Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

PENYULIT ATAU KOMPLIKASI DALAM PERSALINAN


RUPTUR UTERI DAN LASERASI JALAN LAHIR

Dosen Pengampu : Satiyem, S.ST., Bdn., M.Keb

Disusun oleh :
Kelompok 2
Prodi DIV Kebidanan Alih Jenjang
Antik Kristiyani P27224023238
Endah Sugiarti P27224023252
Limaningsih P27224023257
Rini Rahayu P27224023269
Rini Setiyaningsih P27224023270
Tantrie Rosariningtyas P27224023274
Tri Wahyuni P27224023296
Umi Lestari P27224023277
Nur Handayani P27224023265
Yanuar Murdianigsih P27224023278

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
JURUSAN KEBIDANAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena


denganrahmat , karunia, serta taufik dan hidayahnya dapat menyelesaikan
makalah tentang “PENYULIT ATAU KOMPLIKASI DALAM
PERSALINAN“dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga
berterimakasih kepada ibu Satiyem, S.ST., Bdn M.Keb dosen mata kuliah kegawat
daruratan yang telah memberikan tugas ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yangmemba
canya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami maupun
orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendarahan masih merupakan 3 penyebab utama kematian
maternal (ibu) tertinggi, disamping preeklamsi/eklamsi dan infeksi.
Pendarahan dalam bidang obstetri dibagi menjadi 3 yaitu, pendarahan pada
kehamilan muda (kurang dari 22 minggu), pendarahan pada kehamilan
lanjut, pendarahan saat persalinan, dan pendarahan pasca persalinan (masa
nifas)
Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk pendarahan pada
kehamilan lanjut dan pada saat persalinan selain dari plasenta previa,
solusio plasenta, dan gangguan pembekuan darah. Pendarahan pada
keahmilan lanjut yaitu pendarahan yang terjadi pada kehamilan yang lebih
dari 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan. Pendarahan pada
persalinan pendarahan intrapartum sebelum kelahiran (proses kelahiran
bayi). Persalinan sering kali mengakibatkan perlukaan jalan lahir. Luka-
luka biasanya ringan, tetapi kadang-kadang terjadi juga luka yang luas dan
berbahaya. Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva
dan perinium. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum perlu
dilakukan setelah pembedahan pervaginam.
Sebagai akibat persalinan, terutama pada seorang primipara, bisa
timbul luka pada vulva di sekitar introitus vagina yang biasanya tidak
dalam akan tetapi kadang-kadang bisa timbul perdarahan banyak,
khususnya pada luka dekat klitoris.
Penyumbang kematian terbesar bayi dalam kandungan adalah
faktor dari ibu yaitu partus lama akibat ruptur uteri dan diabetes militus.
Maka hali ini menandakan bahwa ruptur uteri memberikan dampak negati
pada kematian ibu atau bayi.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis dapat membuat rumusan
masalah dari makalah ini:
1. Apa yang dimaksud dengan ruptur uteri?
2. Apa yang dimaksud dengan Laserasi Jalan Lahir
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini, yakni:
1. Mengetahui tentang ruptur uteri
2. Mengetahui tentang Laserasi Jalan Lahir
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Ruptur Uteri


Ruptur uteri merupakan komplikasi gawat adlam bidang obstetri
yang memerlukan tindakan dan penanganan serius. (Manuaba, 1996;161)
Ruptur uterus adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan
atau persalinan pada saat umur kehamilan lebih dari 28 minggu.
Ruptur uteri adalah Keadaan robekan pada rahim dimana telah
terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum
atau hubungan kedua rongga masih dibatasi oleh peritoneum viserale.
(Sarwono, 2010)
Angka kematian ibu dan anak di indonesia masihlah tinggi, yaitu
berkisar antara 1:92 sampai 1:428 persalinan. Angka ini masih sangat
tinggi dari negara-negara maju yang hanya 1:1250 sampai 1:2000
kelahiran ( persalinan).
Angka kematian akibat ruptur uteri juga masih tinggi yaitu sekitar
17,9 sampai17,9sampai 26,6 . sedangkan angka kematian angka kematian
anak akibat ruptur utrui berkisar antara 69,1 sampai 100%. Pada bayi
umumnya meninggal saat terjadinya ruptur uteri bayi masih hidup,
sehingga dilanjutkan dangan laparatomi.

B. Klasifikasi Ruptur Uteri


1. Menurut keadaan robek
a. Ruptur uteri inkomplit (subperitoneal)
Yaitu ruptur uteri yang hanya bagian dinding uterus yang ribek
sedangkan bagian mukosa (peritoneum) masih utuh.
b. Ruptur uteri komplit (transperitoneal)
Yaitu ruptur uteri dinding dan mukosanya robek sehingga dapat berada
di rongga perut.
2. Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan menjadi:
a. Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi,
seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
b. Segmen Bawah Rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR
tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah
ruptur uteri.
c. Serviks Uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi
dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
d. Kolpoporeksis-Kolporeksis
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina.
3. Menurut penyebab terjadinya, ruptur uteri di bagi menjadi:
a. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil:
 Pembedahan pada miometrium: seksio sesaria atau histerotomi,
histerorafia, Miomektomi yang sampai menembus seluruh
ketebalan otot uterus, reseksi pada kornua uterus atau bagian
interstisial, metroplasti.
 Trauma uterus koinsidental: instrumentasi sendok kuret atau sonde
pada penanganan abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau
atau palu, ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya (silent
rupture in previous pregnancy).
 Kelainan bawaan: kehamilan dalam bagian rahim (born) yang tidak
berkembang.
b. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan:
 Sebelum kelahiran anak: his spontan yang kuat secara terus
menerus, pemakaian oksitosin atau prostaglandin untuk meransang
persalinan, instilasi cairan ke dalam kantong gestasi atau ruang
amnion seperti larutan garam fisiologik atau prostaglandin,
perforasi dengan kateter pengukur tekanan intrauterin, trauma luar
tumpu atau tajam, versi luar, pembesaran rrahim yang berlebihan
misalnya hidramnion dan kehamilan ganda.
 Dalam periode intrapartum: versi ekstraksi, ekstraksi cunam yang
sukar, ekstraksi bokong, anomali jantung yang menyebabkan
distensi yang berlebihan pada segmen bawah rahim, teanan yang
kuat pada uterus saat melahirkan, kesulitan dlam melakukan
manual plasenta.
 Cacat rahim yang didapat: plasenta inkreta atau parkreta, neoplasia
trofoblas gastasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidus
inkarserata.
4. Menurut etiologinya, ruptur uteri dibedakan menjadi:
a. Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC
miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan
plasenta secara manual. Dapat juga pada graviditas pada kornu yang
rudimenter dan graviditas interstisialis, kelainan kongenital dari uterus
seperti hipoplasia uteri dan uterus bikornus, penyakit pada rahim, misalnya
mola destruens, adenomiosis dan lain-lain atau pada gemelli dan
hidramnion dimana dinding rahim tipis dan regang.
b. Karena peregangan yang luar biasa dari rahim
misalnya pada panggul sempit atau kelainan bentuk panggul, janin
besar seperti janin penderita DM, hidrops fetalis, postmaturitas dan
grandemultipara. Juga dapat karena kelainan kongenital dari janin :
Hidrosefalus, monstrum, torakofagus, anensefalus dan shoulder dystocia;
kelainan letak janin: letak lintang dan presentasi rangkap; atau malposisi
dari kepala : letak defleksi, letak tulang ubun-ubun dan putar paksi salah.
Selain itu karena adanya tumor pada jalan lahir; rigid cervix:
conglumeratio cervicis, hanging cervix, retrofleksia uteri gravida dengan
sakulasi; grandemultipara dengan perut gantung (pendulum); atau juga
pimpinan partus yang salah.
c. Ruptur Uteri Violenta (Traumatika), karena tindakan dan trauma lain
seperti:
 Ekstraksi Forsep
 Versi dan ekstraksi
 Embriotomi
 Versi Braxton Hicks
 Sindroma tolakan (Pushing syndrome)
 Manual plasenta
 Kuretase
 Ekspresi Kristeller atau Crede
 Pemberian Pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
 Trauma tumpul dan tajam dari luar.
5. Komplikasi
a. Gawat janin
b. Syok hipovolemik
Terjadi kerena perdarahan yang hebat dan pasien tidak segera mendapat
infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu cepat
digantikan dengan tranfusi darah.
c. Sepsis
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri
telah terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit dan telah mengalami berbagai
manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan
yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang
sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang luas dan
menjadi sepsis pasca bedah.
d. Kecacatan dan morbiditas.
 Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus belum
punya anak hidup akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang
berat dan mendalam.
 Kematian maternal /perinatal yang menimpa sebuah keluarga
merupakan komplikasi sosial yang sulit mengatasinya.
C. Tanda-Tanda Ruptur Uteri
Menurut buku kapita selekta tanda-tanda ruptur uteri yaitu:
1. Nyeri abdomen
Dapat terjadi tiba-tiba, tajam dan seperti di sayat pisau. Apabila tejadi
ruptur saat persalinan, kontraksi uterus yang intermiten dan kuat akan
berhenti secara tiba-tiba, dan pasien akan mengeluh nyeri uterus yang
menetap.
2. Pendarahan pervaginan
Dapat simptomatik karena karena pendarahan aktif dari pembuluh darah
yang robek.
Sebelum mendiagnosa pasien terkena ruptura uteri maka, petugas
kesehatan harus mengenal tanda-tanda dari gejala ruptura uteri mengancam. Hal
ini dimakksudkan agar petugas kesehatan seperti bidan dapat mencegah ruptura
uteri yang sebenarnya.
Tanda-tanda gejala ruptura uteri yang mengancam adalah:
a. Dalam anamnesa, pasien mengatakan telah ditolong/dibantu oleh
dukun/bidan, dan partus sudah lama berlangsung atau partus macet.
b. Pasien tampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri diperut
c. Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang
kesakitan bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
d. Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.
e. Ada tanda dehidrasi karena parvtus yang lama (prolonged labor), yaitu
mulut kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).
f. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
g. Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan
keras terutama sebelah kiri atau keduanya.
h. Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan
SBR teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
i. Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan
teregang ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka
pada kateterisasi ada hematuri.
j. Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia)
k. Pada pemriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi,
seperti oedem porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.
Jika ruptur uteri yang mengancam dibiarkan terus maka akan terjadi gejala
ruptur uteri yang sebenarnya yaitu:
1. Gejala yang terlihat saat anamnesis dan inspeksi:
 Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar
biasa, menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi
gelisah, takut, pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps
 Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
 Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.
 Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak terukur.
 Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak,
lebih-lebih kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan
menyumbat jalan lahir.
 Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah
dan dibahu.
 Kontraksi uterus biasanya hilang.
 Mula-mula terdapat defans muskulaer kemudian perut menjadi
kembung dan meteoristis (paralisis usus).
2. Gejala yang teraba saat palpasi:
 Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema
subkutan.
 Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas
panggul.
 Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut,
maka teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut dan
disampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras
sebesar kelapa.
 Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
3. Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa
menit setelah ruptur, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk
ke rongga perut.
4. Pemeriksaan dalam
 Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun ke bawah, dengan mudah
dapat didorong ke atas dan ini disertai keluarnya darah pervaginam
yang agak banyak
 Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding
rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka
dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin. Kalau jari
tangan kita yang didalam kita temukan dengan jari luar maka terasa
seperti dipisahkan oleh bagian yang tipis seklai dari dinding perut juga
dapat diraba fundus uteri.
5. Kateterisasi
Hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih.
Lakukanlah selalu eksplorasi yang teliti dan hati-hati sebagai kerja rutin
setelah mengerjakan suatu operative delivery, misalnya sesudah versi ekstraksi,
ekstraksi vakum atau forsep, embriotomi dan lain-lain.
D. Penanganan Ruptur Uteri
Untuk mencegah timbulnya ruptura uteri pimpinan persalinan harus
dilakukan dengan cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan
distosia, dan pada wanita yang pernah mengalami sectio sesarea atau
pembedahan lain pada uterus. Pada distosia harus diamati terjadinya regangan
segmen bawah rahim, bila ditemui tanda-tanda seperti itu, persalinan harus
segera diselesaikan.
Jiwa wanita yang mengalami ruptur uteri paling sering bergantung pada
kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi hipovolemia dan mengendalikan
perdarahan. Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa
dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat
dikendalikan, karena itu keterlambatan dalam memulai pembedahan tidak akan
bisa diterima. Jadi, segera perbaiki shok dan kekurangan darah. Perbaikan shok
meliputi pemberian oksigen, cairan intravean, darah pengganti dan antibiotik
untuk pencegahan infeksi.
Bila keadaan umum penderita mulai membaik dan diagnosa telah
ditegakkan, selanjutnya dilakukan laparotomi (tindakan pembedahan) dengan
tindakan jenis operasi:
a. Histerektomi, baik total maupun subtotal.
b. Histerorafia, yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-baiknya.
c. Konservatif, hanya dengan tamponade dan pemberian antibiotik yang
cukup.
Tindakan aman yang akan dipilih, tergantung dari beberapa faktor, antara
lain:
a. Keadaan umum
b. Jenis ruptur, inkompleta atau kompleta
c. Jenis luka robekan
d. Tempat luka
e. Perdarahan dari luka
f. Umur dan jumlah anak hidup
g. Kemampuan dan keterampilan penolong.
E. Ruptur Uteri
1. Pengertian
Ruptur uterus dapat terjadi secara spontan di dalam rahim
yang tidak rusak tetapi lebih mungkin terjadi pada wanita dengan
operasi rahim sebelumnya misalnya operasi caesar, histerotomi,
miomektomi, perforasi uterus pertengahan trimester. Ini biasanya
terjadi pada persalinan tetapi dapat terjadi pada akhir kehamilan
(Dutta, 2017).
Rupture uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang
terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan selain plasenta previa,
solusio plasenta dan gangguan pembekuan darah (Sari, 2015).
2. Fakor resiko
Ruptur uteri inkomplit secara klinis signifikan terjadi
setelah persalinan caesar sebelumnya dan merujuk pada gangguan
lengkap dari semua lapisan uterus, kecuali serosa (Rajudin, 2018).
Selama masa kehamilan:
a. Operasi caesar klasik sebelumnya
b. Histerotomi sebelumnya (sangat jarang)
c. Miomektomi sebelumnya
d. Plasenta akreta
e. Kecelakaan kendaraan bermotor
f. Anomali rahim dari uterus
g. Metroplasti histeroskopi
h. Kuretase saat keguguran
Selama persalinan:
a. Operasi caesar sebelumnya
b. Miomektomi sebelumnya
c. Multiparitas besar
d. Malpresentation: presentasi alis, wajah dan bahu yang tidak
dikenali
e. Persalinan macet
f. Augmentasi prostaglandin dan oksitosin pada wanita
dengan paritas tinggi dan sebelumnya
g. Operasi caesar
h. Penggunaan misoprostol dosis tinggi pada wanita parous
i. Pengiriman instrumental (penggunaan kasar forceps
Kielland)
j. Pengiriman sungsang dengan bantuan
Penyebab yang jarang:
a. Tumor yang menghalangi jalan lahir
b. Kelainan bentuk panggul
c. Pengiriman pos
1) Persalinan persalinan
2) Pengangkatan plasenta secara manual
3) Manipulasi uterus (balon intrauterin)
4) Plasenta akreta
3. Komplikasi
Syok hipovolemik merupakan penyebab kematian tersering
dari ruptur uteri. Ketepatan dalam mendiagnosis dan rujukan tepat
waktu ke pusat kesehatandiharapkan dapat membantu menurunkan
angka morbiditas akibat ruptur uteri (Ahmed dkk, 2015 dalam
Kemenkes 2016). Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan dari
ruptur uteri adalah disseminated intravascular coagulation (DIC),
dan septikemia. Pada uterus dengan bekas operasi sebelumnya,
insidens ruptur uteri lebihsering terjadi dibanding uterus tanpa
riwayat operasi sebelumnya, namun angka mortalitas ibu yang
terjadi lebih rendah.Kematian janin berhubungan eratdengan
interval waktu sejak terjadinya ruptur uteri sampai bayi lahir. Hasil
terbaikakan didapatkan bila bayi lahir 15-30 menit sejak
ditemukannya tanda gawatjanin (Dutta, 2017).
4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tergantung pada derajat syok ibu dan kondisi janin
(Dutta, 2017):
a. Memanggil Kode Merah untuk memanggil staf yang tepat
untuk menangani keadaan darurat kebidanan.
b. Manajemen mendukung dan harus mengikuti pendekatan
ABC:
o AIRWAY: periksa jalan napas terbuka, berikan
oksigen 100%, pertimbangkan intubasi jikapasien
tidak sadar
o BERNAPAS: periksa pasien bernafas dan oksigen
diberikan, jika diintubasiventilasi dengan oksigen
100%
o SIRKULASI: periksa denyut nadi, masukkan 2
lubang bor besar (16G atau lebih)darah untuk
pencocokan silang (4 hingga 6 unit), FBC, U&E,
LFT & layar pembekuan. Mengelola dengan
cepatCairan IV seperti hartmans atau volplex dalam
bolus awal 20ml / kg. Administer lebih lanjutcairan,
darah dan produk darah sesuai kebutuhan. Berikan
inotrop sesuai kebutuhan.
c. Persiapan untuk persalinan segera atau laparotomi jika
sudah diberikan.
d. Perbaikan kerusakan secara bedah (termasuk trauma
kandung kemih) - pada akhirnya mungkin histerektomi
diperlukan - keputusan yang dibuat oleh Konsultan Ahli
Obstetri dan akan tergantung pada situs dantingkat
keparahan ruptur, tingkat perdarahan dan kemudahan
kontrol.
e. Terapi antibiotik intraoperatif dan pascaoperasi harus
diberikan sesuai protokol.
f. Kateter Foley untuk tetap in situ seperti yang ditunjukkan
oleh ahli bedah / pengukuran setiap jam denganawalnya
urometer.
g. Penggantian kehilangan cairan sesuai persyaratan
hematologis.
h. Pantau tanda-tanda vital saat kondisi ibu menentukan
termasuk: tekanan darah, denyut nadi, respirasi dan suhu;
untuk direkam pada bagan MEOWS. Inipengamatan harus
dilakukan setiap 5 menit pada awalnya. Amati kehilangan
darah PV. 9. Nilailah jalan napas dan berikan oksigen aliran
tinggi 15 liter per menit melalui masker wajah reservoir.
i. Pertimbangkan CVP - diskusi dengan tim anestesi untuk
memutuskan apakah perlu dipindahkan ke ITU / HDU.
j. Periksa status koagulasi dan fungsi ginjal.
k. Memulai infus Hartmanns 1 liter intravena, dititrasi sesuai
kebutuhantergantung pada penyebab kehancuran (yaitu
memberi dengan cepat untuk pasien hipovolemik /
hipotensi tetapi dengan hati-hati dalam kasus dengan
peningkatan tekanan darah dan dugaan gagal jantung).
l. Menilai status neurologis menggunakan skala koma
Glasgow jika mampu.
m. Obati arrythmias peri-henti.
n. Jika bayinya masih hidup, kepala bergerak penuh dan
serviks sepenuhnya melebar, persalinan instrumentaldapat
dilakukan.
o. Dokumentasikan peristiwa dalam catatan asuhan
kebidanan.
p. Bidan persalinan harus mengisi formulir peristiwa risiko
dan insiden 24 jam dan laporan harus dilengkapi oleh bidan
senior yang ditunjuk
F. Laserasi Jalan Lahir
1. Laserasi Jalan Lahir

Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan


kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal
dari perlukaan jalan lahir. Perlukaan jalan lahin terdiri dari :

2. Robekan Perinium

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama


dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum
umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala
janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa,
kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih
besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk
perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan anus,
panjangnya kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999). Jaringan yang terutama
menopang perinium adalah diafragma pelvis dan urogenital. Diafragma
pelvis terdiri dari muskulus levator ani dan muskulus koksigis di bagian
posterior serta selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani
membentuk sabuk otot yang lebar bermula dari permukaan posterior
ramus phubis superior, dari permukaan dalam spina ishiaka dan dari fasia
obturatorius.

Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar


vagina dan rektum, membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya,
pada persatuan garis tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan
garis tengah di bawah rektum dan pada tulang ekor. Diafragma
urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma pelvis, yaitu di daerah
segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma
urogenital terdiri dari muskulus perinialis transversalis profunda,
muskulus konstriktor uretra dan selubung fasia interna dan eksterna
(Cunningham, 1995).

Persatuan antara mediana levatorani yang terletak antara anus dan


vagina diperkuat oleh tendon sentralis perinium, tempat bersatu
bulbokavernosus, muskulus perinialis transversalis superfisial dan
sfingter ani eksterna. Jaringan ini yang membentuk korpus perinialis dan
merupakan pendukung utama perinium, sering robek selama persalinan,
kecuali dilakukan episiotomi yang memadai pada saat yang tepat. Infeksi
setempat pada luka episiotomi merupakan infeksi masa puerperium yang
paling sering ditemukan pada genetalia eksterna.

 LUKA PERINIUM
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian
perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999). Luka
perinium, dibagi atas 4tingkatan :

 Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perinium
 Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea
transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
 Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani
 Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum

3. Robekan Serviks

Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. bibir depan
dan bibir belakang servik dijepit dengan klem fenster  kemudian serviks
ditariksedidikit untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan.
Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung
untuk menghentikan perdarahan.

4. Rupture Uteri

Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang


kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri
yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam
kavum abdomen.

Ruptura uteri masih sering dijumpai di Indonesia karena persalinan


masih banyak ditolong oleh dukun. Dukun seagian besar belum
mengetahui mekanisme persalinan yang benar, sehingga kemacetan
proses persalinan dilakukan dengan dorongan pada fundus uteri dan
dapat mempercepat terjadinya rupturauteri.

Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah


robekan atau diskontinuitas dinding rahim akiat dilampauinya daya
regang mio metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan
panggul, partus macet atau traumatik. Ruptura uteri termasuk salahs at
diagnosis banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri
hebat pada perut bawah, diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam.
Robekan tersebut dapat mencapai kandung kemih dan organ vital di
sekitarnya.

Resiko infeksi sangat tinggi dan angka kematian bayi sangat tinggi
pada kasus ini. Ruptura uteri inkomplit yang menyebabkan hematoma
pada para metrium, kadang-kadang sangat sulit untuk segera dikenali
sehingga menimbulkan komplikasi serius atau bahkan kematian. Syok
yang terjadi seringkali tidak sesuai dengan jumlah darah keluar karena
perdarhan heat dapat terjadi ke dalam kavum abdomen. Keadaan-keadaan
seperti ini, sangat perlu untuk diwaspadai pada partus lama atau kasep.

Ruptur Uteri adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat


dilampauinya daya regang miomentrium. ( buku acuan nasional
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal ) Rupture uteri adalah
robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam persalinan
dengan atau tanpa robeknya perioneum visceral.

( Obstetri dan Ginekologi ).

Ruptur uteri dapat dibagi menurut beberapa cara :

1.Menurut waktu terjadinya

a) R. u. Gravidarum

Waktu sedang hamil

Sering lokasinya pada korpus

b) R. u. Durante Partum
Waktu melahirkan anak

Ini yang terbanyak

2.Menurut lokasinya:

a) Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah
mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ),
miemoktomi

b) Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus


yang sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang
dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya

c) Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi


forsipal atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum
lengkap

d) Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina

3.Menurut robeknya peritoneum

a). R. u. Kompleta : robekan pada dinding uterus berikut


peritoneumnya ( perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi hubungan
langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya
peritonitis

b) R. u. Inkompleta : robekan otot rahim tanpa ikut robek


peritoneumnya. Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas
ke lig.latum

4.Menurut etiologinya

a)Ruptur uteri spontanea


Menurut etiologinya dibagi 2 :

1) Karena dinding rahim yang lemah dan cacat


2) Bekas seksio sesarea
3) Bekas miomectomia
4) Bekas perforasi waktu keratase.

Pembagian rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :

1. Ruptur uteri kompleta

a. Jaringan peritoneum ikut robek

b. Janin terlempar ke ruangan abdomen

c. Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen

d. Mudah terjadi infeksi

2. Ruptura uteri inkompleta

a. Jaringan peritoneum tidak ikut robek

b. Janin tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen

c. Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi

d. Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma

G. Etiologi

1. Robekan perinium

Umumnya terjadi pada persalinan:

1. Kepala janin terlalu cepat lahir


2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3. Jaringan parut pada perinium
4. Distosia bahu

2.Robekan serviks

a. Partus presipitatus

b. Trauma krn pemakaian alat-alat operasi

c. Melahirkan kepala pd letak sungsang scr paksa, pembukaan belum


lengkap

d. Partus lama

3. Ruptur Uteri

1. Riwayat pembedahan terhadap fundus atau korpus uterus

2. Induksi dengan oksitosin yang sembarangan atau persalinan yang


lama.

3. Presentasi abnormal ( terutama terjadi penipisan pada segmen


bawah uterus ). ( Helen, 2001 )

4. Panggul sempit

5. Letak lintang

6. Hydrosephalus

7. Tumor yg menghalangi jalan lahir

8. Presentasi dahi atau muka

H. Patofisiologi
1. Robekan Perinium

Robekan perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan


tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat
dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar
panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat, sebaliknya kepala
janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena
akan menyebabkan asfiksia dan pendarahan dalam tengkorok janin,
dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama.

Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bias


menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus
pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir
lebih ke belakang daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah
panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia
suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan
vaginial.

2. Robekan Serviks

Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga


serviks seorang multiparaberbeda daripada yang belum pernah
melahirkan per vaginam. Robekan serviks yang luas mengakibatkan
perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila
terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir
lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan
jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.

3. Rupture Uteri

1). Ruptura uteri spontan


a. Terjadi spontan dan seagian besar pada persalinan

b. Terjadi gangguan mekanisme persalinan sehingga


menimbulkan ketegangan segmen bawah rahim yang
berlebihan

2). Ruptur uteri trumatik

a. Terjadi pada persalinan

b. Timbulnya ruptura uteri karena tindakan seperti ekstraksi


farsep, ekstraksi vakum, dll

3). Rupture uteri pada bekas luka uterus

Terjadinya spontan atau bekas seksio sesarea dan bekas operasi


pada uterus.

I. TANDA DAN GEJALA

1. Laserasi Jalan Lahir

Tanda dan Gejala yang selalu ada :

 Pendarahan segera
 Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
 Uterus kontraksi baik
 Plasenta baik

Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada :

 Pucat
 Lemah
 Menggigil
2. Rupture Uteri

Tanda dan gejala ruptur uteri dapat terjadi secara dramatis


atau tenang.

a) .Dramatis

 Nyeri tajam, yang sangat pada abdomen bawah saat kontraksi


hebat memuncak
 Penghentian kontraksi uterus disertai hilangnya rasa nyeri
 Perdarahan vagina ( dalam jumlah sedikit atau hemoragi )
 Terdapat tanda dan gejala syok, denyut nadi meningkat, tekanan
darah menurun dan nafas pendek ( sesak )

 Temuan pada palpasi abdomen tidak sama dengan temuan


terdahulu
 Bagian presentasi dapat digerakkan diatas rongga panggul
 Janin dapat tereposisi atau terelokasi secara dramatis dalam
abdomen ibu
 Bagian janin lebih mudah dipalpasi
 Gerakan janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun
menjadi tidak ada gerakan dan DJJ sama sekali atau DJJ masih
didengar
 Lingkar uterus dan kepadatannya ( kontraksi ) dapat dirasakan
disamping janin ( janin seperti berada diluar uterus ).

b). Tenang

 Kemungkinan terjadi muntah


 Nyeri tekan meningkat diseluruh abdomen
 Nyeri berat pada suprapubis
 Kontraksi uterus hipotonik
 Perkembangan persalinan menurun
 Perasaan ingin pingsan
 Hematuri ( kadang-kadang kencing darah )
 Perdarahan vagina ( kadang-kadang )
 Tanda-tanda syok progresif
 Kontraksi dapat berlanjut tanpa menimbulkan efek pada servik
atau kontraksi mungkin tidak dirasakan
 DJJ mungkin akan hilang

J. PENATALAKSANAAN MEDIS

 PENJAHITAN ROBEKAN SERVIKS

 Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan anti


septik ke vagina dan serviks
 Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anastesi tidak
dibutuhkan padasebasian besar robekan serviks. Berikan petidin
dan diazepam melalui IV secara perlahan (jangan mencampur
obat tersebut dalam spuit yang sama) atau gunakan ketamin untuk
robekan serviks yang tinggi dan lebar
 Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut
untuk membantu  mendorong serviks jadi terlihat
 Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks, jika perlu
 Pegang serviks dengan forcep cincin atau forcep spons dengan
hati–hati. Letakkan forcep pada kedua sisi robekan dan tarik
dalam berbagai arah secara perlahan untuk melihat seluruh
serviks. Mungkin terdapat beberapa robekan.
 Tutup robekan serviks dengan jahitan jelujur menggunakan
benang catgut kromik atau poliglokolik 0 yang dimulai pada
apeks(tepi atas robekan) yang seringkali menjadi sumber
pendarahan.
 Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan
jelujur menggunakan benang catgut kromik atau poliglikolik 0.
 Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang pegang apeks dengan
forcep arteri atau forcep cincin. Pertahankan forcep tetap
terpasang selama 4 jam. Jangan terus berupaya mengikat tempat
pendarahan karena upaya tersebut dapat mempererat pendarahan.
Selanjutnya :

–   Setelah 4 jam, buka forcep sebagian tetapi jangan


dikeluarkan.

–   Setelah 4 jam berikutnya, keluarkan seluruh forcep.

 PENJAHITAN ROBEKAN VAGINA DAN PERINIUM

Terdapat empat derajat robekan yang bisa terjadi saat pelahiran, yaitu
:

 Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dan jaringan


ikat
 Tingkat II : Robekan mengenai mukosa vagina, jaringan ikat, dan
otot dibawahnya tetapi tidak menenai spingter ani
 Tingkat III : robekan mengenai trnseksi lengkap dan otot spingter ani
 Tingkat IV : robekan sampai mukosa rectum.

 PENJAHITAN ROBEKAN DERAJAT I DAN II

Sebagian besar derajat I menutup secara spontan tanpa dijahit.

 Tinjau kembali prinsip perawatan secara umum.


 Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi
lokal dengan lignokain. Gunakan blok pedendal, jika perlu.
 Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus
berkontraksi.
 Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
 Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk
memastikan bahwa tidak terdapat robekan derajat III dan IV.

–   Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus

–    Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.

–    Periksa tonus otot atau kerapatan sfingter

 Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau DTT


 Jika spingter cedera, lihat bagian penjahitan robekan derajat III
dan IV.
 Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan

 PENJAHITAN ROBEKAN PERINEUM DERAJAT III DAN IV

Jahit robekan diruang operasi

 Tinjau kembali prinsip perawatan umum


 Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi
lokal dengan lignokain. Gunakan blok pedendal, ketamin atau
anastesi spinal. Penjahitan dapat dilakukan menggunakn anastesi
lokal dengan lignokain dan petidin serta diazepam melalui IV
dengan perlahan ( jangan mencampurdengan spuit yang sama )
jika semua tepi robekan dapat dilihat, tetapi hal tersebut jarang
terjadi.
 Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus
berkontraksi.
 Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
 Untuk melihat apakah spingter ani robek.

– Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus


- Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.

- Periksa permukaan rektum dan perhatikan robekan dengan


cermat.

 Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT


 Oleskan larutan antiseptik kerobekan dan keluarkan materi fekal,
jika ada.
 Pastikan bahwa tidak alergi terhadap lignokain atau obat-obatan
terkait.
 Masukan sekitar 10 ml larutan lignokain 0,5 % kebawah mukosa
vagina, kebah kulit perineum dan ke otot perinatal yang dalam.
 Pada akhir penyuntikan, tunggu selama dua menit kemudian jepit
area robekan denagn forcep. Jika ibu dapat merasakan jepitan tsb,
tunggu dua menit  algi kemudian lakukan tes ulang.
 Jahit rektum dengan jahitan putus-putus mengguanakan benang 3-
0 atau 4-0 dengan jarak 0,5 cm untuk menyatukan mukosa.
 Jika spingter robek

–  Pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis ( sfingter akan


beretraksi jika robek ). Selubung fasia disekitar sfingter kuat
dan tidak robek jika ditarik dengan klem.

– Jahit sfingter dengan dua atau tiga jahitan putus-putus


menggunakan benang 2-0.

 Oleskan kembali larutan antiseptik kearea yang dijahit.


 Periksa anus dengan jari yang memakai sarung tangan untuk
memastikan penjahitan rektum dan sfingter dilakukan dengan
benar. Selanjutnya, ganti sarung tangan yang bersih, steril atau
yang DTT.
 Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit.
 PERBAIKAN RUPTURE UTERUS

 Tinjau kembali indikasi.


 Tinjau kembali prinsip prawatan umum, prinsipperawatan operasi
dan pasang infus IV.
 Berikan dosis tunggal antibiotik profilaksis.

–   Ampisilin 2g melalui IV.

–   Atau sefazolin 1g melalui IV.

 Buka abdomen

–   Buat insisi vertikalgaris tengah dibawah umbilikus sampai


kerambut pubis melalui kulit sampai di fasia.

–    Buat insisi vertikal 2-3 cm di fasia.

–    Pegang tepi fasia dengan forcep dan perpanjang insisi keatas


dan kebawah dengan menggunakan gunting.

–    Gunakan jari atau gunting untuk memisahkan otot rektus


(otot dinding abdomen )

–   Gunakan jari untuk membuka peritoneum dekat umbilikus.


Gunakan gunting untuk memperpanjang insisi ke atas dan ke
bawah guna melihat seluruh uterus. Gunakan gunting untuk
memisahkan lapisan peritoneum dan membuka bagian bawah
peritoneum dengan hati-hati guna mencegah cedera kandung
kemih.

–   Periksa area rupture pada abdomen dan uterus dan keluarkan


bekuan darah.
–   Letakkan retraktor abdomen.

 Lahirkan bayi dan plasenta.


 Infuskan oksitoksin 20 unit dalam 1L cairan IV ( salin normal
atau laktat ringer ) dengan kecepatan 60 tetes permenit sampai
uterus berkontraksi, kemudian kurangi menjadi 20 tetes permenit.
 Angkat uterus keluar panggul untukmelihat luasnya cedera.
 Periksa bagian depan dan belakang uterus.
 Pegang tepi pendarahan uterus denganklem Green Armytage
( forcep cincin )
 Pisahkan kandungan kemih dari segmen bawah uterus dengan
diseksi tumpul atau tajam. Jika kandung kemih memiliki jaringan
parut sampai uterus, gunakan gunting runcing.

 RUPTURE SAMPAI SERVIKS DAN VAGINA

 Jika uterus robek sampai serviks dan vagina, mobilisasi kandung


kemih minimal 2cm dibawah robekan.
 Jika memungkinkan, buat jahitan sepanjang 2cm diatas bagian
bawah robekan serviks dan pertahankan traksi pada jahitan untuk
memperlihatkan bagian-bagian robekan jika perbaikan
dilanjutkan.

 RUPTURE MELUAS SECARA LATERAL SAMPAI ARTERIA


UTERINA

 Jika rupture meluas secara lateral sampai mencederai satu atau


kedua arteri uterina, ikat arteri yang cedera.
 Identifikasi arteri dan ureter sebelum mengikat pembuluh darah
uterus.
 RUPTURE DENGAN HEMATOMA LIGAMENTUM LATUM
UTERI

 Jika rupture uterus menimbulkan hematoma pada ligamentum


latum uteri, pasang klem, potong dan ikat ligamentum teres uteri.
 Buka bagian anterior ligamentum atum uteri.
 Buat drain hematoma secara manual, bila perlu.
 Inspeksi area rupture secara cermat untuk mengetahui adanya
cedera pada arteria uterina atau cabang-cabangnya. Ikat setiap
pembuluh darah yang mengalami pendarahan.

 PENJAHITAN ROBEKAN UTERUS

 Jahit robekan dengan jahitan jelujur mengunci (continous


locking ) menggunakan benang catgut kromik (atau
poliglikolik)0. Jika perdarahan tidak terkandali atau jika ruptur
melalui insisi klasik atau insisi vertikal terdahulu, buat jahitan
lapisan kedua.
 Jika rupture terlalu luas untuk dijahit, tindak lanjuti dengan
histerektomi.\
 Kontrol pendarahan dalam, gunakan jahitan berbentuk angka
delapan.
 Jika ibu meminta ligasi tuba, lakukan prosedur tsb pada saat ini.
 Pasang drain abdomen
 Tutup abdomen.

–    Pastikan tidak ada pendarahan. Keluarkan bekuan darah dengan


menggunakan spons.

–    Pada semua kasus, periksa adanya cedera pada kandung kemih. Jka
teridentifikasi adanya cedera kandung kemih, perbaiki cedera tsb.
–   Tutup fasia engan jahitan jelujur menggunakan benang catgut
kromik (poliglikolik) 0.

–   Jika terdapat tanda-tanda infeksi, tutup jaringan subcutan dengan


kasa dan buat jahitan longgar menggunakan benang catgut
( poligkolik ) 0. Tutup kulit dengan penutupan lambat setelah
infeksi dibersihkan.

–   Jika tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tutup kulit dengan jahitan


matras vertikal menggunakan benang nelon ( sutra ) 3-0 dan tutup
dengan balutan steril.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan
kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal
dari perlukaan jalan lahir. Persalinan sering kali mengakibatkan perlukaan
jalan lahir. Luka-luka biasanya ringan, tetapi kadang-kadang terjadi juga
luka yang luas dan berbahaya. Setelah persalinan harus selalu dilakukan
pemeriksaan vulva dan perinium. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan
spekulum perlu dilakukan setelah pembedahan pervaginam.
Ruptur uteri adalah robekan dinding uterus yang dapat terjadi saat
periode antenatal ketika induksi, persalinan, dan kelahiran atau bahkan
selama stadium ketika persalinan saat umur kehamilan lebih dari 28
minggu.
Ruptur uteri dapat disebabkan oleh dinding rahim yang lemah dan
cacat, misalnya pada bekas SC, kuratase, pelepasan plasenta secara manual
dan tindakan persalinan lainnya, serta kerena peregangan luar biasa pada
rahim.
Untuk mencegah terjadinya ruptur uteri sebleum persalinan,
penolong persalinan telah melakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah
ada tanda-tanda yang dapat menyebabkan ruktur uteri. Bila telah teradi
ruptur uteri maka lakukan penanganan shok terlebih dahulu yairu
pemberan cairan intravena, oksigen, transfusi darah, dan bila diagnosa
telah ditegakkan maka lakukan laparatomi (pembedahan).

B. Saran
Saran yang dapat kami sampaikan yaitu seorang bidan atau tenaga
kesehtan lainnya harus lebih cepat mendiagnosa dan menegakkan
diagnosa, agar kematian ibu karena ruptur uteri bisa berkurang di
indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Sumarah,dkk.2009.Asuhan Kebidanan pada ibu bersalin.yogyakarta:fitramaya

Chapman vicky.2003.Asuhan Kebidanan persalinan dan kelahiran.jakarta:EGC

(Prawirohadjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga. PT Bina Pustaka


Sarwono Prawiirohardjo. Jakarta

(maryunani, Anik, Puspita, Eka. 2014. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan


Neonatal. Trans Info Media. Jakarta)

(Nugroho, Taufan. OBSGYN Obstetri dan Ginekologi untuk Kebidanan dan


Keperawatan. 2012. Nuha Medika. Yogyakarta)

Anda mungkin juga menyukai