Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA


Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :
Tegar Jati Kusuma
20100310220
Diajukan Kepada :
dr. H. Suprapto, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA

Telah dipresentasikan pada tanggal :


23 Oktober 2014

Oleh :
Tegar Jati Kusuma
20100310220

Disetujui oleh,
Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. H. Suprapto, Sp.PD

DAFTAR PUSTAKA
REFERAT

LEMBAR PENGESAHAN

ii

DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I.

DEFINISI

II.

EPIDEMOLOGI

III. PATOFISIOLOGI

IV. FAKTOR RESIKO

V.

MANIFESTASI KLINIS

VI. DIAGNOSIS

VII. TATALAKSANA

VIII. PROGNOSIS

10

DAFTAR PUSTAKA

11

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Derajat Penyakit PcP

Tabel 2. Pengobatan PCP

Tabel 3. Profilaksis PcP

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pemeriksaan BAL

Gambar 2. Pewarnaan dengan Gomori methenamin silver

BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini lebih dari 150 negara dilaporkan telah terjadi infeksi HIV-AIDS dari
berbagai penjuru dunia. Data tahun 2000 dilaporkan 58 juta penduduk dunia
terinfeksi HIV, 22 juta diantaranya meninggal akibat AIDS. Transmisi masih terus
berlangsung dengan 16 ribu jiwa terinfeksi baru setiap harinya. Didapatkan
sedikitnya 40 juta manusia hidup dengan AIDS di akhir tahun 2005. Diperkirakan
4,9 juta manusia terdiagnosis infeksi HIV di tahun 2005 dengan 95% terjadi di
Afrika, Eropa Timur dan Asia1.
Pneumocystis pneumonia (PCP) disebabkan oleh organisme yang disebut
Pneumocystis jiroveci, sebelumnya dikenal dengan nama Pneumocystis carinii.
Penyakit

ini

merupakan

salah

satu

penyebab

kematian

penderita

immunocompromised, antara lain pada Acquired Immunodeficiency Syndrome


(AIDS). Pneumocystis pertama kali dikemukakan oleh Chagas pada tahun 1909
dan digolongkan sebagai protozoa. Analisis DNA tahun 1988 menjelaskan bahwa
Pneumocystis adalah jamur. Terdapat perbedaan DNA antara P. jiroveci (derivat
manusia) dan P. carinii (derivat tikus percobaan) sehingga untuk manusia
dinamakan menjadi P. jirovecii pada tahun 20021-3.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA (PCP)
I.

DEFINISI
Pneumocystis adalah jamur patogen oportunistik pada paru-paru yang

menyebabkan pneumonia pada host dengan immunocompromise. Meskipun


organiseme dalam genus Pneumocystis secara morfologi sangat mirip, mereka
secara genetik bermacam-macam dan spesifik. P. jirovecii menginfeksi manusia,
sedangkan P. carinii menginfeksi tikus3.
Pneumocystis pneumonia merupakan koinfeksi yang sering ditemukan
pada penderita HIV dan jarang terjadi pada penderita HIV dengan CD4 lebih dari
200 sel/mm3 atau 14% dari hitung limfosit total. Pnemocystis dapat menyebabkan
pneumonia yang berat pada individu dengan sistem imun yang buruk karena HIV,
transplantasi, keganasan, penyakit jaringan3.
II.

EPIDEMOLOGI
Sebelum penggunaan profilaksis untuk pneumonia P. jiroveci (PJP),

frekuensi infeksi pneumocystis pada pasien dengan transplantasi paru sebesar


88%. Sekarang, dengan penggunaan profilaksis rutin, PJP menjadi jarang pada
pasien dengan transplantasi organ padat dan secara signifikan berkurang pada
pasien yang terinfeksi dengan HIV4.
Sebelum penggunaan Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART),
PJP terdapat pada 70-80% pasien dengan infeksi HIV. Frekuensi PJP menurun
dengan penggunaan profilaksis dan HAART. PJP merupakan infeksi oportunistik
yang paling sering pada pasien dengan infeksi HIV. Pasien dengan HIV cenderung
lebih mudah mengalami rekurensi PJP daripada pasien tanpa HIV4.
Sekarang ini, frekuensi infeksi Pneumocystis meningkat di Afrika,
dengan ditemukannya organisme Pneumocystis mencapai 80% pada bayi dengan

pneumonia yang terinfeksi HIV. Di sub-Sahara Afrika, tuberculosis merupakan


koinfeksi yang sering terjadi pada orang dengan PJP5.
III.

PATOFISIOLOGI
Faktor pada host mempengaruhi perkembangan dari PJP termasuk

kerusakan pada imunitas seluler dan imunitas humoral. Resiko pada pasien
dengan infeksi HIV meningkat secara bermakna ketika sel T CD4 + menurun
hingga di bawah 200/L. Orang yang beresiko PJP lainnya adalah pasien dengan
agen immunosupresi (terutama glukokortikoid) pada kanker dan transplantasi
organ, yang mendapatkan agen biologi seperti infliximab dan etanercept untuk
rheumatoid arthritis dan inflamatory bowel disease, anak-anak dengan penyakit
immunodeficiency primer, dan bayi prematur dengan malnutrisi6.
Sel efektor dari host yang melawan Pneumocystis adalah alveolar
machropages, yang mencerna dan membunuh organisme tersebut, melepaskan
berbagai macam mediator inflamasi. Organisme tersebut berproliferasi di dalam
alveolus, menempel kuat pada sel tipe I. Kerusakan pada alveolar menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler alveolar dan kelainan surfaktan, meliputi
penurunan fosfolipid dan peningkatan pada protein surfaktan A dan D. Respon
inflamasi dari host pada kerusakan paru menyebabkan peningkatan interleukin 8
dan angka neutrofil pada cairan bronchoalveolar lavage (BAL). Perubahan ini
berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit6.
Pada bagian paru dengan hemaktosilin dan eosin, alveoli terisi dengan
vacuolated exudate. Pada tingkat yang berat mungkin didapatkan edema
interstisial, fibrosis, dan formasi membran hyalin. Perubahan inflamatory pada
host biasanya terdiri atas hipertrofi sel alveolar tipe II, respon reparatif khas, dan
infiltrat interstisial sedang sel mononuklear. Bayi dengan malnutrisi menunjukkan
infiltrat sel plasma yang awalnya dinamai : interstitial plasma cell pneumonia6.

IV.

FAKTOR RESIKO
PJP disebabkan oleh infeksi P. jiroveci. Berikut ini merupakan faktor

resiko terjadinya PJP7:


Seseorang dengan infeksi HIV di mana sel CD4 + turun hingga di bawah
200/L dan yang tidak mendapatkan profilaksis PJP (pada pasien dengan
infeksi HIV, ditemukan infeksi oportunistik lain [contoh: sariawan mulut]
meningkatkan resiko dari PJP, tanpa memperhatikan angka CD4+)
Seseorang dengan defisiensi imun primer, termasuk beberapa bentuk
hypogammaglobulinemia (terutama defisiensi CD40-ligand, juga dikenal
sebagai

X-link

hyper-IgM

syndrome)

dan

severe

combined

immunodeficiency (SCID).
Seseorang yang mendapatkan regimen immunosupresive jangka panjang
untuk kelainan jaringan ikat, vaskulitides, transplantasi organ padat
(contoh: jantung, paru, hepar, ginjal)
Seseorang dengan keganasan hematologi dan non-hematologi, meliputi
tumor padat dan limfoma.
Seseorang dengan malnutrisi berat.
V.

MANIFESTASI KLINIS
Pneumocystis menyebabkan pneumonia pada penderita HIV dengan

karakteristik sesak napas, demam dan batuk yang tidak produktif. Pneumocystis
pneumonia biasanya terjadi pada CD4 kurang 200 sel/mm3 pada pasien HIV.
Pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan takipnea dan takikardia namun tidak
didapatkan ronkhi pada auskultasi. Takipnea biasanya berat sehingga penderita
mengalami kesulitan berbicara. Sianosis akral, sentral dan membran mukosa juga
dapat ditemukan. Foto toraks memperlihatkan infiltrat bilateral yang dapat
meningkat menjadi homogen. Tanda yang jarang antara lain terdapat nodul soliter
atau multipel, infiltrat pada lobus atas pada pasien dengan pengobatan pentamidin,
pneumatokel dan pneumotoraks. Efusi pleura dan limfadenopati jarang
ditemukan. Jika pada foto toraks tidak didapatkan kelainan maka dianjurkan
pemeriksaan high resolution computed tomography (HRCT)8.

Tabel 1. Derajat Penyakit PJP11


Derajat
Berat

Sedang

Ringan

Kriteria
Sesak napas pada waktu istirahat atau PaO2 kurang dari 50 mmHg dalam
suhu ruangan
Sesak napas pada latihan ringan, PaO2 antara 50-70 mmHg pada suhu
ruangan saat istirahat, AaDO2 lebih dari 30 mmHg atau saturasi oksigen
kurang 94%
Sesak napas pada latihan sedang, PaO2 lebih 70 mmHg dalam suhu
kamar saat istirahat

Pemeriksaan histopatologi memperlihatkan gambaran eksudat eosinofil


aseluler yang mengisi alveoli. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
immunofloresen menggunakan antibodi monoklonal. Pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas 95% dan spesifisitas 100%. Pemeriksaan lain menggunakan sputum
dan BAL dengan hasil didapatkan 97% positif pada 100 pasien HIV. Pemeriksaan
laboratorium darah tidak khas, kecuali peningkatan laktat dehidogenase (LDH)
dan gradien oksigen alveolar-arterial (AaDO2) dikaitkan dengan prognosis lebih
buruk2.
VI.

DIAGNOSIS
Pneumocystis sulit didiagnosis karena gejala dan tanda yang tidak

spesifik. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Bahan


pemeriksaan antara lain berasal dari sputum, bronchoalveolar lavage (BAL),
jaringan paru. Pneumocystis tidak dapat dikultur. Induksi sputum menggunakan
larutan hypertonicsaline menghasilkan diagnosis 50 sampai 90% dan merupakan
prosedur diagnosis utama. Jika pemeriksaan tersebut negatif, pemeriksaan dengan
BAL dapat dilakukan2.

Gambar 1. Pemeriksaan BAL9


Pemeriksaan BAL memiliki sensitivitas lebih dari 90%. Terdapat dua
bentuk PJP, yaitu tropik dan kistik. Bentuk tropik dapat dilihat dengan pewarnaan
modifi kasi Papaniculaou, Wright-Giemsa, atau Gram-Weigert. Bentuk kista
dilihat dengan pewarnaan Gomori methenamin silver, cresyl each violet, toluidin
blue O, atau calcofluor white8.

Gambar 2. Pewarnaan dengan Gomori methenamin silver9

Derajat penyakit dijelaskan pada tabel (1). Sedangkan diagnosis


presumtif PCP menurut CDC jika ditemukan sebagai berikut :PDF
1. Keluhan sesak napas saat aktif atau batuk non produktif dalam tiga bulan
terakhir
2. Gambaran foto toraks berupa infiltrat interstitial difus bilateral atau
gambaran penyakit paru difus bilateral
3. Tekanan oksigen (O2) kurang dari 70 mmHg pada pemeriksaan analisis
gas darah atau kapasitas difusi rendah (kurang 80% prediksi) atau
peningkatan AaDO2
4. Tidak terbukti pneumonia bakterialis.
VII.

TATALAKSANA
Antibiotik utamanya direkomendasikan untuk terapi P. jiroveci ringan,

sedang, atau berat. TMP-SMX telah terbukti sama efektifnya seperti pentamidine
intravena dan lebih efektif daripada terapi alternative regimen lain. Parenteral
dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit yang serius atau dengan efek
samping gastrointestinal7.
Direkomendasikan durasi terapi pada PJP adalah 21 hari pada pasien
dengan infeksi HIV dan 14 hari pada pasien lain. Pasien yang terinfeksi HIV
cenderung memiliki beban yang lebih tinggi dan respon yang rendah daripada
pasien tanpa infeksi HIV dan oleh karena itu membutuhkan terapi yang lebih
lama7.
Tabel 2. Pengobatan PJP2
Jenis Obat
TrimetroprimSulfametokasazol
Primakuin Plus
Klindamisin
Atovakuon
Pentamidin

Dosis
15-20 mg/kg
75-100 mg/kg
Setiap hari dalam 3 dosis
30 mg setiap hari
600 mg tiga kali sehari
750 mg dua kali sehari
4 mg/kg setiap hari
600 mg setiap hari

Cara
peroral

Peroral
Peroral
Intravena
Aerosol

Tabel 3. Profilaksis PJP2


Jenis Obat

Dosis

Cara

TrimetroprimSulfametokasazol

1x2 tablet setiap hari atau


1x1 tablet setiap hari
1x2 tablet 3 kali seminggu
50 mg sekali hari atau
100 mg setiap hari
50 mg setiap hari
50 mg setiap minggu
25 mg setiap minggu
300 mg setiap bulan
1500 mg setiap hari

Dapson
Dapson plus
Pirimetamin plus
Leukovorin
Pentamidin
Atovakuon

Peroral
(alternatif)
Peroral
Peroral

Aerosol
Peroral

Pengobatan berdasarkan derajat penyakit


PCP Berat
Penderita perlu dirawat dirumah sakit dengan bantuan ventilator. Obat
lini pertama yang diberikan adalah kotrimoksazol dosis tinggi intravena
(trimetoprim 15 mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 75 mg/kgBB/hari selama 21
hari). Bila tidak ada respons dapat diberi lini kedua yaitu pentamidin intravena (34 mg/kgBB selama 21 hari). Lini ke tiga adalah klindamisin (600 mg IV tiap 8
jam)

dengan

primakuin

(15

mg/oral/hari).

Pemberian

kortikosteroid

direkomendasikan 40 mg secara peroral dua kali sehari pada hari pertama sampai
kelima, 40 mg satu kali per hari selama 6-10 hari, 20 mg setiap hari sampai
lengkap 21 hari10.
PCP Sedang
Penderita dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah Trimetoprim-sulfametoksazol 480 mg dua tablet tiga kali
sehari selama 21 hari10.
PCP Ringan
Penderita dapat diberi kotrimoksazol peroral 480 mg dua tablet sehari
selama 21 hari atau cukup 14 hari jika respons membaik10.
Profi laksis PCP
Sebelum dikenal pengobatan HAART 10% PCP sering terjadi pada CD4
lebih dari 200 sel/mm3. Pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART)
pada penderita HIV dapat menurunkan kejadian infeksi oportunistik. Profilaksis

dapat diberikan jika CD4 kurang dari 200 sel/mm3 atau limfosit total kurang dari
14% dengan kandidiasis oral atau demam yang tidak jelas penyebabnya dan
berlangsung lebih dari dua minggu. Regimen yang diberikan adalah
kotrimoksazol dua kali sehari, seminggu dua kali atau dapsone 100 mg peroral per
hari atau atavaquone 750 mg peroral dua kali per hari. Profilaksis dihentikan bila
CD4 lebih dari 200 sel/mm3 atau limfosit total lebih dari 14% yang telah
berlangsung lebih dari tiga bulan10.
Trimetoprim-Sulfametoksazol
Merupakan obat pilihan terapi PJP. Penetrasinya baik di jaringan. Studi
prospektif membandingkan pemberian trimetoprim sulfametoksasol dengan
pentamidin menunjukkan bahwa obat tersebut memperbaiki oksigenasi serta daya
tahan hidup lebih baik. Pemberian oral pada PJP derajat ringan sampai sedang.
Efek samping yang dapat terjadi adalah skin rash dan gangguan fungsi hati pada
20% penderita. Tidak dilaporkan efek samping yang dapat menyebabkan
penderita sampai dirawat di rumah sakit8.
Pentamidin
Pentamidin digunakan sebagai terapi lini kedua; merupakan antiprotozoa
yang mekanismenya dalam melawan Pneumocystis belum jelas diketahui.
Pentamidin merupakan obat toksik dengan efek samping antara lain hipotensi,
aritmia, hipoglikemia, gangguan fungsi ginjal, peningkatan kadar kreatinin dan
trombositopenia.pdf
Klindamisin dan Primakuin
Terapi kombinasi dua obat ini efektif mengobati PCP derajat ringan
sampai sedang. Kombinasi ini digunakan pada pasien yang tidak toleran atau
gagal pada pengobatan trimetoprim sulfametoksasol atau pentamidin. Efek
samping yang dapat terjadi antara lain rash, demam, neutropenia, gangguan
gastrointestinal dan methemoglobinemia8.
Dapson

Kombinasi dapson dengan trimetoprim efektif digunakan untuk PJP


derajat ringan sampai sedang. Efek samping yang dapat terjadi berupa
methemoglobinemia, hiperkalemia ringan, anemia8.
Atovakuon
Merupakan antimalaria yang merupakan terapi lini kedua pengobatan
PCP. Walaupun ditoleransi lebih baik dibanding trimetoprim sulfametoksazol,
obat ini kurang efektif. Efek samping yang terjadi yaitu rash, demam, gangguan
gastrointestinal dan gangguan fungsi hati8.
Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada penderita PCP berat. Kortikosteroid juga
dapat menurunkan efek samping Trimetoprim-sulfametoksasol. Bezzote dkk.
menjelaskan efek kortikosteroid akan baik bila diberikan pada penderita derajat
sedang atau berat. Pemberian kortikosteroid dapat meningkatkan insidens herpes
virus serta oral trush8.
VIII. PROGNOSIS
Pada kasus PJP yang tidak ditangani, gangguan pernapasan yang
progresif menyebabkan kematian. Terapi sangat efektif bila dimulai sejak dini,
sebelum terdapat kerusakan alveolar yang luas. Dengan peningkatan manajemen
HIV dan komplikasinya, mortality dari PJP adalah 15-20% pada 1 bulan dan 5055% pada 1 tahun. Tingkat kematian awal yang tinggi terjadi pada pasien yang
membutuhkan bantuan ventilator sebesar 60% dan pada pasien yang tidak
terinfeksi HIV sebesar 40%6.

10

DAFTAR PUSTAKA
1. Huang L, Moris A, Limper AH, Beck JM. An official ATS workshop
summary: recent advences and future directions in Pneumocystis pneumonia
(PCP). Am Thorac Soc 2006; 3:655-64.
2. Thomas CF, Limper AH. Pneumocystis pneumonia. N Engl J Med 2004;
350:2487-98.
3. Miller R, Huang L. Pneumocystis jiroveci infection. Thorax 2004; 59:731-3.
4. Abouya YL, Beaumel A, Lucas S, et al. Pneumocystis carinii pneumonia. An
uncommon

cause

of

death

in

African

patients

with

acquired

immunodeficiency syndrome. Am Rev Respir Dis. Mar 1992;145(3):617-20.


5. Murray JF. Pulmonary complications of HIV-1 infection among adults living
in Sub-Saharan Africa. Int J Tuberc Lung Dis. Aug 2005;9(8):826-35.
6. Fauci, et al. 2008. Harrisons Principle of Interna Medicine 17 th. United State:
The Mc-Graw-Hill Company.
7. http://emedicine.medscape.com/article/225976-overview#aw2aab6b4.
Diakses tanggal 12 Oktober 2014.
8. Lee SA. A review of Pneumocystis pneumonia. J. Pharm Prac 2006; 19:1-9.
9. Fajar, M. Yanuar. 2013. Pneumocystis Pneumonia pada Infeksi Human
Immunodeficiency Virus. CDK-203/ vol. 40.
10. Lamprey PR, Johnson JL, Khan M. The global challange of HIV and AIDS.
Population Bulletin 2006; 61:1-28.
11. Y Evy, D Samsuridjal, D Zubairi. Infeksi oportunistik pada AIDS. Balai
penerbit FKUI; 2005.p.1-78.

11

Anda mungkin juga menyukai