Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Referat Geriatri
Oleh :
Helmi Purba
Pembimbing :
DR. dr. Probosuseno, SpPD-KGer
Populasi usia lanjut di seluruh dunia terus meningkat, seiring dengan peningkatan
pelayanan kesehatan yang memberikan dampak meningkatnya angka harapan hidup. Dengan
semakin tingginya angka harapan hidup manusia maka PPOK menjadi salah satu penyebab
gangguan pernafasan yang semakin sering dijumpai di masa mendatang baik di negara maju
maupun di negara berkembang. PPOK diperkirakan akan menempati peringkat kelima urutan
penyakit terbanyak di dunia pada tahun 2020, penyebab kematian peringkat empat di Amerika
Serikat, dan akan menempati peringkat ketiga dari urutan penyebab kematian di dunia. (Murray
CJ et al., 1997)
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit
tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hasil survei
penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia
(Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004,
menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma
bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%). Untuk Indonesia, penelitian COPD Working
Group tahun 2002 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalens PPOK Indonesia
Pada tahun 2000 terdapat 35 juta geriatri di Amerika Serikat. Jumlah ini diproyeksikan
mencapai 53,7 juta pada tahun 2020 dan 70,33 juta pada tahun 2030. Prevalensi PPOK pada lansia
65 tahun diperkirakan 14,2% (11-18%) dibandingkan dengan 9,9% (8,2-11,8%) pada usia 40
tahun. Prevalensi PPOK naik dua kali lipat setiap kenaikan usia 10 tahun (Hanania et al., 2010).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan gangguan paru yang memberikan
kelainan ventilasi berupa obstruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak
sepenuhnya reversibel. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap
partikel asing atau gas yang berbahaya. Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering
ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut
GOLD 2015, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis
kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi. Bronkitis
kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat
dan bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis
parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi
Pada PPOK terjadi penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel
limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi
pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang
mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit. (Roche et al., 2011)
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan
inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan
menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotriene B4,
tumor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species
(ROS) . Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak
jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus.
Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis
sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder
setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveoli yang
menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh polusi dan asap
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Paru secara kontinyu terpapar oksidan baik
endogen seperti respirasi mitokondria maupun eksogen misalnya asap rokok. Asap rokok terdiri
dari 5000 komponen dan 1017 radikal bebas tiap isapan dan dapat menginduksi pembentukan
reactive oxygen species (ROS) (de Boer et al., 2007). ROS merupakan penyebab remodeling
matriks ekstraseluler dan pembuluh darah, meningkatkan sekresi mukus, inaktivasi antiprotease,
memacu apoptosis, dan proliferasi sel (de Boer et al., 2007; Roche et al., 2011).
Stres oksidatif terjadi pada paru, darah, dan otot. Stres oksidatif merupakan kondisi dimana
kadar ROS lebih tinggi dari antioksidan pada tubuh. Hipoksia meningkatkan kadar ROS karena
gangguan kerja mitokondria sel. Penderita PPOK mengalami hipoksia kronik sehingga
meningkatkan stres oksidatif. Stres oksidatif akibat hipoksia disebabkan karena inflamasi efek dari
pelepasan sitokin dan netrofil. Hipoksia menjadi lebih buruk karena aktivasi nuclear factor kappa-
, faktor sentral sebagai pemicu kaskade inflamasi. Stres oksidatif semakin berat ketika penderita
beraktivitas fisik. Stres oksidatif dapat mempengaruhi kemampuan kontraksi dan fungsi otot
I. 1. 2 Patofisiologi PPOK
Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam keadaan normal terdapat
lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga paru-paru dengan mudah bergeser
pada dinding dada. Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. (Guyton dan Hall, 2012)
Inspirasi adalah proses yang aktif, proses ini terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih rendah
dari tekanan udara luar. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun
dan iga terangkat akibat kontraksi otot sternokleidomastoideus yang mengangkat sternum ke atas
dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus yang mengangkat iga-iga. Menurunnya
tekanan intra pulmonal pada waktu inspirasi disebabkan oleh mengembangnya rongga toraks
Ekspirasi adalah proses yang pasif, proses ini berlangsung bila tekanan intra pulmonal
lebih tinggi dari pada tekanan udara luar sehingga udara bergerak keluar paru. Meningkatnya
tekanan di dalam rongga paru terjadi bila volume rongga paru mengecil akibat proses penguncupan
yang disebabkan oleh daya elastis jaringan paru. Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan
gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks,
menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan
intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir
menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir
menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. (Guyton dan Hall, 2012 dan Harris, 2005)
PPOK merupakan suatu penyakit progresif yang mengakibatkan kemunduran fungsi paru
dan pertukaran gas secara bertahap. Manifestasi dini dari gejala PPOK adalah sesak napas saat
beraktivitas dan pengurangan aktivitas. PPOK merupakan penyakit yang progresif dengan
kerusakan dan remodelling jaringan paru, kurangnya elastic recoil, perubahan ventilasi dan
perfusi. Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang
diakibatkan oleh obstruksi saluran nafas kecil dan emfisema. (GOLD, 2015)
Kelainan saluran napas dan parenkim paru yang terjadi berpengaruh pada kerja otot-otot
respirasi. Usaha inspirasi penderita PPOK meningkat lebih dari empat kali dibandingkan orang
normal. Kehilangan elastic recoil menyebabkan volume paru saat relaksasi meningkat dan terjadi
penutupan saluran napas kecil pada awal ekspirasi (hiperinflasi statis). Ventilasi semenit saat
istirahat meningkat 50% sebagai kompensasi terhadap gangguan pertukaran gas. Meningkatnya
frekuensi napas menurunkan compliance paru dibawah nilai normal. Keterbatasan aliran udara
ekspirasi yang terjadi pada 60% penderita PPOK menghambat proses pengosongan paru sehingga
inspirasi dimulai pada saat paru belum mencapai volume relaksasinya (hiperinflasi dinamik).
(Ferguson, 2006)
Fungsi maksimum sistem pernafasan tercapai pada usia 20-25 tahun, setelah itu penuaan
berhubungan dengan penurunan progresif pada kemampuan paru. Meskipun demikian, jika tidak
terkena penyakit, sistem pernafasan tetap mampu untuk mempertahankan pertukaran gas yang
cukup sepanjang hidup. Perubahan fisiologis terkait dengan penuaan mempunyai konsekuensi
penting terhadap reservasi fungsional pada lansia, dan kemampuannya untuk bertahan terhadap
penurunan kemampuan mengembang (compliance) paru dan peningkatan tahanan di jalan nafas
terkait dengan infeksi saluran pernafasan bawah. Perubahan fisiologis pada lansia yang paling
penting adalah: penurunan elastisitas paru, compliance dinding dada, dan penurunan kekuatan
otot-otot pernafasan. Perubahan pada parenkim paru (pembesaran alveloli, atau senile-
emphysema, penurunan diameter saluran nafas kecil) dan penurunan terkait elastisitas paru,
menyebabkan kenaikan pada functional residual capacity (FRC): sehingga pasien lansia bernafas
pada volume paru yang lebih tinggi dan meningkatkan beban otot- otot pernafasan (Janssens &
Krause, 2004). Klasifikasi dan perubahan struktural lain di tulang rusuk menjadikan kekakuan
dinding dada (compliance menurun), semakin meningkatkan kerja nafas. Perubahan bentuk
thoraks juga terjadi. Hal ini sebagai akibat dari osteoporosis dan fraktur vertebra, sehingga terjadi
kifosis dorsal dan peningkatkan diameter anteroposterior (barrel chest), yang menurunkan
lengkungan diafragma dan mempunyai efek negatif pada kemampuannya. Kinerja otot pernafasan
menjadi terganggu karena kenaikan FRC terkait usia, penurunan compliance dinding dada dan
perubahan geometrik di tulang rusuk. Kekuatan otot pernafasan juga dipengaruhi oleh ketersediaan
energi (aliran darah, kandungan oksigen), status gizi (yang sering menurun pada lansia), dan
sarkopenia. Disfungsi otot pernafasan pada situasi dimana terdapat beban tambahan pada otot
pernafasan, seperti PPOK, dapat mengakibatkan hipoventilasi dan gagal nafas hiperkapnik
(Janssens & Krause, 2004). Pada lansia sehat pun, laju klirens mukosilier lebih lambat jika
dibandingkan dengan dewasa muda. Lansia perokok mapun non-perokok mempunyai velositas
mukus trachea yang lebih rendah daripada usia muda. Lebih rendahnya sensitivitas pusat
pernafasan terhadap hipoksia atau hiperkapnia pada pasien lansia mengakibatkan hilangnya
respons ventilatori pada kasus-kasus seperti gagal jantung, infeksi, atau obstruksi jalan nafas,
sehingga gejala klinis penting seperti sesak nafas dan nafas cepat, tidak langsung terlihat (Janssens
perlekatan, dan fagositosis dari monosit, makrofag, dan netrofil juga tidak terpengaruh.
Sebaliknya, penurunan kualitas pada imunitas humoral, yang ditandai oleh hilangnya antibodi high
affinity blocking dan naiknya antibodi self-reactive telah dilaporkan pada lansia. Pada lansia,
penurunan limfosit T tidak terjadi atau hanya sedikit, namun, kemampuan untuk membentuk suatu
respon imun cell-mediated (limfosit T) menghilang (Janssens & Krause, 2004). Patologi PPOK
cukup kompleks dan meliputi inflamasi jalan nafas dan paru, penyempitan dan remodeling jalan
nafas, dan kerusakan parenkim paru. Selain itu, tidak cukup bukti untuk mengatakan bahwa
penyakit ini berhubungan dengan inflamasi sistemik, yang dapat menjelaskan komorbiditas
kardiak, kakeksia, dan kelemahan otot yang sering nampak pada pasien. Kenaikan prevalensi
PPOK terkait-usia menunjukkan bahwa perubahan terkait proses penuaan dapat berperan terhadap
patogenesis PPOK (Hanania et al., 2010). Perubahan fisiologi pada PPOK bertanggungjawab
untuk kelainan progresif pada pasien lansia. Namun, banyak perubahan anatomi dan fisiologi pada
PPOK juga nampak pada paru pasien lansia yang tidak merokok. Hal ini menunjukkan bahwa
proses penuaan merupakan faktor yang berperan. Senile emphysema ditandai oleh pelebaran
ruang udara akibat hilangnya supporting tissue tanpa disertai kerusakan dinding alveolar dan telah
digambarkan pada lansia tanpa PPOK. Lebih jauh, penuaan diperkirakan suatu kondisi
proinflamasi yang berhubungan dengan disregulasi sistem imun. Karena inflamasi jaringan dan
sistemik yang berlebihan itu penting pada patogenesis PPOK, maka perubahan imunologik pada
PPOK dapat overlap dengan bertambahnya usia. Hal ini menimbulkan penyebutan PPOK sebagai
suatu fenotipe dipercepat penuaan atau accelerated aging phenotype yang dipicu oleh
rangsangan berbahaya seperti merokok (Hanania et al., 2010). Disregulasi dari sistem imun
bawaan dan didapat telah dideskripsikan dalam patogenesis PPOK. Menua dan PPOK ditandai
dengan kenaikan sitokin proinflamatori, seperti interleukin (IL)-6 dan tumor necrosis factor
(TNF)-a yang berhubungan dengan penyakit inflamatori terkait-usia dan berhubungan dengan
derajat obstruksi pada PPOK. Penurunan tergantung-usia pada sel T dengan ekspansi oligoklonal
sel T CD8+ CD28null dari stimulasi antigen kronik telah dideskripsikan. Kenaikan sel T regulatori
CD8+ CD28null menghambat respons sel T CD4+ spesifik- antigen, mengakibatkan penurunan
respon imun adaptif. Suatu regulasi paradoksal menaikan sistem imun bawaan untuk
mengompensasi penurunan fungsi imun adaptif, dapat terjadi dan mengakibatkan suatu status
proinflamatori. Disregulasi sistem imun adaptif dengan respons sistem imun bawaan teraktivasi
yang nampak pada lansia memicu penarikan dan retensi netrofil, makrofag, dan sel T CD4+ dan
CD8+ dalam paru perokok dengan PPOK. Paparan terhadap inhalan berbahaya seperti asap rokok,
yang memicu respons inflamatori dan menarik sel inflamatori, mengawali suatu respon
inflamatori. Ketika inflamasi terpicu, suatu kaskade inflamasi dan kerusakan parenkim paru terjadi
dan menetap. Disregulasi respons imun dan inflamatori memediasi semua tahap dalam PPOK, dari
kerusakan paru awal hingga permanen, menyiratkan bahwa PPOK suatu penyakit autoimun. PPOK
pada non-perokok mungkin berhubungan dengan autoimun spesifik-organ (Hanania et al., 2010).
II. 1. 3 Diagnosis PPOK
Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah batuk kronik, berdahak
kronik, sesak nafas. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun
terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari
atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari. Berdahak kronik disebabkan karena
peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus
tanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun
tidur. Sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami
adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat pasien dan
keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat. Merokok merupakan faktor
resiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian pada penyakit ini berkaitan dengan merokok
dan orang yang merokok memiliki resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok.
Resiko untuk perokok aktif sekitar 45%. Faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus
PPOK seperti paparan asap rokok pada perokok pasif, paparan kronis polutan lingkungan atau
pekerjaan, penyakit pernapasan ketika masa kanak-kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan
adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas
terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih
signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama
auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada
PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau
perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada inspeksi dapat ditemukan bentuk dada
barrel chest (dada seperti tong), terdapat pursed-lips breathing (seperti orang meniup) dan terlihat
penggunaan dan hipertrofi otot bantu nafas. Pada palpasi dapat ditemukan sela iga melebar, pada
perkusi ditemukan suara hipersonor dan pada auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah,
suara nafas vesikuler melemah atau normal dan ekspirasi memanjang, terdapat ronki dan atau
mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa. (Celli et al., 2004)
Penegakan diagnosis dan derajat keparahan dapat dilakukan dengan mengukur FVC dan
FEV1 dengan spirometri. Pengukuran ini berfungsi mengukur kecepatan fungsi paru dalam
mengekspirasikan udara. Rasio FEV1/FVC dapat digunakan unuk menentukan derajat obstruksi
saluran nafas. Penderita PPOK mempunyai rasio FEV1/FVC < 0,7 (GOLD, 2015). Derajat
keparahan PPOK kemudian ditentukan berdasarkan FEV1 dan FEV1 prediksi seperti pada tabel 3
(GOLD, 2015).
Tabel 2. Klasifikasi derajat keparahan hambatan aliran udara pada PPOK (berdasarkan FEV1
setelah pemberian bronkodilator)
Kategori GOLD Pada pasien dengan FEV1/FVC < 0,70
Tingkat Keparahan Pengukuran FEV1
GOLD 1 Ringan FEV1 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% FEV1 < 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% FEV1 < 50% prediksi
GOLD 4 Sangat berat FEV1 < 30% prediksi
Sumber: GOLD, 2015
dan mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan PPOK dapat mempertahankan PPOK yang stabil dan
mencegah eksaserbasi.
a. Menghindari rokok
Nikotin merupakan kandungan terbesar dalam rokok yang dapat menginduksi aktivasi neutrofil
dan makrofag menimbulkan radikal bebas yaitu reactive oxygen species (ROS) yang pada dapat
mengganggu struktur protein, lipid, asam deoksiribonukleat saluran napas dan merangsang
terjadinya apoptosis (Moretti & Marchioni, 2007). Berhenti merokok dapat memperlambat
progresivitas dari PPOK. Konseling berhenti merokok dapat membantu pasien yang mau berhenti
merokok. Farmakoterapi dilakukan jika konseling tidak efektif. Varenicline dapat membantu
penghentian merokok dengan mengurangi gejala nicotine withdrawal dan menurunkan efek
samping nikotin yang aman dengan efikasi cukup tinggi (Ebbert, 2015).
b. Mengurangi paparan polutan.
Menurunkan polusi di dalam dan luar ruangan memerlukan sinergi antara kebijakan politik,
sumber daya nasional dan lokal, perubahan budaya, dan langkah protektif dari individu. Sistem
ventilasi yang efektif, bahan bakar memasak yang tidak menghasilkan polusi dan intervensi
c. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan terapi utama pada PPOK untuk memperbaiki gejala klinis dengan
menurunkan hiperinflasi dan sesak nafas dengan peningkatan sekitar 10% FEV1. Pemakaian 2
agonis jangka panjang menurunkan kejadian eksaserbasi karena menurunkan adhesi bakteri seperti
Haemophylus influenza pada sel epitel saluran nafas (Dowling et al., 1998). Antikolinergik lebih
efektif untuk PPOK dibanding 2 agonis. Antikolinergik tiotropium bromide mempunyai durasi
yang lebih lama dan diberikan sekali sehari (Rennard et al., 1996). Pasien PPOK menggunakan 2
agonis dan antikolinergik kerja panjang. Bronkodilator inhalasi lebih dianjurkan daripada
bronkodilator oral terkait efikasi dan efek samping. Terapi teofilin direkomendasikan bila
Apabila diberikan secara inhalasi, antikolinergik seperti ipratropium dan atropine menyebabkan
efek bronkodilatasi, yaitu melalui penghambatan secara kompetitif terhadap reseptor kolinergik
yang ada di otot polos bronkus. Aktivitas tersebut akan menghambat asetilkolin, yang selanjutnya
berefek pada pengurangan cyclic Guanosine Mono Phosphate (cGMP), dimana cGMP ini secara
normal berperan pada konstriksi otot polos bronkus (Bourdet & Williams, 2005). Ipratropium
bromida dan tiotropium bromida merupakan golongan antikolinergik yang dapat memberikan
manfaat paling besar serta efek samping yang paling kecil. Ipratropium tersedia dalam bentuk
Metered Dose Inhaler (MDI) dan larutan inhalasi yang menunjukkan puncak efek pada 1,5-2 jam
dan durasi kerja 4-6 jam (Bourdet & Williams, 2005). Ipratropium bromida diberikan dengan dosis
2 inhalasi 4x sehari dan dapat ditingkatkan sampai 12 inhalasi per hari jika perlu. Efek sampingnya
jarang terjadi dan biasanya berupa mulut kering, rasa pahit, batuk, dan mual (Goldsmith & Weber,
2000).
d. Oksigen
Penggunaan terapi oksigen di rumah banyak dilakukan di Amerika Serikat, yaitu sekitar lebih dari
30%. Tujuan utamanya pemberian oksigen adalah meningkatkan baseline PaO2 minimal 8,0 kPa
(60 mmHg) saat istirahat, dan/atau saturasi O2 minimal 90% untuk menjamin suplai oksigen pada
fungsi organ vital. Penggunaan terapi oksigen jangka panjang menurunkan mortalitas dan
memperbaiki kualitas hidup pasien PPOK derajat berat dengan tekanan parsial oksigen arteri <55
mmHg (Corrado et al., 2010). Pemberian oksigen pada PPOK derajat berat ada tiga cara, yaitu
kontinyu jangka panjang (>15 jam per hari), pada exercise, dan mengurangi sesak napas akut
e. Kortikosteroid
Penelitian terkini menunjukkan terapi kortikosteroid inhalasi jangka lama tidak mengurangi
progresivitas PPOK. Kortikosteroid inhalasi tidak menekan proses inflamasi. Kortikosteroid hanya
berpangaruh pada fungsi netrofil. Sekitar 10% pasien PPOK mengalami perbaikan klinis dengan
kortikosteroid oral. Kortikosteroid inhalasi bermanfaat pada kondisi eksaserbasi (Paggiaro et al.,
1998). Terapi kortikosteroid inhalasi jangka panjang direkomendasikan pada pasien PPOK berat
dan sangat berat yang sering mengalami eksaserbasi, yang tidak terkontrol secara adekuat dengan
Beberapa produk kortikosteroid inhalasi tersedia di pasaran, namun flutikason dan budesonid
memberikan potensi dan bentuk sediaan yang lebih nyaman bagi pasien karena membutuhkan
inhalasi yang lebih sedikit dibanding yang lain. Dosis tinggi budesonid berada pada kisaran 600-
1000 g/hari (3-5 inhalasi), sedangkan dosis pemeliharaan yang rendah antara 200-400 g/hari (1-
inhalasi). Flutikason memiliki potensi 220 g/puff, dengan dosis pemeliharaannya berada pada
kisaran 220-440 g/hari (Goldsmith & Weber, 2000). Terapi untuk pasien eksaserbasi akut
dimulai dengan metilprednisolon 0,5- mg/kg setiap 6 jam. Bila gejala pasien telah membaik dapat
diganti dengan prednison 40-60 mg sehari. Steroid sebaiknya dihentikan secara tapering untuk
meminimalisasi penekanan hypothalamic pituitary adrenal (HPA). Bila diperlukan terapi lebih
lama, digunakan dosis rendah yaitu 7,5 mg/hari, diberikan pada pagi hari atau selang hari.
Algoritme penatalaksanaan PPOK stabil menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD)
f. Vaksinasi
Pasien penderita PPOK sebaiknya menerima vaksin pneumococcal. Christenson (2001) telah
melaporkan bahwa insiden penumonia pada kelompok yang mendapat vaksinasi turun 29%
dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan vaksinasi, sedangkan insiden invasive
pneumococcal disease turun sampai dengan 52%. Di bidang imunisasi pneumonia, tidak semua
Immunization (JVCI) pada Januari 2009 mengusulkan bahwa vaksin pneumoccocal konjungate
(serotipe 711) mungkin memberikan hasil yang lebih menjanjikan daripada vaksin pneumoccocal
polisakarida yang sekarang dipakai untuk program immunisasi usila di seluruh dunia. Sementara
menunggu studi akan hal vaksin konjungate ini, JVCI menganjurkan bahwa vaksinasi
pneumoccocal polisakarida masih dapat dilakukan namun persiapan untuk perubahan akan
Walaupun masih terdapat perdebatan tentang manfaat imunisasi pneumonia dengan vaksin
23valen ini, WHO mengeluarkan ketetapan bahwa vaksinasi pneumonia pada usila dinyatakan
cukup efektif, terutama untuk melindungi usila sehat terhadap invasive disease (pneumonia yang
direkomendasikan pada semua pasien imunokompeten di atas 65 tahun bersamaan pada lokasi
yang berbeda tanpa peningkatan efek samping. Jenis vaksin yang tersedia adalah Pneumo23
(Sanofi Pasteur). Dosis untuk lansia sama seperti dewasa yaitu 0,5 ml disuntikan subkutan atau
intramuscular.
BAB III
SIMPULAN
Populasi usia lanjut di seluruh dunia terus meningkat, seiring dengan peningkatan
pelayanan kesehatan yang memberikan dampak meningkatnya angka harapan hidup. Penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah
reservasi fungsional pada lansia, dan kemampuannya untuk bertahan terhadap penurunan
kemampuan mengembang (compliance) paru dan peningkatan tahanan di jalan nafas terkait
terjadinya pneumonia sebagai penyebab PPOK mengalami eksaserbasi. Christenson (2001) telah
melaporkan bahwa insiden penumonia pada kelompok yang mendapat vaksinasi turun 29%
dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan vaksinasi, sedangkan insiden invasive
Agusti, A., 2007. Systemic Effects of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac
Soc; 4: 522-25.
Anderson, G. 2006. COPD, Asthma, and C-Reactive Protein. Eur Respir J; 27: 874-876.
Bianchi, R., Gigliotti, F., Romagnoli, I., Lanini, B., Castellani, C., Binazzi, B., et al., 2007. Patterns
of chest wall kinematics during volitional pursed-lip breathing in COPD at rest.
Respiratory Medicine (2007) 101, 141218
Carpagnano, G.E., Kharitonov, S.A., Foschino-Barbaro, M.P., Resta, O., Gramiccioni, E., Barnes,
P.J., 2004. Supplementary oxygen in healthy subjects and those with COPD increases
oxidative stress and airway inflammation. Thorax 59:10161019.
Cavailles, A., Brinchault-Rabin, G., DDixmier, A., Goupil, F., Gut-Gobert, C., Marchand-Adam,
S., et al. 2013. Comorbidities of COPD. Eur Respir J 2013; 22: 130.
Collins, P.F., Stratton, R.J., Elia, M., 2012. Nutritional support in chronic obstructive pulmonary
disease: a systematic review and meta-analysis. Am J Clin Nutr 2012;95:138595.
Corrado, A., Renda, T., Bertini, S., 2010. Long-Term Oxygen Therapy in COPD: evidences and
open questions of current indications. Monaldi Arch Chest Dis. 73:1, 34-43
De Boer, W., Yao, H., Rahman, I. 2007. Future Therapeutic Treatment of COPD : struggle between
oxidants and cytokines. International Journal of COPD; 293: 205-228.
Division Of Mental Health And Prevention Of Substance Abuse World Health Organization, 1997.
WHOQOL Measuring quality of life. WHO, 1997.
Dowling, R.B., Johnson, M., Cole, P.J., Wilson, R. 1998. Effect of Salmeterol on Haemophilus
Influenzae Infection of Respiratory Mucosa in vitro. Eur Respir J; 11:86-90.
Ebbert, J.O., Hughes, J.R., West, R.J., Rennard, S.I, Russ, C., McRae, T.D., et al., 2015. Effect of
Varenicline on Smoking Cessation Through Smoking Reduction: A Randomized Clinical
Trial. JAMA. 313(7):687-694.
Fadda, G., Jiron, R., 1999. Quality of life and gender: a methodology for urban research.
Environment & Urbanization vol.11, 1999.
Fregonezi, G.A., Resqueti, V.R., Gell-Rous, R., 2004. Pursed-lips Breathing. Arch
Bronconeumol 40(6): 279-82.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2015. Pocket Guide to Chronic
Obstructive Pulmonary Disease Diagnosis, Management, and Prevention. Summary of
patient care information for primary health care professionals [Updated 2015]. Available
from; URL: www.gold-copd.org.
Guyton, A.C., Hall, J.E., 2012. Textbook of medical physiology 12th edition. Unit VII, Respiration,
465-69. Jackson, Mississippi.
Harris, R.S., 2005. Pressure-volume curves of the respiratory system. Respir Care 2005;50(1):78
98.
Heaney, L., Masih, I. 2012. Inflammation in COPD and New Drug Strategies. Available from;
URL: www.cdn.intechopen.com.
Ikalius, Yunus, F., Suradi, Rachma, N., 2007. The Changes of Quality of Life and Functional
Capacity of COPD Patients after Pulmonary Rehabilitation Program. Maj Kedokt Indon,
Volum: 57, Nomor: 12
Maltais, F., Simard, A.A., Simard, C., Jobin, J., Desgagnes, P., LeBlanc, P., Janvier, R. 1996.
Oxidative Capacity and Lactic Acid Kinetics During Exercise in Normal Subjects. Am J
Respir Crit Care Med; 153: 288-293.
Tim Depkes RI, 2008. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1022/Menkes/SK/XI/2008
tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan-Direktorat Pengendalian Penyakit
Tidak Menular.
World Health Organization (WHO). Tobacco Free Initiative Chronic Obstructive Lung Disease.
WHO, 2015.