Anda di halaman 1dari 13

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

RUPTUR UTERI

NAMA KELOMPOK 7 :
1. ARI CENDANI PRABAWATI (17.321.2658)
2. NI KETUT YULIANA (17.321.2686)
3. NI MADE AYU PRIYASTINI (17.321.2695)
4. NI PUTU MERRY TASIA SURYAWAN (17.321.2702)
5. NI WAYAN YUNA PRATIWI (17.321.2705)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
TAHUN AJARAN 2019/2020
LAPORORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP MEDIS
1. Pengertian
Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada keha-
milan lanjut dan persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan
pembekuan darah. Batasan perdarahan pada kehamilan lanjut berarti perdarahan
pada kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan, sedangkan
perdarahan pada persalinan adalah perdarahan intrapartum sebelum kelahiran.
Ruptur uteri adalah terjadinya diskontinuitas pada dinding uterus. Perdarahan
yang terjadi dapat keluar melalui vagina atau ke intraabdomen. (Buku Saku
Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. 2013)
2. Etiologi
Faktor etiologi ruptur uteri dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: faktor trauma
pada uterus, faktor jaringan parut pada uterus, dan faktor yang terjadi secara
spontan. Faktor trauma pada uterus meliputi kecelakaan dan tindakan. Kecelakaan
sebagai faktor trauma pada uterus berarti tidak berhubungan dengan proses
kehamilan dan persalinan misalnya trauma pada abdomen, sedangkan tindakan
berarti berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya versi
ekstraksi, ekstraksi forcep, alat-alat embriotomi, manual plasenta, dan
ekspresi/dorongan.Faktor jaringan parut pada uterus paling sering karena parut
bekas seksio sesaria, enukleasi mioma atau miomektomi, histerektomi,
histerotomi, histerorafi dan lain-lain. Faktor yang menyebabkan ruptur uteri secara
spontan misalnya kelainan letak dan presentasi janin, disproporsi sefalopelvik,
kelainan panggul, dan tumor pada jalan lahir.
3. Manifestasi Klinis
a. Biasanya ruptup uteri di dahului oleh gejala-gejala ruptura membakat, yaitu
his yang kuat dan terus-menerus, rasa nyeri yang hebat di perut bagian bawah
nyeri waktu ditekan, gelisah atau seperti ketakutan, nadi dan pernafasan cepat,
cincin van bandl meninggi.
b. Setelah terjadi reptura uteri dijumpai gejala-gejala syok, perdarahan ( bisa
keluar melalui vagina ataupun kedalam rongga perut), pucat, nadi cepat, halus
pernafasan cepat dan dangkal, tekanan darah turun. Pada palpasi sering
bagian-bagian janin dapat diraba langsung bibawah dinding perut, ada nyeri
tekan, dan diperut bagian bawah teraba uteus kira-kira seesar kepala bayi.
Umumnya janin sudah meninggi.
c. Jika kejadian reptura uteri telah lama terjadi, akan timbul gejala-gejala
meteorismus dan deference muscular sehingga sulit untuk dapat meraba
bagian janin.
4. Faktor predisposisi
a. Faktor uterus
1) Jaringan parut pada uterus
2) Kelaianan kongenital pada uterus
b. Faktor ibu
1) Grande/multiparitas
2) Usia tua
c. Faktor janin
1) Hamil ganda
2) Makrosomia
3) Letak lintang
4) Presentasi bokong
d. Faktor plasenta : Kelainan letak dan implantasi plasenta misalnya pada
plasenta akreta, inkreta, dan perkreta.
e. Faktor persalinan
1) Jarak yang terlalu dekat dengan persalinan sebelumnya
2) Induksi persalinan
3) Persalinan lama
4) Persalinan macet
5) Persalinan dengan ekstraksi forcep
6) Manual plasenta
7) Versi luar
8) Dorongan pada fundus
5. Klasifikasi
a. Klasifikasi ruptur uteri menurut keadaan robek
1) Ruptur uteri inkomplit (subperitoneal) : Ruptur uteri yang hanya
dinding uterus yang robek sedangkan lapisan serosa (peritoneum) tetap
utuh.
2) Ruptur uteri komplit (transperitoneal) : Rupture uteri yang selain
dinding uterusnya robek, lapisan serosa (peritoneum) juga robek
sehingga dapat berada di rongga perut.
b. Klasifikasi ruptur uteri menurut kapan terjadinya
1) Ruptur uteri pada waktu kehamilan (ruptur uteri gravidarum) : Ruptur
uteri yang terjadi karena dinding uterus lemah yang dapat disebabkan
oleh:
a) Bekas seksio sesaria
b) Bekas enukleasi mioma uteri
c) Bekas kuretase/ plasenta manual
d) Sepsis post partum
e) Hipoplasia uteri
2) Ruptur uteri pada waktu persalinan (ruptur uteri intrapartum) : Ruptur
uteri pada dinding uterus baik, tapi bagian terbawah janin tidak maju/
turun yang dapat disebabkan oleh:
a) Versi ekstraksi
b) Ekstraksi forcep
c) Ekstraksi bahu
d) Manual plasenta
c. Klasifikasi ruptur uteri menurut etiologinya
1) Ruptur uteri spontan (non violent) : Ruptur uteri yang terjadi karena
dinding uterus lemah atau dinding uterus masih baik, tapi bagian
terbawah janin tidak maju atau tidak turun.
2) Ruptur uteri traumatika (violent) : Ruptur uteri yang terjadi oleh karena
adanya rudapaksa pada uterus.
3) Ruptur uteri jaringan parut. Ruptur uteri yang terjadi karena adanya
locus minoris pada dinding uterus sebagai akibat adanya jaringan parut
bekas operasi pada uterus sebelumnya.
6. Patofisiologi
Pada saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dinding
korpus uteri atau SAR menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih
kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke bawah
dan ke dalam SBR. SBR menjadi lebih lebar karena dindingnya menjadi lebih
tipis karena tertarik ke atas oleh kontraksi SAR yang kuat, berulang dan sering
sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah
tinggi. Apabila bagian terbawah janin tidak dapat terdorong karena sesuatu sebab
yang menahannya (misalnya panggul sempit atau kepala janin besar) maka
volume korpus yang tambah mengecil pada saat his harus diimbangi oleh
perluasan SBR ke atas. Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologi
(physiologic retraction ring) semakin meninggi ke arah pusat melewati batas
fisiologi menjadi patologi (pathologic retraction ring) lingkaran patologik ini di
sebut lingkaran Bandl (ring van Bandl). SBR terus menerus tertarik ke arah
proksimal, tetapi tertahan oleh serviks dan his berlangsung kuat terus menerus
tetapi bagin terbawah janin tidak kunjung turun ke bawah melalui jalan lahir,
lingkaran retraksi makin lama semakin meninggi dan SBR semakin tertarik ke
atas sembari dindingnya sangat tipis hanya beberapa milimeter saja lagi. Ini
menandakan telah terjadi ruptur imminens dan rahim yang terancam robek pada
saat his berikut berlangsung dinding SBR akan robek spontan pada tempat yang
tertipis dan terjadilah perdarahan. Jumlah perdarahan tergantung pada luas
robekan yang terjadi dan pembuluh darah yang terputus.
Ketika terjadi robekan, pasien merasa amat nyeri seperti teriris sembilu dalam
perutnya, dan his yang terakhir itu sekaligus mendorong tubuh janin. Apabila
robekannya cukup luas, tubuh janin sebagian atau seluruhnya terdorong ke luar
rongga rahim dan masuk ke rongga peritoneum. Melalui robekan tersebut, usus
dan omentum terkadang masuk ke dalamnya sehingga bisa mencapai vagina dan
bisa diraba pada waktu periksa dalam.
Ruptura uteri yang tidak sampai ikut merobek perimetrium terjadi pada bagian
rahim yang longgar hubungannya dengan peritoneum yaitu pada bagian samping
dan dekat kandung kemih. Di sini dinding serviks yang meregang karena ikut
tertarik kadang-kadang bisa ikut robek. Robekan pada bagian samping bisa
sampai melukai pembuluh-pembuluh darah besar yang terdapat di dalam
ligamentum latum. Jika robekan terjadi pada bagian dasar ligamnetum latum,
arteria rahim atau cabang-cabangnya bisa terluka disertai perdarahan yang banyak
dan di dalam parametrium di pihak yang robek, akan terbentuk hematoma yang
besar dan menimbulkan syok yang sering kali fatal. Batas antara korpus yang
kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran Bandl. Lingkaran Bandl ini
dianggap fisiologik bila terdapat 2-3 jari di atas simphysis, Bila meninggi maka
kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya rahim uteri mengancam.
Ruptur uteri terutama disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari uterus.
Sedangkan kalau uterus telah cacat, mudah dimengerti karena adanya lokus
minoris resistans.
7. Pemeriksaan penunjang
a. Laparoscopy : untuk menyikapi adanya endometriosis atau kelainan bentuk
panggul / pelvis.
b. Pemeriksaan laboratorium.
c. hapusan darah : HB dan hematokrit untuk mengetahui batas darah HB dan
nilai hematikrit untuk menjelaskan banyaknya kehilangan darah. HB < 7 g/dl
atau hematokrit < 20% dinyatakan anemia berat.
d. SDM : untuk mengidentifikasikan tipe anemia.
e. Urinalisis : hematuria menunjukan adanya perlukaan kandung kemih.
f. Tes prenatal : untuk memastikan polihidramnion dan janin besar.
8. Penatalaksanaan
a. Perbaiki keadaan Umum
1) Atasi syok dengan pemberian cairan dan darah
2) Berikan antibiotika
3) Oksigen
b. Laparatomi
1) Histerektomi: Histerektomi dilakukan, jika:
a) Fungsi reproduksi ibu tidak diharapkan lagi
b) Kondisi buruk yang membahayakan ibu
2) Repair uterus (histerorafi): Histerorafi dilakukan jika:
a) Masih mengharapkan fungsi reproduksinya
b) Kondisi klinis ibu stabil
c) Ruptur tidak berkomplikasi ini terjadi karena pada ruptur uteri
inkomplit, cairan dari kavum uteri tidak masuk ke rongga
abdomen. Janin umumnya meninggal pada ruptur uteri. Janin
hanya dapat ditolong apabila pada saat terjadinya ruptur uteri ia
masih hidup dan segera dilakukan laparatomi untuk
melahirkannya. Angka kematian janin pada ruptur uteri
mencapai 85%.
9. Komplikasi
a. Gawat janin
b. Syok hipovolemik
Terjadi kerena perdarahan yang hebat dan pasien tidak segera mendapat infus
cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu cepat digantikan
dengan tranfusi darah.
c. Sepsis
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri telah
terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi
termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan yang demikian
pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti
pasien akan menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah.
d. Kecacatan dan morbiditas.
1) Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus belum
punya anak hidup akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang
berat dan mendalam.
2) Kematian maternal /perinatal yang menimpa sebuah keluarga
merupakan komplikasi sosial yang sulit mengatasinya.
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas : Sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun
b. Keluhan utama : Perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar
keringat dingin, kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
c. Riwayat kehamilan dan persalinan : Riwayat hipertensi dalam kehamilan,
preeklamsi / eklamsia, bayi besar, gamelli, hidroamnion, grandmulti gravida,
primimuda, anemia, perdarahan saat hamil. Persalinan dengan tindakan,
robekan jalan lahir, partus precipitatus, partus lama/kasep, chorioamnionitis,
induksi persalinan, manipulasi kala II dan III.
d. Riwayat kesehatan : Kelainan darah dan hipertensi
e. Pengkajian fisik :Tanda vitalv :Tekanan darah : Normal/turun ( kurang dari
90-100 mmHg), Nadi : Normal/meningkat ( 100-120 x/menit), Pernafasan :
Normal/ meningkat ( 28-34x/menit ), Suhu : Normal/ meningkat, Kesadaran :
Normal / turun, Fundus uteri/abdomen : lembek/keras, subinvolusi, Kulit :
Dingin,v berkeringat, kering, hangat, pucat, capilary refill memanjan,
Pervaginam : Keluar darah, robekan, lochea ( jumlah dan jenis ) dan Kandung
kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang
2. Diagnosan
a. Kekurangan volume cairan b/d perdarahan pervaginam
b. Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahan pervaginam
c. Cemas/ketakutan b/d perubahan keadaan atau ancaman kematian
d. Resiko infeksi b/d perdarahan
e. Resiko shock hipovolemik b/d perdarahan
3. Intervensi
a. Diagnosa Keperawatan. 1
Kekurangan volume cairan b/d perdarahan pervaginam
Tujuan : Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki volume cairan
Rencana tindakan :
1) Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedangkan badannya
tetap terlentang.
R/ Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return dan
memungkinkan darah keotak dan organ lain.
2) Monitor tanda vital.
R/ Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin hebat
3) Monitor intake dan output setiap 5-10 menit.
R/ Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan fungsi ginjal
4) Evaluasi kandung kencing.
R/ Kandung kencing yang penuh menghalangi kontraksi uterus
5) Lakukan massage uterus dengan satu tangan serta tangan lainnya
diletakan diatas simpisis.
R/ Massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu
pelepasan placenta, satu tangan diatas simpisis mencegah terjadinya
inversio uteri
6) Batasi pemeriksaan vagina dan rectum.
R/ Trauma yang terjadi pada daerah vagina serta rektum meningkatkan
terjadinya perdarahan yang lebih hebat, bila terjadi laserasi pada
serviks / perineum atau terdapat hematom
7) Bila tekanan darah semakin turun, denyut nadi makin lemah, kecil dan
cepat, pasien merasa mengantuk, perdarahan semakin hebat, segera
kolaborasi.
8) Berikan infus atau cairan intravena.
R/ Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravaskular
9) Berikan uterotonika ( bila perdarahan karena atonia uteri ).
R/ Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol
perdarahan
10) Berikan antibiotic.
R/ Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena
perdarahan
11) Berikan transfusi whole blood ( bila perlu ).
R/ Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.
b. Diagnosa Keperwatan. 2
Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahan pervaginam
Tujuan: Tanda vital dan gas darah dalam batas normal
Rencana keperawatan :
1) Monitor tanda vital tiap 5-10 menit.
R/ Perubahan perfusi jaringan menimbulkan perubahan pada tanda vital
2) Catat perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi dan lidah, suhu kulit.
R/ Dengan vasokontriksi dan hubungan keorgan vital, sirkulasi di jaingan
perifer berkurang sehingga menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang
dingin
3) Kaji ada / tidak adanya produksi ASI. R/ Perfusi yang jelek menghambat
produksi prolaktin dimana diperlukan dalam produksi ASI
4) Tindakan kolaborasi :
a) Monitor kadar gas darah dan PH ( perubahan kadar gas darah dan PH
merupakan tanda hipoksia jaringan )
b) Berikan terapi oksigen ( Oksigen diperlukan untuk memaksimalkan
transportasi sirkulasi jaringan ).
c. Diagnosa Keperawatan. 3
Cemas/ketakutan berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman
kematian
Tujuan : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan
mengatakan perasaan cemas berkurang atau hilang.
Rencana tindakan :
1) Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan.
R/ Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya
2) Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar ).
R/ Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis
3) Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung. R/
Memberikan dukungan emosi
4) Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan.
R/ Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak
diketahui
5) Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya.
R/ Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas
6) Kaji mekanisme koping yang digunakan klien. R/ Cemas yang
berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping yang tepat.
d. Diagnosa Keperawatan. 4
Resiko infeksi sehubungan dengan perdarahan
Tujuan : Tidak terjadi infeksi (lokea tidak berbau dan TV dalam batas normal)
Rencana tindakan :
1) Catat perubahan tanda vital. R/ Perubahan tanda vital ( suhu ) merupakan
indikasi terjadinya infeksi
2) Catat adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia, kontraksi uterus yang
lembek, dan nyeri panggul. R/ Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi
terjadinya bakterimia, shock yang tidak terdeteksi
3) Monitor involusi uterus dan pengeluaran lochea. R/ Infeksi uterus
menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lokea yang berkepanjangan
4) Perhatikan kemungkinan infeksi di tempat lain, misalnya infeksi saluran
nafas, mastitis dan saluran kencing. R/ Infeksi di tempat lain memperburuk
keadaan
5) Berikan perawatan perineal,dan pertahankan agar pembalut jangan sampai
terlalu basah. R/ pembalut yang terlalu basah menyebabkan kulit iritasi
dan dapat menjadi media untuk pertumbuhan bakteri,peningkatan resiko
infeksi.
6) Tindakan kolaborasi
a) Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan )
b) Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk
keadaan infeksi ).
e. Diagnosa Keperawatan. 5
Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.
Tujuan: Tidak terjadi shock(tidak terjadi penurunan kesadaran dan tanda-tanda
dalam batas normal)
Rencana tindakan :
1) Anjurkan pasien untuk banyak minum.
R/ Peningkatan intake cairan dapat meningkatkan volume intravascular
sehingga dapat meningkatkan volume intravascular yang dapat
meningkatkan perfusi jaringan.
2) Observasitanda-tandavital tiap 4 jam.
R/ Perubahan tanda-tanda vital dapat merupakan indikator terjadinya
dehidrasi secara dini.
3) Observasi terhadap tanda-tanda dehidrasi.
R/ Dehidrasi merupakan terjadinya shock bila dehidrasi tidak ditangani
secara baik.
4) Observasi intake cairan dan output.
R/ Intake cairan yang adekuat dapat menyeimbangi pengeluaran cairan
yang berlebihan.
5) Kolaborasi dalam : - Pemberian cairan infus / transfusi.
R/ Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravaskular yang dapat
meningkatkan perfusi jaringan sehingga dapat mencegah terjadinya shock.
6) Pemberian koagulantia dan uterotonika.
R/ Koagulan membantu dalam proses pembekuan darah dan uterotonika
merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan.

e. Evaluasi
Semua tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :
1) Tanda vital dalam batas normal :
a) Tekanan darah : 110/70-120/80 mmHg
b) Denyut nadi : 70-80 x/menit
c) Pernafasan : 20 – 24 x/menit
d) Suhu : 36 – 37 oc
2) Kadar Hb : Lebih atau sama dengan 10 g/dl
3) Gas darah dalam batas normal
4) Klien dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia mengerti tentang
komplikasi dan pengobatan yang dilakukan
5) Klien dan keluarganya menunjukkan kemampuannya dalam
mengungkapkan perasaan psikologis dan emosinya
DAFTAR PUSTAKA

Husodo L. 2010. Pembedahan dengan laparatomi. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Tiana, Ani dkk. 2015. Kegawat daruratan maternal dan neonatal. DEEPUBLISH :
Yogyakarta

Buku Saku Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Edisi 1. WHO,
2013

Obgynacea 2009. Nanda NIC NOC jilid 2. Diterjemahkan oleh Amin Huda. N, Hardi
Kusuma. Yogyakarta: Media Action Prawirohardjo

Sarwono. (2010). Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo

Anda mungkin juga menyukai