Anda di halaman 1dari 5

Tahap-Tahap Interpretasi BMD

Sumartini Dewi

Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran UNPAD, RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Osteoporosis
World Health Organisation (WHO) dan konsensus para ahli menyusun definisi osteoporosis sebagai
penyakit penurunan massa tulang dan kerusakan mikrostruktur jaringan tulang, menyebabkan kerapuhan
dan penurunan kekuatan tulang atau dikenal sebagai pengeroposan tulang. Pasien osteoporosis memiliki
risiko kejadian fraktur bila tidak diobati. Osteoporosis disebut sebagai “silent disease” karena tidak
memberikan gejala klinis hingga terjadi fraktur.
World Health Organization menggunakan pengukuran Densitas Mineral Tulang (DMT) sebagai salah satu
pendekatan diagnosis osteoporosis. Pada osteoporosis terjadi penurunan DMT yang menggambarkan
kerapuhan tulang. DMT normal jika nilai kepadatan tulang (T-score) ≥-1 dan DMT rendah bila nilai T-score
<-1 hingga > -2,5. DMT osteoporosis jika nilai T-score ≤-2,5
Faktor risiko terjadinya penurunan DMT antara lain jenis kelamin, peningkatan usia, faktor genetik,
kebiasaan merokok, kurangnya aktifitas fisik, konsumsi alkohol dan indeks massa tubuh yang rendah.
Pengukuran indeks massa tubuh (IMT) terkait dengan tinggi badan dan berat badan. Berat badan yang
kurang mengakibatkan kurangnya beban mekanik yang dapat merangsang peningkatan DMT melalui gaya
gravitasi, sedangkan berat badan berlebih (obesitas) akan lebih meningkatkan DMT.

Dual energy X-ray Absorptiometry


Dual energy X-ray Absorptiometry (DEXA) merupakan salah satu alat densitometer, menggunakan teknik
pencitraan sinar-X yang digunakan untuk memperoleh massa dari suatu materi dalam keberadaan massa
lainnya melalui pengetahuan yang unik dari pelemahan sinar-X pada energi yang berbeda. Penerapan
utama DXA ini adalah untuk mengukur densitas mineral tulang, menilai risiko patah tulang dan diagnosis
osteoporosis. Energi sinar-x dioptimalkan untuk menilai kepadatan massa tulang. Untuk diagnosis
osteoporosis, scan dilakukan pada bagian tulang belakang, tulang pinggul dan kadang-kadang lengan
bawah. Scan juga dapat dilakukan untuk seluruh tubuh untuk mengukur seluruh massa tulang tubuh (total
body) dan komposisi jaringan lunak tubuh/Body Composition (BC).
Densitas Mineral Tulang (DMT)
Pengukuran DMT digunakan sebagai indikator tidak langsung terjadinya osteoporosis dan risiko fraktur,
dengan menggunakan alat densitometer. Densitometer merupakan alat untuk mengukur kepadatan tulang
serta mengevaluasi kemungkinan adanya osteoporosis, dan untuk menilai kerapuhan serta risiko patah
tulang.

Temu Ilmiah Reumatologi 2021 1


Manfaat pengukuran Densitas Massa Tulang/DMT:
1. Dapat mengidentifikasi penurunan kepadatan tulang sebelum terjadi patah tulang.
2. Dapat mengidentifikasi risiko terjadinya patah tulang.
3. Dapat menegakkan diagnosis dan evaluasi efektifitas terapi pasien osteoporosis.
4. Dapat mengetahui body composition seperti komposisi lemak, otot dan tulang.

Indikasi pemeriksaan Densitas Massa Tulang/DMT


1. Wanita usia > 55 tahun atau pria > 60 tahun.
2. Wanita menjelang atau sudah menopause.
3. Riwayat patah tulang akibat cedera ringan.
4. Mengalami penurunan tinggi badan setidaknya 4 cm atau tubuh makin membungkuk.
5. Mengonsumsi obat-obatan tertentu lebih dari 3 bulan, seperti kortikosteroid, obat anti epilepsi,
obat tiroid yang dapat mengganggu proses pembentukan kembali tulang (osteogenesis).
6. Mengalami penurunan kadar hormone estrogen akibat menopause atau penggunaan obat-obat
anti kanker.
7. Mengalami nyeri tulang tanpa sebab yang jelas.
8. Wanita usia dibawah 55 tahun yang memiliki risiko tinggi terjadinya patah tulang.
9. Memiliki riwayat penyakit ginjal kronis, diabetes mellitus, penyakit hati kronis, penyakit reumatik
autoimun, seperti artritis reumatoid atau lupus eritematosus sistemik, dan penyakit tiroid.
10. Riwayat perokok atau peminum alkohol berat.
11. Anak-anak dengan kelainan genetik seperti osteogenesis imperfekta (suatu penyakit yang ditandai
dengan tulang yang rapuh, massa otot yang rendah, sendi dan ligamentum mengalami kelemahan.
Penyakit ini merupakan kelainan genetik yang membuat keadaan tulang menjadi rapuh dan
mudah patah.

Persiapan sebelum menjalani prosedur Densitas Massa Tulang/DMT


1. Tidak perlu persiapan khusus sebelum menjalani tes kepadatan tulang.
2. Pemeriksaan ini tidak disarankan untuk ibu hamil.
3. Diberitahukan kepada dokter jika baru saja menjalani pemeriksaan yang menggunakan barium
atau material kontras lainnya yang dapat memengaruhi hasil pembacaan tes kepadatan tulang.
4. Hindari konsumsi suplemen kalsium setidaknya 24 jam sebelum tes dilakukan.
5. Gunakan pakainan yang longgar, nyaman dan hindari pakaian yang menggunakan kancing
termasuk kancing tarik.
6. Pasien tidak disarankan membawa masuk barang-barang berbahan dasar metal seperti kunci,
sabuk atau uang logam selama berada di ruang pemeriksaan.

Temu Ilmiah Reumatologi 2021 2


Kelebihan alat Densitas Massa Tulang/DMT :
1. One Scan: jika akan melakukan pemeriksaan AP Spine atau Dual Femur, dapat dilakukan dengan
1x scan, tanpa melakukan reposisi diantara scan.
2. Quick View: alat ini menawarkan pemindaian (scan) secara cepat dan efisien, sehingga dapat
digunakan untuk klinik yang perputaran pasiennya cepat (banyak pasien, sehingga butuh alat yang
bekerja cepat dan akurat).
3. One Vision: Fitur One Vision mempermudah pengerjaan sehingga dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan dengan sekali waktu. Dengan adanya fitur One Vision, operator dapat memilih
beberapa titik sekaligus selama pemeriksaan, sebagai contoh: AP Spine, Dual Femur, LVA, Dual VA
(LVA+APVA), Forearm, Hand, Knee and Total Body.

Hasil pengukuran Tes Kepadatan massa tulang/DMT:


Hasil berbentuk T-score dan Z-score atau dalam gr/cm2. T-score, adalah standar deviasi kepadatan massa
tulang pasien dibandingkan dengan kepadatan massa tulang orang dewasa normal dengan jenis kelamin
yang sama. Sedangkan Z score, adalah standar deviasi kepadatan massa tulang pasien dibandingkan
dengan kepadatan massa tulang populasi seusianya.
Interpretasi nilai skor kepadatan massa tulang menurut kriteria WHO untuk menentukan berat ringannya
keropos tulang berdasarkan nilai T-score yaitu:
- Normal : bila hasilnya 1 hingga -1
- Osteopenia: bila hasilnya <-1 hingga > -2,5
- Osteoporosis: bila hasilnya ≤ -2,5
- bila T-score <-2,5 yang disertai fraktur karena osteoporosis dikategorikan dalam osteoporosis
yang berat (Severe or established Osteoporosis).

Berikut tahapan penilainan dalam interpretasi suatu hasil DMT:


1. Memastikan identitas, jenis kelamin, dan ras. Kenapa ini penting? Karena BMD ini
membandingkan dengan nilai populasi, sehingga perbedaan jenis kelamin dan ras juga
berpengaruh terhadap nilai yang didapat. Jadi, jika ingin menilai DMT orang Indonesia maka harus
disesuaikan dengan ras Asia.
2. Menilai kelayakan laporan DMT untuk dibaca. Bila terdapat prothese, fraktur dekompresi,
skoliosis, maka DMT tidak layak untuk dibaca. Jika demikian maka gunakan DMT dari tulang yang
lain misal tulang femur atau radialis. Pastikan juga patokan dari vertebra lumbal, maka L1 adalah
benar L1. Cara menilainya dengan menetukan bahwa di atas L1 adalah Torakal 12 (T12) ditandai
dengan adanya costae 12. Dan tulang dibawah L4 sejajar dengan krista iliaka.
3. Menilai segmen mana yang perlu dibaca. Antara segmen satu dengan segmen lain selisihnya tidak
lebih dari 1 SD. Minimal segmen yang dibaca adalah 2 segmen yang berurutan. Misal antara lumbal
L1 dengan L2 nilainya -1.7 dan -3.2 (selisihnya lebih dari 1 SD) maka tidak boleh dibaca regio antara
2 segmen itu. Bila L2 dengan L3 dan L3 dengan L4 tidak lebih dari 1, maka bisa digunakan nilai SD

Temu Ilmiah Reumatologi 2021 3


L2 — L4. Pada region tersebutlah kit abaca nilai T-score nya, apakah terdapat ostoporosis atau
tidak.
4. Z-score juga perlu dilihat. Bila nilai Z-score nya lebih rendah dari populasi artinya osteoporosis
sekunder, bukan semata karena usia. Z-score ini tetap dilihat walaupun bukan untuk diagnosis.
5. T-score digunakan untuk perempuan pasca menopause atau laki-laki di atas usia 50 tahun. Bila
belum menopause atau belum mencapai usia 50 tahun maka yang dilihat adalah nilai Z-score. Nilai
Z-score ini cut-off nya adalah -2, bila kurang dari -2 maka dianggap low bone mass dibanding
populasi seusianya, bukan osteoporosis ataupun osteopenia. Namun apapun kalau disertai fraktur
tetap dianggap osteoporosis.
6. Jika menggunakan tulang femur lihat kelayakan bacanya, bagaimana positioning nya apakah betul
atau tidak? Hasil scan tidak boleh miring. Trokanter minor harus terlihat, karena jika tidak terlihat,
artinya positioning tidak betul.
7. Pada DMT tulang femur perlu lihat nilai T-score pada bagian ‘Neck’ dengan ‘Total’. Bandingkan
dengan nilai hasil T-score pada tulang lumbal. Baca mana yang paling rendah hasilnya karena
osteoporosis itu penyakit sistemik.
8. DMT tulang radius distal jarang dipakai dan biasanya perlu dimintakan bila diperlukan, tidak
langsung diperiksa. Biasanya diperiksa pada pasien yang tidak bisa diperiksakan di atas meja
pemeriksaan, karena BB terlalu berat/besar sehingga tak bisa naik diatas meja periksa alat, atau
pasien yang sudah pasang pen atau sudah pernah dilakukan hip replacement.
9. DMT pada tulang radius distal yang dipakai adalah nilai T-score pada ‘Radius 33%’. Namun tetap
dilihat Z-score nya juga seperti pada pemeriksaan tulang DMT lainnya. Tulang radius ini adalah
tulang kortikal, yang kondisinya sangat dipengaruhi kondisi hiperparatiroidism, sehingga apabila
nilainya rendah perlu dilihat kadar kalsium dan vitamin D nya.
10. Bila terdapat pemeriksaan 3 tulang BMD (lumbal, femoral neck, dan radius) maka yang dilihat
adalah 2 regio of interest (ROI), terutama lumbal dan femoral neck. Namun bila kita curiga terdapat
gangguan tiroid maka salah satu pilihan tulang yang perlu diperiksa adalah radius.

Bagaimana untuk menilai risiko fraktur?


Risiko fraktur dapat dinilai secara tidak langsung melalui pemeriksaan DMT, dengan mengisi formulir FRAX
Score, menggunakan akses kalkulator FRAX tool yang dapat diunduh secara online, diantaranya perlu
memasukan nilai DMT dari regio femoral neck atau total.

Daftar Pustaka
1. Choplin RH, Lenchik L, and Wuertzer S. A Practical Approach to Interpretation of Dual-Energy X-
ray Absorptiometry (DXA) for Assesment of Bone Density. Current Rad Rep, 2014(2);48:2-12
2. Center JR, Bliuc D, Nguyen TV, Eisman JA. Risk of subsequent fracture after low-trauma fracture
in men and women. JAMA. 2007;297:387–94

Temu Ilmiah Reumatologi 2021 4


3. Burge R, Dawson-Hughes B, Solomon DH, Wong JB, King A, Tosteson A. Incidence and economic
burden of osteoporosis-related fractures in the United States, 2005–2025. J Bone Miner Res.
2007;22:465–75
4. Kanis JA, Johnell O, Oden A, Johansson H, McCloskey E. FRAX and the assessment of fracture
probability in men and women from the UK. Osteoporos Int. 2008;19:385–97.
5. Wood K, Dhital S, Chen H, Sippel R. What is the utility of distal forearm DXA in primary
hyperparathyroidism? Oncologist. 2012;17:322–5
6. Bonnick SL. A statistical overview for the non-statistician densitometrist. Bone densitometry in
clinical practice: application and interpretation. New York: Humana; 2010: 79–104.
7. Bonnick SL. Monitoring change in bone density. Bone densitometry in clinical practice: application
and interpretation. New York: Humana; 2010: 257–78.
8. WHO. Prevention And Management Of Osteoporosis : Report Of A WHO Scientific Group. (WHO
technical report series; 921). Geneva: 2003.
9. International Atomic Energy Agency (IAEA). Dual Energy X Ray Absorptiometry For Bone Mineral
Density And Body Composition Assessment. IAEA Human Health Series, Vienna.2010;15.
10. Kwang J. Chun, MD. Bone Densitometry. Departement of Nuclear Medicine. Semin Nucl Med,
2011;41:220-228.

Temu Ilmiah Reumatologi 2021 5

Anda mungkin juga menyukai