Anda di halaman 1dari 3

Ruptur uterus

Keadaan dimana uterus robek pada seluruh lapisannya


(endometrium,miometrium, perimetrium). Ruptur uterus dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas neonatus maupun ibu. Kebanyakan kejadian ruptur uterus
ini adalah pada wanita hamil pada saat kehamilan lebih dari 28 minggu meskipun
beberapa kasus dilaporkan pada wanita yang sedang tidak hamil terlebih ketika uterus
mengalami trauma, infeksi, ataupun kanker. Pada ibu hamil terdapat dua macam
populasi yang berisiko terkena ruptur uterus, yang pertama mereka yang mendapatkan
luka miometrium dari operasi sebelumnya dan mereka yang memiliki uterus tanpa
bekas luka.
Angka kejadian di Indonesia masih tinggi yaitu antara 1:92 sampai
1:428 persalinan yang mana masih sangat tinggi dibandingkan negara maju yang
hanya 1:1250 hingga 1:2000 persalinan. Angka kematian ibu akibat ruptur uterus pun
masih tinggi, berkisar antara 17,9% sampai 62,6% sedang angka kematian anak antara
89,1% hingga 100%. Janin umumnya meninggal pada ruptur uteri dan hanya dapat
ditolong apabila saat terjadi ruptur masih hidup sehingga dilakukan laparatomi untuk
mengeluarkannya.
Saat persalinan kala 2 apabila bagian terbawah rahim tidak mengalami
kemajuan sementara segmen atas terus berkontraksi dan menebal maka segmen
bawah rahim makin tertarik ke atas dan menjadi tipis. Apabila persalinan tetap tidak
ada kemajuan maka segmen bawah rahim akan terus meregang dan akhirnya pada saat
regangan terjadi terus-terusan akan melampaui batas kekuatan miometrium sehingga
terjadilah ruptur uterus.
Klasifikasi ruptur uterus:
1. Menurut keadaan robek
a. Ruptur uterus incomplete (subperitoneal) hanya dinding uterus yang
mengalami robek sedangkan lapisan serosa peritoneum tetap utuh.
b. Ruptur uterus komplit (transperitoneal) ketika dinding uterus dan
serosa peritoneum robek sehingga dapat berada di rongga perut
2. Menurut kapan terjadinya
a. Pada waktu kehamilan, disebut ruptur uteri gravidarum yang terjadi
karena dinding uterus lemah yang dapat disebabkan oleh bekas seksio
sesarea, enukleasi mioma uteri, kuretase atau placenta manual, sepsis
postpartum, hipoplasia uteri.
b. Pada waktu persalinan, disebut ruptur uteri intrapartum dimana terjadi
ruptur pada dinding uterus baik tapi bagian terbawah janin tidak turun
yang dapat disebabkan oleh versi ekstraksi, ekstraksi forcep, ekstraksi
bahu, manual plasenta
3. Menurut etiologinya
a. Ruptur uterus spontan (non-violent)
dimana ruptur uterus normal dapat terjadi karena beberapa penyebab
yang menyebabkan persalinan lama karena ada rintangan seperti
panggul sempit, hidrosefalus, makrosomia, janin letak lintang,
presentasi bokong, hamil ganda, dan tumor jalan lahir
b. Ruptur uterus traumatika (violent)
dimana disebabkan oleh faktor trauma, bisa karena kecelakaan (tidak
berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan → trauma
abdomen)maupun tindakan yang berhubungan dengan proses
kehamilan dan persalinan seperti versi ekstraksi, ekstraksi forcep, alat
embriotomi, manual plasenta, dorongan
c. Ruptur uterus jaringan parut
dimana terjadi karena adanya locus minoris pada dinding uterus akibat
adanya jaringan parut bekas operasi pada uterus sebelumnya, enukleasi
mioma (miomektomi), histerektomi, hysterotomy, histerorafi, dan
lainnya. SC klasik empat kali lebih sering menimbulkan ruptur
daripada parut bekas SC profunda, hal ini disebabkan oleh luka
segmen bawah rahim sembuh dengan lebih baik sehingga lebih kuat.
Ruptur uterus pada bekas SC biasanya terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala
karena tidak terjadi robekan mendadak namun perlahan pada sekitar bekas luka, lambat laun
menipis dan akhirnya benar-benar robek,terjadilah ruptur uterus. Sebelum terjadi ruptur,
umumnya pasien mengeluh gelisah dan nyeri pada perut bagian bawah. Dapat juga
mengeluhkan perdarahan pervaginam atau ada rasa seperti akan melahirkan.
Penegakan diagnosis dimulai dari anamnesis riwayat partus lama atau macet,
partus manipulasi oleh penolong, multiparitas, operasi uterus.Selanjutnya dapat dilihat gejala
klinis berupa his kuat dan terus menerus, nyeri hebat perut bagian bawah, nadi dan
pernapasan cepat, segmen bawah rahim tegang, anemia hingga syok. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan luar berupa nyeri tekan abdominal, perdarahan pervaginam, kontraksi uterus,
palpasi janin,DJJ menurun hingga negatif. Dilakukan pula pemeriksaan dalam berupa
perdarahan vaginam disertai cairan bebas abdomen, urin berdarah ketika dikateterisasi.
Tatalaksana:
1) Perbaiki keadaan umum: atasi syok dengan pemberian cairan dan darah, antibiotik
dan oksigen apabila perlu.
2) Lakukan laparatomi:
 Histerektomi jika fungsi reproduksi ibu tidak diharapkan lagi,kondisi membahayakan
untuk ibu.
 Repair uterus (histerorafi) dilakukan jika masih mengharapkan fungsi reproduksi,
kondisi stabil, ruptur tidak berkomplikasi.

Postnatal psikosis
Gangguan jiwa yang serius, yang timbul karena penyebab organik atau.fungsional/ emosional
dan menunjukan gangguan kemampuan berpikir , bereaksi secara emosional meningkat ,
berkomunikasi, menafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai dengan kenyataan. Psikosis
merupakan gangguan kepribadian yang menyebabkan ketidakmampuan menilai realita
dengan fantasi dirinya. Menurut riset Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015, sebanyak
19,8% ibu di negara berkembang mengalami gangguan mental depresi setelah melahirkan.
Etiologi:
 Perubahan hormonal yang cepat pasca melahirkan
 Stres fisik yang ekstrim pasca melahirkan, terutama jika Mama memiliki kondisi
medis lainnya
 Predisposisi genetik – perempuan dengan riwayat keluarga yang pernah mengalami
postpartum psikosis atau gangguan bipolar memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami postpartum psikosis pasca melahirkan
 Kurang tidur dalam skala ekstrem pada periode awal setelah kelahiran bayi
Gejala:
 Merasa bingung dan linglung untuk mengidentifikasi hari, waktu, dan sulit mengenali
orang lain
 Sulit berkonsentrasi dan kepala dipenuhi terlalu banyak pikiran
 Kecemasan ekstrem hingga sulit untuk berdiam diri
 Suasana hati yang cepat berubah antara terlalu santai, mudah risih, atau depresi
 Insomnia – merasa tidak butuh banyak istirahat dan bisa berhari-hari tidak tidur
 Mengalami delusi – pikiran-pikiran tidak nyata yang seringkali bersifat paranoid
 Berhalusinasi atau seolah mendengar, melihat, atau mencium aroma hal-hal yang
sebenarnya tidak ada
 Perasaan tidak dapat mengendalikan diri sendiri seperti biasanya, seolah ada orang
lain yang mengendalikan tindakan dan pemikiran
 Muncul pikiran untuk menyakiti diri sendiri dan bayi
Tatalaksana:
1) Mencari bantuan ke dokter atau psikolog. Umumnya dokter akan memberikan obat-
obatan antipsikotik atau antidepresan untuk menghilangkan gejala yang muncul.
Obat-obat tersebut harus dikonsumsi di bawah pengawasan dokter atau psikiater.
2) Minta dukungan dari orang terdekat. Salah satunya adalah dukungan dari suami,
dimana dapat membantu untuk mengembalikan kondisi psikologisnya seperti semula.
Contoh hal yang dapat dilakukan seperti mengajak ke tempat hiburan, mengajak ke
tempat makan kesukaan, dan hal lain yang dapat membangun suasana hatinya.
3) Untuk sementara waktu pisahkan ibu dan anaknya agar hal-hal yang tidak diinginkan
tidak terjadi.

Anda mungkin juga menyukai