RUPTUR UTERI
Oleh :
MANADO
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN RUPTUR UTERI. Makalah ini di
susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN III.
Dalam menyusun makalah ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai
layanan internet. Oleh karena itu, Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih
jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi untuk saya maupun untuk semuanya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Misoprostol adalah analog oral prostaglandin E1 sintetik yang saat ini semakin popular
digunakan dalam dunia obstetrika. Pemakaian paling banyak adalah untuk induksi
persalinan karena kemampuannya dalam pematangan serviks dan memacu kontraksi
miometrium juga dalam usaha pencegahan dan pengobatan perdarahan postpartum karena
efeknya yang kuat sebagai uterotonika. Selain itu dari segi ekonomi obat ini tergolong
murah dan tahan terhadap suhu tropis sehingga dapat bertahan lama. (Siswosudarmo,
2006).
Beberapa laporan kasus kejadian ruptur uteri pada wanita hamil yang diinduksi dengan
misoprostol telah dilaporkan, namun hingga saat ini belum ada penelitian-penelitian
dalam skala besar yang meneliti kejadian ruptur uteri yang berhubungan dengan induksi
misoprostol. Hofmeyr dalam cochrane database melakukan review tentang penggunaan
misoprostol oral untuk induksi persalinan, namun data kejadian ruptur uteri akibat
induksi misoprostol sangat terbatas sehingga sulit menentukan apakah penggunaan
misoprostol oral dapat meningkatkan risiko terjadinya ruptur uteri. (Hofmeyr, 2010).
Ruptur uteri di negara berkembang masih jauh lebih tinggi di bandingkan dengan di
Negara maju. Angka kejadian rupture uteri di Negara maju dilaporkan juga semakin
menurun. Sebagai contohbeberapatahunyanglalu
darisalahsatupenelitiandinegaramajudilaporkankejadian rupture uteri dari 1 dalam 1.280
persalinan (1931-1950) menjadi 1 dalam 2.250 persalinan (1973-1983). Dalam tahun
1996 kejadiannya menjadi dalam 1 dalam 15.000 persalinan. Dalam masa yang hamper
bersamaan angka tersebut untuk berbagai tempat di Indonesia dilaporkan berkisar 1
dalam 294 persalinan sampai 1 dalam 93 persalinan.
Kedaruratan serius pada rupture uteri terjadi kurang dari 1% wanita dengan parut uterus
dan potensial mengancam jiwa baik bagi ibu maupun bayi. Separuh dari semua kasus
terjadi pada ibu tanpa jaringan parut uterus, terutama pada ibu multipara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Ruptur uteri adalah robekan di dinding uterus, dapat terjadi selama periode ante
natal saat induksi, selama persalinan dan kelahiran bahkan selama stadium ke tiga
persalinan (Chapman, 2006;h.288).
Ruptur uteri adalah robekan yang dapat langsung terhubung dengan rongga
peritonium (komplet) atau mungkin di pisahkan darinya oleh peritoneum viseralis yang
menutupi uterus oleh ligamentum latum (inkomplit) (Cunningham,2005;h.217)
Ruptura uteri adalah terjadinya diskontinuitas pada dinding uterus. Perdarahan
yang terjadi dapat keluar melalui vagina atau ke intra abdomen. (Buku Saku Pelayanan
Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. 2013)
Ruptur uteri adalah pelepasan insisi yang lama di sepanjang uterus dengan
robeknya selaput ketuban sehingga kavum uteri berhubung langsung dengan kavum
peritoneum (Cunningham, 1995, P: 470 ).
B. PENYEBAB
Kematian anak mendekati 100% dan kematian ibu sekitar 30%. Secara teori robekan
rahim dapat dibagi sebagai berikut:
1. Spontan
Karena dinding rahim lemah seperti pada luka seksio sesarea, luka
enukleasi mioma, dan hipoplasia uteri. Mungkin juga karena kuretase,
pelepasan plasenta secara manual dan sepsis pascapersalinan atau pasca
abortus
Dinding rahim baik tetapi robekan terjadi karena bagian depan tidak
maju,misalnya pada panggul sempit atau kelainan letak.
Campuran
2. Violent (rudapaksa): karena trauma (kecelakaan) dan pertolongan versi dan
ekstrasi (ekspresi Kristeller)
Secara praktis pembagian robekan rahim adalah sebagai berikut:
3. Robekan spontan pada rahim yang utuh
Terjadi lebih sering pada multipara terutama pada grandemultipara
daripada primipara. Hal ini disebabkan oleh dinding rahim pada multipara
sudah lemah. Ruptur juga lebih sering terjadi pada orang yang berumur.
Penyebab yang penting adalah panggul sempit, letak lintang hidrosefalus,
tumor yang menghalangi jalan lahir dan presentasi atau dahi. Rupture
yang spontan biasanya terjadi pada kala pengeluaran tetapi ada kalanya
sudah terjadi pada kehamilan. Jika rupture terjadi pada kehamilan
biasanya terjadi pada korpus uteri sedangkan jika dalam persalinan terjadi
pada segmen bawah rahim. Ruptur uteri ada 2 macam yaitu rupture uteri
complete (jika semua lapisan dinding rahim sobek) dan rupture uteri
incomplete (jika perimetrium masih utuh)
C. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko terjadi ruptur uteri antara lain kondisi uterus, kondisi
kehamilan, kondisi persalinan, penanganan obstetrik, dan trauma.
a) Kondisi Uterus
Kondisi uterus yang dapat meningkatkan risiko ruptur uteri adalah
kondisi scarred uterus. Uterus dianggap scarred bila terdapat riwayat perlukaan
sebelumnya. Misalnya sebagai akibat sectio caesarea, miomektomi, tindakan
kuretase, atau segala penyebab perforasi uterus.
b) Kondisi Kehamilan
Kondisi kehamilan yang dapat meningkatkan risiko untuk terjadi ruptur
uteri yaitu usia maternal >35 tahun, grande multipara, plasenta akreta, inkreta, dan
perkreta, kehamilan kornual, overdistention pregnancy (misal gestasi multipel dan
polihidramnion), distosia, dan mola hidatidosa atau koriokarsinoma.
Selain daripada itu, sebuah studi kohort retrospektif menemukan bahwa interval
persalinan <18 bulan juga meningkatkan risiko ruptur uteri.
c) Kondisi Persalinan
Kondisi persalinan yang dapat meningkatkan risiko untuk terjadi ruptur
uteri yaitu pasien yang akan dilakukan vaginal birth after caesarean section
(VABC), partus lama atau terhambat, dan penggunaan uterotonika seperti
oxytocin dan misoprostol.
d) Penanganan Obstetrik
Penanganan obstetrik menggunakan instrumen seperti forceps, manipulasi
intrauterin (misalnya versi eksternal pada presentasi bokong), dan pemberian
tekanan fundal yang berlebihan dapat meningkatkan risiko ruptur uteri.
e) Trauma Uteri
Trauma terhadap uteri secara langsung dapat menyebabkan terjadinya
ruptur. Trauma uteri bisa disebabkan oleh pasien jatuh, kecelakaan lalu lintas,
luka tembak, atau trauma tumpul abdomen.
D. PATOFISIOLOGI
Pada saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dinding korpus
uteri atau SAR menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil.
Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke bawah dan ke dalam
SBR. SBR menjadi lebih lebar karena dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik ke
atas oleh kontraksi SAR yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang
membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin tidak
dapat terdorong karena sesuatu sebab yang menahannya (misalnya panggul sempit atau
kepala janin besar) maka volume korpus yang tambah mengecil pada saat his harus
diimbangi oleh perluasan SBR ke atas. Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologi
(physiologic retraction ring) semakin meninggi ke arah pusat melewati batas fisiologi
menjadi patologi (pathologic retraction ring) lingkaran patologik ini di sebut lingkaran
Bandl (ring van Bandl). SBR terus menerus tertarik ke arah proksimal, tetapi tertahan
oleh serviks dan his berlangsung kuat terus menerus tetapi bagin terbawah janin tidak
kunjung turun ke bawah melalui jalan lahir, lingkaran retraksi makin lama semakin
meninggi dan SBR semakin tertarik ke atas sembari dindingnya sangat tipis hanya
beberapa milimeter saja lagi. Ini menandakan telah terjadi ruptur imminens dan rahim
yang terancam robek pada saat his berikut berlangsung dinding SBR akan robek spontan
pada tempat yang tertipis dan terjadilah perdarahan. Jumlah perdarahan tergantung pada
luas robekan yang terjadi dan pembuluh darah yang terputus.
Ketika terjadi robekan, pasien merasa amat nyeri seperti teriris sembilu dalam
perutnya, dan his yang terakhir itu sekaligus mendorong tubuh janin. Apabila robekannya
cukup luas, tubuh janin sebagian atau seluruhnya terdorong ke luar rongga rahim dan
masuk ke rongga peritoneum. Melalui robekan tersebut, usus dan omentum terkadang
masuk ke dalamnya sehingga bisa mencapai vagina dan bisa diraba pada waktu periksa
dalam.
Ruptura uteri yang tidak sampai ikut merobek perimetrium terjadi pada bagian
rahim yang longgar hubungannya dengan peritoneum yaitu pada bagian samping dan
dekat kandung kemih. Di sini dinding serviks yang meregang karena ikut tertarik kadang-
kadang bisa ikut robek. Robekan pada bagian samping bisa sampai melukai pembuluh-
pembuluh darah besar yang terdapat di dalam ligamentum latum. Jika robekan terjadi
pada bagian dasar ligamnetum latum, arteria rahim atau cabang-cabangnya bisa terluka
disertai perdarahan yang banyak dan di dalam parametrium di pihak yang robek, akan
terbentuk hematoma yang besar dan menimbulkan syok yang sering kali fatal. Batas
antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran Bandl. Lingkaran
Bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat 2-3 jari di atas simphysis, Bila meninggi maka
kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya rahim uteri mengancam.
Ruptur uteri terutama disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari uterus.
Sedangkan kalau uterus telah cacat, mudah dimengerti karena adanya lokus minoris
resistans
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala mengancam
a) Lingkaran retraksi patologis/lingkaran Bandl yang tinggi, mendekati pusat
dan naik uterus.
b) Kontraksi rahim kuat dan terus-menerus.
c) Penderita gelisah, nyeri di perut bagian bawah, juga di luar his.
d) Pada palpasi segmen bawah rahim terasa nyeri (di atas simpisis).
e) Ligamentum rotundum tegang, juga di luar his.
f) Bunyi jantung anak biasanya tidak ada atau tidak baik karena anak
mengalami hipoksia, yang disebabkan kontraksi dan retraksi rahim yang
berlebihan.
g) Air kencing mengandung darah (karena kandung kencing teregang atau
tertekan).
2. Tanda dan gejala lanjutan Menurut (Varney,2001;h.243-244) Dapat terjadi
dramatis atau tenang.
Dramatis
1) Nyeri tajam, yang sangat pada abdomen bawah saat kontraksi hebat
memuncak.
2) Penghentian kontraksi uterus disertai hilangnya rasa nyeri.
3) Perdarahan vagina (dalam jumlah sedikit atau hemoragi).
4) Tanda dan gejala syok : denyut nadi meningkat (cepat dan terus menerus):
tekanan darah menurun : pucat, dingin,kulit berkeringat,gelisah, atau
adanya perasaaan bahwa akan segera menjelang ajal atau meninggal, sesak
(napas pendek), ketidakberdayaan, dan gangguan penglihatan
5) Temuan pada palpasi abdomen tidak sama dengan temuan terdahulu.
6) Bagian presentasi dapat di gerakkan di atas rongga panggul
7) Gerakan janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun menjadi tidak
ada gerakan dan Denyut Jantung Janin sama sekali tidak terdengar atau
masih dapat di dengar.
8) Lingkar uterus dan kepadatannya (kontraksi) dapat di rasakan di samping
janin(janin seperti berada diluar uterus).
Tenang
F. KOMPLIKASI
1. Gawat janin
2. Syok hipovolemik
Terjadi kerena perdarahan yang hebat dan pasien tidak segera mendapat infus
cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu cepat digantikan
dengan tranfusi darah.
3. Sepsis
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri telah
terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi
termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan yang demikian pasien
tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan
menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah.
4. Kecacatan dan morbiditas.
a) Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus belum punya
anak hidup akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan
mendalam.
b) Kematian maternal /perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupakan
komplikasi sosial yang sulit mengatasinya.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laparoscopy : untuk menyikapi adanya endometriosis atau kelainan bentuk
panggul / pelvis.
2. Pemeriksaan laboratorium.
3. Hapusan darah : HB dan hematokrit untuk mengetahui batas darah HB dan nilai
hematikrit untuk menjelaskan banyaknya kehilangan darah. HB < 7 g/dl atau
hematokrit < 20% dinyatakan anemia berat.
4. SDM : untuk mengidentifikasikan tipe anemia.
5. Urinalisis : hematuria menunjukan adanya perlukaan kandung kemih.
6. Tes prenatal : untuk memastikan polihidramnion dan janin besar.
H. PENATALAKSANAAN
Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan umum penderita
dengan pemberian infus cairan dan transfusi darah, kardiotonika, antibiotika,dll. Bila
keadaan umum mulai membaik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi
dengan tindakan jenis operasi :
1. Histerektomi, baik total maupun subtotal. Histerektomi total dilakukan khususnya
bila garis robekan longitudinal. Tindakan histerektomi lebih menguntungkan dari
penjahitan laserasi.
2. Histerorafia, yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-baiknya.
3. Konservatif, hanya dengan tamponade dan pemberian antibiotik yang cukup.
Tindakan mana yang akan dipilih, tergantung pada beberapa faktro antar lain:
1. Pengkajian
1. Identitas
Sering terjadi pada ibu yang berusia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun.
2. Keluhan utama
Perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, keluar keringat dingin, kesulitan
bernafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan
Riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklamsi/eklamsia, bayi besar, perdarahan
saat hamil, persalinan dengan tindakan, robekan jalan lahir.
4. Riwayat kesehatan
Kelainan darah dan hipertensi.
5. Pengkajian fisik
Tanda vital:
Tekanan darah : Normal atau turun ( < 90-100mmHg )
Nadi : Normal atau meningkat (100 – 120 kali per
menit)
Pernafasan : Normal atau meningkat ( 28 – 34 kali per
menit )
Suhu : Normal atau meningkat
Kesadaran : Normal atau turun
Fundus uteri / abdomen : Lembek atau keras
Kulit : Dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat
Vagina : Keluar darah, robekan
Kandung kemih : Produksi urin menurun atau berkurang
2. Analisa Data
1. DS:
Pasien mengatakan banyak Perdarahan pada vagina Syok Hipovolemik
keluar darah secara tiba-tiba Darah menuju ke perifer
disertai nyeri yang hebat Tekanan darah menurun
DO:
perdarahan pada vagina
tekanan darah menurun
anemis
kulit pasien terasa
dingin, pucat
2. DS:
pasien mengeluh pusing Robekan uterus meluas Nyeri Akut
pengkajian nyeri pasien: Kontraksi
terdapat robekan uterus Nyeri pada abdomen
(p), nyeri yang dirasakan
seperti ditusuk (q), nyeri
berada diseluruh
abdomen (r), skala nyeri
biasanya sudah tidak
bisa terkontrol (s), nyeri
bertambah hebat jika ada
kontraksi (t)
DO:
pendarahan pada vagina
3. Diagnosa Keperawatan
1. Syok hipovolemik b.d perdarahan pada vagina
2. Nyeri akut b.d pusing dan lemas, nyeri abdomen
3. Pola nafas Tidak efektif b.d sesak
4. Intervensi Keperawatan
Dengan
Terapeutik: mengetahui intake
Hitung kebutuhan cairan dan output cairan
Berikan posisi modified diketahui
trendelenburg keseimbangan
Berikan asupan cairan cairan dalam
oral tubuh
Edukasi:
Anjurkan
memperbanyakan Mengganti
asupan cairan oral volume cairan
Anjurkan menghindari tubuh yang hilang.
perubahan posisi
mendadak
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian
cairan IV isotons (mis,
Nacl, RL) Minum yang
Kolaborasi pemberian sering dapat
cairan IV hipotonis (mis, menambah
glukosa 2,5%, Nacl pemasukan cairan
0,4%) melalui oral.
Kolaborasi pemberian
cairan koloid (mis,
albumin, plasmanate)
Kolaborasi pemberian
produk darah
Pemberian cairan
infus dapat
mengganti jumlah
cairan elektrolit
yang terbuang,
sehingga dapat
mencegah
keadaan yang
lebih buruk pada
ibu.
2. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Observasi
Pusing dan lemas, tindakan selama
nyeri abdomen 1x24 jam diharapkan Identifikasi lokal,
kebutuhan rasa karakteristik, durasi, Membantu dalam
nyaman frekuensi, kualitas, mendiagnosa dan
terpenuhi/nyeri intensitas nyeri. memilih tindakan
berkurang Identifikasi nyeri.
Identifikasi respon nyeri
Kriteria hasil: non verbal
a. Skala nyeri (0-3) Identifikasi faktor yang
dari (1-10) memperberat dan
b. TTV normal (T: memperingan nyeri.
120/80 Monitor efek samping
mmHg,RR : penggunaan analgetik.
20x/menit, S :
37.5 C, Nadi 80- Terapeutik
100 x/menit)
c. Klien tampak Berikan teknik non-
rileks farmakologis untuk
d. Kemajuan mengurangi rasa nyeri
persalinan baik (mis. Tarik napas dalam,
kompres hangat/dingin).
Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
Fasilitasi istirahat dan
tidur.
Pertimbangkan jenis dan Teknik relaksasi
sumber nyeri dalam dapat membuat
pemilihan strategi klien merasa
meredahkan nyeri. sedikit merasa
lebih nyaman dan
Edukasi distraksi dapat
mengalihkan
Jelaskan penyebab, perhatian klien
periode, dan pemicu terhadap nyeri
nyeri. sehingga dapat
Jelaskan strategi membantu
meredahkan nyeri. mengurangi nyeri
Anjurkan memonitor yang dirasakan.
nyeri secara mandiri.
Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat.
Anjurkan teknik non-
farmakologis untuk
mengurangi nyeri.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu
Posisi yang
nyaman dapat
menghindari
penekanan pada
area yang nyeri.
Kolaborasi
pemberian
analgetik
Pemberian
narkotik, sedative,
analgesik dapat
mengurangi nyeri
hebat.
3. Pola nafas Tidak Setelah dilakukan Manajemen jalan napas
efektif b.d sesak tindakan selama Observasi
1x24 jam diharapkan Monitor pola napas
klien dapat Monitor bunyi napas Mengumpulkan
menunjukkan dan menganalisis
Monitor sputum
pernapasan optimal data pasien untuk
pada saat terpasang Terapeutik memastikan
ventiklator mekanis Pertahankan kepatenan kepatenan jalan
jalan napas napas dan
Kriteria Hasil : pertukaran gas
Posisikan semi-fowler
Tingkat suhu, nadi, yang adekuat
Berikan minum hangat
pernapasan, dan
Lakukan fisioterapi Memfasilitasi
tekanan darah pasien
dada kepatenan jalan
dalam rentang
Lakukan penghisapan napas
normal
lendir
Lakukan Merelaksasi dan
hiperoksigenasi menenangkan
Keluarkan sumbatan pasien
forsep
Berikan oksigen jika
perlu
Mengoptimalkan
Edukasi pernafasan pasien
Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari
Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator
Mengatasi
kesulitan bernafas
dan meningkatkan
aliran udara
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ruptur uteri adalah robekan yang dapat langsung terhubung dengan rongga
peritonium (komplet) atau mungkin di pisahkan darinya oleh peritoneum viseralis yang
menutupi uterus oleh ligamentum latum (inkomplit) (Cunningham,2005;h.217)
Faktor Predisposisi lainnya yang dapat mengakibatkan Rupture Uteri yaitu :
Multiparitas / grandemultipara, Pemakaian oksitosin untuk induksi/stimulasi persalinan
yang tidak tepat , Kelainan letak dan implantasi, plasenta contoh pada plasenta akreta,
plasenta inkreta/plasenta perkreta, Kelainan bentuk uterus umpamanya uterus bikornis,
Hidramnion.
B. Saran
Pada penanganan Ruptur uteri tersebut di harapkan terutama dalam pencegahan
terhadap infeksi . Bila terdapat tanda-tanda infeksi segera berikan antibiotika spektrum
luas. Bila terdapat tanda-tanda trauma alat genetalia/luka yang kotor, tanyakan saat
terakhir mendapat tetanus toksoid. Bila hasil anamnesis tidak dapat memastikan
perlindungan terhadap tetanus, berikan serum anti tetanus 1500 IU/IM dan TT 0,5 ml
IM .
DAFTAR PUSTAKA
Cuningham , Gary et.all, 2005. Obstetri Williams Edisi 21. EGC. Jakarta.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Edisi 1.
WHO, 2013
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.
Jakarta : ECG, 2006
Wilkinson, Judith M. And R. Ahern, Nancy. 2013. Buku Saku Diagnosa Keperawatan
NANDA. Edisi 9. Jakarta : ECG, 2011
Varney, Helen dkk. 2001. Buku ajar asuhan kebidanan. Jakarta : EGC
JURNAL TERKAIT
ABSTRAK
Pendahuluan: Ruptur uteri adalah komplikasi peripartum yang jarang terjadi pada sekitar
7/10000 individu, tetapi angka kejadian penyakit ini meningkat menjadi 20-80/10.000 pada ibu
dengan defek pada uterus dan sebagian besar sebagai akibat dari riwayat operasi caesar
sebelumnya.
Laporan kasus: Laporan ini menunjukkan pasien perempuan usia 31 tahun dengan usia
kehamilan 37-38 minggu disertai perdarahan pervaginam dan intrauterine death. Penanganan
diberikan untuk menekan progresifitas dari penyakit, menangani komplikasi dan mencegah
komplikasi lainnya.
Kesimpulan: Ruptur uteri adalah robekan pada lapisan miometrium dan bisa menyebar hingga
ke lapisan visceral peritoneum. Menegakkan diagnosis rupture uteri ditinjau dari anamnesis,
gambaran klinis yang dialami, pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan
penunjang. Penatalaksanaan dari ruptur uteri adalah perbaiki keadaan umum, atasi syok
dengan pemberian cairan dan darah, berikan antibiotika, oksigen. Tindakan bedah dapat
dilakukan laparatomi seperti histerektomi dan histerorafi.