Anda di halaman 1dari 28

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) meupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi dari
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) dan sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis merupakan salah satu daripada 10
penyebab kematian utama di seluruh dunia. Pada tahun 2017, secara global dianggarkan 10 juta
orang menderita TB dan 1,6 juta meninggal dunia karena penyakit ini. Lebih dari 95% kasus dan
kematian berasal dari negara – negara yang sedang membangun.1

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sering ditemukan di Indonesia. Penyakit ini dapat
menyerang berbagai organ dalam tubuh manusia, terutama paru. Menurut badan kesehatan PBB,
World Health Organization (WHO), Indonesia berada dalam urutan ketiga di dunia dalam jumlah
kasus TB. Infeksi ini menular akibat hubungan dengan orang yang mengalami TB aktif. Lain
daripada infeksi HIV, infeksi TB menyebar melalui udara waktu orang dengan TB yang aktif
bersin atau batuk. Yang paling rentan terhadap penyakit TB adalah orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang kurang sehat, termasuk anak-anak, dan orang yang hidup dengan
HIV/AIDS (ODHA). HIV dapat menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga sistem tersebut
menjadi semakin rusak dan tidak mampu lagi bekerja sebagaimana semestinya.1

Epidemi HIV menunjukan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TBC di seluruh


dunia yang berakibat pada meningkatnya jumlah kasus TBC di masyarakat. Di Indonesia
prevalensi HIV pada pasien TBC adalah sekitar 2.4%. TBC juga merupakan tantangan bagi
pengendalian HIV AIDS karena merupakan infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA).1

3.2 Definisi TB paru dan HIV/AIDS

Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak lama merupakan penyakit menular yang endemis di
Indonesia dan saat ini Indonesia berada pada kedudukan kelima negara dengan beban TB
tertinggi di dunia. TB adalah penyakit menular secara langsung yang disebabkan oleh kuman TB
yaitu Mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya menyerang jaringan paru (TB paru)
namun dapat juga menyerang organ lain (TB ekstraparu) di dalam tubuh manusia. TB paru
mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit TB, sedangkan 20% selebihnya merupakan
TB ekstrapulmoner. Kuman tersebut masuk tubuh melalui udara pernafasan yang masuk ke
dalam paru, kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran nafas atau penyebaran langsung ke tubuh
lainnya. 2

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan manifestasi paling serius dari


penyakit yang ditimbulkan akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Sindroma ini
didefinisikan sebagai progresifitas infeksi opurtunistik serius, reaksi autoimun, neoplasma dan
manifestasi-manifestasi lain yang mengancam jiwa akibat infeksi HIV. Definisi menurut The
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah kadar CD4 kurang dari 200 sel/µL
dengan adanya AIDS-Defining Conditions.3,4

3.3 Epidemiologi TB Paru dan HIV/AIDS

World Health Organization (WHO) pada tahun 2013 memperkirakan dari 9 juta orang yang
terinfeksi Tuberkulosis (TB), 1.1 juta (13%) diantaranya juga terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus. Tingkat ko-infeksi TB-HIV dari orang-orang dengan hasil tes HIV
positif di 41 negara dengan beban TB dan HIV tinggi berada dikisaran 18-20%. Persentasi
tertinggi berada di wilayah Afrika sekitar 41%, sedangkan di Asia Tenggara sekitar 6%.
Indonesia menempati peringkat terendah dalam hal cakupan pasien TB dengan hasil tes HIV
diketahui, yaitu hanya sekitar 2%. Perkiraan WHO tentang jumlah pasien TB dengan status HIV
positif di Indonesia pada tahun 2013 sekitar 7,5% yang meningkat cukup signifikan
dibandingkan tahun 2012 yang hanya 3,3%. TB masih dilaporkan sebagai sebagai infeksi
oportunistik (IO) terbanyak pada ODHA yaitu sebesar 49% pada tahun 2010. TB juga
merupakan penyebab kematian utama pada ODHA. Termasuk pada mereka yang telah mendapat
Anti Retroviral Terapi (ART). Kematian penderita TB pada ODHA sekitar 40-50% terutama
pada TB paru dengan hasil pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) negatif dan TB ekstra paru
yang kemungkinan disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan terapi TB.5,6

3.4 Etiologi TB Paru dan HIV/AIDS

TB paru

Mycobacterium. tuberculosis merupakan sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran


panjang sekitar 1 – 10 mikron dengan ketebalan 0,2 – 0,6 mikron. Dinding kuman ini sebagian
besar terdiri dari asam lemak atau lipid, peptidoglikan dan arabinoman. Kuman ini juga disebut
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA) dan sifat ini dikarenakan adanya lapisan lipid pada dinding
kuman tersebut. Selain itu, untuk pembiakan, diperlukan media khusus antara lain Lowenstein
Jensen atau Ogawa.5,6

Pada pemeriksaan di bawah mikroskop, kuman ini akan tampak berbentuk batang berwarna
merah dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. Kuman ini sangat peka terhadap panas, sinar matahari
dan sinar ultraviolet sehingga sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit
setelah terpapar secara langsung. Manakala di dalam dahak, pada suhu antara 30 – 37°C, kuman
ini akan mati dalam waktu kurang lebih 1 minggu.1

HIV

HIV merupakan virus RNA namun dari RNA dapat berubah menjadi DNA dengan enzim
reverse transcriptase. Hasil transkripnya adalah DNA intermediate yang memasuki inti dan
berinegrasi dengan kromosom. Terdapat 4 jenis retrovirus yang menimbulkan penyakit pada
manusia yang terbagi dalam dua kelompok, virus limfotropik T yaitu: HTLV I dan HTLV II
yang bertransformasi menjadi HIV 1 dan HIV 2, yang mempunyai efek sitopatik langsung dan
tidak langsung menjadi AIDS. HIV 1 merupakan virus klasik pemacu AIDS, HIV 2 merupakan
virus yang diisolasi pada binatang dan sering asimptomatis pada manusia.2,6

3.5 Penularan TB Paru pada HIV/AIDS

Penularan terjadi pada waktu penderita TB paru dengan BTA positif batuk atau bersin
sehingga dapat menyebarkan kuman ke udara dalam percikan ludah (droplet). Orang dapat
terinfeksi jika droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan seseorang dengan daya tahan
tubuh yang lemah. Penderita TB dengan BTA negatif ini juga berkemungkinan untuk
menularkan penyakit TB. Pada penderita TB BTA positif, tingkat penularan adalah 65%,
manakala penderita TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% dan penderita TB
dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif adalah 17%. 2,6

Percobaan yang dilakukan adalah Richard membuat kandang yang berisikan 150 marmut
dan marmut tersebut rentan terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis secara alami. Kandang
marmut dialiri udara dari bangsal pasien penderita TB. Marmut tersebut akan diuji reaktivasi
intradermal puried protein derivative (PPD) dari bakteri Mycobacterium tuberculosis dan yang
mengalami reaktif akan dilakukan pembedahan untuk melihat perubahan patologis infeksi. Hal
tersebut dilakukan setiap bulannya dan diperkirakan ada 0 – 10 hewan yang terinfeksi setiap
bulannya. Selama 2 tahun percobaan, ditemukan setengah dari marmut tersebut terinfeksi TB.
Apabila menghitung volume udara yang dihirup, rata-rata satu kuantum infeksi TB adalah sekitar
12.000 kaki kubik udara.16 Percobaan tersebut mengartikan bahwa lingkungan yang padat dan
pemukiman di perkotaan dapat mempermudah proses penularan dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. 7,8
Selain itu, Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman tahan asam karena
sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglycan, dan
arabinogalactan. 7,9,10
Mycobacterium tuberculosis memiliki sifat dormant sehingga mampu
bertahan hidup pada udara kering dan keadaaan dingin. Selain itu, Mycobacterium tuberculosis
bersifat aerob sehingga kuman ini lebih senang pada jaringan yang tinggi oksigen, yaitu paru.
Mycobacterium tuberculosis juga hidup sebagai parasit intraselular karena banyaknya lipid yang
dimiliki.7

Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui 3 cara, yaitu:


3.5.1 Transmisi secara vertikal
Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu
hamil, sewaktu persalinan, dan setelah persalinan melalui Air Susu Ibu (ASI).
3.5.2 Transmisi melalui darah atau produk darah
Terutama pada individu pengguna narkotika intravena dengan pemakaian jarum suntik secara
bersama dalam satu kelompok yang tidak disterilisasi. Dapat juga terjadi pada individu yang
menerima transfusi darah atau produk darah yang tidak diberi tes penapisan HIV.
3.5.3 Transmisi melalui kontak seksual
Dapat menular secara homoseksual atau heteroseksual. Virus HIV dapat ditemukan dalam cairan
semen, cairan vagina dan cairan serviks. Sejauh ini, transmisi secara efisien terjadi melalui
darah, cairan semen, cairan vagina,cairan serviks, dan ASI7.
Penularan melalui kontak heteroseksual tanpa pengaman kemudian transmisi dari ibu ke anak
merupakan model transmisi yang paling banyak ditemukan di dunia, terhitung sekitar 85%
penularan AIDS ditularkan melalui jalur ini. Penderita AIDS di dunia terbanyak terdapat pada
negara-negara subhara Afrika dengan total 75% penderita AIDS dunia tertular dengan model
transmisi ibu-anak akibat sedikitnya pengobatan AIDS pada negara ini, hal serupa juga
ditemukan pada negara-negara Asia dengan ekonomi rendah. Model transmisi lain di negara-
negara dengan ekonomi tinggi, seperti di Amerika Utara dan Eropa Barat dan Tengah merupakan
kontak homoseksual antara laki-laki dengan laki-laki, diikuti dengan penggunaan jarum suntik
dan kontak seksual dengan Pekerja Seks Komersial (PSK) tanpa pengaman. Penggunaan jarum
suntik bersama atau tertusuk tanpa sengaja juga dapat menularkan HIV, regimen profilaksis yang
direkomendasikan oleh CDC harus didapatkan dalam kurun waktu 72 jam setelah terpapar7,9,10.
Risiko transmisi juga bervariasi tergantung cara penularan, 1 sampai 30% untuk senggama
reseptif melalui anal, 0.1 sampai 10% untuk reseptif vaginal dan insertif anal. Sedangkan untuk
risiko terinfeksi HIV pada pajanan tertusuk jarum sekitar 0.33%10,11.

3.6 Gambaran TB HIV1,12

Infeksi dini (CD 4 >200) Infeksi lanjut (CD4 <200)

Dahak mikroskopis Sering positif Sering negatif

TB ekstraparu Jarang Umum / banyak

Mikobakterimia Tidak ada Ada

Tuberculin Positif Negatif

Foto toraks Reaktivasi TB, kavitas di Tipikal primer TB milier/


puncak interstisial

Adenopati hilus/ Tidak ada Ada


mediastinum

Efusi pleura Tidak ada Ada

Gejala klinis HIV/AIDS bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan, dan berat.
Menurut WHO 2013, stadium infeksi HIV dapat dibagi sebagai berikut:12
3.6.1 Tingkat klinis 1 (asimptomatik)
- Tanpa gejala sama sekali
- Limfadenopati generalisata persisten (LGP)
Pada stadium ini penderita belum mengalami kelainan dan dapat melakukan aktivitas normal
3.6.2 Tingkat klinis 2 (dini)
- Penurunan berat badan kurang dari 10%
- Kelainan mulut dan kulit ringan: dermatitis seboroik, ulkus pada mulut yang berulang,
dll.
- Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran nafas bagian atas berulang.
3.6.3 Tingkat klinis 3 (menengah)
- Penurunan berat badan lebih dari 10%
- Diare kronik lebih dari satu bulan tanpa penyebab yang jelas diketahui.
- Demam yang tidak diketahui sebabnya lebih dari satu bulan, dapat terjadi terus menerus
atau hilang timbul.
- Kandidosis mulut
- Timbul bercak putih di mulut.
- Menderita tuberkulosis paru setahun terakhir.
- Infeksi bakterial berat.
3.6.4 Tingkat 4 (berat)
Neoplasma yang memberikan petunjuk kemungkinan AIDS:
- Sarkoma Kaposi laki-laki dibawah umur 60 tahun
- Limfoma (non-Hodgkin)
- Karsinoma sel skuamosa pada mulut dan anus.

3.7 Patogenesis TB paru dan HIV

 TB Paru

Patogenesis TB memiliki dua tahapan, yaitu:

a. Tuberkulosis Primer

Seorang penderita TB menyebarkan kuman dengan cara dibatukkan atau


dibersinkan sehingga terdapat droplet nuclei di lingkungan sekitarnya. Apabila tidak
ada sinar matahari, ventilasi buruk, suasana lembab dan gelap, kuman dapat bertahan
berhari-hari hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya bertahan di udara bebas selama 1
– 2 jam.13
Kuman tersebut apabila terhirup oleh orang yang sehat akan menempel pada
saluran nafas. Bila ukuran partikel kurang dari lima mikrometer akan menempel di
jaringan paru, yaitu di alveolar.7 Awalnya, kuman akan diserang dan difagositosis
oleh neutrofil kemudian oleh makrofag alveolar dan dibersihkan oleh makrofag
keluar dari percabangan trakeobronkial.13,14

Kuman dapat menetap pada jaringan paru atau ke organ tubuh lainnya, seperti
saluran gastrointestinal, orofaring, dan kulit karena kuman Mycobacterium
tuberculosis dapat menyebabkan limfadenopati regional yang nantinya kuman akan
masuk ke dalam vena dan menyebar ke seluruh organ. Bila kuman Mycobacterium
tuberculosis memasuki arteri pulmonalis, kuman akan menyebar ke seluruh lapangan
paru. Hal inilah yang disebut dengan TB milier. Kuman Mycobacterium tuberculosis
yang menetap pada jaringan paru akan berkembang biak pada sitoplasma makrofag
dan akan membentuk sarang TB disebut sarang primer/afek primer/ fokus Ghon.13,14

Sarang primer tersebut akan menyebabkan limfangitis lokal dan limfadenitis


regional yang terjadi selama 3-8 minggu. Bila ketiga keadaan tersebut ada disebut
dengan kompleks primer atau Ranke.13

Biasanya kompleks primer atau Ranke tersebut dapat sembuh total tanpa
meninggalkan cacat, tetapi dapat juga meninggalkan cacat, seperti kalsifikasi di hilus,
garis-garis fibrotik, dan lesi pneumonia dengan luas >5 mm. Sekitar 10% dapat terjadi
reaktivasi akibat kuman yang dormant. Kompleks primer juga dapat menyebar dan
komplikasi ke organ lain dengan cara perkontinuitatum, limfogen dan hematogen,
bahkan bila kuman dalam sputum tertelan dapat menyebar ke usus.13

b. Tuberkulosis Pasca Primer (TB Sekunder)


Kuman Mycobacterium tuberculosis pada TB primer dapat dormant selama
bertahun-tahun, tetapi sekitar 90% dapat terjadi reinfeksi terutama pada orang-orang
yang mengalami immunodeficiency, seperti malnutrisi, diabetes, HIV-AIDS, dan
penyakit maligna. Reinfeksi tersebut disebut dengan TB pasca primer (TB sekunder)
yang biasanya berlokasi di regio atas paru atau bagian apikal-posterior lobus
superior/inferior dan invasi ke daerah parenkim paru. Reinfeksi ini awalnya
membentuk sarang dini yang terjadi selama 3 – 10 minggu. Sarang tersebut akan
berubah menjadi suatu granuloma yang berisikan sel-sel histiosit dan sel datia-
langerhans yang dikelilingi oleh sel limfosit dan jaringan ikat. Gambaran tersebut
disebut juga dengan tuberkel.
Tuberkel ini adalah suatu ciri patologis dari TB. Granuloma yang terbentuk
dianggap sebagai pelindung dari bakteri karena membentuk dinding agar tidak terjadi
penyebaran.15,16 Granuloma ini berisiskan sel-sel nekrotik. Selain itu, granuloma dapat
menunjukan gambaran, seperti keju lunak yang hilang struktur jaringan normalnya.
Granuloma tersebut disebut dengan nekrosis kaseosa dan dapat menjadi kalsifikasi.15
 HIV

Masuknya virus HIV ke dalam tubuh dapat melalui darah, cairan semen, cairan
vagina, cairan serviks, dan ASI yang akan menginfeksi dan mendestruksi sistem imun
terutama sel limfosit CD4 (cluster of differentiation 4). HIV dapat berada laten dalam
sel imun dan sewaktu-waktu dapat aktif kembali. Replikasi virus di dalam sel
menimbulkan kematian sel dan menyebar ke sel CD4 lain yang tidak terinfeksi. Bila
kadar CD4 turun dibawah 100/µl kejadian infeksi oportunistik dan keganasan akan
meningkat17.
HIV merpakan retrovirus dari subfamili lentivirus. HIV memiliki dua subtipe
yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-2 sangat mirip dengan virus simian yang ditemukan
pada simpanse di Afrika Barat dan hanya ditemukan di benua ini. HIV-1 adalah
penyebab paling banyak AIDS di seluruh dunia. Virion HIV terdiri dari struktur bulat
dengan amplop luar dan inti dalam. Inti terdiri dari dua kopi genom RNA, enzim
(reverse transcriptase dan integrase) dan protein regulator. Virion juga dikelilingi oleh
glikoprotein yang berfungsi untuk menempel dan memasuki sel CD4 target. Setelah
penempelan terjadi, enzim reverse transcriptase akan membentuk DNA virus dari
RNA asal. Enzim integrase akan mengintegrasi DNA induk dengan DNA virus.
Poliprotein virus dan RNA terbentuk dan partikel virus baru akan terbentuk. Siklus
HIV ini akan terus berlanjut ke lebih banyak CD4 lain sehingga menyebabkan
turunnya sistem imun. HIV tidak bereplikasi dengan cepat ketika host (limfosit atau
sel makrofag) sedang tidak aktif. Faktor-faktor aktifasi seluler dapat memediasi
ekspresi protein regulator yang berguna untuk replikasi virus seperti Tat, rev dan
nef.12
3.8 Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)2,5
– TB paru BTA positif: minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif
– TB paru BTA negatif: hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis dan
radiologis mendukung TB atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif
– TB ekstraparu pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena

3.9 Pengobatan Tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS17

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun,
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (anti retroviral; ARV) bermanfaat
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Manfaat ARV dicapai melalui
pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi
oportunistik. Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri dari;
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan ARV
b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertasi seperti
jamur, TB, hepatitis, toksoplasma, sarkoma Kaposi, limfoma, kanker serviks
c. Pengobatan suportif sepeti makanan yang bergizi, dukungan psikososial, dan agama,
istirahat yang cukup serta kebersihan.

Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang ketiganya harus
terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal dengan highly active
antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering disingkat menjadi ART (antiretroviral
therapy) atau terapi ARV. Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan
ARV dengan berdasarkan pada 5 aspek yaitu efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat,
kepatuhan, dan harga obat.Indikasi memulai terapi ART :

Tabel 3.1 Rekomendasi inisiasi ART


a. Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8
minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan CD4
kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB.
Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan
kriptokokus.
b. Dengan memperhatikan kepatuhan.
c. Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif, maka harus
segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis konfirmasi (mendapat
kesempatan pemeriksaan PCRDNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18
bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan penilaian
ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian
ARV dihentikan.

A. Paduan ART Lini Pertama

Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum pernah

mendapatkan ARV sebelumnya (naive ARV).

1. Paduan ART lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa

Tabel 3.2. ART lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa, termasuk ibu hamil dan
menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan TB
a. Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50 ml/menit, atau pada
kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
b. Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi
c. Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV
Pemantauan setelah pemberian ARV

Pemantauan klinis dalam pengawasan dokter dilakukan rutin minimal sebulan sekali dalam 6

bulan pertama setelah inisiasi ART. Pemantauan oleh dokter selanjutnya dapat dilakukan

minimal 3 bulan sekali atau lebih sering, sesuai dengan kondisi dan kepatuhan pengobatan. Tes

laboratorium yang direkomendasikan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.3. Rekomendasi tes laboratorium setelah pemberian terapi ARV


Fase penatalaksanaan Rekomendasi Yang diperlukan (bila ada
HIV atau atas indikasi)

Selama menggunakan Jumlah sel CD4 - serum kreatinin tiap 6 bulan


ARV (tiap 6 bulan)a pada penggunaan TDF
- Hb pada penggunaan AZT
(dalam 3 bulan pertama perlu
pemeriksaan intensif)
- Fungsi hati (SGPT/SGOT) tiap
6 bulan HIV RNA (6 bulan
setelah inisiasi ARV, tiap 12
bulan setelahnyaa)
Gagal terapi Jumlah sel CD4 - HBsAg (bila sebelum switch
HIV RNAb belum pernah dites, atau jika
hasil baseline sebelumnya
negatif)
a. Pada ODHA dengan kepatuhan dan hasil pengobatan ARV yang baik, frekuensi pemantauan
CD4 dan HIV RNA dapat dikurangi
b. Tes HIV RNA (viral load) sangat dianjurkan untuk menentukan kegagalan terapi
Selain itu, efek samping terapi ARV juga harus dipantau, berikut efek samping yang ditimbulkan
berdasarkan lama waktu penggunaan ARV :

Tabel 3.4 Efek samping terapi ARV berdasarkan waktunya


Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi. Penanganan secara umum
adalah:
1) Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua obat ARV, beri terapi
suportif dan simtomatis; berikan lagi ARV dengan paduan yang sudah dimodifikasi (contoh:
substitusi 1 ARV untuk obat yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA stabil
2) Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa menghentikan pemberian ARV secara
keseluruhan
3) Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati perifer) memerlukan
penggantian obat. Untuk reaksi lain, pertimbangkan untuk tetap melanjutkan pengobatan;
jika tidak ada perubahan dengan terapi simtomatis, pertimbangkan untuk mengganti 1 jenis
obat ARV
4) Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.
Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis, imunologis,
dan klinis, seperti dalam tabel 13. Kriteria terbaik adalah kriteria virologis, namun bila tidak
dapat dilakukan pemeriksaan maka digunakan kriteria imunologis. Sebaiknya tidak menunggu
kriteria klinis terpenuhi agar dapat melakukan switch ke lini selanjutnya lebih dini. ODHA harus
menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan gagal terapi dalam keadaan kepatuhan
yang baik. Kalau ODHA kepatuhan tidak baik atau berhenti minum obat, penilaian kegagalan
dilakukan setelah minum obat kembali secara teratur minimal 3-6 bulan
seperti dalam bagan berikut.

Tabel 3.5 Definisi Kegagalan Terapi dan Keputusan untuk Ubah Paduan (Switch) ARV
Gambar 2.5 Alur pemeriksaan HIV RNA untuk evaluasi terapi ARV
B. Paduan ARV Lini Kedua
Resistansi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang mengalami
kegagalan terapi. Resistansi terjadi ketika HIV terus berproliferasi meskipun dalam terapi ARV.
Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI atau 3TC, hampir pasti terjadi resistansi
terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Penggunaan ARV menggunakan kombinasi 2 NRTI +
boosted PI menjadi rekomendasi sebagai terapi pilihan lini kedua untuk dewasa, remaja, dan juga
anak dengan paduan berbasis NNRTI yang digunakan sebagai lini pertama.
Prinsip pemilihan paduan ARV lini kedua adalah pilih kelas obat ARV sebanyak
mungkin, dan bila kelas obat yang sama akan dipilih maka pilihlah obat yang sama sekali belum
dipakai sebelumnya. Anak dengan paduan berbasis PI untuk lini pertama, diubah (switch) ke
NNRTI atau tetap berbasis PI namun sesuaikan dengan umur yang direkomendasikan.
Selengkapnya pilihan paduan ARV beserta efek samping yang mungkin timbul dapat dilihat
dalam tabel 14, 15, dan 16 sebagai berikut:
Tabel 3.6 Paduan ART Lini Kedua

C. Paduan ART Lini Ketiga


Jika terjadi kegagalan lini kedua maka perlu dilakukan terapi penyelamatan yang
efektif. Kriteria yang digunakan untuk penentuan kegagalan terapi lini kedua harus
menggunakan kriteria virologis (pemeriksaan HIV RNA). Seperti pada penentuan gagal terapi
lini pertama, penentuan kegagalan terapi lini kedua harus dilakukan saat ODHA menggunakan
ART lini kedua minimal 6 bulan dalam keadaan kepatuhan yang baik. Tes resistansi genotyping
diwajibkan sebelum pindah ke lini ketiga. Pada penentuan indikasi dan memulai lini ketiga,
diperlukan konsultasi dengan rumah sakit rujukan yang sudah mempunyai pengalaman.
Tabel 3.7 Paduan dan efek samping ARV lini ketiga

Pencegahan penularan HIV melalui terapi ARV


1) Pencegahan Penularan HIV pada pasangan serodiskordan
Penelitian HPTN 052 telah membuktikan bahwa terapi ARV adalah pencegahan
penularan HIV paling efektif saat ini. Orang dengan HIV yang mempunyai pasangan seksual
non-HIV (pasangan serodiskordan) harus diinformasikan bahwa terapi ARV juga bertujuan
untuk mengurangi risiko penularan pada pasangannya. Orang HIV tersebut dengan CD4 <
350 sel/mm3, atau menderita TB paru aktif, atau hepatitis B, atau sedang hamil atau
menyusui, dan yang akan memulai terapi ARV, perlu ditekankan informasi pencegahan
penularan sehingga kepatuhan terhadap ARV menjadi lebih baik.
Jika orang dengan HIV yang mempunyai pasangan serodiskordan tersebut mempunyai
jumlah CD4 > 350 sel/mm3 atau tidak mempunyai indikasi memulai ARV lainnya,
sebaiknya ditawarkan untuk memulai terapi ARV segera dengan tujuan menurunkan
penularan HIV kepada pasangannya. Upaya pencegahan dengan menggunakan antiretroviral
ini merupakan bagian dari Treatment as Prevention (TasP) yang di Indonesia diadaptasi
dengan SUFA.
Sangat penting untuk disadari bahwa penurunan jumlah virus akibat ARV harus disertai
dengan penurunan perilaku berisiko, penggunaan ARV secara konsisten dan tepat,
penggunaan kondom yang konsisten, perilaku seks dan NAPZA yang aman, pengobatan IMS
yang konsisten dengan paduan yang tepat mutlak diperlukan untuk pencegahan penularan
HIV. Upaya ini yang disebut dengan positive prevention.
2) Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
Tanpa upaya pencegahan, 20-50% bayi dari ibu HIV dapat tertular HIV, dengan
perincian risiko 5-10% selama masa kehamilan, 10-20% pada saat persalinan, dan 5-20%
pada saat menyusui. Dengan upaya yang tepat, risiko penularan dapat diturunkan menjadi
kurang dari 2%. Bahkan, kurang dari 1% jika viral load ibu sudah tidak terdeteksi
(undetected) dalam terapi antiretroviral sebelum kehamilan. Setelah diketahui status HIV
positif pada ibu hamil, upaya pencegahan selanjutnya bertujuan agar bayi yang dilahirkan
terbebas dari HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat. Upaya ini terdiri dari 1.
Pemberian ARV pada ibu hamil; 2. Persalinan yang aman; 3. Pemberian ARV pencegahan
pada bayi; 4. Pemberian nutrisi yang aman pada bayi. a. Pemberian ARV pada ibu hamil
dengan HIV Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang
jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang
dilanjutkan seumur hidup (pedoman WHO 2013, option B+).
Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau hasil pengobatan, bukan
sebagai acuan untuk memulai terapi. Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan
ART pada orang dewasa lainnya. Efavirenz (EFV) yang dulu tidak boleh diberikan pada
trimester pertama, belakangan tidak terbukti menunjukkan efek
teratogenik dibandingkan bayi yang tidak terpajan EFV, sehingga sejak Juli 2012 WHO
mengeluarkan kebijakan membolehkan penggunaan EFV pada ibu hamil. Pemberian ARV
dapat segera dimulai setelah ibu didiagnosis HIV berapapun usia kehamilan. Ibu yang sudah
mendapat ARV sebelum kehamilan, ARV dapat diteruskan tanpa perlu diganti. ARV tetap
diteruskan setelah melahirkan hingga seterusnya.
Tabel 3.6 Algoritma rekomendasi ARV pada ibu hamil dan menyusui

b. Persalinan yang aman


Persalinan untuk ibu dengan HIV dapat berupa persalinan per vaginam maupun seksio
sesarea. Persalinan seksio sesarea berisiko lebih kecil untuk penularan terhadap bayi, namun
perlu dipertimbangkan risiko lainnya. Persalinan per vaginam dapat dipilih jika ibu sudah
mendapat pengobatan ARV dengan teratur selama setidaknya enam bulan dan/atau viral load
kurang dari 1.000 kopi/mm3 pada minggu ke-36. Persalinan per vaginam maupun seksio sesarea
tersebut dapat dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa memerlukan alat
pelindung diri khusus, selama fasilitas tersebut melakukan prosedur kewaspadaan
standar.
c. Pemberian ARV pencegahan pada bayi
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif maupun susu formula,
diberi Zidovudin dalam 12 jam pertama selama enam minggu.

Tabel 3.8. Dosis Zidovudin pada bayi baru lahir

c. Ibu sebaiknya diberikan penjelasan mengenai pilihan nutrisi yang aman bagi bayinya
sebelum melahirkan.
Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja (bukan mixed
feeding). Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV negatif atau
tidak diketahui status HIV-nya, jika seluruh syarat AFASS (affordable/terjangkau,
feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima, sustainable/berkesinambungan dan
safe/aman) dapat
dipenuhi.
Di negara berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO menganjurkan
pemberian ASI eksklusif 6 bulan, yang cukup aman selama ibu mendapat terapi ARV secara
teratur dan benar.
3. Pencegahan Pasca Pajanan HIV (PPP)
Pencegahan pasca pajanan (PPP) adalah pemberian ARV dalam waktu singkat untuk
mengurangi kemungkinan didapatnya infeksi HIV setelah terpapar ketika bekerja atau setelah
kekerasan seksual. PPP sebaiknya ditawarkan pada kedua kelompok pajanan tersebut dan
diberikan sesegera mungkin dalam waktu 72 jam setelah paparan. Penilaian kebutuhan PPP
harus berdasarkan status HIV sumber paparan jika memungkinkan, dan pertimbangan prevalensi
dan epidemiologi HIV di tempat tersebut. PPP tidak diberikan jika orang yang berisiko terpapar
sebenarnya HIV positif atau sumber paparannya HIV negatif. Lamanya pemberian PPP HIV
adalah 28-30 hari. Pilihan obat PPP harus didasarkan pada paduan ARV lini pertama yang
digunakan, juga mempertimbangkan kemungkinan resistansi ARV pada sumber paparan. Oleh
karena itu, sebelum pemberian PPP sebaiknya diketahui jenis dan riwayat ARV sumber paparan,
termasuk kepatuhannya. Untuk pilihan obat PPP dapat dilihat dalam tabel 21 sebagai berikut.
Tabel 3.9. Pilihan paduan untuk PPP

Saat ini PPP juga dianjurkan untuk diberikan pada kasus kekerasan seksual. Mengingat
banyaknya kesulitan menyelesaikan paduan PPP ini, diperlukan dukungan dan konseling
kepatuhan sebelum dan selama menggunakan ARV untuk PPP.
TATA LAKSANA INFEKSI OPORTUNISTIK DAN KOMORBIDITAS
1. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian dari pelayanan HIV. Berbagai
penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol dalam
menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Sudah ada beberapa
rekomendasi untuk memberikan kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan pada ODHA
dewasa, wanita hamil dan anak untuk Pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis dan infeksi
bakteri, manfaat untuk profilaksis malaria dan petunjuk pemberhentian kotrimoksasol.
Pada ODHA dewasa yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 <200 sel/mm3 Atau
stadium klinis WHO 2, 3 atau 4, serta Tuberkulosis aktif, dengan berapapun nilai CD4
dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV dengan dosis 960 mg
sekali sehari. Hal tersebut berguna untuk tes kepatuhan ODHA dalam minum obat dan
menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV,
mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping
Kotrimoksasol. Selama pemakaian ppk perlu pemantauan terhadap klinis dengan interval
tiap 3 bulan. Kriteria pemberhentian Jika CD4 ≥ 200sel/mm3 setelah 6 bulan ARV; Jika tidak
tersedia pemeriksaan CD4, PPK diberhentikan setelah 2 tahun ART; Sampai pengobatan TB
selesai apabila CD4 > 200 sel/mm3
2. Tuberkulosis
Tuberkulosis pada ODHA Dewasa

1) Diagnosis

Gejala klinis TB pada ODHA tidak spesifik. Pada sebagian besar ODHA gejala klinis yang

sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan, sedangkan

keluhan batuk pada ODHA seringkali tidak spesifik seperti yang dialami terduga TB pada

umumnya. Oleh karena itu direkomendasikan bila ODHA datang dengan keluhan batuk

berapapun lamanya harus dievaluasi untuk

diagnosis TB.

Baik deteksi dini TB pada ODHA maupun deteksi dini HIV pada pasien TB keduanya

penting untuk meningkatkan penemuan dini koinfeksi TB-HIV, sehingga dapat memulai

pengobatan lebih cepat agar keberhasilan pengobatan akan lebih baik.

a) Diagnosis TB paru

Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang dengan HIV

negatif. Diagnosis harus ditegakkan terlebih dahulu dengan konfirmasi bakteriologis, yaitu

pemeriksaan mikroskopis langsung, tes cepat dan biakan. Apabila pemeriksaan secara

bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis

menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidaktidaknya pemeriksaan foto

toraks) yang sesuai.


Bagan 3.1 Alur diagnosis TB paru pada ODHA di fasyaskes dengan akses tes cepa t Xpert
MTB/RIF

b) Diagnosis TB ekstra paru

TB ekstra paru lebih sering ditemukan pada ODHA dibandingkan pasien tanpa HIV,

sehingga bila ditemukan TB ekstra paru harus dipikirkan kemungkinan adanya HIV. TB

ekstra paru yang sering ditemukan adalah pada organ kelenjar getah bening leher atau aksila,

abdomen, efusi pleura, efusi perikardial, efusi peritoneal, meningitis, dan mediastinum.

Gejala dan keluhannya tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada

meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis

pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-

lainnya. Diagnosis pasti TB ekstra paru pada ODHA berdasarkan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologis dari lesi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.

Dilakukan pemeriksaan mikroskopis dahak SPS apabila juga ditemukan keluhan dan gejala

batuk atau terdapat dahak, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.

2) Pengobatan Semua pasien TB (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah
diobati harus diberi paduan OAT lini pertama kategori 1 yang disepakati secara internasional,
hal ini sesuai ISTC standar 8. Untuk dosis dan paduan OAT dewasa dapat dilihat dalam tabel
26 dan 27. Dosis OAT yang diberikan dianjurkan untuk mengikuti anjuran internasional dan
sangat dianjurkan dalam kombinasi dosis tetap (KDT).

Pada ODHA dengan TB ekstra paru, paduan OAT diberikan paling sedikit 9
bulan (2 bulan RHZE diikuti dengan 7 bulan RH). Pada TB ekstra paru pada sistem
saraf pusat (tuberkuloma atau meningitis) dan TB tulang/sendi, direkomendasikan
paling sedikit selama 12 bulan. Terapi ajuvan kortikosteroid sebaiknya ditambahkan
pada TB meningitis dan perikardial. Terapi kortikosteroid dimulai secara IV
secepatnya, lalu diubah ke bentuk oral tergantung perbaikan klinis

Rekomendasi kortikosteroid yang digunakan adalah deksametason


0,3-0,4 mg/kg di tapering-off selama 6-8 minggu atau prednison 1 mg/kg
selama 3 minggu, lalu tapering-off selama 3-5 minggu Untuk ODHA dengan TB ekstra
paru, pemantauan kondisi kl baiknis merupakan cara menilai kemajuan hasil
pengobatan. Sebagaiman pada kasus TB BTA negatif, perbaikan kondisi klinis antara
laii peningkatan berat badan ODHA merupakan indikator yan bermanfaat. Manajemen
untuk meningitis TB akan dibicarakan lebih detail di bagian NeuroAIDS. Prinsip
pengobatan ODHA dengan TB adalah mendahulukan awal pemberian pengobatan TB,
dan pengobatan ARV dimulai sesegera mungkin dalam waktu 2 – 8 minggu setelah
kondisi baik tidak timbul efek samping dari OAT, diberikan tanpa menilai jumlah CD4
atau berapapun jumlah CD4. Pada ISTC dinyatakan apabila jumlah CD4 kurang dari
50 sel/mm3 maka ARV diberikan dalam 2 minggu pertama pengobatan OAT,
sedangkan pada TB meningitis pemberian ARV diberikan setelah fase intensif selesai.
Pada pengobatan ODHA dengan TB perlu diperhatikan kemungkinan interaksi
antar obat-obat yang digunakan, tumpang tindih (overlap) efek samping obat, sindrom
pulih imun atau Immune-Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS), dan masalah
kepatuhan pengobatan.
a. Pemberian Pengobatan Pencegahan INH (PP INH)
Dalam rangka mencegah meningkatnya prevalensi TB pada ODHA, sesuai
ISTC semua ODHA yang setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita TB
aktif, dan ODHA yang memiliki kontak erat dengan pasien TB harus diobati
sebagai infeksi TB laten dengan INH 300 mg/hari selama 6 bulan. Isoniazid
dosis 300 mg untuk PP INH diberikan setiap hari selama 6 bulan (total 180
dosis). Vitamin B6
diberikan dengan dosis 25 mg perhari atau 50 mg selang sehari atau 2 hari
sekali untuk mengurangi efek samping INH. Pemantauan pengobatan PP INH ini
dilakukan selama dan setelah pemberian PP INH dengan tujuan untuk
memastikan kepatuhan ODHA dan mengetahui efek samping secara dini.
Pemantauan dilakukan setiap kunjungan selama 6 bulan pengobatan. Efek
proteksi dari pemberian PP INH bertahan sampai dengan 3 tahun, sehingga
pemberian PP INH ulang dapat dilakukan setelah 3 tahun.

Bagan : Alur tatalaksana pemberian PP INH pada ODHA


PP INH diberikan pada:
1. ODHA yang tidak memiliki TB aktif, baik ODHA dengan/tanpa riwayat pemberian OAT
sebelumnya
2. ODHA yang baru menyelesaikan pengobatan TBnya dan dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap.
Kontraindikasi PP INH adalah sebagai berikut:
1. TB aktif
2. Klinis yang mengindikasikan adanya gangguan fungsi hati
3. Neuropati perifer berat
4. Riwayat alergi INH
5. Riwayat resistan INH
3.10 Komplikasi
Pada pasien TB dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam
masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin
timbul adalah batuk darah, pneumotoraks, gagal napas dan gagal jantung. Pada keadaan
kompliksi harus dirujuk ke fasilitas yang memadai. 2
Daftar pustaka

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit


dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Bakti Husada;
2019.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku petunjuk TB-HIV untuk petugas
kesehatan. 2016.
3. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS: UNAIDS report on the global AIDS
epidemic 2013. Geneva, 2013, Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS).
4. Bahner I, Kearns K, Coutinho S, et al: Infection of human marrow immunodeficiency
virus-1 (HIV-1) is both required and sufficient for HIV-1 inducted hematopoietic
suppression in vitro: demonstration by gene modification of primary human stroma. Blood
90(5):1787–1798, 1997.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2010 – 2014.

Bakti Husada; 2011.

6. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Setiati s, alwi l, sudoyo aw,


simadibrata mk,et al F. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi-4. Jakarta: Internal
Publishing; 2014.887-900
7. Nasronudin, (2007). HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial.
Surabaya: Airlangga University Press.

8. Islam FF, et al: Relative risk of cardiovascular disease among people living with
HIV: a systematic review and meta-analysis. HIV Med 13:453–468, 2012.
9. Benito N, et al: Pulmonary infections in HIV-infected patients: an update in the 21st
century. Eur Respir J 39:730–745, 2012.
10. Taylor L, et al: HIV coinfection with hepatitis C virus: evolving epidemiology and
treatment paradigms. Clin Infect Dis 55(Suppl 1):S33–S42, 2012.

11. Günthard HF, et al: Antiretroviral treatment of adult HIV infection: 2014 recom-
mendations of the International Antiviral Society–USA Panel. JAMA 312:410–425,
2014.
12. Fauci AS, Lane HC. Human immunodeficiency virus disease:AIDS and realted disorder. .
In: Longo, Fauci, Kasper, Houser, Jameson, Loscalzo, Harrison’s principle of internal

medicine. Vol-2. 18th Ed. New York: McGrawHill;2012.p1506-10

13. Tesfahuneygn G, Medhin G, Legesse M. Adherence to Anti-Tuberculosis Treatment and


Treatment Outcomes Among Tuberculosis Patients in Alamata District, Northeast
Ethiopia. BMC Res Notes. 2015;8(1):1-11. doi:10.1186/s13104-015-1452-x

14. Sudoyo, Aru W, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

15. Broaddus VC, Manson RJ, Ernst JD. Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory
Medicine.; 2016. doi:10.1016/B978-1-4557-3383-5.00130

16. Schluger NW. The Pathogenesis of Tuberculosis: The First One Hundred (and Twenty-
Three) Years. Am J Respir Cell Mol Biol. 2009;32(4):251- 256. doi:10.1165/rcmb.F293
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Pengobatan Antiretroviral; 2014; 1-12

Anda mungkin juga menyukai