Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

INFEKSI JAMUR PADA PARU

Disusun Oleh:

Dinda Carissa G99172060


Farhah Millata Hanifa G99181029
Fathia Sri Mulyani G991902020
Dhea Qiasita G99181019
Fauziah Nurul Laili G991902021

Pembimbing:
Dr. Widiastuti, dr., Sp.Rad (K) RI

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit infeksi masih tetap merupakan problem utama kesehatan di


Indonesia. Penyakit infeksi jamur paru atau yang disebut dengan mikosis paru selama
ini masih merupakan penyakit yang relatif jarang dibicarakan. Akan tetapi akhir-akhir
ini perhatian terhadap penyakit ini semakin meningkat dan kejadian infeksi jamur
paru semakin sering dilaporkan. Hal ini mungkin akibat dari, meningkatnya kesadaran
dan usaha penemuan infeksi jamur dengan berbagai cara menggunakan teknik yang
tepat, bertambahnya kecepatan tumbuh jamur sebagai akibat cara pengobatan
modern, terutama penggunaan antibiotik, berspektrum luas, atau kombinasi dari
berbagai antibiotik, penggunaan kortikosteroid dan obat imunosuppressif lainnya
serta penggunaan sitostatika, terdapatnya faktor predisposisi yaitu penyakit kronik
yang berat termasuk penyakit kegananasan, dengan meningkatnya umur harapan
hidup akan meningkatkan insiden penyakit jamur paru, mobilitas dari manusia tinggi
sehingga kemungkinan memasuki daerah endemis fungi patogen semakin tinggi
(Buthia and Adhikari, 2015).
Peranan infeksi ditambah dengan meningkatnya umur harapan hidup dari
sekitar 45 tahun pada tahun tujuh puluhan, diperkirakan menjadi sekitar 70 tahun
pada tahun 2000 akan meningkatkan insiden penyakit jamur paru di Indonesia.
Walaupun masih relatif jarang bila dibandingkan dengan infeksi bakterial atau virus,
infeksi jamur paru penting karena dapat diobati dan keterlambatan pengobatan dapat
berakibat fatal. Permasalahannya ialah bahwa baik gambaran klinik maupun
radiologik penderita mikosis paru tidak khas.
Jamur paru sering tidak lekas didiagnosa secara dini. Pasien baru tertegakkan
diagnosanya sebagai penderita jamur paru dalam keadaan sudah lanjut atau terlambat,
sehingga pengobatan sering tidak berhasil. Infeksi jamur paru dapat sebagai infeksi
primer maupun sekunder. Timbulnya infeksi sekunder pada paru disebabkan
terdapatnya kelainan atau kerusakan jaringan paru seperti pada TB paru berupa
kavitas, bronkiectasis, destroyed lung dan sebagainya.
Gejala umum infeksi jamur paru sama dengan infeksi mikroba lainnya, antara
lain batuk-batuk, batuk darah, banyak dahak, sesak, demam, nyeri dada dan bisa juga
tanpa gejala. Oleh karena infeksi jamur paru sering menyertai penyakit lain dan tidak
ada gejala yang khas sehingga infeksi jamur paru sering tidak terdiagnosa, sehingga
pengobatan terhadap infeksi jamur paru sering terlambat diberikan.
Infeksi jamur paru sebagai infeksi sekunder pada penderita TB paru akan
menambah permasalahan dalam pengobatan TB paru. Berbagai masalah yang
dijumpai dalam pengobatan penyakit TB paru antara lain: kesalahan diagnosa,
perlukah semua kasus diobati, obat yang adekuat, lama pengobatan, tata laksana pada
yang gagal serta pengobatan pada penderita dengan BTA negatif. Dengan adanya
infeksi jamur paru pada penderita TB paru akan menambah permasalahan dalam
pengobatan penyakit TB paru dan penderita bekas TB paru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Gambar A.1 Anatomi Paru


Sumber : Watson.R. Anatomi Dan Fisiologi. Ed 10. Buku Kedokteran ECG.
Jakarta, 2002. Hal 303

Paru-paru adalah dua organ yang berbentuk seperti bunga karang besar
yang terletak di dalam torak pada sisi lain jantung dan pembuluh darah besar.
Paru-paru memanjang mulai dari dari akar leher menuju diagfragma dan
secara kasar berbentuk kerucut dengan puncak di sebelah atas dan alas di
sebelah bawah. Diantara paru-paru mediastinum, yang dengan sempurna
memisahkan satu sisi rongga torasik sternum di sebelah depan. Di dalam
mediastinum terdapat jantung, dan pembuluh darah besar, trakea dan
esofagus, duktus torasik dan kelenjar timus. Paru-paru dibagi menjadi lobus-
lobus. Paru-paru sebelah kiri mempunyai dua lobus, yang dipisahkan oleh
belahan yang miring. Lobus superior terletak di atas dan di depan lobus
inferior yang berbentuk kerucut. Paru-paru sebelah kanan mempunyai tiga
lobus. Lobus bagian bawah dipisahkan oleh fisura oblik dengan posisi yang
sama terhadap lobus inferior kiri. Sisa paru lainnya dipisahkan oleh suatu
fisura horisontal menjadi lobus atas dan lobus tengah. Setiap lobus selanjutnya
dibagi menjadi segmensegmen yang disebut bronko-pulmoner, mereka
dipisahkan satu sama lain oleh sebuah dinding jaringan koneknif , masing-
masing satu arteri dan satu vena. Masing-masing segmen juga dibagi menjadi
unit-unit yang disebut lobulus (Snell, R. 2011).
Fungsi utama paru adalah sebagai alat pernapasan yaitu melakukan
pertukaran udara (ventilasi), yang bertujuan menghirup masuknya udara dari
atmosfer kedalam paru-paru (inspirasi) dan mengeluarkan udara dari alveolar
ke luar tubuh (ekspirasi).

Gambar A.2 Saluran Pernapasan


Sumber : Price.S.A, Wilson.L.M. Patofisiologi Konsep Klinis Prosesproses
Penyakit Bagian 2 edisi 4. Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2007. Hal 646.
Secara anatomi, fungsi pernapasan ini dimulai dari hidung sampai ke
parenkim paru. Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang
berfungsi sebagai konduksi (pengantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai
respirasi (pertukaran gas). Pernapasan dapat berarti pengangkutan oksigen
(O2) ke sel dan pengangkutan CO2 dari sel kembali ke atmosfer. Proses ini
terdiri dari 4 tahap yaitu (Guyton, 2007) :
1. Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan
dari alveoli. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis
penuh, karena masih adanya udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak
dapat dikeluarkan walaupun dengan ekspirasi kuat. Volume udara yang
tersisa ini disebut volume residu. Volume ini penting karena menyediakan
O2 dalam alveoli untuk mengaerasikan darah.
2. Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah.
3. Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan
dari sel-sel.
4. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.
Dari aspek fisiologis, ada dua macam pernapasan yaitu :
1. Pernapasan luar (eksternal respiration) yaitu penyerapan O2 dan
pengeluaran CO2 dalam paru-paru.
2. Pernapasan dalam (internal respiration) yang aktifitas utamanya adalah
pertukaran gas pada metabolisme energi yang terjadi dalam sel.
3. Untuk melakukan tugas pertukaran udara, organ pernapasan disusun oleh
beberapa komponen penting antara lain :
a. Dinding dada yang terdiri dari tulang, otot dan saraf perifer
b. Parenkim paru yang terdiri dari saluran nafas, alveoli dan pembuluh
darah.
c. Pleura viseralis dan pleura parietalis.
d. Beberapa reseptor yang berada di pembuluh arteri utama. Sebagai
organ pernapasan dalam melakukan tugasnya dibantu oleh sistem
kardiovaskuler dan sistem saraf pusat. Sistem kardiovaskuler selain
mensuplai darah bagi paru (perfusi), juga dipakai sebagai media
transportasi O2 dan CO2 sistem saraf pusat berperan sebagai
pengendali irama dan pola pernapasan (Guyton, 2007).

Dalam mekanika pernapasan terdapat tiga tekanan yang berperan


penting dalam ventilasi (Sherwood.L, 2011) :

1. Tekanan atmosfer (760 mmHg) adalah tekanan yang ditimbulkan oleh


berat udara di atmosfer pada benda di permukaan bumi. Tekanan atmosfer
berkurang seiring dengan penambahan ketinggian diatas permukaan laut
karna lapisan-laisan dipermukaan bumi juga semakin menipis.
2. Tekanan intra-alveolus/ intrapulmonal (760 mmHg) adalah tekanan
didalam alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer melalui
saluran napas penghantar, udara cepat mengalir menuruni gradien
tekanannya setiap etekanan intra-alveolus berbeda dari atmosfer; udara
terus mengalir sampai kedua tekanan seimbang (ekuilibrium).
3. Tekanan intrapleura (756 mmHg) adalah tekanan didalam kantung pleura.
Ditimbulkan dari luar paru didalam rongga thoraks.

Sebelum inspirasi terlihat otot-otot pernapasan relaks dan besar


tekanan intra-alveolus sama dengan tekanan atmosfer. Pusat irama dasar
pernapasan (dorsal respiratory group/DRG group/DRG di formasio retikularis
medula oblongata) mengirimkan impuls dari I neuron I-DRG melalui
n.phrenicus ke otot- otot inspirasi dan ke neuron E-VRG (ventral respiratory
group). Diafragma dan m.external intercostal berkontraksi →rongga thorak
membesar →tekanan transmural (intra-pleura & intra-alveolar) meningkat
→jaringan paru →tekanan intra-alveolar↓ →udara masuk ke alveolus. Napas
dalam melibatkan otot inspirasi tambahan : m.sternocleidomastoideus dan
m.scalenus (Sherwood, L. 2011).
Pada akhir inspirasi otot-otot inspirasi relaks→ tekanan transmural
(intrapleura intrapleura dan atmosfer) menurun→ dinding dada menekan
jaringan paru →tekanan intra-alveolar meningkat→ udara keluar. Impuls dari
neuron E-VRG menghambat neuron I-DRG sehingga menghentikan
aktivitasnya dengan penglepasan rangsangan inhibisi. Ekspirasi tenang tidak
melibatkan otot-otot ekspirasi. Ekspirasi aktif melibatkan otot-otot ekspirasi:
m.internal intercostal dan m.abdominalis.

B. KLASIFIKASI INFEKSI JAMUR


Ada 3 pembagian utama jamur, yaitu:
1. Infeksi jamur superfisial (superfisial mycoses), menyerang kulit dan
selaput mukosa (pityriasis versicolor, dermatophytosis, superficial
candidosis).
2. Inteksi jamur subkutan (subcutaneus mycoses), menyerang jaringan
subkutan dan struktur sekitarnya termasuk kulit dan tulang (mycetoma,
chromomycosis, sporotricosis).
3. Infeksi jamur sistemik (sistemic mycoses), menyerang jaringan organ di
dalam tubuh (deep viscera). Infeksi jamur sistemik adalah infeksi jamur
yang menyerang organ dalam misalnya paru, hati, limpa, traktus
gastrointestinal dan menyebar lewat aliran darah atau getah bening.
Penyakit jamur paru, termasuk kelompok infeksi jamur sistemik. Dapat
disebabkan oleh 2 kelompok jamur, yaitu (Sukamto, 2011) :
1. Jamur Patogen Sistematik
Jamur ini dapat menginovasi dan berkembang pada jaringan host
normal tanpa adanya predisposisi. Jumlahnya lebih sedikit Infeksi jamur
patogen sistemik pada paru yang sering terjadi adalah:
a. Histoplasmosis, disebabkan Histoplasma capsulatum.
b. Koksidioidornikosis, disebabkan oleh Coccidioides immitis.
c. Parakoksidioidornikosis, disebabkan oleh Paracoccidioides
brasiliensis.
d. Blastomikosis, disebabkan oleh Blastomyces dermatitidis.
e. Kriptokokosis, disebabkan oleh Cryptococcus neoformans.
2. Jamur Oportunistik
Organisme Oportunistik artinya dalam keadaan normal sifatnya non
patogen tetapi dapat berubah menjadi patogen bila keadaan tubuh
melemah, dimana mekanisme pertahanan tubuh terganggu. lnfeksi jamur
oportunistik temyata lebih sering terjadi dibandingkan infeksi jamur
patogen sistemik. lnfeksi ini umumnya terjadi pada penderita defisiensi
sistem pertahanan tubuh atau pasien-pasien dengan keadaan umum yang
lempah patient. lnfeksi jamur paru oportunistik yang sering terjadi adalah:
a. Kandidiasis paru.
b. Aspergilosis paru.
C. EPIDEMIOLOGI
lnsidensi atau kejadian infeksi jamur paru belum diketahui secara
pasti. Yang jelas ialah bahwa kejadian infeksi jamur di paru semakin sering
dengan makin meningkatnya penggunaan jangka panjang berbagai antibiotika.
kortikosteroid, radiomimetik. Infeksi Candida albicans secara lokal seperti di
mulut, esotagus, usus dan vagina nampak makin sering, sedangkan
kandidiasis sistemik relatif masih jarang.
Aktinomikosis bisa dijumpai di banyak negara, namun sejak
diketemukannya penisilin penyakit ini makin jarang, terutama aktinomikosis
yang kronis dengan pembentukan sinus-sinus, sudah semakin langka.
Di daerah-daerah endemik koksidioidomikosis, hampir 100% populasi
terinfeksi, namun hanya sekitar 25% yang memperlihatkan gejala klinis, dan
sebagian besar hanya berupa mirip influensa saja dan hanya 0,2%
menunjukkan histoplasmosis sistemik.
Aspergillus fumigatus telah dilaporkan dijumpai pada sekitar 10%
penderita dengan bronkhitis dan pada persentasi yang lebih banyak lagi
dijumpai pada penderita asma. Jamur ini merupakan kontaminan yang sering
dilaboratorium-laboratorium, sehingga bila jamur ini berhasil di isolir dari
suatu spesimen belum berarti bahwa jamur ini memang sebagai penyebab
suatu penyakit atau kelainan, namun bila dijumpai kultur berulang-ulang tetap
hasilnya positif, maka hal ini suatu sugestif, dan memang bukti-bukti
menyatakan bahwa Aspergilosis bronkopulmonal lebih sering dari yang
diperkirakan sebelumnya.
Angka kekerapan mikosis paru di dunia dan di Indonesia belum
diketahui secara pasti. Walaupun infeksi jamur lokal seperti pada mulut,
esofagus, usus dan vagina cukup sering, namun yang bersifat sistemik
termasuk di paru tidak sebanyak itu. Begitu pula, walaupun pada daerah
endemik infeksi oleh koksidioidomikosis dapat mencapai 100%, tapi yang
sakit secara klinik mungkin hanya 20%. Masalah lain adalah karena sulitnya
mendiagnosis mikosis paru. Sediaan apus sputum, biakan jamur, pemeriksaan
histologik paru dan uji serologikpun kadang hasilnya membingungkan. Dan
penyakit-penyakit infeksi jamur paru tersebut yang banyak diketemukan di
Indonesia adalah Kandidiasis paru, namun belum diketahui berapa besar
prevalensinya. Namun demikian adanya kecenderungan peningkatan beberapa
penyakit jamur paru akibat berbagai situasi di Indonesia harus diantisipasi
berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
1. Masih tingginya kekerapan TB paru yang dengan obat anti TB dapat
disembuhkan namun sering meninggalkan lesi sisa seperti kavitas,
bronkiektasis,"destroyed lung" dsb.
2. Penggunaan steroid sistemik dan aerosol yang merupakan pengobatan
utama pada penderita asma dapat menimbulkan infeksi jamur sekunder.
3. Masih tingginya kekerapan bronkiektasis yang sering mendapat terapi
antibiotika berulang.
4. Meningkatnya kasus kanker paru akhir-akhir ini disertai penurunan daya
tahan tubuh memudahkan tumbuhnya jamur.
5. Keadaan-keadaan "immunocompromized" akibat penyakit lain,
meningkatkan resiko infeksi jamur sistemik atau lokal di paru.

Aspergilosis primer sangat jarang ditemukan, yang banyak ditemukan


adalah Aspergilosis sekunder akibat adanya kelainan pada paru seperti TB
paru, bronkiektasis, asma bronkial, PPOM, asbestosis, kanker paru, kelainan
sistemik seperti leukemia, anemia plastik, DM, AIDS, transplantasi organ.
Di Indonesia data angka kejadian penyakit jamur paru belum ada
hanya beberapa laporan mengenai infeksi jamur paru telah dilaporkan.
Namun demikian adanya kecenderungan peningkatan kekerapan penyakit
jamur paru akibat berbagai situasi di Indonesia harus diantisipasi berdasarkan
masih tingginya kekerapan TB paru yang dengan obat anti tuberkulosa dapat
disembuhkan namun meninggalkan lesi sisa seperti kavitas, bronkiektasis,
destroyed lung, dan sebagainya.
Terjadinya infeksi sekunder dengan jamur akan menimbulkan keluhan
yang mirip gejala klinis TB paru sehingga walaupun masa pengobatan TB
sudah selesai masih ada keraguan untuk menghentikan pengobatan, yang
menyebabkan pengobatan TB menjadi berkepanjangan. Hal ini tentunya
dapat dihindari bila infeksi jamur paru terdiagnosa dan diberikan pengobatan.
Diagnosis penyakit jamur biasanya diduga dari gambaran klinis dan lesi-lesi
yang terjadi. Diagnosa pasti hanya dapat ditegakkan secara laboratoris
dengan menemukan jamur penyebab penyakit pada lesi atau eksudat yang
berasal dari penderita. Untuk pembiakan jamur membutuhkan waktu 1-5
minggu.

D. PATOGENESIS
Seluruh infeksi jamur dari jenis apapun pada umumnya menimbulkan
aneka ragam reaksi keradangan, yang dalam hal ini bisa dijumpai hiperplasia
epitel, granuloma histiositik, arteritis trombotik, campuran reaksi radang
piogenik dan granulomatous, granuloma pengkejuan, fibrosis dan kalsifikasis
Hampir dapat dikatakan bahwa jamur apapun bila menginfeksi baik diparu
atau pada jaringan manapun didalam tubuh menimbulkan gambaran
granuloma yang secara patologik sulit dibedakan dengan granuloma yang
terjadi pada TBC ataupun sarkoidosis. Meskipun dikemukakan bahwa
diagnosa patologik ditegakkan dengan isolasi organisme jamur dari jaringan
yang terlibat, namun ini masih mempunyai problem yaitu bahwa beberapa
jamur seperti H Capsulatum, Sporothricum Schenkii, Torulapsis glabrata,
Blastomyces clan Coccidioides mempunyai sel-sel berbentuk mirip ragi
(Yeast like cells) yang secara histologik sukar dibedakan satu dengan lainnya.
Diagnosa pasti dengan demikian memerlukan pemeriksaan kultur (biakan)
dan pemeriksaan serologik.
lnfeksi jamur paru ternyata lebih sering disebabkan oleh infeksi jamur
oportunistik kandidia dan aspergilus. Sebagai infeksi oportunistik jamur ini
terdapat dimana-mana dan sering menginfeksi pada penderita dengan
pemakaian obat antibiotik secara luas atau dalam jangka waktu yang cukup
lama, kortikosteroit, disamping munculnya faktor predisposisi seperti penyakit
kronis dan penyakit keganasan. Timbulnya infeksi skunder pada jamur paru
disebabkan terdapatnya kelainan paru seperti kavitas tuberkulosa,
bronkiektasis, krasinomabronkus yang sering menurunkan daya tahan tubuh.
Jamur kandida albikans merupakan flora normal dalam rongga mulut,
saluran cerna dan vagina pada individu normal dan dapat menginvasi
penderita dengan imunokompromi atau keadaan netropenia yang lamar
Koloni akan meningkat pada penderita dengan mendapat pengobatan
antibiotika secara luas yang menekan flora normal dan penyakit yang
menimbulkan defek anatomi maupun defek imunologi.
Kandidiasis paru dapat disebabkan oleh invasi langsung infeksi pada
bronkopulmoner atau terjadi secara endogen karena jamur telah ada dalam
tubuh penderita terutama di usus, selanjutnya mengadakan invasi ke alat-alat
dalam diseluruh tubuh melalaui aliran darah.
Perkembangan penyakit kandidiasis ditentukan oleh interaksi yang
kompleks antara patogenisitas internal organisme tersebut dan mekanisme
pertahanan pejamu. Mekanisme pertahanan pejamu yang berperan adalah
imun dan non Imun. Faktor imun yang berperan dalam pertahanan terhadap
jamur yaitu respon imun humoral dan seluler. Faktor imun seluler
diperkirakan mempunyai peranan yang lebih penting. Bukti-bukti ini didapat
dari pengalaman pada kandidiasis mukokutaneus kronik dan infeksi HIV,
adanya defek imunitas selurer tersebut menyebabkan kandidiasis superfisialis
yang luas, walaupun sistem imunitas humoral normal.
Faktor non imun yang berperan antara lain interaksi dengan flora-flora
mikrobial lain pada kulit dan mukosa yang merupakan efek protektif terhadap
pertumbuhan patogen jamur oportunistik, sekresi saliva dan keringat
merupakan anti fungal alamiah.
Pada penderita TB Paru dengan defek anatomi paru disertai pemberian
obat anti tuberkulosa dalam waktu lama yang akan menekan flora normal
sehingga pertumbuhan jamur oportunistik tidak terhambat.
Penyakit granulomatous kronik juga merupakan predisposisi terhadap
aspergilosi invasif paru. Terinhalasi spora jamur aspergilus dalam jumlah
banyak dapat menimbulkan peneunitis akut, divus dan dapat sembuh dengan
sendirinya. Aspergilus dapat membentuk kolonisasi pada bronkus dan kavitas
paru dengan latar belakang penyakit TB Paru. Bola jamur bisa terdapat pada
rongga kista atau kavitas yang disebut aspergiloma, biasanya terdapat pada
logus atas paru dengan diameter beberapa sentimeter dan dapat terlihat pada
foto dada.
E. PENYAKIT-PENYAKIT INFEKSI JAMUR PARU
1. Kandidiasis
Beberapa keadaan yang mempredisposisi terjadinya kandidiasis
sistemik menurut Winner dan Hurley ialah kehamilan, trauma lokal seperti
bekas bekas garukan akibat alergi pada kulit, berbagai gangguan endokrin
(DM, Adison Disease, hipoparatiroid, hipotiroid), pancreatitis, malnutrisi,
malabsorbsi, penggunaan antibiotika dan steroid yang lama, kelainan
kelainan darah (leukimia, anemia plastik, agranulusitosis), berbagai
penyakit keganasan dan paska bedah.
Kandida albikans merupakan species kandida yang paling sering
menyebabkan kandidiasis pada manusia, baik kandidiasis superfisialis
maupun sistemik. Pada media agar khusus akan terlihat struktur hyphae,
pseudohypae dan ragi. Kandida dapat menyebabkan penyakit sistemik
progresif pada penderita yang lemah atau sistem imunnya tertekan.
Kandida albikan merupakan flora normal rongga mulut, saluran cerna
dan vagina pada individu normal dan hanya menginvasi penderita dengan
imunokompromise atau kedaaan netropenia yang lama. Koloni meningkat
pada penderita yang mendapat pengobatan antibiotika yang berspektrum
luas, dan pada penderita diabetes melitus. Kandida albikans merupakan
species yang paling sering menginfeksi manusia yaitu sekitar 75%.
Pada pasien yang menderita sesuatu penyakit yang berat dan kronis
pernah dilaporkan terjadi pneuomouni akibat Kandida albikans. Dalam
garis besarnya kandidiasis paru terdiri dari dua bentuk yaitu Kandidiasis
bronkial dan Kandidiasis paru (Hedayati, 2016).
a. Kandidiasis bronkial
Dinding mukosa bronkus tampak diselaputi oleh plak plak
sama seperti yang menutupi mukosa mulut dan tenggorokan pada
Kandidiasis mulut dan Kandidiasis tenggorokan. Pasien mengeluh
batuk batuk keras, dahak sedikit dan mengental dan berwarna seperti
susu. didalam dahak bisa dijumpai Kandida albikans namun perlu
diingat bahwa Kandida albicans dalam keadaan normal bisa dijumpai
sebagai saprofit dirongga mulut dan pipi. Pada sekitar 50% penderita
Tb paru bisa dijumpai Kandida albikans dalam dahak mereka,
sehingga untuk menetapkan bahwa seseorang menderita Kandidiasis
bronkial harus diperiksa dan dijumpai kepositipan organisme ini di
dahak secara berulang ulang. Jadi tidak cukup sekali pemeriksaan.
Gambaran radiologik foto dada biasanya normal saja, ataupun paling
dijumpai pengaburan berupa garis dilapangan tengah dan bawah paru.

b. Kandidiasis paru
Pasien yang menderita Kandidiasis paru biasanya tampak lebih
sakit, mengeluh demam dengan pernapasan dan nadi yang cepat.
Batuk-batuk, hemaptoe sesak dan nyeri dada. Pada foto dada biasa
tampak pengaburan dengan batas tidak jelas terutama dilapangan
bawah paru. Bayangan lebih padat atau bahkan efusi pleura bisa juga
terjadi/dijumpai pada foto dada. Diagnosa dengan menemukan jamur
Kandida di sputum serta kultur yang positip dengan medium agar
Sabouraud pada pemeriksaan berulang-ulang.
2. Aspergillosis Paru
Aspergillosis jarang sekali mengenai individu yang normal dan sehat.
Penyakit ini selalu mengenai orang-orang yang memang sudah sakit parah
dan lama. Penyakit ini disebabkan oleh jamur kontaminan yang terdapat
banyak ditumpukan sampah dan jerami. Diketahui ada tujuh spesies yang
dapat menginfeksi manusia namun penyebab infeksi paru-paru 90%
adalah Asp fumigatus. Gambaran klinis bisa berupa pneumonitis brolootis.
Dalam parenkim paru-paru terjadi lesi-lesi granulomatus, yang dapat
sembuh dan terjadi klasifikasi membentuk “coin lesion". Sputum biasanya
mukopurulen dan kadang-kadang terdapat bercak darah. Penyebaran
secara hematogen biasanya keginjal dan organ-organ lain (Brooks et al,
2012).
Aspergilosis paru-paru biasanya adalah suatu secondary disease
(superinfection) pada penderita dengan kelainan menahun seperti
tuberkulosis, abses paru-paru, bronkiectasis, tumor paru dan kelainan
bronkus. Aspergilosis fumigatus terbukti menghasilkan endotoksin yang
mampu menghemolisa eritrosit manusia dan hewan. Jamur A fumigatus
ternyata memang merupakan yang paling sering menimbulkan aspergilosis
pada manusia. Jamur Aspergillus lain yang menyebabkan Aspergillosis
pada manusia ialah Aspergillus niger, Aspergillus flavus dan Aspergillus
nidulans. Temyata jamur Aspergillus clavatus bisa pula menyebabkan
Alveolitis alergika.
Ada empat jenis Aspergllosis Bronkhopulmonal
a. Allergic Bronkhopulmonary Aspergillosis (ABPA)
Penyakit ini umumnya ditemukan pada penyandang asma
bronkhial dan asma pada penderita ini kambuh pada eksaserbasi
demam. Aspergillosis proliferasi pada mukus yang pekat dan biasanya
intiltrat terlihat pada rota rontgen "Mucous plug" diekspektorasikan
dan eosinofili pada darah verner sering dijumpai. Eksaserbasi berulang
Aspergillosis alergik secara bertahap akan merusak mukosa bronkhus
clan menyebabkan terjadinya bronkiekatasis sekunder.
b. Bola jamur (fungus ball) atau Aspergiloma.
Aspergillus dapat tumbuh pada kavitas yang berhubungan
dengan saluran nafas. Kavitas ini umumnya merupakan lesi residu
sekunder terhadap tuberkulosis, penyakif jamur, karsinoma atau
bronkiektasis. Reaksi inflamasi terjadi disekitar kavitas, tapi jamur
tidak menginvasinya, Gejala klinis umumnya adalah batuk darah.
c. Aspergilosis Nekrotikans.
Bentuk ini adalah bentuk antara Aspergiloma dan Aspergillosis
invasif. Infeksi umumnya terjadi pada penderita usia menengah atau
perokok lama yang mengalami kerusakan jaringan paru akibat rokok.
Jamur tumbuh pada rongga udara yang abnormal dan perlahan-
perlahan menginvasi dan merusak paru menyebabkan terjadinya
kavitas fibrotik yang biasanya terdapat pada lobus atas.
d. Aspergilosis lnvasif.
Aspergilosis dengan bentuk invasif ini sering dijumpai pada
penderita dengan gangguan immun dan netropeni merupakan faktor
predisposisi yang penting. Spora terinhalasi menyebabkan pneumonia
jamur yang dapat menyebar ketempat-tempat yang jauh. Gambaran
rontgen dapat berubah secara cepat dari normal menjadi abnormal.
lnfiltrat biasanya bilaterlal, berbentuk bulat dan noduler. Area infiltrat
ini dengan cepat mengalami kavitasi khususnya jika sumsum tulang
pulih dan proses sitotoksit dan hitung lekosit darah tepi meningkat.
Batuk darah dapat terjadi pada saat ini. Aspergilosis invasif
merupakan penyakit progresif dan kematian akan terjadi dalam waktu
1-3 minggu. Reagresivitas tergantung dari beratnya supresi sistem
immun dan mungkin saat dimulainya terapi antifungal. Aspergilosis
invasif tidak sering terjadi pada penderita sakit paru yang
menggunakan kortikosteroid, tapi harus dipikirkan bila terjadi
pneumonia atau kavitas dengan infiltrat
3. Histoplasmosis
Histoplasma capsulatum yang hidup diatas permukaan tanah (soil)
pada daerah daerah geografis tertentu kalau terhirup sporanya akan
menyebabkan gangguan pada sistem retikuloendotelial. Muncul dalam 2
bentuk yaitu Histoplasmosis primer yang relatif jinak dan histoplasmosis
progresif. Infeksi jamur histoplasma capsulatum bersifat oportunistik
sehingga orang orang tua yang sudah lama sakit mudah sekali terkena.
Pada anak anak bila terinteksi mudah sekali berkembang kebentuk
progresif (Brooks et al., 2012)
Histoplasmosis primer selalu tanpa gejala dan selalu diagnosa
ditegakkan pada pemeriksaan foto atau uji kulit histoplasmin yang positif.
Gambaran radiologi berupa pengaburan yang difus ataupun gambaran
miliair dengan hilar limphadenopati. Histoplasmosis primer dengan gejala
malaise, anoreksi, sakit dada, demam demam, batuk batuk dan hemoptisis.
Keadaan ini bisa menyembuh cepat, bisa pula bertahan berbulan-bulan
menyerupai gambaran bronkitis, pneumoni atau TB kronis. Penyembuhan
bisa berakibat seluruh lesi radiologik paru menjadi bersih total ataupun
sesekali terjadi kalsifikasi dan fibrosis.
Pada Histoplasmosis progresif akut dijumpai gejala klinis badan yang
makin kurus, demam, anemi, lekopeni, hepatosplenomegali serta adanya
granuloma mukokutan (selaput lendir dan kulit) dan dimulut. Pada anak-
anak baik klinis maupun radiologik amat mirip dengan TB miliair.
Prognosa Histoplasmosis, progresif akut ini pada anak anak selalu jelek
meskipun kesembuhan masih mungkin diperoleh.
Pada Histoplasmosis progresif kronis gambaran klinis maupun
radiologik sangat mirip dengan TB paru kronis sehingga banyak kasus
yang justru disangkakan menderita TB paru dan dirawat di Rumah sakit
TB di U.S.A. Gambaran kaverne dan fibrosis sangat sering dijumpai. Satu
hal yang perlu dicatat ialah Histoplasmosis progresif ini selalu menjadi
penyulit dari TB paru dan sarkoidosis, retikulosis dan leukemia.
Sekitar 0,1% penderita Histoplasma berkembang menjadi progresif.
Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya organisme dalam sputum
secra pulasan salngsung dan dikonfoirmasi dengan kultur. Pemeriksaan
inokulasi bahan yang terinfeksi kepada tikus berakibat fatal (bagi tikus
percobaan) dengan terjadinya infeksi retikuloendotelial.
4. Koksidioidomikosis
Infeksi jamur Coccidioides terjadi akibat menghirup spora jamur ini
yang terdapat didebu dengan ukuran 2 x 5 micron. Diparu spora ini
dindingnya menebal sehingga ukuran menjadi berdiameter 20-80 micron
yang dinamakan dengan sporangis atau spherules. Sporangis ini kemudian
berisis endospora yang bila terbebas akan menjadi sporangis yang baru
pula dijaringan. Ada 2 bentuk Koksidioidomikosis ini yaitu bentuk primer
dan progresif. Koksidioidomikosis paru primer yang terjadi setelah 10-18
hari infeksi pertama dengan jamur ini biasanya tanpa gejala, namun
kadang-kadang ada juga dengan gejala yang mirip influensa dan
nasoparingitis. Pada sekitar 5% kasus dijumpai eritemanodosum dan
eritemamultiforme.
Gambaran radiologik foto dada selalu berupa pengaburan berupa
kelompok-kelompok (Patchy opacities) yang tersebar luas dan selalu
disertai bayangan hilar adenopathy yang bilateral. Efusi pleura bisa juga
dijumpai. Hampir semua kasus Koksidioidomikosis primer sembuh tanpa
cacat dalam masa 1 – 2 bulan. Kelainan radiologik bisa bertahan lebih
lama dengan gambaran mirip infiltrat Tb paru atau mirip tumor ataupun
tuberkuloma paru. Hanya sekitar 0,1% kasus dengan Koksidioidomikosis
paru primer yang berlanjut menjadi Koksidioidomikosis paru progresif
dan ini memakan masa beberapa bulan kemudian setelah infeksi primer.
Gejala klinis ialah demam, anoreksia, badan makin kurus serta adanya
tanda bronkopneumoni. Progresifitas kearah bentuk miliair akut dan
menyebar dapat berakibat fatal dalam 3 bulan. Yang lebih sering
perjalanan penyakit menjadi kronis dan terjadilah reaksi granulasi dikulit,
tulang dan paru serta kelenjar kelenjar limfe dan meningen ataupun otak.
Gambaran radiologi paru berupa pengaburan yang berkumpul(confluent)
ataupun tersebar (patchy), bayangan bayangan miliair serta rongga rongga
(cavity) berdinding tipis. Diagnosa laboratorium ialah dijumpainya
sporangis didahak, aspirasi bronkus ataupun bilasan lambung. Diagnosa
cepat, juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan fluorescent antibodies.
Uji Coccidioidin (mirip uji Tuberkulin) apabila posistif (umumnya 1 bulan
setelah infeksi) menunjukkan infeksi baru atau telah pernah terinfeksi
(Sukamto, 2011).
5. Blastomikosis
Blastomikosis America Utara disebabkan Blastomyces dermatitides,
sedangkan Blastomikosis Amerika Selatan oleh Paracoccidioides
brasiliensis. Gejala klinis pada keduanya tidak khas, bisa dijumpai gejala
batuk-batuk kronis namun pada Blastomikosis Amerika Utara selalu juga
dijumpai gejala mirip pneumoni sub akut dengan demam-demam yang tak
seberapa tinggi, sesak dan batuk-batuk dengan sputum yang purulen dan
kadang kadang bercampur darah. Gejala nyeri dada dan pleuritis dengan
efusi bisa terjadi pada perkembangan selanjutnya dari penyakit ini (Brooks
et al., 2012).
6. Kriptokokosis (Torulosis)
Penyakit ini biasanya suatu infeksi jamur yang oportunistik dan bisa
sub akut ataupun kronis pada paru, kulit dan tulang, yang paling disukai
ialah otak, dan meningen. Kriptokokosis paru sering asimptomatik,
ataupun gejalanya ringan saja seperti mirip flu tapi bisa juga nyeri dada
demam dan batuk berdahak campur darah sehingga mirip Tb paru,
Gambaran radiologik bervariasi, bisa berupa infiltrat seperti Tb paru
ataupun bayangan padat seperti tumor paru. Diagnosa dengan menemukan
organisme dalam dahak baik secara langsung ataupun dengan kultur
(Djojodibroto, 2014).

F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis mikosis paru masih menjadi tantangan sampai
saat ini. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat merupakan langkah
penting dalam prosedur diagnosis mikosis paru. Langkah tersebut harus
diikuti pemeriksaan penunjang yang tepat, meliputi: pemeriksaan
laboratorium rutin, radiologi dan mikologi. Meningkatnya kewaspadaan
klinisi terhadap kemungkinan infeksi jamur paru dan pemilihan modalitas
diagnosis yang tepat, akan membuat penatalaksanaan lebih baik. Keluhan
pasien mikosis paru mirip dengan keluhan penyakit paru pada umumnya,
tidak ada keluhan yang patognomonik. Perlu anamnesis lebih teliti pada
pasien dengan keadaan sebagai berikut:
• Pasien yang memiliki kondisi imunosupresi (neutropenia berat, keganasan
darah, transplantasi organ atau kemoterapi). Status neutropenia sering
dikaitkan dengan kandidiasis infasif dan aspergilosis pada neutropenia
yang berkepanjangan. Neutrophil menghasilkan sinyal proinflamatik yang
mengaktivasi sel dendritic, kemudian menstimulasi limfosit B untuk
seleksi, kelangsungan hidup serta pertumbuhan sel B. Neutrophil juga
merupakan sumber dari sitokin yang mengaktivasi sel T pada paru yaitu
IL 12. Sitokin juga mengamplikasi interferon gamma untuk
meningkatkan pertahanan pejamu. Jumlah netrofil yang tidak memadai
dapat menurunkan fungsi sel fagosit juga peningkatan resiko mikosis.
• Penggunaan jangka panjang alat-alat kesehatan invasive/nosokomial
(ventilator mekanik, kateter vena sentral dan perifer, kateter urin, kateter
lambung, water sealed drainage, dll)
• Pasien dengan kondisi imunokompromis akibat penggunaan jangka
panjang antibiotika berspektrum luas, kortikosteroid, obat imunosupresi.
Kondisi ini dihubungkan dengan penyakit kandidisis mukokutan,
pneumocystis pneumonia infeksi criptococus, dan mikosis endemic
diseminata. Contohnya pada penderita AIDS terbukti memiliki riwayat
infeksi Pneumocytis cranii pneumonia. Hal ini terjadi karena penurunan
limfosit T CD4 pada pasien.
• Penyakit kronik seperti keganasan rongga toraks, PPOK, bronkiektasis,
luluh paru, sirosis hati, insufisiensi renal, diabetes
• Gambaran infiltrat di paru dengan demam yang tidak membaik setelah
pemberian antibiotika adekuat dengan atau tanpa adenopati
• Pasien dengan manifestasi mikosis kulit berupa lesi eritema nodosum
pada ekstremitas bawah terutama di daerah endemik Pasien terpajan atau
setelah bepergian ke daerah endemic.

Pada umumnya, gejala dari infeksi jamur bersifat tidak spesifik dan
biasanya mirip dengan bronchopneumonia yaitu: demam yang tidak membaik
dengan antibiotic, batuk, produksi sputum meningkat, dan sesak. Pasien juga
didapatkan adanya pleuritic chest pain dan hemoptysis ringan namun bisa
juga memberat (Kousha M et al., 2011).
Pemeriksaan fisik yang mungkin didapatkan pada infeksi paru oleh
jamur antara lain (Mandanas et al., 2019) :

1. Peningkatan suhu tubuh


2. Takikardi
3. Takipneu
4. Respiratory distress
5. Suara napas tambaha

Penemuan ekstrapulmoner yang dapat ditemukan meliputi:

1. Meningitis
2. Abses otak
3. Lesi di kulit

Pemeriksaan Radiologi
Foto Thorax
1.

Infeksi kriptocococis pada lobus kanan atas


a. Tampak infiltrate seperti TB paru, atau bayangan padat seperti tumor
paru pada lobus kanan atas

2.

Infeksi blastomikosis
a. Lesi opasitas local pada lingual
b. Konsolidasi padat di lobus kiri bawah dan kavitas
3.

Infeksi Histoplasmosis primer (kiri) terdapat densitas milier pada kedua


lapang paru dengan cavitas berdinding tipis dan fluid level. Histoplasmosis
progresif (kanan) terdapat lesi kecil difus dan multiple

4.

Infeksi (Allergy Bronko Pulmoner Aspergilosis) ABPA terdaat


a. Tampak gambaran finger in glove appearance
b. Tampak gambaran opasitas pada paru medial kanan
c. Tampak gambaran opasitas pada paru kiri

Aspergillosis
Organisme Aspergillus menghasilkan lima bentuk dasar infeksi toraks
pada manusia: bronkopulmoner alergi, saprofitik (aspergilloma), nekrotik
kronis (semi invasif), invasi jalan nafas, dan aspergillosis angioinvasif.
Manifestasi toraks aspergillosis terkait dengan jumlah dan virulensi jamur ini,
keadaan kekebalan individu dan keberadaan dan perluasan penyakit paru yang
mendasarinya.
Bentuk alergi terlihat terutama pada individu atopik yang
menunjukkan hiperreaktivitas terhadap jamur. Bentuk saprofitik mewakili
kolonisasi non-invasif dari rongga paru yang sudah ada sebelumnya oleh
Aspergillus dalam host imunokompeten yang mengarah ke misetoma
(aspergilloma). Pada individu dengan imunosupresi ringan, Aspergillus dapat
mengembangkan bentuk infeksi lokal yang lebih agresif (aspergillosis
nekrotik kronis) di mana jamur menciptakan proses inflamasi dalam parenkim
paru normal yang menghasilkan nekrosis jaringan, kavitasi, dan pembentukan
aspergilloma. bentuk, jamur menghasilkan bronkopneumonia granulomatosa
yang biasanya mempengaruhi individu granulocytopenic parah. Kadang-
kadang, satu bentuk penyakit akan beralih ke bentuk lain dan beberapa penulis
percaya ini adalah spektrum dari satu penyakitSaprophytic aspergillosis
(Aspergilloma)

Aspergilloma yang khas adalah infeksi paru jamur non-invasif


saprofitik.Aspergilloma adalah jenis spesifik dari misetoma paru atau bola
jamur, meskipun yang paling umum.Ini terjadi di dalam rongga paru-paru
yang sudah ada sebelumnya, dalam bagian-bagian yang paling parah rusak
oleh lesi fibrocavitary dan fibrocystic, segmen atas atau superior dari lobus
bawah.Aspergilloma telah dilaporkan pada abses paru-paru, kista
bronkogenik, emfisema, radiasi fibrosis, dan karsinoma paru-paru kavitasi.
Aspergilloma klasik bermanifestasi pada rontgen dada sebagai opacity seluler
yang homogen, bulat, mewakili massa kusut Aspergillus hyphae, fibrin, lendir
dan puing seluler dalam rongga lobus atas atau bulat telur. Kadang-kadang,
seseorang mungkin memiliki beberapa aspergilloma.Fitur karakteristik kedua
adalah lusensi berbentuk bulan sabit yang sempit atau tanda bulan sabit udara
yang memisahkan aspergilloma dari dinding rongga yang tidak
tergantung.Kadang-kadang aspergilloma mengisi rongga sehingga tanda bulan
sabit udara mungkin tidak ada atau mudah diabaikan. Ketika pasien mengubah
posisi dari tegak ke telentang ke dekubitus lateral, misetoma bergerak ke
bagian rongga yang bergantung secara gravitasi. Bagian dinding yang terdekat
dengan hilum paru adalah tipis, dan dinding yang berdekatan dengan pleura
biasanya lebih tebal. Meskipun organisme Aspergillus tidak menyerang
dinding, ia memicu reaksi inflamasi akut dan kronis dalam pleura yang
berdekatan. Penebalan pleura baru yang berdekatan dengan penyakit paru
kavitas atau kistik kronis dapat menandakan pembentukan aspergilloma.

Aspergillosis semi-invasif biasanya muncul sebagai konsolidasi lobus


atas yang berkembang menjadi kavitasi, dengan beberapa area opacity
nodular, yang mungkin berhubungan dengan penebalan pleura.Gambaran
radiografi ini mungkin tidak dapat dibedakan dengan tuberkulosis paru. Fitur
radiografi CNA mungkin juga mirip dengan aspergilloma non-invasif: opacity
bundar yang homogen dan bulat dengan bulan sabit udara yang berdekatan
yang terletak di dalam rongga lobus atas yang menunjukkan dinding tipis
menuju hilus paru-paru dan dinding yang menebal di sepanjang tepi pleura.
Namun, ada satu perbedaan penting.Seperti yang telah dijelaskan,
aspergilloma CNA berkembang dalam parenkim paru-paru yang tidak
memiliki kista atau rongga sebelumnya.Diagnosis CNA disarankan ketika
miketoma hadir di paru tanpa penyakit kistik atau kavitasi sebelumnya.Jarang,
CNA dicitrakan karena berkembang dari area lokal infiltrat alveolar kronis
menjadi kavitasi dan pembentukan misetoma selanjutnya di dalam
rongga.Perkembangan penyakit sangat bervariasi dari beberapa minggu
hingga bertahun-tahun.
Sider dan Davis menggambarkan tiga pasien dengan bentuk
aspergillosis yang terlokalisasi di mana penyakit ini bermanifestasi sebagai
nodul bulat atau massa dengan diameter 1, 2, dan 10 cm. Tidak satu pun dari
pasien ini yang immunocompromised, menerima terapi berkepanjangan
(kortikosteroid, antibiotik atau kemoterapi), atau memiliki penyakit paru yang
sudah ada sebelumnya atau radiografi dada yang abnormal. Beberapa nodul
kavitas berdiameter lebih dari 1 cm juga telah dilaporkan sebagai pola umum
aspergillosis paru semi invasif pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).
CT Scan
Pada pemeriksaan CT Scan dapat ditemukan beberapa gambaran khas yaitu:
1. Halo Sign
Halo sign merupakan gambaran dimana terdapat ground glass opacity yang
mengelilingi suatu massa, yang menggambarkan perdarahan di sekitar bagian
paru yang infark akibat pendesakan pembuluh darah oleh jamur. Diagnosis
banding lain apabila ditemukan halo sign antara lain infeksi mucormycosis,
candida, pseudomonas, herpes simplex virus, dan cytomegalovirus
2. Air Crescent Sign

Merupakan gambaran bulan sabit yang memisahkan nodul atau massa dari
dinding rongga sekitarnya. Tanda ini terlihat pada dua jenis infeksi
Aspergillus: angioinvasive dan mycetoma. Pada infeksi Aspergillus
angioinvasif, tanda tersebut disebabkan oleh kavitasi parenkim, biasanya
terjadi 2 minggu setelah deteksi kelainan radiografi awal, dan bertepatan
dengan kembalinya fungsi neutrophil
3. Finger-in-Glove Sign
Merupakan struktur tubuler dan bercabang yang berasal dari hila, berbentuk
seperti jari bersarung tangan. Biasa ditemukan pada Allergic
Bronchopulmonary Aspergillosis, asma, dan cystic fibrosis.
4. Grape-Skin sign

Lesi kavitas berdinding sangat tipis yang berkembang pada parenkim paru,
soliter, yang telah dikaitkan dengan infeksi coccidioidomycosis paru kronis.
Seiring waktu lesi dapat mengempis, atau mungkin pecah ke dalam rongga
pleura, mengakibatkan pneumotoraks. Diagnosis banding dari temuan ini
termasuk lesi kavitas atau kistik soliter lainnya, seperti infeksi reaktivasi
tuberkulosis, pneumatocele, neoplasma, dan infeksi jamur lainnya
5. Reverse Halo dan Bird’s Nest Sign
Reverse halo adalah temuan CT konsolidasi perifer yang mengelilingi area
sentral dari ground-glass opacity. Daerah ireguler dan berpotongan yang
terkait dari garis-garis yang tidak beraturan merupakan bird-nest sign. Tanda-
tanda ini menunjukkan infeksi jamur invasif (mis., Infeksi Aspergillus
angioinvasif atau mucormycosis) pada populasi pasien yang rentan.

Darah Rutin Dengan Hitung Jenis


Jumlah sel darah putih (WBC) total dapat meningkat pada host normal dengan
mikosis endemik. Pada orang dengan coccidioidomycosis sering ditemukan
peningkatan eosinofilia. Jika pasien mengalami neutropenia atau leukopenia,
kemungkinan infeksi oportunistik dengan Candida, Aspergillus, Mucor, atau
organisme Scedosporium meningkat.
Pemeriksaan Dahak dan Noda Kalium Hidroksida
Pemeriksaan ini mungkin dapat menunjukkan hifa atau ragi jamur.Namun,
hasilnya harus dipertimbangkan dengan situasi klinis, karena kolonisasi saprofit
terjadi pada orofaringeal atau saluran pernapasan beberapa pasien dan mungkin tidak
selalu mengindikasikan infeksi invasif.
Proses pengambilan dan transportasi specimen yang hati-hati, sertakulturtetap
mungkin terkontaminasi oleh bakteri, dan menunjukkan ragi saprofitik endogen pada
rongga mulut, dan mungkin konidia jamur saprofitik yang di udara. Diagnosis infeksi
kriptokokus paru dipastikan jika organisme tumbuh dalam biakan dari dahak atau
cairan BAL(Bronchoalveolar lavage) pada pasien yang memiliki gejala klinis dan
temuan radiografi yang kompatibel dengan kriptokokosis (Smith JA, 2012).
Histoplasmosis didiagnosis secara pasti oleh pertumbuhan organisme dalam
dahak; Cairan BAL, jaringan paru-paru, atau nodus mediastinum dapat dikultur
(Smith JA, 2012).
Pada sporotrichosis paru, pemulihan jamur dengan biakan sputum dan / atau
bronkoskopi positif diperlukan untuk diagnosis (Aung AK, 2013).
Kultur dari sampel dahak yang dikumpulkan dengan bronkoskopi serat optik
tidak berharga untuk diagnosis pneumonia oleh Candida. (Garnacho-Montero, 2013).
Untuk membuat diagnosis, diperlukan biopsi untuk menunjukkan invasi jaringan.
Kolonisasi saluran pernapasan oleh Candida sangat sering terjadi pada pasien yang
sakit kritis dengan ventilasi mekanis, tetapi pneumonia oleh Candida sangat jarang
karena mekanisme pertahanan bawaan paru-paru membuat mereka relatif tahan
terhadap invasi candida (Garnacho-Montero, 2013).
Spesies Scedosporium cenderung tumbuh baik pada media jamur rutin, tetapi,
ketika berhadapan dengan cairan BAL atau sekresi pernapasan yang kuat, media
selektif (cycloheximide atau benomyl agar) direkomendasikan untuk isolasi mereka.
Metode Non-culture
Perbandingan tes ini (deteksi antigen menggunakan enzim-linked
immunosorbent assay [ELISA] atau aglutinasi lateks dan deteksi molekuler dengan
PCR) menunjukkan spesifisitas yang sama untuk ketiga tes (≥97%) dalam deteksi
spesies Candida. Tes berbasis PCR paling sensitif dibandingkan dengan ELISA dan
aglutinasi lateks (masing-masing 95%, 75%, dan 25%).
Tes terbaru yang tersedia dalam diagnosis blastomycosis adalah enzim
immunoassay yang dilakukan pada urin atau serum yang mendeteksi antigen dinding
galaktomannan yang ditemukan dalam B dermatitidis. Namun, pada blastomycosis,
sensitivitas atau spesifisitas tes ini tidak diketahui walaupun reaktivitas silang dengan
H capsulatum mendekati 100% (Smith JA, 2012)
Untuk antigen spesies Aspergillus, temuan uji galaktomannan mungkin positif
dalam darah sangat dini sebelum kecurigaan klinis infeksi jamur invasif dan dapat
digunakan dalam pemantauan dan pengobatan preemptive pada populasi berisiko
tinggi.(Lamoth, 2014)
Dengan menggunakan immunoassay enzim Aspergillus platelia
galactomannan platelia yang disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS
(FDA), para peneliti menunjukkan bahwa dua sampel berturut-turut dengan indeks
optik 0,5 memberikan akurasi uji tertinggi (spesifisitas, 97,5%; sensitivitas, 92,1%;
nilai prediksi positif) , 87,5%; nilai prediksi negatif, 98,5%). Pengujian BAL
meningkatkan sensitivitas dibandingkan dengan uji serum galactomannan dari 71-
100%.Namun, perawatan harus diambil, karena hasil positif palsu telah dilaporkan
pada pasien yang menggunakan antibiotik piperacillin-tazobactam dan cairan
intravena tertentu, seperti plasmalyte.
Tes beta-glukan juga tersedia dan mungkin sebanding atau lebih sensitif
daripada uji galaktomanan dalam mendiagnosis aspergillosis invasif dan dapat
mendeteksi spektrum luas patogen jamur invasif, termasuk Pneumocystis
jirovecii.(White PL,2017).Beberapa alat tersedia di seluruh dunia yang
menunjkanhasil positif palsu juga telah dilaporkan pada pasien yang menerima
antibiotik yang diturunkan dari jamur dan reaksi silang telah dilaporkan dengan
infeksi Pseudomonas aeruginosa.
Cetakan yang menyebabkan mucormycosis, yang termasuk dalam subphylum
Mucoromycotina tidak mengandung galaktomanan atau beta-glukan di dinding sel
mereka.Oleh karena itu, mucormycosis tidak dapat didiagnosis dengan uji
galaktomanan atau beta-glukan.(Lamoth, 2014)
Aspergillus PCR paling sensitif (100%) ketika dilakukan pada BAL pasien dengan
aspergillosis paru invasif, tetapi hanya 40-66% sensitif ketika dilakukan pada darah.
Tidak ada protokol standar yang dibuat di antara laboratorium yang melakukan
pengujian ini.
G. TATALAKSANA

Gambar. Algoritma tatalaksana mikosis paru (PDPI, 2003)


Dalam 2 dekade terakhir, preparat antifungal yang tersedia untuk penggunaan
klinis meningkat. Sampai pertengahan 1980, amphotericin B menjadi drug of choice
untuk hampir semua infeksi jamur. Sekarang amphotericin B tetap digunakan untuk
terapi inisial pada infeksi berat dan infeksi jamur pada sistem saraf pusat, dan terapi
lanjutan menggunakan preparat baru (Thoracic, 2010).
Aspergilosis
Tabel Rekomendasi Terapi Inisial pada Infeksi Aspergilosis Paru
Manifestasi Penyakit Rekomendasi Terapi
Aspergilosis invasif Terapi primer:
Voriconazole IV (6mg/kg/12 jam selama 1 hari, dilanjutkan
4mg/kg/12 jam) sampai perbaikan, dilanjutkan voriconazole
oral (200mg/12 jam) atauitraconazole oral (400-600mg/hari)
sampai kondisi klinis stabil dan resolusi gambaran radiologi
ATAU
Amphotericin B liposomal IV (3-5 mg/kg/hari) sampai
perbaikan, dilanjutkan dengan voriconazole oral (200mg/12
jam) atau itraconazole oral (400-600 mg/hari) sampai keadaan
klinis stabil dan resolusi gambaran radiologi.
Aspergilosis nekrosis kronis Untuk derajat ringan-sedang, voriconazole (200mg/12 jam)
(semi-invasif) atau itraconazole (400-600 mg/hari) sampai resolusi.
Jika klinis memberat pertimbangkan amphotericin B liposomal
atau voriconazole IV seperti pada aspergilosis invasif.
Pertimbangkan reseksi pembedahan.
Aspergilosis bronkopulmoner Korikosteroid dan itraconazole (200mg/12 jam selama 16
alergi minggu)
Aspergilloma Tidak ada indikasi terapi antifungal
Embolisasi dan angiografi bronkial
Reseksi pembedahan
(Limper et al, 2010)

Kandidiasis Paru
Pada manifestasi penyakit berupa kandidemia dengan klinis yang stabil dapat
diberikan fluconazole 400 mg/hari. Sedangkan pasien dengan klinis tidak stabil dapat
diberikan amphotericin B liposomal (3-5 mg/kg/hari) atau voriconazole (6 mg/kg/12
jam selama 2 hari lalu 3 mg/kg/12 jam) sampai 2 minggu setelah kultur darah negatif
(Limper et al, 2010).
Histoplasmosis
Pada histoplasmosis derajat ringan rekomendasi tatalaksana menggunakan
preparat itraconazole 200 mg dua kali sehari selama 12 minggu. Sedangkan pada
derajat sedang sampai berat menggunakan amphotericin B 0,7 mg/kg/hari ditambah
kortikosteroid selama 1-2 minggu, lalu itraconazole 200 mg dua kali sehari selama 12
minggu. Pada histoplasmosis kronis preparat yang digunakan adalah itraconazole 200
mg dua kali sehari untuk 12-24 bulan. Sedangkan histoplasmosis progresif
menggunakan amphotericin B 0,7-1.0 mg/kg/hari selama 1-2 minggu,
laluitraconazole 200 mg dua kali sehari selama 12 bulan (Limper et al, 2010).
Pada pasien gagal ginjal amphotericin liposomal lebih direkomendasikan.
Perhatikan level serum itraconazole pada minggu kedua terapi. Monitoring fungsi
hepar dan ginjal dibutuhkan. Lanjutkan terapi sampai tidak ada perkembangan
radiografi, dan monitoring kekambuhan setelah terapi dihentikan. Terapi jangka
panjang mungkin dibutuhkan jika imunosupresan tidak dapat diatasi (Limper et al,
2010).
Koksidioidomikosis
Pada infeksi paru primer biasanya tidak perlu diterapi pada pasien dengan
imunokompeten, tetapi dapat diberikan fluconazole 400mg/hari atau itraconazole 400
mg/hari selama 3-6 bulan pada beberapa kasus dan pada pasien imunokompromais
bahkan dapat lebih lama tergantung respon klinis pasien. Pada pasien dengan nodul
paru tidak perlu diterapi, tetapi dapat diberikan fluconazole 400mg/hari atau
itraconazole 400 mg/hari selama periode imunosupresan yang signifikan. Pada pasien
dengan kavitas paru dapat dipertimbangkan fluconazole 400mg/hari atau itraconazole
400 mg/hari selama 3-6 bulan pada pasien imunokompeten dan selama 12-18 bulan
pada pasien imunokompromais atau lebih sampai kavitas dan gejala membaik dan
stabil (Limper et al, 2010).
Infeksi paru difusa diterapi dengan amphotericin B liposomal 5 mg/kg/hari
atau amphotericin B 0,7-1.0 mg/kg/hari sampai perbaikan klinis, lalu diikuti
itraconazole atau fluconazole 400 mg per hari selama 12 bulan berikutnya. Pada
infeksi diseminata non meningeal (termasuk infeksi pada tulang) diberikan
itraconazole atau fluconazole 400 mg per hari selama 12 bulan dan sampai perbaikan
klinis dan stabil, pada kasus berat, terapi sama seperti infeksi paru difusa. Pada kasus
meningitis diberikan fluconazole 400-1000 mg/hari atau itraconazole 400-600
mg/hari seumur hidup, amphotericin B intratekal pada beberapa kasus (Limper et al,
2010).
Blastomikosis
Blastomikosis paru dan nonmeningeal derajat ringan sampai sedang dapat
diterapi menggunakan itraconazole 200 mg dua kali sehari selama 24 minggu,
begitupun untuk penyakit pada kulit, sedangkan pada tulang terapi dilanjutkan sampai
12 bulan. Blastomikosis berat yang mengancamnyawa, termasuk Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) menggunakan preparat amphotericin B liposomal 5
mg/kg/hari atau amphotericin B 0,7-1.0 mg/kg/hari sampai perbaikan klinis, lalu
itraconazole 200 mg dua kali sehari selama 6-12 bulan, begitupun dengan infeksi
pada meningen hanya saja itraconazole diberikan bersamaan dengan amphotericin.
Pertimbangkan pemberian kortikosteroid pada abnormalitas gas darah berat. Pada
pasieni munosupresan terapi minimal diberikan selama 12 bulan (Limper et al, 2010).
Kriptokokus
Pada manifestasi infeksi berupa kolonisasi tidak perlu diberikan terapi
antifungal. Pada infeksi paru terlokalisasi ringan dapat diberikan fluconazole atau
itraconazole 400mg/hari selama 6 bulan. Sedangkan pada infeksi diseminata atau
infeksi yang melibatkan sistem saraf pusat diberikan amphotericin B 0,7-1.0
mg/kg/hari ditambah flucytosine 100mg/kg/hari selama 2 minggu, lalu diberikan
fluconazole atau itraconazole 400mg/hariselama 10 minggu, atau amphotericin B 0,7-
1.0 mg/kg/hari ditambah flucytosine 100mg/kg/hariselama 6-10 minggu. Terapi dapat
dilanjutkan jika respon perbaikan belum lengkap. Pada pasien imunokompromais
terapi dilanjutkan terapi maintenance berupa fluconazole 200mg/hari sampai bebas
infeksi dan kadar CD4 >200/uL (Limper et al, 2010).
H. PROGNOSIS
Pada pasien imunokompromais perlu diberikan edukasi mengenai aktivitas
yang harus mereka hindari terkait infeksi jamur, gejala infeksi jamur, dan kapan
mereka harus melapor gejala atau paparan yang mungkin menyebabkan infeksi jamur
kepada dokter. Aktivitas berisiko tinggi diantaranya pembongkaran dan renovasi
bangunan, pembersihan semak belukar dan serpihan-serpihan, serta kontak dengan
tanah (Thoracic, 2010).
Tatalaksana infeksi jamur paru endemik sangat efektif, terutama saat pasien
didiagnosis dan diterapi pada waktu yang tepat. Pada infeksi jamur oportunistik,
prognosis tergantung pada status imun pasien.Terapi akan lebih efektif jika imunitas
telah kembali meningkat. Pemberian anti-retroviral pada pasien HIV/AIDS
mempunyai pengaruh besar dalam menurunkan insiden dan dampak dari infeksi
jamur oportunistik (Thoracic, 2010).
BAB III
PENUTUP

Mikosis paru merupakan penyakit infeksi yang kadang terlambat


terdiagnosa karena memiliki gejala yang sama dengan infeksi mikroba lainnya.
Mikosis paru juga merupakan infeksi sekunder yang sering ditemukan pada
pasien dengan imunokompromais yang memperburuk kualitas hidup pasien.
Oleh karena itu penting bagi dokter khususnya dokter umum untuk
mengidentifikasi sejak dini, melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang yang
sesuai, serta tatalaksana awal dengan tepat, guna meningkatkan kualitas hidup
pasien.
DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society. 2010. Fungal Lung Disease.


Diaksesmelaluihttps://www.thoracic.org/patients/patient-resources/breathing-
in-america/resources/chapter-9-fungal-lung-disease.pdfpadatanggal 31 Oktober
2019.

Annisa G.H. 2012. Karakteristik Klinis dan Laboratorium Mikologi Pada Pasien
Tersangka Mikosis Paru. Jakarta: FKUI.

Aung AK, Teh BM, McGrath C, Thompson PJ. Pulmonary sporotrichosis: case series
and systematic analysis of literature on clinico-radiological patterns and
management outcomes. Med Mycol. 2013 Jul. 51(5):534-44.

Brooks, F., Brooks, G.F., Carroll, K.C., Butel, J.S. and Morse, S. (2012) Jawetz
Melnick&Adelbergs medical microbiology 25/E. 25th edn. Jakarta: EGC

Buthia, T. and Adhikari, L. (2015) ‘Pulmonary mycoses among the clinically


suspected cases of pulmonary tuberculosis’, International Journal of Research
in Medical Sciences, 3(1), pp. 260–268.

Djojodibroto, R.D. (2014) Respirologi (Respiratory Medicine). Edited by Y. Joko


Suyono and Eva Melinda. 2nd edn. Jakarta: EGC

Garnacho-Montero J, Olaechea P, Alvarez-Lerma F, et al. Epidemiology, diagnosis


and treatment of fungal respiratory infections in the critically ill patient. Rev
Esp Quimioter. 2013 Jun. 26(2):173-88.

Guyton A.C., Hall J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-11. Alih Bahasa:
Irawati, Ramadani D, Indriyani. Editor Bahasa Indonesia: Setiawati. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007; 597-607, 627- 631.

Hedayati, T. (2016) Candidiasis in emergency medicine: Background


Pathophysiology, Epidemiology. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/781215-overview#a0101 (Accessed: 29
Oktober 2019).

Kousha, M., Tadi, R., & Soubani, A. O. (2011). Pulmonary aspergillosis: a clinical
review. European Respiratory Review, 20(121), 156-174.

Lamoth F, Alexander BD. Nonmolecular methods for the diagnosis of respiratory


fungal infections. Clin Lab Med. 2014 Jun. 34(2):315-36.

Limper AH, Knox KS, Sarosi GA, Ampel NM, Bennet JE, Catanzaro A, Davies SF,
et al. 2010. An official american thoracic society statement: treatment of fungal
infection in adult pulmonary and critical care patients. American Journal of
Respiratory and Critical Care Medicine, 183: 96-128.

Mandanas, Romeo A. 21 Juni 2019. Fungal Pneumonia. Medscape

Sherwood L. (2011). Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Edisi keenam. Alih
Bahasa: Brahm Pendit. Editor Edisi Bahasa Indonesia: Nella Yesdelita. Jakarta:
EGC, 2011; 487-526.
Smith JA, Kauffman CA. Pulmonary fungal infections. Respirology. 2012 Aug.
17(6):913-26.

Snell R.S. (2011). Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Alih Bahasa: Liliana
Sugiharto. Editor Edisi Bahasa Indonesia: Ardy Suwahjo, Yohanes Antoni,

Sukamto. 2011. Pemeriksaan Jamur bilasan bronkus pada penderita bekas


tuberkulosis paru. [document on the internet]. USU digital library 1004.

Walker, C. M., Abbott, G. F., Greene, R. E., Shepard, J. A. O., Vummidi, D., &
Digumarthy, S. R. (2014). Imaging pulmonary infection: classic signs and
patterns. American Journal of Roentgenology, 202(3), 479-492.

Watson.R. Anatomi Dan Fisiologi. Ed 10. Buku Kedokteran ECG. Jakarta, 2002. Hal
303.

White PL, Backx M, Barnes RA.Diagnosis and management of Pneumocystis


jirovecii infection. Expert Rev Anti Infect Ther. 2017 May. 15 (5):435-447.

Anda mungkin juga menyukai