Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM

PARASITOLOGI SISTEM RESPIRASI

Disusun oleh :
1. Michael Kurniawan 182010101125
2. Adinda Putri Utami 202010101048
3. Izza Munasalwa Trisna 202010101079
4. Binti Hani Khoiri 202010101081
5. Shofie Maulidia Rahma 202010101085
6. Nursalim Hibatullah 202010101125
7. Dimas Aji Bimantara 202010101136
8. Muhammad Luthfie S. P. 202010101146

Dokter pembimbing :
dr. Bagus Hermansyah, M. Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA
Pneumocystis carinii pneumonia (selanjutnya disebut PCP) merupakan infeksi pada
paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii, sekarang dikenal dengan nama
Pneumocystis jiroveci, sebagai tanda penghormatan kepada ahli parasitologi berkebangsaan
Cechnya; Otto Jirovec. Organisme ini pertama kali ditemukan oleh Chagas (1909). Pada
tahun 1915 Carini dan Maciel menemukan organisme ini pada paru guinea pig, awalnya
diduga sebagai salah satu tahap dalam siklus hidup Trypanosoma cruzi. Pada tahun 1942,
Meer dan Brug pertama kali menyatakan bahwa organisme ini merupakan salah satu jenis
parasit yang patogen pada manusia. Baru pada tahun 1952 Vanek bekerjasama dengan Otto
Jirovec menggambarkan siklus paru dan patologi dari penyakit yang kemudian dikenal
sebagai ―parasitic pneumonia‖ atau ―pneumonia sel plasma interstisial (interstitial plasma cell
pneumonia)‖ ini. Sekarang penyakit ini merupakan infeksi oportunis berbahaya yang paling
sering terjadi pada pasien AIDS.

TAKSONOMI

Kingdom : Fungi
Subkingdom : Dikarya
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Taphrinomycotina
Class : Pneumocystidomycetes
Order : Pneumocystidales
Family : Pneumocystidaceae
Genus : Pneumocystis
Species : P. Jiroveci

MORFOLOGI
Vavra dan Kucera (1970) membagi Pneumocystis jiroveci menjadi 3 stadium, yaitu :

a. Stadium trofozoit
Bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1 – 5 µ dan memperbanyak diri
secara mitosis. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat ultrastrukturnya sebagai
berikut : berdinding tipis (20 – 40 µ) dengan beberapa ekspansi tubular yang disebut
sebagai filopodium; umumnya mempunyai 1 inti tetapi kadang dapat lebih dari 2 inti;
mitokondria,retikulum endoplasmik yang kasar; benda – benda bulat (round bodies dan
vakuol – vakuol). Pada pewarnaan Giemsa, inti berwarna ungu gelap dan sitoplasma
biru terang tetapi tidak ada ciri lain yang khas. Juga dapat dilihat dengan pewarnaan
―acridine orange‖.
Trofozoit yang kecil (1 – 1,5 µ) ditemukan di dekat kista yang berdinding tebal,
berbentuk bulan sabit menyerupai ―intracystic bodies‖ (beberapa sumber menyatakan
―intracystic bodies‖ sebagai trofozoit yang sedang berkembang). Trofozoit yang besar
menempel pada dinding alveolus dan mempunyai dinding tipis yang sama dengan
trofozoit yang kecil tetapi mempunyai filopodium dan pseudopodium sehingga
berbentuk ameboid.

b. Stadium prakista
Merupakan bentuk intermediate antara trofozoit dan kista. Bentuk oval, ukuran
3– 5 µ dan dindingnya lebih tebal (berkisar antara 40 – 120 µ) dengan jumlah inti 1 – 8.
Dengan mikroskop, bentuk ini sukar dibedakan dari stadium lainnya tetapi dinding
yang lebih tebal dari stadium prakista dapat diwarnai dengan ―methenamine silver‖
(Matsumoto dan Yoshida, 1986).

c. Stadium kista
Stadium ini merupakan bentuk diagnostik untuk pneumosistosis (Matsumoto,
dan Yoshida, 1986), juga diduga sebagai bentuk infektif pada manusia. Dengan
mikroskop fase kontras, kista mudah dilihat, bentuknya bulat dengan diameter 3,5 - 12
µ (kurang lebih 6 µ), mengandung 8 sporozoit atau trofozoit yang sedang berkembang
(―intracystic bodies‖)yang berdiameter 1 – 1,5µ. Sporozoit tersebut dapat berbentuk
seperti buah peer, bulan sabit atau kadang – kadang terlihat kista berdinding tipis
dengan suatu massa di tengah yang homogen atau bervakuol.
Kista dan trofozoit mudah diwarnai dengan Giemsa atau dengan cara Gram –
Weiger. Pewarnaan dengan Giemsa baik untuk melihat bagian – bagian dari parasit.
Kapsul berwarna ungu merah, sitoplasma ungu dan inti ungu biru. Kista yang tidak
mengambil warna dianggap sebagai kista yang berdegenerasi. Untuk menemukan kista,
pewarnaan yang paling cocok adalah Gomori – Silver. Tapi dengan warna ini tidak
mungkin diperiksa susunan dalam kista secara detail. Kista dapat juga dilihat dengan
teknik fluoresen dilabel dengan antibody (Arean, 1971).
Gbr 1. Kista Pneumocystis jirovecii.

SIKLUS HIDUP
P. jirovecii pertama kali dikenal sebagai parasit sampai analisa DNA membuktikan
jika organisme tersebut adalah jamur. P. jirovecii adalah Pneumocystis yang menginfeksi
manusia sedangkan P. carinii adalah spesies Pneumocystis yang menginfeksi tikus. Jamur ini
memiliki siklus hidup yang seluruhnya ada di tubuh inang, seperti digambarkan pada bagan
di bawah ini:
Keterangan gambar :

Fase aseksual : bentuk trofozoit bereplikasi secara mitosis ke fare seksual.


Fase seksual : bentuk trofozoit yang haploid berkonjugasi dan menghasilkan zigot
(early cyst, kista muda) yang diploid . Zigot membelah diri secara meiosis dan dilanjutkan
dengan membelah diri secara mitosis untuk menghasilkan 8 nukleus yang haploid(late phase
cyst, kista stadium lanjut)
Kista stadium lanjut mengandung 8 sporozoit yang berisi spora yang kemudian akan keluar
setelah terjadi ekskistasi (diyakini bahwa pelepasan spora terjadi saat terjadi pembelahan
pada dinding sel) . Stadium trofozoit, dimana organisme ini mungkin berkembang biak
melalui binary fission juga diketahui ada.

ETIOLOGI
PCP sangat jarang pada orang sehat, tetapi jamur yang menyebabkan penyakit ini dapat hidup
di paru-paru mereka tanpa menimbulkan gejala. Faktanya, hingga 20% orang dewasa
mungkin membawa jamur ini pada waktu tertentu, dan sistem kekebalan menghilangkan
jamur setelah beberapa bulan.
Kebanyakan orang yang mendapatkan PCP memiliki sistem kekebalan yang lemah, yang
berarti bahwa tubuh mereka tidak melawan infeksi dengan baik. Sekitar 30-40% orang yang
terkena PCP mengidap HIV/AIDS. Orang lain yang mendapatkan PCP biasanya minum obat
(seperti kortikosteroid) yang menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan kuman atau
penyakit atau memiliki kondisi medis lain, seperti:

● Penyakit paru-paru kronis


● Kanker
● Penyakit inflamasi atau penyakit autoimun (misalnya, lupus atau rheumatoid arthritis)
● Transplantasi organ padat atau sel induk

PATOGENESIS
PCP menyebar dari orang ke orang melalui udara. Beberapa orang dewasa yang sehat
dapat membawa jamur Pneumocystis di paru-paru mereka tanpa gejala, dan dapat menyebar
ke orang lain, termasuk mereka yang memiliki sistem kekebalan yang lemah.
Banyak orang yang terpapar Pneumocystis saat masih anak-anak, tetapi kemungkinan besar
mereka tidak sakit karena sistem kekebalan tubuh mereka mencegah jamur menyebabkan
infeksi. Di masa lalu, para ilmuwan percaya bahwa orang-orang yang telah terkena
Pneumocystis sebagai anak-anak kemudian dapat mengembangkan PCP dari infeksi masa
kanak-kanak jika sistem kekebalan mereka menjadi lemah. Namun, kemungkinan besar orang
terkena PCP setelah terpapar dengan orang lain yang memiliki PCP atau yang membawa
jamur di paru-parunya tanpa gejala.

GEJALA KLINIS
Gejala PCP dapat berkembang selama beberapa hari atau minggu, antara lain:

- Demam
- Batuk
- Sulit bernafas
- Sakit dada
- Panas dingin
- Kelelahan (kelelahan)

DIAGNOSA DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Permasalahan klinis pada PCP adalah bahwa baik gejala, pemeriksaan fisis, maupun
pemeriksaan penunjang dasar tidak spesifik. Selain itu sampai saat ini belum ada media
biakan yang bisa menumbuhkan P. jirovecii. Sebab itu, untuk diagnostik pasti diperlukan
pemeriksaan organisme baik secara hitopatologi maupun sitopatologi baik dari jaringan
maupun cairan bronchoalveolar lavage (BAL) atau sputum yang diinduksi.
Sputum atau dahak yang keluar secara spontan mempiliki sensitivitas rendah sehingga
tidak dapat digunakan untuk diagnosa PCP. Pewarnaan Giemsa, Diff-Quik, dan Wright dapat
mendeteksi bentuk kista maupun trophik namun tidak bisa mewarnai dinding kista. Dinding
kista dapat diwarnai dengan Grocott-Gomori methenamine silver, Gram-Weigert, cresyl
violet, atau toluidine blue. Beberapa pemeriksa lebih menganjurkan immunofluoresensi
secara langsung. Hasil sensitivitas dari bahan sputum yang diinduksi bisa <50% sampai 90%,
BAL 90-99%, biopsi transbronchial 95-100%, dan biopsi paru terbuka 95-100%.

Pemeriksaan PCR adalah cara alternatif dengan sensitivits dan spesivisitas yang cukup
tinggi. Akan tetapi, PCR tidak bisa membedakan kolonisasi dengan penyakit invasif
walaupun tingkat beban organisme yang tinggi dengan Q-PCR bisa mengarahkan ke petanda
penyakit invasif. 1,3β-D-Glucan (BDG) merupakan komponen dinding dari P.
jirovecii seringkali meningkat pada PCP namun spesivisitasnya cukup rendah karena infeksi
jamur lain, pemakaian membran selulosa pada hemodialisa, dan beberapa obat bisa
memberikan hasil BDG yang meningkat.
Diagnosa laboratorium sukar ditegakkan. Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan
Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru atau bahan yang berasal dari paru, diantaranya :

- sediaan yang diperoleh dari induksi sputum


- sediaan yang diperoleh dari BAL (Broncho Alveolar Lavage) → dilakukan bila

hasil induksi sputum (-).


- Sediaan dari biopsi paru

Pemeriksaan serologis PCR dari sediaan darah, serum dan aspirasi nasofaring →

masih diteliti lebih lanjut untuk dapat membedakan antara infeksi yang sedang

berlangsung atau infeksi yang sudah lalu.


Foto roentgen dada dapat menunjukkan gambaran abnormal seperti adanya gambaran
infiltrate interstisial bilateral difus pada daerah hilus(gbr. 2) Dapat juga terlihat gambaran
yang berbeda seperti nodul, kavitas, konsolidasi, pneumatocele dan pneumothorax.
Hipoksemia adalah ciri abnormalitas utama pada pemeriksaan penunjang yang bisa
ringan (pO2 udara ruangan ≥70 mmHg atau gradien O2 alveolar-arterial (A-a)DO2<35
mmHg) sampai sedang ((A-a)DO2≥35 dan <45 mmHg) sampai berat ((A-a)DO2≥45 mmHg).
Saturasi oksigen saat aktivitas dapat abnormal namun tidak spesifik. Terjadi pula
peningkatan lactate dehydrogenase (LDH) >500 mg/dL namun peningkatan ini pula tidak
spesifik. Di bawah ini adalah pembagian secara klinis derajat keparahan dari PCP:

Pada pemeriksaan radiologis toraks biasanya tampak infiltrat interstitial ―ground-


glass‖ yang difus, bilateral, yang berpencar dari hilus membentuk pola seperti kupu-kupu.
Bentuk penampakan radiologis yang tidak umum beruoa nodul, bleb, kista, asimetris,
lokalisasi lobus superior, adenopati intratorakal, dan pneumotoraks.
Pneumotoraks yang spontan pada pasien HIV juga harus mengarahkan kecurigaan
terhadap PCP. Kavitasi dan efusi pleura adalah manifestasi yang tidak umum tanpa keadaan
lain seperti keganasan atau patogen lain. Oleh karena itu, temuan tersebut menandakan harus
dicari adanya kemungkinan penyakit lain yang menyertai. Sekitar 13-18% pasien dengan
PCP terdapat penyakit penyerta lain seperti tuberculosis (TB), Kaposi sarkoma, atau
penumonia bakterial.
Pemeriksaan CT-scan bermanfaat terutama untuk pasien dengan gejala ringan-sedang
atau radiografi toraks yang normal. Pada CT-scan dapat dijumpai atenuasi ―ground-glass‖
yang patchy sedangkan bila temuan CT-scan normal memiliki nilai prediksi negatif yang
tinggi.
PENGOBATAN

Kotrimoksazol adalah pilihan pertama untuk terapi PCP. Pada keadaan infeksi
sedang-berat, yaitu jika (A-a)DO2≥35 mmHg, maka ditambahkan terapi adjungtif
kortikosteroid diberikan dalam 72 jam pemberian kotrimoskazol.
Alternatif terapi untuk penyakit ringan sedang adalah dapsone dan trimethoprim (TMP) atau
primaquine plus clindamycin, dan atovaquone. Terapi alternatif untuk penyakit sedang berat
adalah clindamycin-promaquine atau pentamidine IV. Rekomendasi terapi adalah dalam
durasi 21 hari.
● Terapi penyakit sedang-berat
o Kotrimosazol, TMP 15-20 mg/kg/hari dan SMX 75-100 mg/kg/hari IV diberikan
terbagi q6h atau q8h, dapat diganti ke oral bila ada perbaikan klinis
o Terapi alernatif
- Pentamidine IV 4 mg/kg sekali sehari selama 16 menit, dapat dikurangi
menajdi 3 mg/kg sekali sehari bila ada toksisitas, atau
- Promaquine 30 mg (basa) PO sekalis sehari + clindamycin IV 600 mg q6h atau
900 mg q8h atau PO 450 mg q6h atau 600 mg q8h, atau
- Atovaquone 750 mg PO bid bersamaan dengan makanan
o Terapi kortikosteroid (setara prednison)
- hari 1-5: 40 mg PO bid
- hari 6-10: 40 mg PO sekali sehari
- Hari 11-21: 20 mg PO sekali sehari
- Methylprednisolone IV diberikan 75% dosis prednison di atas

PENCEGAHAN
Tidak ada vaksin untuk mencegah PCP. Penyedia layanan kesehatan mungkin
meresepkan obat untuk mencegah PCP untuk orang yang lebih mungkin mengembangkan
penyakit. Obat yang paling umum digunakan untuk mencegah PCP disebut
trimetoprim/sulfametoksazol (TMP/SMX), yang juga dikenal sebagai kotrimoksazol dan
dengan beberapa merek berbeda, termasuk Bactrim, Septra, dan Cotrim. Obat lain tersedia
untuk orang yang tidak dapat menggunakan TMP/SMX.
Obat untuk mencegah PCP dianjurkan untuk beberapa orang yang terinfeksi HIV,
pasien transplantasi sel induk, dan beberapa pasien transplantasi organ padat. 9-13 Penyedia
layanan kesehatan mungkin juga meresepkan obat untuk mencegah PCP pada pasien lain,
seperti orang yang menggunakan kortikosteroid dosis tinggi jangka panjang.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding Gambaran klinis sering tidak spesifik sehingga menyulitkan para
klinisi untuk mengetahui diagnosis spesifik. Gambaran klinis sangat bervariasi
tergantung status imun pasien. Diagnosis banding PNP adalah influenza, infeksi virus
RSV, cytomegalovirus, adenovirus, pneumonia bakteri dan jamur.19 Berbagai
organisme patogen dapat menyerang paru pasien dengan gangguan status imun,
seperti virus, bakteri, jamur dan protozoa.Untuk membedakan penyebab pneumonia
selain dengan menemukan organisme penyebab, gambaran radiologi mungkin dapat
membantu mengarahkan ke organisme penyebab seperti terlihat dalam Tabel 1.
Gambaran radiologi yang sering ditemukan adalah pneumonia interstisial difus atau
abses alveoli, gambaran lobar atau lobular (bronkopneumonia), noduler, kavitas, dan
abses paru.
KESIMPULAN
PCP merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis jiroveci.
Infeksi ini sering terjadi pada penderita dengan immunodefisiensi, mis : pada penderita HIV /
AIDS, ALL (Acute Lymphocytic Leucemia), maupun pada pasien yang mendapat terapi
kortikosteroid. Transmisi orang ke orang diduga terjadi melalui ―respiratory droplet
infection‖ dan kontak langsung. Kebanyakan peneliti menganggap transmisi terjadi melalui
inhalasi. Diduga mekanisme infeksinya karena menjadi aktifnya infeksi laten. Gejala klinis
PCP meliputi triad klasik demam – yang tidak terlalu tinggi-, dispnoe – terutama saat
beraktivitas-, dan batuk non produktif. Semakin lama dispnoe akan bertambah hebat, disertai
takipnoe, sampai terjadi sianosis dan gagal nafas.
Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru
atau bahan yang berasal dari paru, yang diperoleh melalui induksi sputum, BAL ( Broncho
Alveolar Lavage) maupun biopsi paru. Pada pemeriksaan radiologi paru dapat terlihat
gambaran infiltrate bilateral simetris dan ― honeycomb appearance‖. Pada darah dijumpai
kadar LDH yang meninggi, > 460 U/ L atau Pa O2 < 75 mmHg.
Oleh karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan immunodefisiensi,
maka prognosis PCP kurang baik dan infeksinya dapat fatal dengan terjadinya gagal nafas.
Untuk itu diperlukan diagnosa dini dan terapi yang adekuat untuk mengurangi persentase
mortalitas penyakit ini. Pada pasien dengan immunodefisiensi, mis : penderita HIV / AIDS
dengan CD4 count menurun hingga < 300, dianjurkan untuk mengkonsumsi regimen
kemoprofilaksis kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol ( atau pentamidin inhaler sebagai
alternatif lain ) untuk mencegah infeksi PCP.
Daftar Pustaka :

1. Chabé M, Aliouat-Denis CM, Delhaes L, Aliouat EM, Viscogliosi E, Dei-Cas E.


Pneumocystis: From a doubtful unique entity to a group of highly diversified fungal species.
FEMS Yeast Res. 2011;11(1):2–17.
2. Huang YS, Yang JJ, Lee NY, Chen GJ, Ko WC, Sun HY, et al. Treatment of Pneumocystis
jirovecii pneumonia in HIV-infected patients: a review. Expert Rev Anti Infect Ther.
2017;15(9):873–92.
3. Siegel M, Masur H, Kovacs J. Pneumocystis jirovecii Pneumonia in Human
Immunodeficiency Virus Infection. Semin Respir Crit Care Med. 2016 Mar 14;37(02):243–
56.
4. Sokulska M, Kicia M, Wesołowska M, Hendrich AB. Pneumocystis jirovecii—from a
commensal to pathogen: clinical and diagnostic review. Parasitol Res. 2015;114(10):3577–
85.

Anda mungkin juga menyukai