Anda di halaman 1dari 4

PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA PADA HUMAN

IMMUNODEFICIENCY VIRUS
DEFINISI HIV
HIV atau Human Immunodeficiecsy Virus adalah sejenis virus yang menyerang atau
menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. AIDS atau
Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena
turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes, 2014).
EPIDEMIOLOGI HIV
Diseluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang meliputi 16 juta
perempuan dan 3,2 juta anak dibawah usia 15 tahun. Jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2013
sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan 240.000 anak di bawah usia 15 tahun.
Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000
anak di bawah usia 15 tahun (Kemenkes, 2014).
PENYAKIT OPORTUNISTIK HIV
Penyakit HIV sangat mudah terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi oportunistik) yang sering
berakibat fatal akibat menurunnya kekebalan tubuh, salah satu penyakit oportunistik paling
sering menyertai orang dengan HIV ialah Pneumocystis pneumonia (PCP) (Charles dan
Andrew, 2008). Pneumocystis pneumonia merupakan koinfeksi yang sering ditemukan pada
penderita HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mm . Pnemocystis dapat menyebabkan
3

pneumonia yang berat pada individu dengan sistem imun yang menurun karena HIV,
transplantasi, keganasan, dan penyakit jaringan (Cooley et al., 2014; Charles dan Andrew.
2008).
DEFINISI PCP
Pneumocystis pneumonia  disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii yang diklasifikasikan sebagai
jamur. Sebelumnya pneumocystis pneumonia pada manusia disebabkan oleh Pneumocystis
carinii tetapi sekarang berubah karena berdasarkan  penelitian Pneumocystis carinii hanya
ditemukan pada tikus dan tidak bisa menginfeksi manusia sedangkan pada manusia disebabkan
oleh Pneumocystis jirovecii  (Miller  et al., 2004; Nasronudin, 2007)..

PATOFISIOLOGI PCP
Penyebaran  infeksi Pneumocystis jirovecii melalui inhalasi kemudian menetap di alveoli dan
hidup di lapisan surfaktan di permukaan epitel alveoli tipe I, sehingga dikatakan sebagai patogen
ekstraselular. Pada keadaan tertentu organisme ini menetap di lapisan tersebut dan mengalami
reaktivasi saat terjadi gangguan sistem imun. Pada keadaan  ini Pneumocystis
jirovecii bertambah jumlahnya dan mengisi alveoli. Dengan mekanisme yang belum diketahui
secara jelas, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler alveoli dan kerusakan sel alveoli tipe I
dengan manifestasi klinis sesak nafas, demam, dan batuk tidak produktif selama beberapa hari
sampai beberapa minggu,  infeksi awal pada Pneumocystis jirovecii biasanya terjadi pada anak
usia dini, dua per tiga anak-anak yang sehat memiliki antibodi terhadap Pneumocystis
jirovecii pada usia 2 sampai 4 tahun (Aids info, 2013).
EPIDEMIOLOGI PCP
Sebelum penggunaan PCP profilaksis dan anti retroviral (ARV) PCP terjadi pada 70-80% pasien
dengan AIDS dan tingkat mortalitas 20-40%. Sekitar 90% kasus PCP terjadi pada individu
dengan kadar CD4 kurang dari 200 sel/mm . Faktor risiko meningkat pada presentasi CD4
3

kurang dari 14%, riwayat PCP sebelumnya, kandidiasis oral, relaps peneumonia, penurunan
berat badan secara progresif dan tnigkat HIV RNA pada plasma tinggi (Aids info, 2013).
Penyakit opportunistik PCP ini sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian antiretroviral dan
pengobatan profilaksis PCP dengan menggunakan trimetropim sulfamethoxazole, kejadian baru-
baru ini antara pasien dengan AIDS di Eropa Barat dan Amerika Serikat adalah kurang dari 1
kasus per 100 orang. Kebanyakan kasus terjadi pada pasien yang tidak menyadari bahwa
terinfeksi HIV, pada pasien HIV yang tidak menjalani perawatan berkelanjutan, dan pasien
dengan gangguan imun (Buchacz  et al., 2010).

MANIFESTASI KLINIS PCP
Pneumocystis  menyebabkan pneumonia pada penderita HIV dengan karakteristik sesak napas,
demam dan batuk yang tidak produktif. Pneumocystis pneumonia biasanya terjadi pada CD4
kurang 200 sel/mm3 pada pasien HIV. Pemeriksaan fi sis biasanya hanya didapatkan takipnea,
takikardia namun tidak didapatkan ronkhi pada auskultasi. Takipnea biasanya berat sehingga
penderita mengalami kesulitan berbicara. Sianosis akral, sentral dan membran mukosa juga dapat
ditemukan. Foto toraks memperlihatkan infi ltrat bilateral yang dapat meningkat menjadi
homogen. Tanda yang jarang antara lain terdapat nodul soliter atau multipel, infi ltrat pada lobus
atas pada pasien dengan pengobatan pentamidin, pneumatokel dan pneumotoraks. Efusi pleura
dan limfadenopati jarang ditemukan. Jika pada foto toraks tidak didapatkan kelainan maka
dianjurkan pemeriksaan high resolution computed tomography (HRCT) (WHO, 2006).

DERAJAT PCP
Derajat PCP menurut yeti et al, tahun 2005 dibagi menjadi 3 yaitu:
1.Ringan
Sesak napas pada latihan sedang, PaO2 lebih 70 mmHg dalam suhu kamar saat istirahat
2. Sedang
Sesak napas pada latihan ringan, PaO2 antara 50-70 mmHg pada suhu ruangan saat istirahat,
AaDO2 lebih dari 30 mmHg atau saturasi oksigen kurang 94%
3.Berat
Sesak napas pada waktu istirahat atau PaO2 kurang dari 50 mmHg dalam suhu ruangan
DIAGNOSIS PCP
Pneumocystis  sulit didiagnosis karena gejala dan tanda yang tidak spesifik. Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan mikroskopis. Bahan pemeriksaan antara lain berasal dari
sputum, bronchoalveolar lavage (BAL), jaringan paru. Pneumocystis tidak dapat dikultur.
Induksi sputum menggunakan larutan hypertonic saline menghasilkan diagnosis 50 sampai 90%
dan merupakan prosedur diagnosis utama. Jika pemeriksaan tersebut negatif, pemeriksaan
dengan BAL dapat dilakukan. Pemeriksaan BAL memiliki sensitivitas lebih dari 90%. Terdapat
dua bentuk PCP, yaitu tropik dan kistik. Bentuk tropik dapat dilihat dengan pewarnaan modifi
kasi Papaniculaou, Wright-Giemsa, atau Gram-Weigert. Bentuk kista dilihat dengan
pewarnaan Gomori methenamin silver, cresyl each violet, toluidin blue O, atau calcofl uor white.
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi asam nukleat pneumocystis
memiliki sensitivitas serta spesifi sitas tinggi (88% dan 85%) dari bahan yang diambil dari
induksi sputum dan BAL. Diagnosis definitif ditegakkan jika pada pemeriksaan mikroskopis
ditemukan kista Pneumocystis jirovecii (Thomas, 2004).

TATALAKSANA PCP
Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan PCP diantaranya ialah.
1. PCP Berat
Penderita perlu dirawat dirumah sakit dengan bantuan ventilator. Obat lini pertama yang
diberikan adalah kotrimoksazol dosis tinggi intravena (trimetoprim 15 mg/kgBB/hari dan
sulfametoksasol 75 mg/kgBB/hari selama 21 hari). Bila tidak ada respons dapat diberi lini kedua
yaitu pentamidin intravena (3-4 mg/kgBB selama 21 hari). Lini ke tiga adalah klindamisin (600
mg IV tiap 8 jam) dengan primakuin (15 mg/oral/hari). Pemberian kortikosteroid
direkomendasikan 40 mg secara peroral dua kali sehari pada hari pertama sampai kelima, 40 mg
satu kali per hari selama 6-10 hari, 20 mg setiap hari sampai lengkap 21 hari (Lamprey et
al., 2006).
2. PCP Sedang
Penderita dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
Trimetoprim-sulfametoksazol 480 mg dua tablet tiga kali sehari selama 21 hari (Lamprey et
al., 2006).
3. PCP Ringan
Penderita dapat diberi kotrimoksazol peroral 480 mg dua tablet sehari selama 21 hari atau cukup
14 hari jika respons membaik (Lamprey et al.,  2006).
4. Profilaksis PCP
Sebelum dikenal pengobatan HAART 10% PCP sering terjadi pada CD4 lebih dari 200 sel/mm3.
Pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART) pada penderita HIV dapat menurunkan
kejadian infeksi oportunistik. Profi laksis dapat diberikan jika CD4 kurang dari 200 sel/mm3 atau
limfosit total kurang dari 14% dengan kandidiasis oral atau demam yang tidak jelas penyebabnya
dan berlangsung lebih dari dua minggu. Regimen yang diberikan adalah kotrimoksazol dua kali
sehari, seminggu dua kali atau dapsone 100 mg peroral per hari atau atavaquone 750 mg peroral
dua kali per hari. Profi laksis dihentikan bila CD4 lebih dari 200 sel/mm3 atau limfosit total lebih
dari 14% yang telah berlangsung lebih dari tiga bulan (Lamprey et al., 2006).
Sumber:
1. Aids Info. 2013. Guidelines for Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in
HIV-Infected Adults and Adolescents. CDC: USA.
2. Buchacz K, Baker RK, Palella FJ, Jr. 2010. AIDS-Defining Opportunistic Illnesses in US
Patients, 1994-2007: A Cohort Study. Journal of AIDS. 24(10):1549-1559.
3. Charles FT, Andrew HL. 2008. Pneumocystis Pneumonia. The New England Journal of
Medicine. 350: 2487-2498.
4. Cooley L, Dendle C, Wolf J, Teh BW, Chen SC, Boutlis C, Thursky KA. 2014.
Consensus Guidelines for Diagnosis,Pprophylaxis and Management of Pneumocystis
jirovecii Pneumonia in Patients with Haematological and Solid Malignancies. Internal
Medicine Journal.
5. Situasi dan Analisis HIV AIDS. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
6. Lamprey PR, Johnson JL, Khan M. The global challange of HIV and AIDS. Population
Bulletin 2006; 61:1-28.
7. Miller R, Huang L. Pneumocystis jiroveci Thorax 2004; 59:731-3.
8. HIV & AIDS : Pendekatan biologi molekuler klinis dan sosial. Airlangga University
Press: 2007.p.1-309.
9. Thomas CF, Limper AH. Pneumocystis pneumonia. New Engl J Med 2004; 350:2487-98.
10. World Health Organization. WHO case defi nitions of HIV for surveillance and revised
clinical staging and immunoligical classifi cation of HIV-related disease in adults and
children. WHO press; 2006.p.1-38.
11. Y Evy, D Samsuridjal, D Zubairi. Infeksi oportunistik pada AIDS. Balai penerbit FKUI;
2005.p.1-78.

Anda mungkin juga menyukai