ekstraparu pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun,
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (anti retroviral; ARV) bermanfaat
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Manfaat ARV dicapai melalui
pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi
oportunistik. Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri dari;
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan ARV
b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertasi seperti
jamur, TB, hepatitis, toksoplasma, sarkoma Kaposi, limfoma, kanker serviks
c. Pengobatan suportif sepeti makanan yang bergizi, dukungan psikososial, dan agama,
istirahat yang cukup serta kebersihan.
Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang ketiganya harus
terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal dengan highly active
antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering disingkat menjadi ART (antiretroviral
therapy) atau terapi ARV. Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan
ARV dengan berdasarkan pada 5 aspek yaitu efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat,
kepatuhan, dan harga obat.Indikasi memulai terapi ART :
Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum pernah
1. Paduan ART lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa
Tabel 3.2. ART lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa, termasuk ibu hamil dan
menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan TB
a. Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50 ml/menit, atau pada
kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
b. Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi
c. Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV
Pemantauan setelah pemberian ARV
Pemantauan klinis dalam pengawasan dokter dilakukan rutin minimal sebulan sekali dalam 6
bulan pertama setelah inisiasi ART. Pemantauan oleh dokter selanjutnya dapat dilakukan
minimal 3 bulan sekali atau lebih sering, sesuai dengan kondisi dan kepatuhan pengobatan. Tes
Tabel 3.5 Definisi Kegagalan Terapi dan Keputusan untuk Ubah Paduan (Switch) ARV
Gambar 2.5 Alur pemeriksaan HIV RNA untuk evaluasi terapi ARV
B. Paduan ARV Lini Kedua
Resistansi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang mengalami
kegagalan terapi. Resistansi terjadi ketika HIV terus berproliferasi meskipun dalam terapi ARV.
Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI atau 3TC, hampir pasti terjadi resistansi
terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Penggunaan ARV menggunakan kombinasi 2 NRTI +
boosted PI menjadi rekomendasi sebagai terapi pilihan lini kedua untuk dewasa, remaja, dan juga
anak dengan paduan berbasis NNRTI yang digunakan sebagai lini pertama.
Prinsip pemilihan paduan ARV lini kedua adalah pilih kelas obat ARV sebanyak
mungkin, dan bila kelas obat yang sama akan dipilih maka pilihlah obat yang sama sekali belum
dipakai sebelumnya. Anak dengan paduan berbasis PI untuk lini pertama, diubah (switch) ke
NNRTI atau tetap berbasis PI namun sesuaikan dengan umur yang direkomendasikan.
Selengkapnya pilihan paduan ARV beserta efek samping yang mungkin timbul dapat dilihat
dalam tabel 14, 15, dan 16 sebagai berikut:
Tabel 3.6 Paduan ART Lini Kedua
c. Ibu sebaiknya diberikan penjelasan mengenai pilihan nutrisi yang aman bagi bayinya
sebelum melahirkan.
Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja (bukan mixed
feeding). Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV negatif atau
tidak diketahui status HIV-nya, jika seluruh syarat AFASS (affordable/terjangkau,
feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima, sustainable/berkesinambungan dan
safe/aman) dapat
dipenuhi.
Di negara berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO menganjurkan
pemberian ASI eksklusif 6 bulan, yang cukup aman selama ibu mendapat terapi ARV secara
teratur dan benar.
3. Pencegahan Pasca Pajanan HIV (PPP)
Pencegahan pasca pajanan (PPP) adalah pemberian ARV dalam waktu singkat untuk
mengurangi kemungkinan didapatnya infeksi HIV setelah terpapar ketika bekerja atau setelah
kekerasan seksual. PPP sebaiknya ditawarkan pada kedua kelompok pajanan tersebut dan
diberikan sesegera mungkin dalam waktu 72 jam setelah paparan. Penilaian kebutuhan PPP
harus berdasarkan status HIV sumber paparan jika memungkinkan, dan pertimbangan prevalensi
dan epidemiologi HIV di tempat tersebut. PPP tidak diberikan jika orang yang berisiko terpapar
sebenarnya HIV positif atau sumber paparannya HIV negatif. Lamanya pemberian PPP HIV
adalah 28-30 hari. Pilihan obat PPP harus didasarkan pada paduan ARV lini pertama yang
digunakan, juga mempertimbangkan kemungkinan resistansi ARV pada sumber paparan. Oleh
karena itu, sebelum pemberian PPP sebaiknya diketahui jenis dan riwayat ARV sumber paparan,
termasuk kepatuhannya. Untuk pilihan obat PPP dapat dilihat dalam tabel 21 sebagai berikut.
Tabel 3.9. Pilihan paduan untuk PPP
Saat ini PPP juga dianjurkan untuk diberikan pada kasus kekerasan seksual. Mengingat
banyaknya kesulitan menyelesaikan paduan PPP ini, diperlukan dukungan dan konseling
kepatuhan sebelum dan selama menggunakan ARV untuk PPP.
TATA LAKSANA INFEKSI OPORTUNISTIK DAN KOMORBIDITAS
1. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian dari pelayanan HIV. Berbagai
penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol dalam
menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Sudah ada beberapa
rekomendasi untuk memberikan kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan pada ODHA
dewasa, wanita hamil dan anak untuk Pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis dan infeksi
bakteri, manfaat untuk profilaksis malaria dan petunjuk pemberhentian kotrimoksasol.
Pada ODHA dewasa yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 <200 sel/mm3 Atau
stadium klinis WHO 2, 3 atau 4, serta Tuberkulosis aktif, dengan berapapun nilai CD4
dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV dengan dosis 960 mg
sekali sehari. Hal tersebut berguna untuk tes kepatuhan ODHA dalam minum obat dan
menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV,
mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping
Kotrimoksasol. Selama pemakaian ppk perlu pemantauan terhadap klinis dengan interval
tiap 3 bulan. Kriteria pemberhentian Jika CD4 ≥ 200sel/mm3 setelah 6 bulan ARV; Jika tidak
tersedia pemeriksaan CD4, PPK diberhentikan setelah 2 tahun ART; Sampai pengobatan TB
selesai apabila CD4 > 200 sel/mm3
2. Tuberkulosis
Tuberkulosis pada ODHA Dewasa
1) Diagnosis
Gejala klinis TB pada ODHA tidak spesifik. Pada sebagian besar ODHA gejala klinis yang
sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan, sedangkan
keluhan batuk pada ODHA seringkali tidak spesifik seperti yang dialami terduga TB pada
umumnya. Oleh karena itu direkomendasikan bila ODHA datang dengan keluhan batuk
diagnosis TB.
Baik deteksi dini TB pada ODHA maupun deteksi dini HIV pada pasien TB keduanya
penting untuk meningkatkan penemuan dini koinfeksi TB-HIV, sehingga dapat memulai
a) Diagnosis TB paru
Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang dengan HIV
negatif. Diagnosis harus ditegakkan terlebih dahulu dengan konfirmasi bakteriologis, yaitu
pemeriksaan mikroskopis langsung, tes cepat dan biakan. Apabila pemeriksaan secara
bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis
TB ekstra paru lebih sering ditemukan pada ODHA dibandingkan pasien tanpa HIV,
sehingga bila ditemukan TB ekstra paru harus dipikirkan kemungkinan adanya HIV. TB
ekstra paru yang sering ditemukan adalah pada organ kelenjar getah bening leher atau aksila,
abdomen, efusi pleura, efusi perikardial, efusi peritoneal, meningitis, dan mediastinum.
Gejala dan keluhannya tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis
pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya. Diagnosis pasti TB ekstra paru pada ODHA berdasarkan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologis dari lesi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.
Dilakukan pemeriksaan mikroskopis dahak SPS apabila juga ditemukan keluhan dan gejala
2) Pengobatan Semua pasien TB (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah
diobati harus diberi paduan OAT lini pertama kategori 1 yang disepakati secara internasional,
hal ini sesuai ISTC standar 8. Untuk dosis dan paduan OAT dewasa dapat dilihat dalam tabel
26 dan 27. Dosis OAT yang diberikan dianjurkan untuk mengikuti anjuran internasional dan
sangat dianjurkan dalam kombinasi dosis tetap (KDT).
Pada ODHA dengan TB ekstra paru, paduan OAT diberikan paling sedikit 9
bulan (2 bulan RHZE diikuti dengan 7 bulan RH). Pada TB ekstra paru pada sistem
saraf pusat (tuberkuloma atau meningitis) dan TB tulang/sendi, direkomendasikan
paling sedikit selama 12 bulan. Terapi ajuvan kortikosteroid sebaiknya ditambahkan
pada TB meningitis dan perikardial. Terapi kortikosteroid dimulai secara IV
secepatnya, lalu diubah ke bentuk oral tergantung perbaikan klinis
8. Islam FF, et al: Relative risk of cardiovascular disease among people living with
HIV: a systematic review and meta-analysis. HIV Med 13:453–468, 2012.
9. Benito N, et al: Pulmonary infections in HIV-infected patients: an update in the 21st
century. Eur Respir J 39:730–745, 2012.
10. Taylor L, et al: HIV coinfection with hepatitis C virus: evolving epidemiology and
treatment paradigms. Clin Infect Dis 55(Suppl 1):S33–S42, 2012.
11. Günthard HF, et al: Antiretroviral treatment of adult HIV infection: 2014 recom-
mendations of the International Antiviral Society–USA Panel. JAMA 312:410–425,
2014.
12. Fauci AS, Lane HC. Human immunodeficiency virus disease:AIDS and realted disorder. .
In: Longo, Fauci, Kasper, Houser, Jameson, Loscalzo, Harrison’s principle of internal
14. Sudoyo, Aru W, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
15. Broaddus VC, Manson RJ, Ernst JD. Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory
Medicine.; 2016. doi:10.1016/B978-1-4557-3383-5.00130
16. Schluger NW. The Pathogenesis of Tuberculosis: The First One Hundred (and Twenty-
Three) Years. Am J Respir Cell Mol Biol. 2009;32(4):251- 256. doi:10.1165/rcmb.F293
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Pengobatan Antiretroviral; 2014; 1-12