Reading Assignment
Divisi Penyakit Tropik Infeksi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK-USU/RSHAM
Telah dibacakan
PENDAHULUAN
Saat ini HIV memiliki jumlah kematian yang tinggi, dimana yang dapat mengancam
hidup penderita HIV tidak hanya dari virus sendiri, namun infeksi oportunistik (IO) dan
komplikasi-komplikasinya juga dapat menyebabkan kematian.1 Pada permulaan epidemi
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), paru-paru penderita HIV merupakan target
utama untuk berbagai infeksi dan tumor.2
Sebelum
penggunaan
luas
dari
terapi
kombinasi
antiretroviral
(antiretroviral
therapy/ART), IO, infeksi yang disebabkan oleh immunosupresi pada pasien yang terinfeksi
HIV, merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada populasi ini. Pada awal 1990an,
penggunaan kemoprofilaksis, imunisasi, dan strategi yang lebih baik dalam penanganan IO
akut, berkontribusi dalam perbaikan kualitas hidup dan memperbaiki angka survival. Namun,
penggunaan luas ART yang dimulai pada pertengahan 1990an memiliki pengaruh terbesar
dalam menurunkan IO-terkait mortalitas pada pasien yang terinfeksi HIV di negara-negara
dimana terapi ini telah tersedia.3
Meskipun telah tersedianya ART di Amerika Serikat dan negara-negara industri lainnya,
IO terus menyebabkan morbiditas dan mortalitas untuk tiga alasan utama: 1) banyak pasien
yang tidak awas terhadap infeksi HIVnya dan mencari perawatan medis ketika IO menjadi
1
Infeksi saluran napas dapat dicegah dan diobati, terlihat pada dua per tiga penderita
yang terinfeksi HIV. Berikut pada tabel 1. dapat dilihat contoh infeksi paru yang muncul dengan
turunnya jumlah CD4.1
Tabel 1. Hubungan infeksi paru dengan jumlah CD4 pada pasien yang terinfeksi HIV
Hubungan infeksi paru dengan jumlah CD4 pada
pasien yang terinfeksi HIV
Infeksi
Mycobacterium tuberculosis
< 400
Pneumonia bacterial
< 250
< 100
< 200
< 100
Citomegalovirus
< 100
Defenisi
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh.
Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh,
maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh
kekebalan tubuh.1,5
TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu IO tersering pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Indonesia. Infeksi HIV memudahkan terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis. Penderita
HIV mempunyai risiko lebih besar menderita TB dibandingkan non-HIV. Risiko ODHA untuk
menderita TB adalah 10% per tahun, sedangkan pada non-ODHA risiko menderita TB hanya
10% seumur hidup. Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian TB dengan infeksi menurun,
4,4 kasus baru per 100,000 populasi (total 13,299 kasus) pada tahun 2007. Di RSU Dr.
Soetomo dilaporkan sebanyak 25-83%. Sementara laporan Raviglione, dkk menyebutkan
bahwa TB merupakan penyebab kematian tersering pada ODHA. Dimana World Health
Organization (WHO) memperkirakan TB sebagai penyebab kematian 13% dari penderita
AIDS.3,5,6
3
KRIPTOKOKOSIS
Kriptokokosis yang dihubungkan dengan HIV umumnya disebabkan oleh Cryptococcus
neoformans. Spora jamur ini dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama di lingkungan yang
sesuai, ditemukan di tanah dan dilaporkan banyak terdapat pada tinja burung merpati. Hingga
tahun 1980 kriptokokosis merupakan penyakit yang bersifat sporadis. Dengan terjadinya
epidemi AIDS angka kejadian kriptokokosis melonjak tajam. Sebelum penggunaan ART,
berkisar 5%-8% penderita HIV pada Negara berkembang mendapat kriptokokosis diseminata.
Prevalensi kriptokokosis pada penderita HIV di Thailand 18,5%. Penyakit ini paling sering
timbul pada penderita HIV dengan CD4 < 50 sel/L.3,5,9
Infeksi terjadi secara inhalasi spora ke dalam saluran pernapasan. Selanjutnya terjadi
fungemia dan diseminasi ke berbagai organ tubuh. Hingga saat ini masih belum jelas apakah
kriptokokosis pada penderita HIV merupakan reaktivasi infeksi laten atau infeksi yang baru
terjadi.5
Gejala
Terdapat perbedaan manifestasi klinis kriptokokosis pada imunokompromais dan bukan
imunokompromais. Kriptokokosis pada imunokompromais biasanya menunjukkan reaksi
inflamasi yang minimal, namun konsentrasi jamur dalam berbagai jaringan tubuh sangat tinggi.
Pada kriptokokosis paru dapat dijumpai demam dan batuk dengan sputum yang tidak
terlalu produktif. Mengingat kriptokokosis merupakan penyakit yang berbahaya, dianjurkan
untuk memikirkan kemungkinan ini pada setiap penderita dengan klinis pneumonia.3,5
Diagnosis
Diagnosis kriptokokosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologi dan serologi darah.5
kultur darah positif ditemukan pada 35-70% penderita AIDS. Antigen test (LPA atau ELISA)
pada cairan cerebrospinal, serum, urine dan BAL merupakan tes diagnostik yang dapat
dipercaya.10
Penatalaksanaan
Pengobatan inisial standar yang direkomendasikan adalah amphotericin B deoxycholate,
dengan dosis 0,7-1,0 mg/kg per hari, selama > 2 minggu untuk fungsi ginjal yang normal. Atau
Flukonazol 200-400 mg/hari secara oral diberikan seterusnya hingga nilai CD4 > 200 sel/L.10
6
Gejala
Ringan
Sedang
Berat
Batuk, berkeringat,
aktivitas
istirahat,
aktivitas
demam,
minimal,
takipnea,
demam persisten
berkeringat,
batuk
(non produktif)
Analisa Gas Darah
PaO2 normal
Bayangan
perihilar minor
interstisial
Bilateral interstisial
bilateral
ekstensif
difusa
Diagnosis
Gambaran khas PCP pada pemeriksaan radiologis paru adalah infiltrat interstisial bilateral di
daerah perihiler yang kemudian menjadi lebih homogen dan difus sesuai dengan perjalanan
penyakit. Kadang ditemui gambaran nodul soliter atau multipel, infiltrat di lobus bawah, abses,
pneumatokel atau pneumotoraks.
Gambaran rntgen normal pada 10% kasus. Pada keadaan demikian, CT scan dapat
menunjukkan gambaran ground glass atau lesi kistik.
Pada pemeriksaan laboratorium darah tidak didapatkan hasil yang khas. Dapat dijumpai
lekositosis ringan, peningkatan laktat dehidrogenase (LDH) (LDH > 500 mg/dL) dan gradien
oksigen alveolar-arterial (AaDO2). Peningkatan kedua pemeriksaan ini dianggap berhubungan
dengan prognosis yang lebih buruk. Infiltrat perihiler atau difus, terdapatnya kandida atau hairy
leukoplakia, dan peningkatan LED lebih dari 50 mm per jam dapat digunakan untuk
memprediksi PCP pada penderita HIV. Yang paling bermakna adalah infiltrat perihiler atau
difus karena penderita HIV dengan gambaran tersebut kemungkinan 85% mengalami PCP.3,5,7
8
Sedangkan diagnosis presumtif PCP menurut CDC jika ditemukan sebagai berikut:
Keluhan sesak napas saat beraktivitas atau batuk non-produktif dalam 3 bulan terakhir, dan
Gambaran radiologis toraks berupa infiltrat interstisial difus bilateral atau gambaran penyakit
paru difus bilateral pada gallium scan, dan
pO2 < 70 mmHg pada pemeriksaan analisis gas darah atau kapasitas pertukaran gas yang
rendah (< 80% nilai prediksi) atau peningkatan AaDO2, dan
Kriteria
Sesak
napas
pada
Terapi
waktu
Rawat
inap,
berikan
suplemen
istirahat atau
kamar
dibagi
dosis
selama 21 hari
Sedang
Sesak
napas
pada
latihan
ringan,
PaO2 50-70
mm/Hg
dalam
udara
kamar
saat
Ringan
Sesak
napas
latihan
dalam
udara
pada
kamar
saat
Profilaksis primer
Obat profilaksis PCP diberikan pada CD4 < 200 sel/L atau limfosit total kurang dari 14%,
dengan kandidiasis orofaringeal atau demam yang tidak jelas sebabnya yang berlangsung lebih
dari 2 minggu. Regimen yang diberikan kotrimoksasol. Kotrimoksasol forte diberikan per oral 2
kali sehari, seminggu 2 kali pemberian atau dapsone (100 mg PO per hari) atau atovaquone
(750 mg PO 2 kali per hari).
Profilaksis sekunder
Profilaksis sekunder diberikan bila PCP relaps atau rekuren selama rekonstitusi imun.
Penghentian profilaksis
Profilaksis terhadap primer dan sekunder PCP dihentikan pada pasien dalam kombinasi terapi
ARV dengan supresi HIV yang baik (< 50 kopi per milliliter) dan CD4 lebih dari 200 sel/L atau
limfosit total lebih dari 14% yang telah berlangsung selama 3 -6 bulan.3,6,7
ASPERGILOSIS
Invasif aspergilosis pada penderita HIV jarang terjadi. Paling sering disebabkan oleh
Aspergillus fumigates, walaupun beberapa kasus disebabkan oleh A. niger, A. flavus, A.
clavatus, dan A. nodulan. Aspergillus sp. hidup di dalam tanah dan sporanya yang berukuran
kecil mudah berhamburan di udara, sehingga mudah terhirup. Aspergillus sp dapat berkoloni di
10
pseudomembran
dan
mengakibatkan
sindrom
obstruksi
trakeobronkiolitis
pseudomembranosa. Bentuk aspergilosis invasif yang lebih banyak terlihat pada ODHA ini
dapat menyebabkan perdarahan bronkus massif karena menginvasi pembuluh darah dan
dinding bronkus.3,5
Diagnosis
Gambaran radiologis aspergilosis paru invasif 30% berupa kavitas berdinding tebal,
terutama di lobus bawah, 20% berupa infiltrat difus atau nodular di salah satu atau kedua sisi
paru. Sedangkan pada sindrom obstruksi trakeobronkiolitis pseudomembranosa gambaran
radiologis berupa infiltrat yang samar-samar atau atelektasis lobaris. Gambaran halo
dikelilingi nodul pulmoner atau air crescent pada CT-scan paru menunjukkan sugestif
penyakit.
Diagnosis definitif infeksi aspergilosis adalah dengan ditemukannya Aspergillus sp pada
jaringan dan kultur, berdasarkan 1) isolasi berulang dari Aspergillus spp. dari kultur atau sekresi
saluran napas atau 2) ditemukannya dichotomously branching septate hyphae konsisten
dengan Aspergillus spp. Tumbuhnya Aspergillus sp pada kultur saja belum dapat menegakkan
diagnosis, walaupun 10-30% pasien dengan aspergilosis paru invasif yang kulturnya positif.
Namun, aspergilosis invasif harus dicurigai jika terdapat gejala respiratorik pada penderita HIV
stadium lanjut dan tumbuh Aspergillus sp, pada kultur sputum, terutama Aspergillus fumigates.
Aspergilosis invasif perlu dipikirkan pada penderita HIV dengan gambaran klinik pneumonia,
namun tidak berespons dengan terapi antibiotika.5,12
11
Diagnosis
Diagnosis
defenitif
ditegakkan
jika
ditemukan
kuman
Mycobacterium
avium
atau
Mycobacterium intracellulare pada kultur darah atau cairan tubuh lain yang umumnya steril.
Jika tidak ditemukan pada kultur darah sementara kecurigaan cukup besar, dapat
dipertimbangkan biopsi sumsum tulang atau hati.
Diagnosis presumtif infeksi MAC diseminata jika ditemukan basil tahan asam di feses
atau jaringan, namun tidak dibuktikan dengan kultur. BTA di feses mempunyai nilai prediktif
60% terjadinya infeksi diseminata.5
Penatalaksanaan
Pemberian terapi MAC sebaiknya mengandung dua atau lebih obat antimikroba untuk
mencegah atau menunda resistensi emergensi. Clarithromycin merupakan pilihan pertama.
EMB adalah obat kedua yang direkomendasikan. Beberapa klinisi menambahkan
rifabutin sebagai obat pilihan ke tiga.3
Tabel 4. Regimen terapi pada infeksi MAC
Terapi pilihan
mg/kgBB, atau
mg/kgBB
IV 10-15 mg/kgBB
Lama pemberian terapi MAC pada penderita HIV belum disepakati. Namun, CDC
menganjurkan penghentian terapi kronis dapat dihentikan setelah 12 bulan terapi jika tidak
ditemukan gejala dan tanda infeksi MAC, disertai peningkatan CD4 > 100 sel/L yang menetap
selama lebih 6 bulan dengan pemberian ARV.5
Profilaksis
Terapi profilaksis primer sebaiknya diberikan pada penderita HIV dengan risiko tinggi infeksi
MAC yaitu dengan CD4 < 50 sel/ L, namun harus dibuktikan tidak terdapat infeksi MAC atau
13
Profilaksis alternatif
Azitromisin 1 x 500-600 mg
14
15
16