Anda di halaman 1dari 16

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

Reading Assignment
Divisi Penyakit Tropik Infeksi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK-USU/RSHAM

Telah dibacakan

INFEKSI OPORTUNISTIK PARU PADA PENDERITA HIV


Dian Anindita Lubis
Divisi Penyakit Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK USU-RSUP. H. Adam Malik Medan

PENDAHULUAN
Saat ini HIV memiliki jumlah kematian yang tinggi, dimana yang dapat mengancam
hidup penderita HIV tidak hanya dari virus sendiri, namun infeksi oportunistik (IO) dan
komplikasi-komplikasinya juga dapat menyebabkan kematian.1 Pada permulaan epidemi
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), paru-paru penderita HIV merupakan target
utama untuk berbagai infeksi dan tumor.2
Sebelum

penggunaan

luas

dari

terapi

kombinasi

antiretroviral

(antiretroviral

therapy/ART), IO, infeksi yang disebabkan oleh immunosupresi pada pasien yang terinfeksi
HIV, merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada populasi ini. Pada awal 1990an,
penggunaan kemoprofilaksis, imunisasi, dan strategi yang lebih baik dalam penanganan IO
akut, berkontribusi dalam perbaikan kualitas hidup dan memperbaiki angka survival. Namun,
penggunaan luas ART yang dimulai pada pertengahan 1990an memiliki pengaruh terbesar
dalam menurunkan IO-terkait mortalitas pada pasien yang terinfeksi HIV di negara-negara
dimana terapi ini telah tersedia.3
Meskipun telah tersedianya ART di Amerika Serikat dan negara-negara industri lainnya,
IO terus menyebabkan morbiditas dan mortalitas untuk tiga alasan utama: 1) banyak pasien
yang tidak awas terhadap infeksi HIVnya dan mencari perawatan medis ketika IO menjadi
1

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV


indikator utama dari penyakit mereka; 2) pasien-pasien tertentu awas terhadap infeksi HIVnya,
namun tidak mengkonsumsi ART karena faktor psikososial atau ekonomi; 3) beberapa pasien
diresepkan ART, namun gagal mencapai respon virologi dan imunologi yang adekuat karena
faktor-faktor terkait kepatuhan farmakokinetik, atau faktor-faktor biologis yang tidak dijelaskan.
Sehingga, meskipun angka rawatan dan kematian telah menurun sejak adanya ART, IO tetap
menjadi penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas pasien yang terinfeksi HIV.3
Infeksi yang timbul pada penderita HIV bergantung pada stadium infeksi HIV, riwayat
infeksi, virulensi dari organism yang terinfeksi, dan faktor- terkait-inang (host-related-factor)j. IO
dapat disebabkan oleh bakteri (mis. tuberkulosis, infeksi salmonella,dll), virus (mis. Herpes
simplex virus, oral hairy leukoplakia, sitomegalovirus,dll), jamur (mis. kandidiasis, kriptokokosis,
pneumocystis jiroveci, dll), parasit (mis. kriptosporidiosis,dll), dan beberapa kondisi klinis
lainnya berupa malignansi (mis. Non-hodgkin limfoma, sarkoma Kaposi, dll). Dan juga IO dapat
menyerang berbagai macam organ, seperti saluran napas, saluran pencernaan, neurologis,
kulit, dan lain sebagainya.1
Pada makalah ini akan dibahas lebih dalam mengenai beberapa infeksi oportunistik
pada saluran napas, khususnya paru pada penderita HIV, yang umum dijumpai.
Insidensi
Insidensi IO bergantung pada level imunosupresi (muncul pada CD4 < 200/mm3 atau
total lymphocyte count < 1200/mm3), dan pada prevalensi endemik dari agen penyebab. Lebih
dari 80% IO disebabkan oleh 28 patogen.1,4

Gambar 1. Hubungan antara infeksi oportunistik dan jumlah limfosit-CD4+


2

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

Infeksi saluran napas dapat dicegah dan diobati, terlihat pada dua per tiga penderita
yang terinfeksi HIV. Berikut pada tabel 1. dapat dilihat contoh infeksi paru yang muncul dengan
turunnya jumlah CD4.1
Tabel 1. Hubungan infeksi paru dengan jumlah CD4 pada pasien yang terinfeksi HIV
Hubungan infeksi paru dengan jumlah CD4 pada
pasien yang terinfeksi HIV
Infeksi

Jumlah CD 4 (per mm3)

Mycobacterium tuberculosis

< 400

Pneumonia bacterial

< 250

Suppurative lung dan penyakit sinus

< 100

Pneumocystis jiroveci pneumonia

< 200

Mycobacterium avium complex

< 100

Citomegalovirus

< 100

Defenisi
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh.
Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh,
maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh
kekebalan tubuh.1,5
TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu IO tersering pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Indonesia. Infeksi HIV memudahkan terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis. Penderita
HIV mempunyai risiko lebih besar menderita TB dibandingkan non-HIV. Risiko ODHA untuk
menderita TB adalah 10% per tahun, sedangkan pada non-ODHA risiko menderita TB hanya
10% seumur hidup. Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian TB dengan infeksi menurun,
4,4 kasus baru per 100,000 populasi (total 13,299 kasus) pada tahun 2007. Di RSU Dr.
Soetomo dilaporkan sebanyak 25-83%. Sementara laporan Raviglione, dkk menyebutkan
bahwa TB merupakan penyebab kematian tersering pada ODHA. Dimana World Health
Organization (WHO) memperkirakan TB sebagai penyebab kematian 13% dari penderita
AIDS.3,5,6
3

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV


Meskipun risiko terinfeksi tuberkulosis turun 70-90% pada pasien-pasien yang
mengkonsumsi ART, TB masih merupakan penyebab kematian tersering pada penderita HIV.
TB paru merupakan jenis TB yang paling sering dijumpai pada penderita HIV. Tidak seperti
infeksi mikobakterial aspesifik lainnya, seperti MAC, TB dapat muncul pada infeksi HIV awal
dengan CD4 median >350 sel/L. Sedangkan TB ekstraparu atau diseminata lebih sering
dijumpai pada ODHA dengan CD4 lebih rendah. Pada satu studi, median CD4 pada penderita
TB adalah 326 sel/ L. Viral load pada penderita terinfeksi HIV koinfeksi TB meningkat enam
hingga tujuh kali dibandingkan HIV tanpa TB. Hal ini mengakibatkan perkembangan HIV
menjadi AIDS lebih cepat.5,6,7
Kesulitan bagi para klinisi adalah gambaran klinis TB pada penderita HIV seringkali
tidak khas dan sangat bervariasi, hingga diagnosis menjadi lebih sulit.5
Gejala
Di antara pasien-pasien yang terinfeksi HIV, gambaran TB aktif dipengaruhi oleh derajat
immunodefisiensi. Inisiasi ART pada pasien immunosupresi berat, yang tidak disadari awalnya
TB subklinis, akan muncul akibat pemulihan sistem kekebalan tubuh.3
Gejala TB paru adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu dan tidak bereaksi terhadap
pengobatan antibiotik yang biasa, demam, penurunan berat badan, nafsu makan menurun,
rasa letih, berkeringat pada waktu malam, nyeri dada dan batuk darah. Namun, seperti sudah
disebutkan di atas seringkali penderita HIV tidak menunjukkan gejala yang khas ke arah TB
paru.5,6
Diagnosis
Diagnosis TB paru berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan jasmani ditunjang oleh
pemeriksaan langsung sputum 3 hari berturut-turut untuk menemukan basil tahan asam (BTA),
rntgen dada dan biakan kuman. Sensitivitas pemeriksaan sputum BTA pada ODHA sekitar
50%, seperti pada non-HIV. Untuk meningkatkan sensitivitas dapat dilakukan pemeriksaan
nucleic acid amplification (NAT)/PCR-TB, terutama jika kecurigaan sangat tinggi. Sedangkan
tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% ODHA dengan TB.5
Gambaran TB paru pada penderita HIV dengan CD4 > 350 sel/L tidak berbeda dengan
non-HIV berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas atau efusi pleura. Pada penderita HIV lanjut,
gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum, infiltrat di lobus bawah,
lobus tengah, interstisial, dan infiltrat milier. 7-14 % kasus TB paru pada penderita HIV tidak
4

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV


menunjukkan kelainan radiologi. Lawn,dkk menambahkan bahwa penyebaran bronkopulmoner
dan penebalan pleura lebih jarang ditemukan pada penderita HIV dibanding non-HIV, namun
efusi pleura dan limfadenopati lebih sering dijumpai.
Diagnosa definitif TB pada penderita HIV adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis
pada kultur jaringan atau spesimen. Sedangkan diagnosis presumtif ditegakkan berdasarkan
ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada spesimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan
gejala setelah terapi kombinasi OAT.1,3,5,6
Pencegahan
Seluruh penderita HIV yang dicurigai terinfeksi TB atau memiliki gejala TB sebaiknya menjalani
rntgen dada dan evaluasi klinis untuk menyingkirkan TB tanpa memperhatikan hasil tes
diagnostik untuk TB.
Penderita HIV, tanpa memperhatikan usia, sebaiknya diobati untuk latent tuberculosis
infection (LTBI) jika tidak memiliki bukti TB aktif dan menunjukkan tanda-tanda berikut: 1) tes
diagnostik positif untuk LTBI dan tidak memiliki riwayat mendapatkan pengobatan TB aktif
maupun laten; 2) tes diagnostik negatif untuk LTBI namun memiliki kontak dekat dengan
penderita TB paru infeksius; dan 3) riwayat pengobatan TB yang tidak adekuat (lesi fibrotik
lama pada rontgen dada) tanpa memperhatikan tes diagnostik untuk LTBI.
Pilihan terapi untuk LTBI termasuk INH per hari atau dua kali per minggu selama 9
bulan.
Penatalaksanaan
Efek samping antituberkulosis (OAT) lebih sering terjadi pada penderita HIV dengan TB
dibandingkan kelompok non-HIV. Karena itu, OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama
dengan ARV untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, ketidakpatuhan minum obat, dan
reaksi paradoks. Namun, jika penderita HIV sudah dalam terapi ARV, ARV tetap diteruskan.
Regimen pengobatan TB sendiri tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada
kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan. Kecuali pada arthritis TB dan osteomielitis
TB yang pengobatan 6-9 bulan dan meningitis TB dapat mencapai 9-12 bulan. Hingga kini,
belum diketahui berapa lama sebenarnya terapi yang optimal pada penderita HIV dengan TB.
Regimen ARV yang dianjurkan pada rekomendasi untuk TB pada HIV adalah
menggunakan kombinasi efavirenz. Rifampisin dan nevirapin sama-sama menginduksi enzim
sitokrom P450, sehingga akan menurunkan konsentrasi nevirapin dalam darah.1,3,5,6
5

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

KRIPTOKOKOSIS
Kriptokokosis yang dihubungkan dengan HIV umumnya disebabkan oleh Cryptococcus
neoformans. Spora jamur ini dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama di lingkungan yang
sesuai, ditemukan di tanah dan dilaporkan banyak terdapat pada tinja burung merpati. Hingga
tahun 1980 kriptokokosis merupakan penyakit yang bersifat sporadis. Dengan terjadinya
epidemi AIDS angka kejadian kriptokokosis melonjak tajam. Sebelum penggunaan ART,
berkisar 5%-8% penderita HIV pada Negara berkembang mendapat kriptokokosis diseminata.
Prevalensi kriptokokosis pada penderita HIV di Thailand 18,5%. Penyakit ini paling sering
timbul pada penderita HIV dengan CD4 < 50 sel/L.3,5,9
Infeksi terjadi secara inhalasi spora ke dalam saluran pernapasan. Selanjutnya terjadi
fungemia dan diseminasi ke berbagai organ tubuh. Hingga saat ini masih belum jelas apakah
kriptokokosis pada penderita HIV merupakan reaktivasi infeksi laten atau infeksi yang baru
terjadi.5
Gejala
Terdapat perbedaan manifestasi klinis kriptokokosis pada imunokompromais dan bukan
imunokompromais. Kriptokokosis pada imunokompromais biasanya menunjukkan reaksi
inflamasi yang minimal, namun konsentrasi jamur dalam berbagai jaringan tubuh sangat tinggi.
Pada kriptokokosis paru dapat dijumpai demam dan batuk dengan sputum yang tidak
terlalu produktif. Mengingat kriptokokosis merupakan penyakit yang berbahaya, dianjurkan
untuk memikirkan kemungkinan ini pada setiap penderita dengan klinis pneumonia.3,5
Diagnosis
Diagnosis kriptokokosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologi dan serologi darah.5
kultur darah positif ditemukan pada 35-70% penderita AIDS. Antigen test (LPA atau ELISA)
pada cairan cerebrospinal, serum, urine dan BAL merupakan tes diagnostik yang dapat
dipercaya.10
Penatalaksanaan
Pengobatan inisial standar yang direkomendasikan adalah amphotericin B deoxycholate,
dengan dosis 0,7-1,0 mg/kg per hari, selama > 2 minggu untuk fungsi ginjal yang normal. Atau
Flukonazol 200-400 mg/hari secara oral diberikan seterusnya hingga nilai CD4 > 200 sel/L.10
6

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA (PCP)


Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), yang disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii, sejak
lama dinyatakan sebagai salah satu infeksi oportunistik utama pada penderita HIV. Sebelum
penggunaan luas profilaksis primer PCP dan ART, PCP muncul pada 70%-80% penderita HIV.
Dengan perkiraan 90% kasus muncul pada pasien dengan CD4 < 200 sel/L. Namun insidensi
PCP sudah menurun setelah penggunaan luas profilaksis PCP dan ART; insidensi penderita
HIV di Eropa barat dan Amerika Serikat 2-3 kasus per 100 orang per tahun. Infeksi ini
merupakan salah satu penyebab kematian pada penderita HIV dengan angka kematian di
Amerika Serikat sekitar 60% pada tahun 80-an dan berkurang menjadi 10% pada beberapa
tahun terakhir.1,3,5,7,8
Tidak diketahui pasti bagaimana jamur ini ditransmisikan pada manusia, walaupun
transmisi pada binatang percobaan terbukti melalui udara. Tampaknya transmisi melalui udara
juga terjadi pada manusia karena DNA jamur ini dapat diidentifikasi pada spora udara di
lingkungan perumahan dan rumah sakit. Hipotesis ini juga didukung beberapa laporan kasus
transmisi PCP antara pasien imunokompromais, dari pasien imunokompromais ke petugas
kesehatan yang imunikompeten, dan penularan dari ibu ke anaknya.5
Gejala
Gejala PCP adalah demam yang tidak tinggi, batuk kering, nyeri dada dan sesak napas yang
terjadi secara subakut (2 minggu atau lebih). Jika terjadi sesak napas akut yang disertai nyeri
dada pleuritik harus dicurigai kemungkinan pneumotoraks sebagai komplikasi. Komplikasi lain
yang sering terjadi adalah pneumatokel (kavitas, kista, bula). Sedangkan efusi pleura sangat
jarang ditemukan pada infeksi PCP.
Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya menampakkan takipnea, takikardi, namun tidak
didapatkan ronki pada auskultasi paru. Takipnea biasanya demikian berat sehingga penderita
HIV mengalami kesulitan berbicara. Sianosis akral, sentral, dan membran mukosa juga
ditemukan.3,5,6

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV


Tabel 2. Manifestasi klinis dari pneumocystis jiroveci pneumonia
Manifestasi klinis dari pneumocystis jiroveci pneumonia
(P. carinii)

Gejala

Ringan

Sedang

Berat

Batuk, berkeringat,

Sesak napas saat

Sesak napas saat

sesak napas saat

aktivitas

istirahat,

aktivitas

demam,

minimal,

takipnea,

demam persisten

berkeringat,

batuk

(non produktif)
Analisa Gas Darah

PaO2 normal

PaO2 60-80 mmHg

PaO2 < 60 mmHg

dan menurun saat


aktivitas
Foto rontgen dada

Normal atau tanda

Bayangan

perihilar minor

interstisial

Bilateral interstisial
bilateral

ekstensif

difusa

Diagnosis
Gambaran khas PCP pada pemeriksaan radiologis paru adalah infiltrat interstisial bilateral di
daerah perihiler yang kemudian menjadi lebih homogen dan difus sesuai dengan perjalanan
penyakit. Kadang ditemui gambaran nodul soliter atau multipel, infiltrat di lobus bawah, abses,
pneumatokel atau pneumotoraks.
Gambaran rntgen normal pada 10% kasus. Pada keadaan demikian, CT scan dapat
menunjukkan gambaran ground glass atau lesi kistik.
Pada pemeriksaan laboratorium darah tidak didapatkan hasil yang khas. Dapat dijumpai
lekositosis ringan, peningkatan laktat dehidrogenase (LDH) (LDH > 500 mg/dL) dan gradien
oksigen alveolar-arterial (AaDO2). Peningkatan kedua pemeriksaan ini dianggap berhubungan
dengan prognosis yang lebih buruk. Infiltrat perihiler atau difus, terdapatnya kandida atau hairy
leukoplakia, dan peningkatan LED lebih dari 50 mm per jam dapat digunakan untuk
memprediksi PCP pada penderita HIV. Yang paling bermakna adalah infiltrat perihiler atau
difus karena penderita HIV dengan gambaran tersebut kemungkinan 85% mengalami PCP.3,5,7
8

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV


Diagnosis defenitif PCP dapat ditegakkan jika pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan
kista Pneumocystis jirovecii dari pemeriksaan sputum, yang didapatkan dari (a) induksi sputum
dengan hypertonic saline (sensitivitas 50-80%); BAL (sensitivitas 86-97%); BAL dan biopsy
paru transbronkial (sensitivitas 99%).1,5
!

Sedangkan diagnosis presumtif PCP menurut CDC jika ditemukan sebagai berikut:

Keluhan sesak napas saat beraktivitas atau batuk non-produktif dalam 3 bulan terakhir, dan

Gambaran radiologis toraks berupa infiltrat interstisial difus bilateral atau gambaran penyakit
paru difus bilateral pada gallium scan, dan

pO2 < 70 mmHg pada pemeriksaan analisis gas darah atau kapasitas pertukaran gas yang
rendah (< 80% nilai prediksi) atau peningkatan AaDO2, dan

Tidak ada bukti pneumonia bakterialis


Penatalaksanaan
TMP-SMX merupakan pilihan terapi. Dosis harus disesuaikan untuk gangguan fungsi
ginjal.3,5,7,9,11
Tatalaksana PCP tergantung pada berat ringannya penyakit seperti terlihat pada tabel
3. berikut:
Tabel 3. Tatalaksana PCP
Derajat
Berat

Kriteria
Sesak

napas

pada

Terapi
waktu

Rawat

inap,

berikan

suplemen

istirahat atau

oksigen, kalau diperlukan ventilator.

PaO2 < 50 mm/Hg dalam udara

Kotrimoksazol (TMP-SMZ) IV atau

kamar

oral 15 mg trimetoprim/kgBB/hari dan


Sulfametoksazol 75 mg/kg/hari
Sulfametoksazol

dibagi

dosis

selama 21 hari

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

Sedang

Sesak

napas

pada

latihan

Perlu pertimbangan perawatan inap.

ringan,

PaO2 50-70

mm/Hg

TMP-SMZ 480 mg 2 tablet tiga kali

dalam

udara

kamar

saat

sehari selama 21 hari

istirahat, AaDO2 >30 mmHg,


atau saturasi O2 < 94%

Ringan

Sesak

napas

latihan

TMP-SMZ 480 mg 2 tablet tiga kali

sedang, PaO2 > 70 mmHg

sehari selama 21 hari atau cukup 14

dalam

hari jika respons baik.

udara

pada
kamar

saat

istirahat, AaDO2 >35 mmHg

Profilaksis primer
Obat profilaksis PCP diberikan pada CD4 < 200 sel/L atau limfosit total kurang dari 14%,
dengan kandidiasis orofaringeal atau demam yang tidak jelas sebabnya yang berlangsung lebih
dari 2 minggu. Regimen yang diberikan kotrimoksasol. Kotrimoksasol forte diberikan per oral 2
kali sehari, seminggu 2 kali pemberian atau dapsone (100 mg PO per hari) atau atovaquone
(750 mg PO 2 kali per hari).
Profilaksis sekunder
Profilaksis sekunder diberikan bila PCP relaps atau rekuren selama rekonstitusi imun.
Penghentian profilaksis
Profilaksis terhadap primer dan sekunder PCP dihentikan pada pasien dalam kombinasi terapi
ARV dengan supresi HIV yang baik (< 50 kopi per milliliter) dan CD4 lebih dari 200 sel/L atau
limfosit total lebih dari 14% yang telah berlangsung selama 3 -6 bulan.3,6,7
ASPERGILOSIS
Invasif aspergilosis pada penderita HIV jarang terjadi. Paling sering disebabkan oleh
Aspergillus fumigates, walaupun beberapa kasus disebabkan oleh A. niger, A. flavus, A.
clavatus, dan A. nodulan. Aspergillus sp. hidup di dalam tanah dan sporanya yang berukuran
kecil mudah berhamburan di udara, sehingga mudah terhirup. Aspergillus sp dapat berkoloni di

10

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV


bronkus, kista, dan kavitas paska tuberkulosis. Invasif aspergilosis muncul pada infeksi HIV
lanjut dan umumnya sebelum pemberian ART.
Kejadian aspergilosis pada penderita HIV tidak sebanyak infeksi jamur lain, namun
memiliki angka kematian yang tinggi (median survival 3 bulan). Aspergilosis invasif biasanya
terjadi pada penderita HIV dengan CD4 < 50 sel/L. Pada penderita HIV, Aspergillus sp
umumnya menginfeksi paru dengan berbagai manifestasi juga dapat menjadi diseminata.
Kadangkala juga menginfeksi darah, sinus, kulit, telinga, tulang, otak dan jantung.3,5,13
Gejala
Infeksi aspergilosis yang umumnya terjadi pada penderita HIV adalah aspergilosis invasif
dengan gejala infeksi paru akut dengan gejala demam tinggi, dispnea, batuk, nyeri dada, dan
hemoptisis. Aspergillus sp yang menginvasi mukosa dan tulang rawan bronkus dapat
membentuk

pseudomembran

dan

mengakibatkan

sindrom

obstruksi

trakeobronkiolitis

pseudomembranosa. Bentuk aspergilosis invasif yang lebih banyak terlihat pada ODHA ini
dapat menyebabkan perdarahan bronkus massif karena menginvasi pembuluh darah dan
dinding bronkus.3,5
Diagnosis
Gambaran radiologis aspergilosis paru invasif 30% berupa kavitas berdinding tebal,
terutama di lobus bawah, 20% berupa infiltrat difus atau nodular di salah satu atau kedua sisi
paru. Sedangkan pada sindrom obstruksi trakeobronkiolitis pseudomembranosa gambaran
radiologis berupa infiltrat yang samar-samar atau atelektasis lobaris. Gambaran halo
dikelilingi nodul pulmoner atau air crescent pada CT-scan paru menunjukkan sugestif
penyakit.
Diagnosis definitif infeksi aspergilosis adalah dengan ditemukannya Aspergillus sp pada
jaringan dan kultur, berdasarkan 1) isolasi berulang dari Aspergillus spp. dari kultur atau sekresi
saluran napas atau 2) ditemukannya dichotomously branching septate hyphae konsisten
dengan Aspergillus spp. Tumbuhnya Aspergillus sp pada kultur saja belum dapat menegakkan
diagnosis, walaupun 10-30% pasien dengan aspergilosis paru invasif yang kulturnya positif.
Namun, aspergilosis invasif harus dicurigai jika terdapat gejala respiratorik pada penderita HIV
stadium lanjut dan tumbuh Aspergillus sp, pada kultur sputum, terutama Aspergillus fumigates.
Aspergilosis invasif perlu dipikirkan pada penderita HIV dengan gambaran klinik pneumonia,
namun tidak berespons dengan terapi antibiotika.5,12
11

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV


Penatalaksanaan
Terapi yang dianjurkan untuk aspergilosis invasif adalah vorikonazol intravena dengan dosis 6
mg/kgBB tiap 12 jam sebanyak 2 kali, kemudian dilanjutkan 4 mg/kgBB tiap 12 jam selama > 1
minggu, selanjutnya 2 x 200 mg. Namun obat ini belum tersedia di Indonesia. Terapi alternatif
yang dapat digunakan adalah Amfoterisin B iv 1,0 mg/kgBB/hari. Alternatif lain adalah
itrakonazol 600 mg/hari selama 4 hari, diteruskan 400 mg/hari. Lama terapi belum
dipublikasikan namun sebaiknya dilanjutkan setidaknya sampai CD4 > 200 sel/L dan terbukti
ada perbaikan klinis.3,5,12
MYCOBACTERIUM AVIUM COMPLEX (MAC)
Mycobacterium avium dan Mycobacterium intracellulare merupakan spesies mikobakterium
non-tuberkulosis yang termasuk Mycobacterium avium complex (MAC). M. avium merupakan
yang tersering pada HIV, terutama serotipe 1,4, dan 8. Bakteri ini didapat dari lingkungan air,
tanah, makanan, dan binatang. Namun, tidak diketahui mana yang merupakan sumber
penularan utama pada manusia.5
Risiko utama MAC adalah imunokompromais, terutama pada penderita HIV dengan
CD4 < 50 sel/L, selain kadar HIV yang tinggi. Pada penderita HIV yang belum mendapat
terapi ARV, infeksi ini cenderung menjadi diseminata. Kejadian infeksi MAC menurun secara
bermakna setelah pemberian terapi ARV. Infeksi ini juga dapat muncul sebagai bagian dari
sindrom imunorekonstitusi setelah pemberian ARV.
Gejala
Setelah bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi atau tertelan, infeksi menyebar
melalui saluran limfe selanjutnya secara hematogen. Bakteri tersebut kemudian dimakan sel
fagosit mononuclear di seluruh tubuh dan sistem retikuloendotelial terutama di hati, limpa, dan
sumsum tulang. Karena itu, gejala klinis utama MAC diseminata adalah demam persisten lebih
dari 1 minggu, penurunan berat badan, keringat malam dan fatig. Sedang gejala lain adalah
diare, limfadenopati, hepatosplenomegali, anemia (hemoglobin <8,5 g/dl), dan gangguan fungsi
liver (peningkatan lebih dari dua kali batas atas nilai normal). Gambaran ini harus dibedakan
dengan infeksi tuberkulosis. Beberapa gambaran khas yang dapat digunakan untuk pembeda
adalah hepatosplenomegali, peningkatan kadar alkali fosfatase serum (lebih dari dua kali
normal), dan leukopenia. Keterlibatan paru terjadi pada sebagian kecil kasus dengan gejala
batuk kering yang persisten.
12

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

Diagnosis
Diagnosis

defenitif

ditegakkan

jika

ditemukan

kuman

Mycobacterium

avium

atau

Mycobacterium intracellulare pada kultur darah atau cairan tubuh lain yang umumnya steril.
Jika tidak ditemukan pada kultur darah sementara kecurigaan cukup besar, dapat
dipertimbangkan biopsi sumsum tulang atau hati.
Diagnosis presumtif infeksi MAC diseminata jika ditemukan basil tahan asam di feses
atau jaringan, namun tidak dibuktikan dengan kultur. BTA di feses mempunyai nilai prediktif
60% terjadinya infeksi diseminata.5
Penatalaksanaan
Pemberian terapi MAC sebaiknya mengandung dua atau lebih obat antimikroba untuk
mencegah atau menunda resistensi emergensi. Clarithromycin merupakan pilihan pertama.
EMB adalah obat kedua yang direkomendasikan. Beberapa klinisi menambahkan
rifabutin sebagai obat pilihan ke tiga.3
Tabel 4. Regimen terapi pada infeksi MAC
Terapi pilihan

Obat tambahan untuk kuman resisten


makrolid

Klaritromisin 2 x 500 mg + Etambutol 15

Moksifloksasin 1 x 400 mg, atau

mg/kgBB, atau

Levofloksasin 1 x 500-700 mg + etambutol 15

Azitromisin 1 x 600 mg + Etambutol 15

mg/kgBB + Rifabutin 1 x 300 mg + amikasin

mg/kgBB

IV 10-15 mg/kgBB

Lama pemberian terapi MAC pada penderita HIV belum disepakati. Namun, CDC
menganjurkan penghentian terapi kronis dapat dihentikan setelah 12 bulan terapi jika tidak
ditemukan gejala dan tanda infeksi MAC, disertai peningkatan CD4 > 100 sel/L yang menetap
selama lebih 6 bulan dengan pemberian ARV.5
Profilaksis
Terapi profilaksis primer sebaiknya diberikan pada penderita HIV dengan risiko tinggi infeksi
MAC yaitu dengan CD4 < 50 sel/ L, namun harus dibuktikan tidak terdapat infeksi MAC atau
13

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV


M. tuberculosis. Terapi profilaksis ini bisa dihentikan jika CD4 > 100 sel/ L yang menetap
selama lebih dari 3 bulan.
Tabel 5. Terapi profilaksis MAC
Profilaksis pilihan

Profilaksis alternatif

Klaritromisin 1 x 500 mg, atau

Rifabutin 1 x 300 mg, atau

Azitromisin 1200 mg per minggu

Azitromisin 1 x 500-600 mg

14

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV


KESIMPULAN
1. IO merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas pasien yang terinfeksi HIV.
2. Insidensi IO bergantung pada level imunosupresi (muncul pada CD4 < 200/mm3 atau total
lymphocyte count < 1200/mm3), dan pada prevalensi endemik dari agen penyebab.
3. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini
dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun yang
sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan
tubuh.
4. Tidak seperti infeksi mikobakterial aspesifik lainnya, seperti MAC, TB dapat muncul pada
infeksi HIV awal dengan CD4 median >350 sel/L.
5. Viral load pada penderita terinfeksi HIV koinfeksi TB meningkat enam hingga tujuh kali
dibandingkan HIV tanpa TB.
6. Gambaran rntgen PCP normal pada 10% kasus. Pada keadaan demikian, CT scan dapat
menunjukkan gambaran ground glass atau lesi kistik.
7. Kejadian aspergilosis pada penderita HIV tidak sebanyak infeksi jamur lain, namun memiliki
angka kematian yang tinggi (median survival 3 bulan).

15

Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV


DAFTAR PUSTAKA
1. Ministry of Health and Family Welfare Government of India. Guidelines for Prevention and
Management of Common Opportunistic Infections/Malignancies among HIV-infected Adult and
Adolescent. NACO; 2007
2. Rasheed MU, Thajuddin N. Mycobacterial, bacterial and fungal pathogens causing pulmonary
complications in patients with HIV infection. HIV & AIDS Review 2011; 9-13
3. Centers for Disease Control and Prevention. Guidelines for Prevention and Treatment of
Opportunistic Infections in HIV-infections in HIV Infected Adults and Adolescents. MMWR; 2009;
58
4. Hoffmann C. Opportunistic Infections (OIs). Dalam: Hoffman C, Rockstroch JK, Kamps BS. HIV
Medicine 2007. Paris: Flying Publisher; 2007. h. 389-467
5. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2005
6. Nasronudin. HIV & AIDS. Pendekatan biologi molekuler, klinis, dan sosial. Surabaya: Airlangga
university press; 2007
7. Goldenberg S, Price N. Opportunistic fungal lung infections. Elsevier 2008: 295-99
8. Larsen JH. Pneumocystis jiroveci applied molecular microbiology, epidemiology and diagnosis.
Dan Med Bull 2004; 51: 251-73
9. Seddon J, Bhagani S. Antimicrobial therapy for the treatment of opportunistic infections in
HIV/AIDS patients: a critical appraisal. Research and Palliative Care 2011; 3: 19-33
10. Fungal infection. Springer 2006; 52-75
11. Sage B, Miller R. AIDS and the lung. Medicine 2009; 342-47
12. Wilcox RD. Aspergillosis: an unusual pathogen in HIV. Fall 2010; 22: 1-3
13. Goldenberg S, Price N. Opportunistic fungal lung infections. Elsevier 2008: 295-99

16

Anda mungkin juga menyukai