Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) atau yang saat ini dikenal dengan
Pneumocystis jirovecii pneumonia merupakan infeksi oportunistik tersering pada
pasien HIV terutama pada pasien dengan CD4 kurang dari 200 sel/ul. Sebelum
adanya profilaksis PCP dan antiretroviral (ARV), PCP terjadi pada 70-80% pasien
HIV dan hampir 90% terjadi pada pasien HIV dengan CD4 kurang dari 200
sel/ul.1 Namun, setelah adanya profilaksis PCP serta ARV, insiden PCP pada
pasien HIV berkurang secara signifikan. Kebanyakan kasus PCP terjadi pada
pasien yang tidak mengetahui status HIV nya atau pasien yang tidak
mengonsumsi ARV. Angka mortalitas PCP 10-20% pada infeksi awal, meningkat
seiring dengan kebutuhan ventilasi mekanik
Diagnosis PCP sangat sulit dilakukan karena gejala, pemeriksaan darah, serta
radiografi thoraks tidaklah patognomonik untuk PCP. Selain itu, Pneumocystis
jirovecii tidak dapat dikultur sehingga diperlukan pemeriksaan histopatologi atau
sitologi, cairan dari broncho-alveolar lavage (BAL) atau sampel dari induksi
sputum untuk mendiagnosis PCP secara definitif. Walalupun terdapat hambatan
tersebut, deteksi kasus PCP sedini mungkin harus tetap dilakukan agar dapat
segera ditangani dan mencegah mortalitas. Pada pasien dengan HIV atau pasien
dengan kandidiasis orofaring yang dicurigai HIV, jika terdapat keluhan demam,
sesak atau batuk yang tidak produktif perlu dicurigai adanya PCP. Namun,
gambaran klinis dapat bervariasi. Gejala PCP biasanya ringan dan memberat
dalam hitungan hari hingga minggu. Namun, sekitar 7% pasien dengan PCP tidak
bergejala. Pada pasien ini, baru diketahui HIV dengan keluhan sesak progresif,
batuk kering, dan demam yang tidak tinggi dirasakan sejak 3-4 minggu SMRS.
Selain gejala, pemeriksaan fisik untuk PCP juga tidak spesifik. Pasien dapat
menunjuk kan gejala distres pernapasan seperti takipneu, takikardia, dan sianosis.
Pada auskultasi paru mungkin terdapat krepitasi saat inspirasi hingga tidak
ditemukan kelainan berarti pada kasus ringan. Sedangkan, pada kasus berat dapat
terjadi hipoksia. Pada pasien ini, dari pemeriksaan fisik sempat didapati
desaturasi saat di instalasi gawat darurat (IGD) yang membaik dengan pemberian
oksigen. Selain itu, didapatkan pula takikardi dan takipneu yang sesuai dengan

1
gejala distress pernapasan. Sementara pada pemeriksaan paru, didapatkan ronki
basah kasar di kedua lapang paru yang masih mendukung kecurigaan ke arah
PCP. Selain itu, terdapat peningkatan LDH yang mendukung adanya inflamasi
paru.
Pemeriksaan radiologi juga dapat mengarahkan penegakan diagnosis PCP
selain berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan foto toraks dapat menunjukan adanya pola interstisial bilateral yang
homogen serta diffuse dapat juga disertai dengan pneumotoraks spontan.
Pemeriksaan CT scan lebih sensitif dibandingkan rontgen toraks dalam
mendeteksi PCP. Pada pemeriksaan CT scan thoraks akan ditemukan gambaran
ground-glass appearance (crazy paving) dengan distribusi yang tidak merata.
Ground-glass appearance tersebut lebih dominan di daerah perihiler. Pada
keadaan yang lebih lanjut, akan ditemukan septal lines dengan atau tanpa
intralobular lines superimposed pada ground-glass appearance serta
konsolidasi.Pada pasien PCP dengan HIV, respon terapi biasanya muncul lebih
lama namun harus terjadi dalam delapan hari pertama. Apabila hal tersebut tidak
terjadi, maka perlu dicari diagnosis alternatif atau regimen alternatif.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa defenisi dari PCP?
2. Apa Penyebab dari PCP?
3. Bagaimana tanda dan gejala pada PCP?
4. Apa faktor resiko dari PCP?
5. Bagaimana pencegahan pada PCP?
6. Bagaimana pengobatan pada PCP?
7. Asuhan keperawatan pada PCP?
1.3 Tujuan Penulisan
Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep dasar dan
asuhan keperawatan pada pasien Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Pneumonia Pneumokistik (Pneumokistosis/ Pneumocystitis Carinii
Pneumonia ( PCP ) adalah suatu infeksi paru-paru akibat jamur yang
bernama Pneumocystis carinii yang menyebabkan paru-paru meradang.
neumocystis carinii adalah organisme yang biasa hidup di paru-paru normal dan
tidak menimbulkan gejala. Tetapi pada orang-orang yang mengalami gangguan
sistem kekebalan akibat kanker, HIV/AIDS, pencangkokan sumsum tulang
maupun organ padat dan pada orang-orang yang menggunakan kortikosteroid
dalam jangka panjang atau obat-obatan lainnya yang mempengaruhi sistem
kekebalan, jamur tersebut bisa menyebabkan terjadinya infeksi paru-paru.
Kantung-kantung udara dalam paru yang disebut alveoli dipenuhi nanah dan
cairan sehingga kemampuan menyerap oksigen menjadi kurang. Kekurangan
oksigen membuat sel-sel tubuh tidak bisa bekerja. Karena inilah, selain
penyebaran infeksi ke seluruh tubuh, penderita pneumonia bisa meninggal.
Sebenarnya pneumonia bukanlah penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-
macam dan diketahui ada 30 sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus,
mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel. PCP biasanya
menjadi tanda awal serangan penyakit pada pengidap HIV/AIDS. Kebanyakan
penderita akan merasakan demam, sesak nafas dan batuk kering. Paru-paru tidak
dapat menyalurkan oksigen dalam jumlah yang memadai ke dalam darah
sehingga timbul sesak nafas yang berat. Sesak terutama timbul setelah penderita
melakukan aktivitas.
PCP biasanya terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang
menurun, seperti pada penderita AIDS, serta bayi dan balita yang premature dan
mengalami malnutrisi (kurang gizi). Sebelum adanya epidemik AIDS pada awal
1980-an, PCP jarang terjadi dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi
protein atau penderita ALL (AcuteLymphocytic Leukemia), atau pada pasien –
pasien yang mendapat terapi kortikosteroid. Sekarang infeksi oportunistik ini
umumnya sering dihubungkan dengan dengan infeksi HIV lanjut. Morfologi dan
siklus hidup Vavra dan Kucera (1970) membagi Pneumocystisjiroveci menjadi 3
stadium, yaitu :
a. Stadium trofozoit

3
Bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1 – 5 µ dan memperbanyak diri
secara mitosis. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat ultrastrukturnya
sebagai berikut : berdinding tipis (20 – 40 µ) dengan beberapa ekspansi
tubular yang disebut sebagai filopodium; umumnya mempunyai 1 inti tetapi
kadang dapat lebih dari 2 inti; mitokondria,retikulumendoplasmik yang kasar;
benda – benda bulat (roundbodies dan vakuol – vakuol). Pada pewarnaan
Giemsa, inti berwarna ungu gelap dan sitoplasma biru terang tetapi tidak ada
ciri lain yang khas. Juga dapat dilihat dengan pewarnaan “acridineorange”.
Trofozoit yang kecil (1 – 1,5 µ) ditemukan di dekat kista yang berdinding
tebal, berbentuk bulan sabit menyerupai “intracysticbodies” (beberapa sumber
menyatakan “intracysticbodies” sebagai trofozoit yang sedang berkembang).
Trofozoit yang besar menempel pada dinding alveolus dan mempunyai
dinding tipis yang sama dengan trofozoit yang kecil tetapi mempunyai
filopodium dan pseudopodium sehingga berbentuk ameboid.
b. Stadium prakista
Merupakan bentuk intermediate antara trofozoit dan kista. Bentuk oval,
ukuran 3 – 5 µ dan dindingnya lebih tebal (berkisar antara 40 – 120 µ) dengan
jumlah inti 1 – 8. Dengan mikroskop, bentuk ini sukar dibedakan dari stadium
lainnya tetapidinding yang lebih tebal dari stadium prakista dapat diwarnai
dengan “methenaminesilver” (Matsumoto dan Yoshida, 1986).
c. Stadium kista
Stadium ini merupakan bentuk diagnostik untuk pneumosistosis (Matsumoto
dan Yoshida, 1986), juga diduga sebagai bentuk infektif pada manusia.
Dengan mikroskop fase kontras, kista mudah dilihat, bentuknya bulat dengan
diameter 3,5 - 12 µ (kurang lebih 6 µ), mengandung 8 sporozoit atau trofozoit
yang sedang berkembang (“intracysticbodies”)yang berdiameter 1 – 1,5µ.
Sporozoit tersebut dapat berbentuk seperti buah peer, bulan sabit atau kadang
– kadang terlihat kista berdinding tipis dengan suatu massa di tengah yang
homogen atau bervakuol. Kista dan trofozoit mudah diwarnai dengan Giemsa
atau dengan cara Gram – Weiger. Pewarnaan dengan Giemsa baik untuk
melihat bagian – bagian dari parasit. Kapsul berwarna ungu merah, sitoplasma
ungu dan inti ungu biru. Kista yang tidak mengambil warna dianggap sebagai
kista yang berdegenerasi. Untuk menemukan kista, pewarnaan yang paling
cocok adalah Gomori – Silver. Tapi dengan warna ini tidak mungkin diperiksa

4
susunan dalam kista secara detail. Kista dapat juga dilihat dengan teknik
fluoresen dilabel dengan antibody (Arean, 1971).

2.2 Etiologi
PCP disebabkan oleh jamur yang ada dalam tubuh hampir setiap orang.
Dahulu jamur tersebut disebut Pneumocystis carinii, tetapi para ilmuwan
sekarang memakai nama Pneumocystis jiroveci, namun penyakit masih
disingkatkan sebagai PCP. Sistem kekebalan yang sehat dapat mengendalikan
jamur ini. Namun, PCP menyebabkan penyakit pada orang dewasa dan anak
dengan sistem kekebalan yang lemah. Jamur Pneumocystis hampir selalu
mempengaruhi paru, menyebabkan bentuk pneumonia (radang paru). Orang
dengan jumlah CD4 di bawah 200 mempunyai risiko paling tinggi mengalami
penyakit PCP. Orang dengan jumlah CD4 di bawah 300 yang telah mengalami IO
lain juga berisiko. Sebagian besar orang yang mengalami penyakit PCP menjadi
jauh lebih lemah, kehilangan berat badan, dan kemungkinan mengembangkan
penyakit PCP lagi.
PCP dan AIDS Sejak dimulainya epidemi AIDS, PCP kerapkali diasosiasikan
dengan AIDS. Karena ini hanya terjadi pada pasien immunokompresi (penurunan
kekebalan tubuh), mungkin bisa menjadi tanda pertama untuk diagnosis AIDS
baru jika pasien tidak memiliki alasan lain mengalami imunokompresi (contoh :
menggunakan obat immunosupresif untuk transplantasi organ). Peningkatan
angka kasus PCP di Amerika Utara, tercatat ketika Dokter mulai membutuhkan
pentamidine, antibiotik yang jarang digunakan dalam jumlah yang besar, adalah
petunjuk awal keberadaan AIDS di awal 1980. Mengutamakan pada
perkembangan atau perawatan lebih efektif, PCP biasannya menjadi sebab
cepatnya kematian pada orang yang hidup dengan AIDS. Kebanyakan kejadian
PCP telah diturunkan dengan memulai langkah awal menggunakan oral co-
trimoxazole untuk mencegah penyakit pada orang dengan jumlah CD4 kurang
dari 200/mm³. Pada populasi yang tidak memiliki akses pengobatan preventif,
PCP berlanjut menjadi penyebab utama kematian pada AIDS.
2.3 Tanda dan gejala
Gejala klinis PCP meliputi triad klasik demam – yang tidak terlalu tinggi-,
dispnoe – terutama saat beraktivitas-, dan batuk non produktif. Progresivitas
gejala biasanya perlahan, dapat berminggu – minggu bahkan sampai berbulan –

5
bulan. Semakin lama dispnoe akan bertambah hebat, disertai takipnoe –
frekwensi pernafasan meningkat sampai 90 – 120 x / menit -, sampai terjadi
sianosis. Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak dijumpai tanda yang spesifik.
Saat auskultasi dapat dijumpai ronki kering atau bahkan tidak dijumpai kelainan
apapun. Pada 2 – 6 % kasus, PCP dapat muncul dengan pneumothorax spontan.
Pada pemeriksaan radiologi paru terlihat gambaran yang khas berupa infiltrat
bilateral simetris, mulai dari hilus ke perifer, bisa meliputi seluruh lapangan paru.
Daerah dengan kolaps, diselingi dengan daerah yang emfisematosa menimbulkan
gambaran seperti sarang tawon (“honeycombappearance”), kadang – kadang
terjadi emfisema mediastinal di pneumothorax (Juwono, 1987; Beaveretal.,
1984). Pada darah dijumpai kadar LDH (Lactate Dehidrogenase) yang tinggi - >
460 U / L – atau Pa O2 (tekanan oksigen parsial arteri) < 75 mmHg. Lesi ekstra
pulmoner jarang terjadi - < 3 % -, namun dapat melibatkan limpa, hati, kelenjar
getah bening dan sum – sum tulang. Pada penderita anak – anak sehubungan
dengan malnutrisi, onset penyakit berjalan perlahan , dijumpai kegagalan tumbuh
kembang (failuretothrive), yang akhirnya diikuti takipnoe dan sianosis. Sedang
pada penderita yang imunosupresif – anak mau pun dewasa -, onset penyakit
berjalan cepat
2.4 Patofisiologi
Resiko pneumonia Pneumocystis jirovecii meningkat ketika tingkat sel
positif CD4 kurang dari 200 sel/μl. Pada individu immunosuppresi gejala infeksi
bervariasi tinggi. Penyakit ini menyerang pencernaan, jaringan fibrosa paru-paru,
dengan tanda penebalan alveolar septa dan alveoli dan mengarah ke hypoxia
signifikan yang akan menjadi fatal jika tidak ditangani secara agresif; Oleh
karena itu, LDH meningkat dan pertukaran gas sulit. Oksigen kurang mampu
berdifusi ke dalam darah, mengarah ke hypoxia. Hypoxia, bersamaan tingginya
tingkat arterial carbon dioksida (CO2) levels, merangsang peredaran, dengan
demikina menyebabkan dyspnea (kesulitan bernafas).

2.5 Faktor Resiko


Penyakit relatif jarang pada orang yang memiliki sistem imunitas normal,
tetapi biasanya diantara orang dengan kelemahan sistem imunitas, seperti bayi
prematur atau anak yang mengalami gejala kekurangan gizi, lansia, dan terutama
orang yang hidup dengan HIV/AIDS, adalah orang yang paling terutama

6
diobservasi(diamati). PCP bisa juga berkembang yang menggunakan pengobatan
immunosuppressif . Itu bisa terjadi pada pasien yang baru saja menjalani operasi
transpalantasi organ or transplantasi sumsum tulang dan setelah operasi. Infeksi
dengan Pneumocystis pneumonia biasannya pada bayi dengan hyper IgM
syndrome, sebuah X-linked (faktor berhubungan) atau pembawaan resesif
autosomal. Pneumocystis jirovecii biasanya jarang diuraikan karena pneumonia
pada neonatal(bayi baru lahir). Itu diyakini sebagai organisme komensal
(tergantung pada pejamu manusia untuk pertahanannya). Kemungkinan penularan
antar manusia (the possibility of person-to-person transmission) dippercaya baru-
baru ini meningkat, dengan fakta pendukung dari studi genotipe dari
Pneumocystis jirovecii yang diisolasi dari jaringan paru-paru manusia.
Contohnya, dalam 12 kasus penjangkitan diantara pasien transplantasi di Leiden,
sepertinya diperkirakan, tetapi belum dipastikan , penyebaran antar manusia
mungkin telah terjadi.

2.6 Pencegahan Penyakit


Cara terbaik untuk mencegah PCP adalah dengan memakai ART. Orang
dengan jumlah CD4 di bawah 200 dapat mencegah PCP dengan memakai obat
yang juga dipakai untuk mengobati PCP. Untuk informasi lebih lanjut, lihat LI
950 dan LI 951. Cara yang lain untuk mengurangi risiko PCP adalah dengan tidak
merokok. Satu penelitian menemukan bahwa perokok yang sudah berhenti
sedikitnya selama satu tahun tidak mengembangkan PCP lebih cepat
dibandingkan non-perokok. Pada pasien immunokompresi, prophylaxis dengan
co-trimoxazole atau inhaler pentamidine biasa bisa mencegah PCP. ART dapat
meningkatkan jumlah CD4 kita. Jika jumlah ini melebihi 200 dan bertahan begitu
selama tiga bulan, mungkin kita dapat berhenti memakai obat pencegah PCP
tanpa risiko. Namun, karena pengobatan PCP adalah murah dan mempunyai efek
samping yang ringan, beberapa peneliti mengusulkan pengobatan sebaiknya
diteruskan hingga jumlah CD4 di atas 300. Kita harus berbicara dengan dokter
kita sebelum kita berhenti memakai obat apa pun yang diresepkan.
2.7 Pengobatan Penyakit
Pengobatan Antipneumocystic digunakan bersamaan dengan steroid dengan
tujuan untuk menghindari peradangan, yang menyebabkan gejala pembusukan
empat hari setelah pengobatan dimulai jika steroid tidak digunakan. Lebih jauh
lagi pengobatan yang paling sering digunakan adalah co-trimoxazole, tetapi

7
beberapa pasien tidak dapat untuk mentoleransi pengobatan ini akibat alergi. Obat
lain yang digunakan sendiri, atau dikombinasikan termasuk, pentamidine,
trimetrexate, dapsone, atovaquone, primaquine, pafuramidine maleate (dalam
penelitian), dan clindamycin. Pengobatan biasannya dilakukan dalam waktu 21
hari. Selama bertahun-tahun, antibiotik dipakai untuk mencegah PCP pada pasien
kanker dengan sistem kekebalan yang lemah. Obat yang sekarang dipakai untuk
mengobati PCP mencakup kotrimoksazol, dapson, pentamidin, dan atovakuon.
Kotrimoksazol (TMP/SMX) (lihat adalah obat anti-PCP yang paling efektif.
Ini adalah kombinasi dua antibiotik: trimetoprim (TMP) dan sulfametoksazol
(SMX). Obat ini juga murah, dan dipakai dalam bentuk pil, satu atau dua pil
sehari. Dapson serupa dengan kotrimoksazol. Dapson kelihatan hampir seefektif
kotrimoksazol melawan PCP. Pentamidin adalah obat hirup yang berbentuk
aerosol untuk mencegah PCP. Pentamidin juga dipakai secara intravena (IV)
untuk mengobati PCP aktif. Pentamidine is less often used as its major limitation
is the high frequency of side effects. These include acute pancreatitis, renal
failure, hepatotoxicity,leukopenia, rash, fever, and hypoglycaemia. Atovakuon
adalah obat yang dipakai pada kasus PCP ringan atau sedang oleh orang yang
tidak dapat memakai kotrimoksazol atau pentamidin.
2.8 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesis
a) Keluhan:
1) Batuk tidak berdahak
2) Sesak nafas
3) Pernafasan cepat
4) Lemah
5) Demam
b) Riwayat penyakit saat ini
1) Sejak kapan terdiagnosis HIV
2) Kapan menggunakan terapi ARV atau tidak, mulai kapan batuk-batuk,
jumlah CD4
3) Tindakan apa yang sudah dilakukan untuk mengatasi masalah
kesehatan yang dialami sebelum dibawa kerumah sakit
4) Obat-obatan yang dikonsumsi saat ini
c) Riwayat penyakit yang pernah diderita
1) Kenali faktor seperti praktik yang beresiko
2) Pengguna narkoba dan obat-obatan terlarang dengan cara intravena
secara bergantian.
3) Riwayat penerima donor darah

8
d) Riwayat penyakit kelurga
1) Adakah anggota keluarga lainnya yang beresiko tinggi terkena seperti
praktek seksual yang beresiko, pengguna narkoba dan obat-obatan
terlarang dengan cara intravena secara bergantian.
e) Psiko-sosial-spiritual
1) Faktor stress yang berhubungan dengan kehilangan dukungan kelurga.
Hubungan dengan orang lain, penghasilan, gayaa hidup tentunya dan
distress spiritual.
2) Mengkhawatirkan penampilan: lesi, cacat, penurunan berat badan.
3) Cemas, depresi, kesepian, teman terdekat meninggal karena AIDS.
Perubahan pada interaksi keluarga.
b. Pemeriksaan fisik
a) B1 (Breath): pernafasan
1) Batuk kering/non produktif, nyeri dada, sesak nafas terjadi
takipnea, distress pernafasan
b) B2 (Blood): kardiovaskuler
1) Terjadi takikardi menurunnya volume nadi perifer, akral dingin,
pucat dan sianosis yang berkepanjangan, TD rendah
c) B3 (Brain): persyarafan
1) Pusing
2) Sakit kepala
3) Tejadi perubahan status mental
4) Tidak mampu mengingat berkonsentrasi dan pada tahap yang
berat terjadi perubahan sensori persepsi
5) Perubahan ketajaman penglihatan dan kesemutan pada
ekstrimitas
d) B4 (Bladder): perkemihan
1) Tidak ada perubahan dalam jumlah, warna dan karakteristik
urin
e) B5 (Bowel): pencernaan
1) Penurunan BB yang cepat, mual, muntah, anoreksia
f) B6 (Bone): Muskuloskletal
1) Adakah kelemahan, turgor kulit yang buruk, akral dingin,
sianosis
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik akan didapatkan hasil sebagai berikut:
1) Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak dijumpai tanda yang spesifik.
Saat auskultasi dapat dijumpai ronki kering atau bahkan tidak dijumpai
kelainan apapun. Pada 2 – 6 % kasus, PCP dapat muncul dengan
pneumothorax spontan. Pada pemeriksaan radiologi paru terlihat
gambaran yang khas berupa infiltrat bilateral simetris, mulai dari hilus ke
perifer, bisa meliputi seluruh lapangan paru. Daerah dengan kolaps,

9
diselingi dengan daerah yang emfisematosa menimbulkan gambaran
seperti sarang tawon. Pada darah dijumpai kadar LDH (Lactate
Dehidrogenase) yang tinggi - > 460 U / L – atau Pa O2 (tekanan oksigen
parsial arteri) < 75 mmHg. Lesi ekstra pulmoner jarang terjadi - < 3 % -,
namun dapat melibatkan limpa, hati, kelenjar getah bening dan sum –
sum tulang. Pada penderita anak – anak sehubungan dengan malnutrisi,
onset penyakit berjalan perlahan , dijumpai kegagalan tumbuh kembang
(failuretothrive), yang akhirnya diikuti takipnoe dan sianosis. Sedang
pada penderita yang imunosupresif – anak mau pun dewasa -, onset
penyakit berjalan cepat.
2) Analisa gas darah arteri menunjukkan hipoksemia (PaO2 kurang dari 80
mmHg) dan kemungkinan hipokapnia (PaO2 kurang dari 35 mmHg).
d. Diagnosa keperawatan
1) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan pada membran
kapiler- alveolar
2) Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2
kejaringan perifer
3) Resiko perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan kebutuhan metabolisme tubuh dan demam.
e. Intervensi
1. Kerusakan pertukaran gas b.d perubahan pada membrane kapiler- alveolar
a) Kolaborasi pemberian O2 sesuai indikasi
b) Auskultasi bunyi nafas, panta kecepatan/ kedalaman pernafasan,
sianosis, penggunaan otot bantu pernafasan
c) Kolaborasi pemeriksaan gas darah sebelum dan sesudah diberikan
intervensi
d) Kolaborasi program pengobatan: antibiotic, obat batuk
2. Perubahan perfusi jaringan b.d penurunan suplai O2 kejaringan perifer
a) Kolaborasi pemberian O2 sesuai indikasi
b) Berikan diet TKTP
c) Pertahankan suhu lingkungan agar tubuh tetap hangat
d) Ubah posisi sedikitnya tiap jam
e) Observasi TTV dan tanda-tanda gangguan perfusi jaringan perifer
(akral dingin, CRT> 3 detik
f) Kolaborasi : pemeriksaan Hb dan gas darah

10
3. Resiko perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan kebutuhan metabolisme tubuh dan demam.
a) Pantau: persentase jumlah mkanan yang dikonsumsi setiap kali makan,
timbang berat badan setiap hari, hasil pemeriksaan: protein total,
albmin, da osmolalitas.
b) Rujuk kepada ahli diet untuk membantu memilih maknan yang dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi selama demam
c) Dorong pasien untuk mengkonsumsi makan tinggi protein.
d) Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering yang mudah
dikunyah(roti panggang,krekers).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
PCP merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur
Pneumocystisjiroveci. Infeksi ini sering terjadi pada penderita dengan
immunodefisiensi, mis : pada penderita HIV / AIDS, ALL
(AcuteLymphocyticLeucemia), maupun pada pasien yang mendapat terapi
kortikosteroid. Transmisi orang ke orang diduga terjadi melalui
“respiratorydropletinfection” dan kontak langsung. Kebanyakan peneliti
menganggap transmisi terjadi melalui inhalasi. Diduga mekanisme infeksinya
karena menjadi aktifnya infeksi laten. Gejala klinis PCP meliputi triad klasik
demam – yang tidak terlalu tinggi-, dispnoe– terutama saat beraktivitas-, dan
batuk non produktif. Semakin lama dispnoe akan bertambah hebat, disertai
takipnoe, sampai terjadi sianosis dan gagal nafas.

11
DAFTAR PUSTAKA

Sunna Vyatra Hutagalung, 2008, Pneumocystis Carinii Pneumonia Suatu Infeksi


Oportunistik: USU Repository.
Y Evy, D samsuridjal, D Zubairi, 2005, Infeksi Oportunistik pada AIDS. Balai
penerbit FKUI.
Huang L, Moris A, Limper AH, Beck JM. An official ATS workshop Summary, 2006,
recent advences and future directions in Pneumocystis Pneumonia (PCP).

12

Anda mungkin juga menyukai