PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ruptura uteri dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma dan dapat
terjadi pada uterus yang utuh atau yang sudah mengalami cacat rahim (pasca
miomektomi atau pasca sectio caesar) serta dapat terjadi pada ibu yang sedang
inpartu (awal persalinan) atau belum inpartu (akhir kehamilan).
Kejadian ruptura uteri yang berhubungan dengan cacat rahim adalah sekitar
40% ; ruptura uteri yang berkaitan dengan low segmen caesarean section ( insisi
tranversal ) adalah kurang dari 1% dan pada classical caesarean section ( insisi
longitudinal ) kira kira 4% – 7%.
B. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Terjadinya rupture uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin
masih merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya.
Kematian ibu dan anak karena rupture uteri masih tinggi. Insidens dan angka
kematian yang tinggi kita jumpai dinegara-negara yang sedang berkembang,
seperti afrika dan asia. Angka ini sebenarnya dapat diperkecil bila ada pengertian
dari para ibu dan masyarakat. Prenatal care, pimpinan partus yang baik,
disamping fasilitas pengangkutan dari daerah-daerah periver dan penyediaan
darah yang cukup juga merupakan faktor yang penting.
B. Penyebab (Etiologi)
C. Patofisiologi
Pada umumnya uterus dibagi atas 2 bagian besar corpus uteri dans ervik uteri.
Batas keduanya disebut ishmus uteri pada rahim yang tidak hamil. Bila kehamilan
sudah kira-kira kurang lebih dari 20 minggu, dimana ukuran janin sudah lebih besar
dari ukuran kavum uteri, maka mulailan terbentuk SBR ishmus ini. Batas antara
korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran dari bandl. Lingkaran
bandl ini dianggap fisiologi bila terdapat pada 2 sampai 3 jari diatas simpisis, bila
meninggi, kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya rupture uteri
mengancam (RUM). Rupture uteri terutama disebabkan oleh peregangna yang luar
biasa dari uterus. Sedangkan uterus yang sudah cacat, mudah dimengerti, karena
adanya lokus minoris resisten. Pada waktu inpartu, korpus uteri mengadakan
kontraksi sedang SBR tetap pasif dan servik menjadi lunak (efacement dan
pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak dapat maju (obstruksi), sedang
korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat) maka SBR yang pasif ini
akan tertarik keatas, menjadi bertambah reggang dan tipis. Lingkaran bandl ikut
meninggi, sehingga sewaktu-waktu terjadi robekan pada SBR tadi. Dalam hal
terjadinya rupture uteri jangan dilupakan peranan dari anchoring apparrtus untuk
memfiksir uterus yaitu ligamentum rotunda, ligamentum sacro uterina dan jaringan
parametra.
D. MANIFESTASI
3. Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit
setelah rupture, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk kerongga
perut.
4. Pemeriksaan dalam
a. Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun kebawah, dengan mudah
dapat didorong keatas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang
agak banyak.
b. Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding
rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi maka
dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin
c. Kateterisasi hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada
kandung kemih.
d. Catatan :
1) Gejala rupture uteri incomplit tidak sehebat komplit
2) Rupture uteri yang terjadi oleh karena cacat uterus biasanya tidak
didahului oleh uteri mengancam.
3) Sangat penting untuk diingat lakukanlah selalu eksplorasi yang teliti
dan hati-hati sebagai kerja tim setelah mengerjakan sesuatu operative
delivery, misalnya sesudah versi ekstraksi, ekstraksi vakum atau forsef,
embriotomi dan lain-lain
E. Komplikasi
Komplikasi yang paling menakutkan dan dapat mengancam hidup ibu dan janin
adalah ruptura uteri. Ruptura uteri pada jaringan parut dapat dijumpai secara jelas
atau tersembunyi. Secara anatomis, ruptura uteri dibagi menjadi ruptura uteri komplit
(symptomatic rupture) dan dehisens (asymptomatic rupture). Pada ruptura uteri
komplit, terjadi diskontinuitas dinding uterus berupa robekan hingga lapisan serosa
uterus dan membran khorioamnion. Sedangkan disebut dehisens bila terjadi robekan
jaringan parut uterus tanpa robekan lapisan serosa uterus, dan tidak terjadi
perdarahan.
Ketika ruptura uteri terjadi, histerektomi, transfusi darah masif, asfiksia
neonatus, kematian ibu dan janin dapat terjadi. Tanda ruptura uteri yang paling sering
terjadi adalah pola denyut jantung janin yang tidak menjamin, dengan deselerasi
memanjang. Deselerasi lambat, variabel, bradikardi, atau denyut jantung hilang sama
sekali juga dapat terjadi. Gejala dan tanda lain termasuk nyeri uterus atau perut,
hilangnya stasion bagian terbawah janin, perdarahan pervaginam, hipotensi.
Angka ruptura uteri pada VBAC < 1 %, pada wanita yang menjalani seksio
elektif ulang tanpa persalinan masih mempunyai risiko 0,03 – 0,2 %. Dari wanita
yang menjalani VBAC, angka ruptura uteri sangat bervariasi tergantung faktor risiko
yang ada. Adapun risiko ruptura uteri adalah sebagai berikut :
Jenis parut uterus
Penutupan uterus satu lapis atau dua lapis
Jumlah SS sebelumnya
Riwayat persalinan pervaginam
Jarak kelahiran
Usia ibu
Demam pasca seksio
Ketebalan segmen bawah uterus ( SBU )
F. Pemeriksaan Penunjang
G. Penatalaksanaan
Ruptura uteri merupakan malapetaka untuk ibu maupun janin oleh karena itu
tindakan pencegahan sangat penting dilakukan setiap ibu bersalin yang disangka akan
mengalami distosia, karena kelainan letak janin, atau pernah mengalami tindakan
operatif pada uterus seperti seksio sesarea, memektomi dan lain-lain, harus diawali
dengan cermat. Hal ini perlu dilakukan agar tindakan dapat segera dilakukan jika
timbul gejala-gejala ruptura uteri membakar, sehingga ruptura uteri dicegah
terjadinya pada waktu yang tepat.
Penanganan:
Segera hubungi dokter, konsultan, ahli anestesi, dan staff kamar operasi buat dua
jalur infus intravena dengan intra kateter no 16 : satu oleh larutan elektrolit,
misalnya oleh larutan rimger laktat dan yang lain oleh tranfusi darah. ( jaga agar
jalur ini tetap tebuka dengan mengalirkan saline normal, sampai darah
didapatkan ).
Hubungi bank darah untuk kebutuhan tranfusi darah cito, perkiraan jumlah
unit dan plasma beku segar yang diperlukan
Berikan oksigen
Buatlah persiapan untuk pembedahan abdomen segera ( laparatomi dan
histerektomi )
Pada situasi yang mengkhawatirkan berikan kompresi aorta dan tambahkan
oksitosin dalam cairan intra vena.
Histerektomi dilakukan setelah janin yang berada dalam rongga perut
dikeluarkan. Penjahitan luka robekan hanya dilakukan pada kasus-kasus
khusus, dimana pinggir robekan masih segar dan rata, serta tidak terlihat
adanya tanda-tanda infeksi dan tidak terdapat jaringan yang rapuh dan
nekrosis. Histerorofi pada ibu-ibu yang sudah mempunyai cukup anak
dianjurkan untuk dilakkan pula tubektomi pada kedua tuba (primary),
sedang bagi ibu-ibu yang belum mempunyai anak atau belum merasa
lengkap keluarganya dianjurkan untuk orang pada persalinan berikutnya
untuk dilakukan seksio sesaria primer.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Seperti dikatakan sebelumnya, ruptur uteri memberi dampak negatif bagi ibu
dan bayi. Konsekuensi yang dialami bayi yang lahir pada kasus ruptur uteri adalah
hipoksia atau anoksia janin, asidosis janin (pH arteri umbilikus <7,0), perlu dirawat
di ICU, dan kematian. Sedangkan konsekuensi yang dialami ibu adalah ruptur
kandung kemih (sistotomi), perdarahan masif, syok hipovolemik, tidak akan
mempunyai anak lagi (pasca histerektomi), dan kematian.
Sistim sirkulasi darah ibu mengirim 500 ml darah tiap menit ke uterus cukup bulan.
Jadi bisa dibayangkan, berapa banyak darah yang keluar bila uterus mengalami
ruptur. Sekitar _ kasus ruptur, ibu kehilangan darah lebih dari 2000 ml sehingga
membutuhkan kurang lebih 5 unit darah. Histerektomi dilakukan pada 6-23% kasus
untuk menghentikan perdarahan. Namun, tindakan itu juga menimbulkan dilema bagi
ibu karena tidak dapat lagi memiliki anak.
Kematian ibu merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Lebih sering bila
ruptur uteri terjadi sebelum ibu mencapai rumah sakit. Secara keseluruhan, kematian
ibu sekitar 5% akibat ruptur uteri tiap tahun.
Maka dari itulah, kasus ruptur uteri bukan kasus main-main. Perlu pertim-
bangan matang untuk mengambil setiap keputusan mulai dari menegakkan diagnosis
ruptur uteri hingga tindakan operasi. Sebab bila tidak, nyawa ibu dan bayi yang akan
melayang.
B. SARAN
Saran penangan ruptur uteri :
1. Berikan segera cairan isotonik (ringer loktat atau garam fisiologis) 500 ml
dalam 15-20 menit dan siapkan laparotomi
4. Bila luka menalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkhawatirkan
lakukan histerektomi