Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

RUPTUR UTERI

Oleh :

Orlando Solambela 19142010068


Jeria mangole 19142010089
Veronika rany 19142010065
Futwembun

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA

MANADO
2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN RUPTUR UTERI. Makalah ini di
susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN III.

Dalam menyusun makalah ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai
layanan internet. Oleh karena itu, Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih
jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi untuk saya maupun untuk semuanya.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Misoprostol adalah analog oral prostaglandin E1 sintetik yang saat ini semakin popular
digunakan dalam dunia obstetrika. Pemakaian paling banyak adalah untuk induksi
persalinan karena kemampuannya dalam pematangan serviks dan memacu kontraksi
miometrium juga dalam usaha pencegahan dan pengobatan perdarahan postpartum karena
efeknya yang kuat sebagai uterotonika. Selain itu dari segi ekonomi obat ini tergolong
murah dan tahan terhadap suhu tropis sehingga dapat bertahan lama. (Siswosudarmo,
2006).

Hiperstimulasi adalah adalah salah satu komplikasi penggunaan misoprostol dalam


kehamilan yang dapat menyebabkan terjadinya ruptur uteri. Ruptur uteri merupakan
kondisi kegawatdaruratan obstetrik yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin
oleh karena risiko terjadinya kematian maternal dan perinatal yang tinggi, namun karena
tanda dan gejala ruptur uteri yang tidak khas membuat diagnosis ruptur uteri seringkali
terlambat sehingga penanganannnya juga terlambat.

Beberapa laporan kasus kejadian ruptur uteri pada wanita hamil yang diinduksi dengan
misoprostol telah dilaporkan, namun hingga saat ini belum ada penelitian-penelitian
dalam skala besar yang meneliti kejadian ruptur uteri yang berhubungan dengan induksi
misoprostol. Hofmeyr dalam cochrane database melakukan review tentang penggunaan
misoprostol oral untuk induksi persalinan, namun data kejadian ruptur uteri akibat
induksi misoprostol sangat terbatas sehingga sulit menentukan apakah penggunaan
misoprostol oral dapat meningkatkan risiko terjadinya ruptur uteri. (Hofmeyr, 2010).

Ruptur uteri di negara berkembang masih jauh lebih tinggi di bandingkan dengan di
Negara maju. Angka kejadian rupture uteri di Negara maju dilaporkan juga semakin
menurun. Sebagai contohbeberapatahunyanglalu
darisalahsatupenelitiandinegaramajudilaporkankejadian rupture uteri dari 1 dalam 1.280
persalinan (1931-1950) menjadi 1 dalam 2.250 persalinan (1973-1983). Dalam tahun
1996 kejadiannya menjadi dalam 1 dalam 15.000 persalinan. Dalam masa yang hamper
bersamaan angka tersebut untuk berbagai tempat di Indonesia dilaporkan berkisar 1
dalam 294 persalinan sampai 1 dalam 93 persalinan.
Kedaruratan serius pada rupture uteri terjadi kurang dari 1% wanita dengan parut uterus
dan potensial mengancam jiwa baik bagi ibu maupun bayi. Separuh dari semua kasus
terjadi pada ibu tanpa jaringan parut uterus, terutama pada ibu multipara.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Ruptur uteri adalah robekan di dinding uterus, dapat terjadi selama periode ante
natal saat induksi, selama persalinan dan kelahiran bahkan selama stadium ke tiga
persalinan (Chapman, 2006;h.288).
Ruptur uteri adalah robekan yang dapat langsung terhubung dengan rongga
peritonium (komplet) atau mungkin di pisahkan darinya oleh peritoneum viseralis yang
menutupi uterus oleh ligamentum latum (inkomplit) (Cunningham,2005;h.217)
Ruptura uteri adalah terjadinya diskontinuitas pada dinding uterus. Perdarahan
yang terjadi dapat keluar melalui vagina atau ke intra abdomen. (Buku Saku Pelayanan
Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. 2013)
Ruptur uteri adalah pelepasan insisi yang lama di sepanjang uterus dengan
robeknya selaput ketuban sehingga kavum uteri berhubung langsung dengan kavum
peritoneum (Cunningham, 1995, P: 470 ).

B. PENYEBAB
Kematian anak mendekati 100% dan kematian ibu sekitar 30%. Secara teori robekan
rahim dapat dibagi sebagai berikut:
1. Spontan
 Karena dinding rahim lemah seperti pada luka seksio sesarea, luka
enukleasi mioma, dan hipoplasia uteri. Mungkin juga karena kuretase,
pelepasan plasenta secara manual dan sepsis pascapersalinan atau pasca
abortus
 Dinding rahim baik tetapi robekan terjadi karena bagian depan tidak
maju,misalnya pada panggul sempit atau kelainan letak.
 Campuran
2. Violent (rudapaksa): karena trauma (kecelakaan) dan pertolongan versi dan
ekstrasi (ekspresi Kristeller)
 Secara praktis pembagian robekan rahim adalah sebagai berikut:
3. Robekan spontan pada rahim yang utuh
 Terjadi lebih sering pada multipara terutama pada grandemultipara
daripada primipara. Hal ini disebabkan oleh dinding rahim pada multipara
sudah lemah. Ruptur juga lebih sering terjadi pada orang yang berumur.
Penyebab yang penting adalah panggul sempit, letak lintang hidrosefalus,
tumor yang menghalangi jalan lahir dan presentasi atau dahi. Rupture
yang spontan biasanya terjadi pada kala pengeluaran tetapi ada kalanya
sudah terjadi pada kehamilan. Jika rupture terjadi pada kehamilan
biasanya terjadi pada korpus uteri sedangkan jika dalam persalinan terjadi
pada segmen bawah rahim. Ruptur uteri ada 2 macam yaitu rupture uteri
complete (jika semua lapisan dinding rahim sobek) dan rupture uteri
incomplete (jika perimetrium masih utuh)

Sebelum terjadinya rupture biasanya ada tanda-tanda pendahuluan yang


terkenal dengan istilah gejala-gejala ancaman robekan rahim yaitu:

 Lingkaran retraksi patologis/ lingkaran Bndle yang tinggi


mendekati pusat dan naik terus
 Kontraksi rahim kuat dan terus menerus
 Penderita gelisah, nyeri di perut bagian bawah juga diluar HIS
 Pada palpasi segmen bawah rahim terasa nyeri (di atas simfisis)
 Ligamentum rotundum tegang juga diluar HIS
 Bunyi jantung anak biasanya tidak ada atau tidak baik karena anak
mengalami asfiksia yang disebabkan kontraksi dan retraksi rahim
yang berlebihan.
 Air kencing mengandung darah karena kandung kencing teregang
atau tertekan

 Jika keadaan ini berlanjut terjadilah rupture uteri. Gejala-gejala rupture


uteri adalah:
 Sewaktu kontraksi yang kuat pasien tiba-tiba merasa nyeri yang
menyayat dibagian bawah
 Segmen bawah rahim nyeri sekali pada saat dilakukan palpasi
 HIS berhenti/ hilang
 Ada perdarahan pervaginam walaupun biasanya tidak banyak
 Bagian-bagian anak mudah diraba jika anak masuk ke dalam
rongga perut
 Kadang-kadang disamping anak teraba tumor yaitu rahim yang
telah mengecil
 Pada pemeriksaan dalam ternyata bagian depan mudah ditolak ke
atas bahkan terkadang tidak teraba lagi karena masuk ke rongga
perut
 Bunyi jantung anak tidak ada/tidak didengar
 Biasanya pasien jatuh dalam syok
 Jika sudah lama terjadi seluruh perut nyeri dan kembung
 Adanya kencing berdarah
 Adapun diagnose banding dari rupture uteri adalah solusio plasenta dan
kehamilan abdominal
a) Robekan violent
Dapat terjadi karena kecelakaan akan tetapi lebih sering
disebabkan versi dan ekstrasi. Kadang-kadang disebabkan oleh dekapitasi
versi secara baxton hicks, ektrasi bokong atau forcep yang sulit. Oleh
karena itu sebaiknya setiap versi dan ekstrasi dan operasi kebidanan
lainnya yang sulit dilakukan eksplorasi kavum uteri.
b) Robekan bekas luka seksio
Rupture uteri karena bekas seksio makin sering terjadi dengan
meningkatnya tindakan SC. Rupture uteri semacam ini lebih sering terjadi
pada luka bekas SC yang klasik dibandingkan dengan luka SC profunda.
Rupture uteri ini sering sukar didiagnosis. Tidak ada gejala-gejala yang
khas mungkin hanya perdarahan yang lebih dari perdarahan pembukaan
atau ada perasaan nyeri pada daerah bekas luka. (unpad.2003).

C. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko terjadi ruptur uteri antara lain kondisi uterus, kondisi
kehamilan, kondisi persalinan, penanganan obstetrik, dan trauma.
a) Kondisi Uterus
Kondisi uterus yang dapat meningkatkan risiko ruptur uteri adalah
kondisi scarred uterus. Uterus dianggap scarred bila terdapat riwayat perlukaan
sebelumnya. Misalnya sebagai akibat sectio caesarea, miomektomi, tindakan
kuretase, atau segala penyebab perforasi uterus.
b) Kondisi Kehamilan
Kondisi kehamilan yang dapat meningkatkan risiko untuk terjadi ruptur
uteri yaitu usia maternal >35 tahun, grande multipara, plasenta akreta, inkreta, dan
perkreta, kehamilan kornual, overdistention pregnancy (misal gestasi multipel dan
polihidramnion), distosia, dan mola hidatidosa atau koriokarsinoma.
Selain daripada itu, sebuah studi kohort retrospektif menemukan bahwa interval
persalinan <18 bulan juga meningkatkan risiko ruptur uteri.
c) Kondisi Persalinan
Kondisi persalinan yang dapat meningkatkan risiko untuk terjadi ruptur
uteri yaitu pasien yang akan dilakukan vaginal birth after caesarean section
(VABC), partus lama atau terhambat, dan penggunaan uterotonika seperti
oxytocin dan misoprostol.
d) Penanganan Obstetrik
Penanganan obstetrik menggunakan instrumen seperti forceps, manipulasi
intrauterin (misalnya versi eksternal pada presentasi bokong), dan pemberian
tekanan fundal yang berlebihan dapat meningkatkan risiko ruptur uteri.
e) Trauma Uteri
Trauma terhadap uteri secara langsung dapat menyebabkan terjadinya
ruptur. Trauma uteri bisa disebabkan oleh pasien jatuh, kecelakaan lalu lintas,
luka tembak, atau trauma tumpul abdomen.

D. PATOFISIOLOGI
Pada saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dinding korpus
uteri atau SAR menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil.
Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke bawah dan ke dalam
SBR. SBR menjadi lebih lebar karena dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik ke
atas oleh kontraksi SAR yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang
membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin tidak
dapat terdorong karena sesuatu sebab yang menahannya (misalnya panggul sempit atau
kepala janin besar) maka volume korpus yang tambah mengecil pada saat his harus
diimbangi oleh perluasan SBR ke atas. Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologi
(physiologic retraction ring) semakin meninggi ke arah pusat melewati batas fisiologi
menjadi patologi (pathologic retraction ring) lingkaran patologik ini di sebut lingkaran
Bandl (ring van Bandl). SBR terus menerus tertarik ke arah proksimal, tetapi tertahan
oleh serviks dan his berlangsung kuat terus menerus tetapi bagin terbawah janin tidak
kunjung turun ke bawah melalui jalan lahir, lingkaran retraksi makin lama semakin
meninggi dan SBR semakin tertarik ke atas sembari dindingnya sangat tipis hanya
beberapa milimeter saja lagi. Ini menandakan telah terjadi ruptur imminens dan rahim
yang terancam robek pada saat his berikut berlangsung dinding SBR akan robek spontan
pada tempat yang tertipis dan terjadilah perdarahan. Jumlah perdarahan tergantung pada
luas robekan yang terjadi dan pembuluh darah yang terputus.
Ketika terjadi robekan, pasien merasa amat nyeri seperti teriris sembilu dalam
perutnya, dan his yang terakhir itu sekaligus mendorong tubuh janin. Apabila robekannya
cukup luas, tubuh janin sebagian atau seluruhnya terdorong ke luar rongga rahim dan
masuk ke rongga peritoneum. Melalui robekan tersebut, usus dan omentum terkadang
masuk ke dalamnya sehingga bisa mencapai vagina dan bisa diraba pada waktu periksa
dalam.
Ruptura uteri yang tidak sampai ikut merobek perimetrium terjadi pada bagian
rahim yang longgar hubungannya dengan peritoneum yaitu pada bagian samping dan
dekat kandung kemih. Di sini dinding serviks yang meregang karena ikut tertarik kadang-
kadang bisa ikut robek. Robekan pada bagian samping bisa sampai melukai pembuluh-
pembuluh darah besar yang terdapat di dalam ligamentum latum. Jika robekan terjadi
pada bagian dasar ligamnetum latum, arteria rahim atau cabang-cabangnya bisa terluka
disertai perdarahan yang banyak dan di dalam parametrium di pihak yang robek, akan
terbentuk hematoma yang besar dan menimbulkan syok yang sering kali fatal. Batas
antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran Bandl. Lingkaran
Bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat 2-3 jari di atas simphysis, Bila meninggi maka
kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya rahim uteri mengancam.
Ruptur uteri terutama disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari uterus.
Sedangkan kalau uterus telah cacat, mudah dimengerti karena adanya lokus minoris
resistans

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala mengancam
a) Lingkaran retraksi patologis/lingkaran Bandl yang tinggi, mendekati pusat
dan naik uterus.
b) Kontraksi rahim kuat dan terus-menerus.
c) Penderita gelisah, nyeri di perut bagian bawah, juga di luar his.
d) Pada palpasi segmen bawah rahim terasa nyeri (di atas simpisis).
e) Ligamentum rotundum tegang, juga di luar his.
f) Bunyi jantung anak biasanya tidak ada atau tidak baik karena anak
mengalami hipoksia, yang disebabkan kontraksi dan retraksi rahim yang
berlebihan.
g) Air kencing mengandung darah (karena kandung kencing teregang atau
tertekan).
2. Tanda dan gejala lanjutan Menurut (Varney,2001;h.243-244) Dapat terjadi
dramatis atau tenang.
Dramatis
1) Nyeri tajam, yang sangat pada abdomen bawah saat kontraksi hebat
memuncak.
2) Penghentian kontraksi uterus disertai hilangnya rasa nyeri.
3) Perdarahan vagina (dalam jumlah sedikit atau hemoragi).
4) Tanda dan gejala syok : denyut nadi meningkat (cepat dan terus menerus):
tekanan darah menurun : pucat, dingin,kulit berkeringat,gelisah, atau
adanya perasaaan bahwa akan segera menjelang ajal atau meninggal, sesak
(napas pendek), ketidakberdayaan, dan gangguan penglihatan
5) Temuan pada palpasi abdomen tidak sama dengan temuan terdahulu.
6) Bagian presentasi dapat di gerakkan di atas rongga panggul
7) Gerakan janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun menjadi tidak
ada gerakan dan Denyut Jantung Janin sama sekali tidak terdengar atau
masih dapat di dengar.
8) Lingkar uterus dan kepadatannya (kontraksi) dapat di rasakan di samping
janin(janin seperti berada diluar uterus).

Tenang

1) Kemungkinan menjadi muntah.


2) Nyeri tekan meningkat di seluruh abdomen.
3) Nyeri berat pada suprapubis.
4) Kontraksi uterus hipotonik.
5) Perkembangan persalinan menurun.
6) Perasaan ingin pingsan.
7) Hematuri (kadang-kadang)
8) Perdarahan pervagina (kadang-kadang)
9) Tanda-tanda syok progresif di temukan dalam hilangnya darah disertai
denyut nadi yang cepat dan pucat.
10) Kontraksi dapat berlanjut tanpa menimbulkan efek pada servik;atau
kontraksi tidak dapat dirasakan.
11) DJJ mungkin akan hilang.

F. KOMPLIKASI
1. Gawat janin
2. Syok hipovolemik
Terjadi kerena perdarahan yang hebat dan pasien tidak segera mendapat infus
cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu cepat digantikan
dengan tranfusi darah.
3. Sepsis
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri telah
terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi
termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan yang demikian pasien
tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan
menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah.
4. Kecacatan dan morbiditas.
a) Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus belum punya
anak hidup akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan
mendalam.
b) Kematian maternal /perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupakan
komplikasi sosial yang sulit mengatasinya.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laparoscopy : untuk menyikapi adanya endometriosis atau kelainan bentuk
panggul / pelvis.
2. Pemeriksaan laboratorium.
3. Hapusan darah : HB dan hematokrit untuk mengetahui batas darah HB dan nilai
hematikrit untuk menjelaskan banyaknya kehilangan darah. HB < 7 g/dl atau
hematokrit < 20% dinyatakan anemia berat.
4. SDM : untuk mengidentifikasikan tipe anemia.
5. Urinalisis : hematuria menunjukan adanya perlukaan kandung kemih.
6. Tes prenatal : untuk memastikan polihidramnion dan janin besar.

H. PENATALAKSANAAN
Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan umum penderita
dengan pemberian infus cairan dan transfusi darah, kardiotonika, antibiotika,dll. Bila
keadaan umum mulai membaik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi
dengan tindakan jenis operasi :
1. Histerektomi, baik total maupun subtotal. Histerektomi total dilakukan khususnya
bila garis robekan longitudinal. Tindakan histerektomi lebih menguntungkan dari
penjahitan laserasi.
2. Histerorafia, yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-baiknya.
3. Konservatif, hanya dengan tamponade dan pemberian antibiotik yang cukup.

Tindakan mana yang akan dipilih, tergantung pada beberapa faktro antar lain:

 Keadaan umum penderita (syok dan sangat anemis).


 Jenis ruptur, inkompleta, atau kompleta
 Jenis luka robekan.
 Tempat luka apakah pada serviks, korpus atau segmen bawah rahim.
 Pendarahan dari luka sedikit atau banyak.
 Umur dan jumlah anak yang hidup.
 Kemampuan dan keterampilan penolong.

Berikut langkah- langkah perbaikan robekan dinding uterus

 Kaji ulang indikasi.


 Kaji ulang prinsip-prinsip pembedahan dan pasang infus.
 Berikan antibiotika dosis tunggal:
 Ampisilin 2 g IV
 ATAU sefazolin 2 g IV
 Buka perut:
 Lakukan insisi vertikal pada linea alba dari umbilikus sampai pubis.
 Lakukan insisi vertikal 2-3 cm pada fasia, lanjutkan insisi ke atas dan ke
bawah dengan gunting.
 Pisahkan muskulus rektus abdominis kiri dan kanan dengan tangan atau
gunting.
 Buka peritoneum dekat umbilikus dengan tangan. Jaga agar jangan
melukai kandung kemih.
 Periksa rongga abdomen dan robekan uterus dan keluarkan darah beku.
 Pasang retraktor kandung kemih.
 Lahirkan bayi dan plasenta.
 Berikan oksitosin 10 unit dalam 500 mL NaCl/Ringer laktat dimulai dari  60
tetes/menit sampai uterus berkontraksi, lalu diturunkan menjadi 20 tetes/menit
setelah kontraksi uterus membaik.
 Angkat uterus untuk melihat seluruh luka uterus.
 Periksa bagian depan dan belakang uterus.
 Klem perdarahan dengan forsep cincin.
 Pisahkan kandung kemih dari segmen bawah rahim uterus secara tumpul atau
tajam.
 Lakukan penjahitan robekan uterus.
A. Robekan Mencapai Serviks dan Vagina
a) Jika ada robekan ke serviks dan vagina, dorong vesika urinaria ke bawah, 2 cm
lateral dari robekan.
b) Jika mungkin buatlah jahitan 1 cm di bawah robekan serviks.
B. Robekan Ke Lateral Mencapai Vasa Uterina
a) Buatlah jahitan hemostasis.
b) Identifikasi ureter sebelum menjahit.
C. Robekan dengan Hematoma pada Ligamentum Kardinal
1) Buatlah hemostasis (jahit dan jepit).
2) Buka lembar depan ligamentum kardinal.
3) Berikan drain karet jika perlu.
4) Buat jahitan hemostasis pada arteri uterina.
5) Jahit luka secara jelujur dengan catgut kromik nomor 0. Jika perdarahan
a. masih terus berlangsung atau robekan pada insisi terdahulu, lakukan
b. jahitan lapis kedua.
c. PERHATIKAN: Ureter harus dapat diidentifikasi agar tindakan tidak melukai
ureter.
6) Jika ibu menginginkan sterilisasi tuba, lakukan pada saat operasi ini
7) Jika luka terlalu luas dan sulit diperbaiki, lakukan histerektomi.
8) Kontrol perdarahan dengan klem arteri dan ikat. Jika perdarahan dalam, ikat
secara angka 8.
9) Pasang drain abdomen.
10) Yakinkan tidak ada perdarahan. Keluarkan darah beku dengan kasa bertangkai. 1
11) Periksa laserasi kandung kemih. Lakukan reparasi jika ada laserasi.
12) Tutup fasia dengan jahitan jelujur dengan catgut kromik 0 atau poliglikolik. Plika
dan peritoneum tidak perlu ditutup.
13) Jika ada tanda-tanda infeksi, letakkan kain kasa pada subkutan dan jahit dengan
benang catgut secara longgar. Kulit dijahit setelah infeksi hilang.
14) Jika tidak ada tanda-tanda infeksi, tutup kulit dengan jahitan matras
15) vertikal memakai nilon 3-0 atau sutera.
16) Tutup luka dengan pembalut steril.
17) Untuk menjahit luka kandung kemih, klem kedua ujung luka dan rentangkan.
Periksa sampai di mana robekan/luka kandung kemih.
18) Tentukan apakah luka dekat trigonum (daerah uretra atau ureter).
19) Bebaskan kandung kemih dari segmen bawah rahim secara tajam atau tumpul.
20) Bebaskan 2 cm sekeliling luka kandung kemih.
21) Lakukan penjahitan dengan catgut kromik 3-0 sebanyak 2 lapis:
 Lapisan pertama menjahit mukosa dan otot
 Lapisan kedua menutupi lapisan pertama dengan luka melipat ke dalam
 Yakinkan jahitan tidak mengenai daerah trigonum
22) Tes kemungkinan bocor:
 Isikan kandung kemih dengan larutan garam atau air yang steril melalui
kateter
 Jika bocor buka jahitan dan jahit kembali, kemudian tes ulang
23) Jika ada kemungkinan luka pada uretra atau ureter, konsultasikan pasien untuk
pemeriksaan pielogram
24) Pasang kateter selama 7 hari sampai urin jernih
25) Selama ibu dirawat, jika ada tanda-tanda infeksi atau demam, berikan kombinasi
antibiotika sampai ibu bebas demam selama 48 jam:
 Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam
 DAN Gentamisin IV 5 g/kgBB setiap 8 jam
 DAN Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
26) Berikan analgetika yang cukup
27) Jika tidak ada tanda infeksi, cabut drain setelah 48 jam
28) )JIka tidak dilakukan tubektomi pada reparasi uterus, berikan kontrasepsi lain
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN RUPTUR UTERI

1. Pengkajian
1. Identitas
Sering terjadi pada ibu yang berusia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun.
2. Keluhan utama
Perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, keluar keringat dingin, kesulitan
bernafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan
Riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklamsi/eklamsia, bayi besar, perdarahan
saat hamil, persalinan dengan tindakan, robekan jalan lahir.
4. Riwayat kesehatan
Kelainan darah dan hipertensi.
5. Pengkajian fisik
Tanda vital:
 Tekanan darah : Normal atau turun ( < 90-100mmHg )
 Nadi : Normal atau meningkat (100 – 120 kali per
menit)
 Pernafasan : Normal atau meningkat ( 28 – 34 kali per
menit )
 Suhu : Normal atau meningkat
 Kesadaran : Normal atau turun
 Fundus uteri / abdomen : Lembek atau keras
 Kulit : Dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat
 Vagina : Keluar darah, robekan
 Kandung kemih : Produksi urin menurun atau berkurang

2. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah

1. DS:
Pasien mengatakan banyak Perdarahan pada vagina Syok Hipovolemik
keluar darah secara tiba-tiba Darah menuju ke perifer
disertai nyeri yang hebat Tekanan darah menurun

DO:
 perdarahan pada vagina
 tekanan darah menurun
 anemis
 kulit pasien terasa
dingin, pucat
2. DS:
 pasien mengeluh pusing Robekan uterus meluas Nyeri Akut
 pengkajian nyeri pasien: Kontraksi
terdapat robekan uterus Nyeri pada abdomen
(p), nyeri yang dirasakan
seperti ditusuk (q), nyeri
berada diseluruh
abdomen (r), skala nyeri
biasanya sudah tidak
bisa terkontrol (s), nyeri
bertambah hebat jika ada
kontraksi (t)

DO:
 pendarahan pada vagina

3. Diagnosa Keperawatan
1. Syok hipovolemik b.d perdarahan pada vagina
2. Nyeri akut b.d pusing dan lemas, nyeri abdomen
3. Pola nafas Tidak efektif b.d sesak

4. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Keperawatan Hasil Keperawatan
1. Syok hipovolemik Setelah dilakukan Observasi:
b.d perdarahan tindakan selama  Periksa tanda dan gejala Tekanan darah
pada vagina 1x24 jam diharapkan hypovolemia (mis: turun, suhu
volume cairan frekuensinadi meningkat, dan
seimbang. meningkat, tekanan nadi nadi meningkat
menyempit, turgor kulit merupakan
Kriteria Hasil : menurun, hematokrit tandatanda
a. CRT ˂2 detik meningkat, haus, lemah) dehidrasi dan
b. Hb normal (12- hipovolemia.
14g/dl) Dan dengan
c. TTV normal (T; mengobservasi
120/80 mmHg, tanda-tanda
RR: 20x/menit,  Monitor intake dan kekurangan cairan
S:37,5 C, output cairan dapat diketahui
Nadi: sejauh mana
80-100x/menit) kekurangan cairan
pada ibu.

Dengan
Terapeutik: mengetahui intake
 Hitung kebutuhan cairan dan output cairan
 Berikan posisi modified diketahui
trendelenburg keseimbangan
 Berikan asupan cairan cairan dalam
oral tubuh

Edukasi:
 Anjurkan
memperbanyakan Mengganti
asupan cairan oral volume cairan
 Anjurkan menghindari tubuh yang hilang.
perubahan posisi
mendadak

Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian
cairan IV isotons (mis,
Nacl, RL) Minum yang
 Kolaborasi pemberian sering dapat
cairan IV hipotonis (mis, menambah
glukosa 2,5%, Nacl pemasukan cairan
0,4%) melalui oral.
 Kolaborasi pemberian
cairan koloid (mis,
albumin, plasmanate)
 Kolaborasi pemberian
produk darah
Pemberian cairan
infus dapat
mengganti jumlah
cairan elektrolit
yang terbuang,
sehingga dapat
mencegah
keadaan yang
lebih buruk pada
ibu.
2. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Observasi
Pusing dan lemas, tindakan selama
nyeri abdomen 1x24 jam diharapkan  Identifikasi lokal,
kebutuhan rasa karakteristik, durasi, Membantu dalam
nyaman frekuensi, kualitas, mendiagnosa dan
terpenuhi/nyeri intensitas nyeri. memilih tindakan
berkurang  Identifikasi nyeri.
 Identifikasi respon nyeri
Kriteria hasil: non verbal
a. Skala nyeri (0-3)  Identifikasi faktor yang
dari (1-10) memperberat dan
b. TTV normal (T: memperingan nyeri.
120/80  Monitor efek samping
mmHg,RR : penggunaan analgetik.
20x/menit, S :
37.5 C, Nadi 80- Terapeutik
100 x/menit)
c. Klien tampak  Berikan teknik non-
rileks farmakologis untuk
d. Kemajuan mengurangi rasa nyeri
persalinan baik (mis. Tarik napas dalam,
kompres hangat/dingin).
 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
 Fasilitasi istirahat dan
tidur.
 Pertimbangkan jenis dan Teknik relaksasi
sumber nyeri dalam dapat membuat
pemilihan strategi klien merasa
meredahkan nyeri. sedikit merasa
lebih nyaman dan
Edukasi distraksi dapat
mengalihkan
 Jelaskan penyebab, perhatian klien
periode, dan pemicu terhadap nyeri
nyeri. sehingga dapat
 Jelaskan strategi membantu
meredahkan nyeri. mengurangi nyeri
 Anjurkan memonitor yang dirasakan.
nyeri secara mandiri.
 Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat.
 Anjurkan teknik non-
farmakologis untuk
mengurangi nyeri.

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu

Posisi yang
nyaman dapat
menghindari
penekanan pada
area yang nyeri.
Kolaborasi
pemberian
analgetik

Pemberian
narkotik, sedative,
analgesik dapat
mengurangi nyeri
hebat.
3. Pola nafas Tidak Setelah dilakukan Manajemen jalan napas
efektif b.d sesak tindakan selama Observasi
1x24 jam diharapkan  Monitor pola napas
klien dapat  Monitor bunyi napas Mengumpulkan
menunjukkan dan menganalisis
 Monitor sputum
pernapasan optimal data pasien untuk
pada saat terpasang Terapeutik memastikan
ventiklator mekanis  Pertahankan kepatenan kepatenan jalan
jalan napas napas dan
Kriteria Hasil : pertukaran gas
 Posisikan semi-fowler
Tingkat suhu, nadi, yang adekuat
 Berikan minum hangat
pernapasan, dan
 Lakukan fisioterapi Memfasilitasi
tekanan darah pasien
dada kepatenan jalan
dalam rentang
 Lakukan penghisapan napas
normal
lendir
 Lakukan Merelaksasi dan
hiperoksigenasi menenangkan
 Keluarkan sumbatan pasien
forsep
 Berikan oksigen jika
perlu
Mengoptimalkan
Edukasi pernafasan pasien
 Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari
 Ajarkan teknik batuk
efektif

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator

Mengatasi
kesulitan bernafas
dan meningkatkan
aliran udara

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ruptur uteri adalah robekan yang dapat langsung terhubung dengan rongga
peritonium (komplet) atau mungkin di pisahkan darinya oleh peritoneum viseralis yang
menutupi uterus oleh ligamentum latum (inkomplit) (Cunningham,2005;h.217)
Faktor Predisposisi lainnya yang dapat mengakibatkan Rupture Uteri yaitu :
Multiparitas / grandemultipara, Pemakaian oksitosin untuk induksi/stimulasi persalinan
yang tidak tepat , Kelainan letak dan implantasi, plasenta contoh pada plasenta akreta,
plasenta inkreta/plasenta perkreta, Kelainan bentuk uterus umpamanya uterus bikornis,
Hidramnion.
B. Saran
Pada penanganan Ruptur uteri tersebut di harapkan terutama dalam pencegahan
terhadap infeksi . Bila terdapat tanda-tanda infeksi segera berikan antibiotika spektrum
luas. Bila terdapat tanda-tanda trauma alat genetalia/luka yang kotor, tanyakan saat
terakhir mendapat tetanus toksoid. Bila hasil anamnesis tidak dapat memastikan
perlindungan terhadap tetanus, berikan serum anti tetanus 1500 IU/IM dan TT 0,5 ml
IM .

DAFTAR PUSTAKA

Cuningham , Gary et.all, 2005. Obstetri Williams Edisi 21. EGC. Jakarta.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Edisi 1.
WHO, 2013
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.
Jakarta : ECG, 2006
Wilkinson, Judith M. And R. Ahern, Nancy. 2013. Buku Saku Diagnosa Keperawatan
NANDA. Edisi 9. Jakarta : ECG, 2011
Varney, Helen dkk. 2001. Buku ajar asuhan kebidanan. Jakarta : EGC
JURNAL TERKAIT

LAPORAN KASUS: RUPTUR UTERI INKOMPLIT DISERTAI INTRAUTERINE


FETAL DEATH PADA PASIEN MULTIPARITAS

ABSTRAK

Pendahuluan: Ruptur uteri adalah komplikasi peripartum yang jarang terjadi pada sekitar
7/10000 individu, tetapi angka kejadian penyakit ini meningkat menjadi 20-80/10.000 pada ibu
dengan defek pada uterus dan sebagian besar sebagai akibat dari riwayat operasi caesar
sebelumnya.

Laporan kasus: Laporan ini menunjukkan pasien perempuan usia 31 tahun dengan usia
kehamilan 37-38 minggu disertai perdarahan pervaginam dan intrauterine death. Penanganan
diberikan untuk menekan progresifitas dari penyakit, menangani komplikasi dan mencegah
komplikasi lainnya.

Kesimpulan: Ruptur uteri adalah robekan pada lapisan miometrium dan bisa menyebar hingga
ke lapisan visceral peritoneum. Menegakkan diagnosis rupture uteri ditinjau dari anamnesis,
gambaran klinis yang dialami, pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan
penunjang. Penatalaksanaan dari ruptur uteri adalah perbaiki keadaan umum, atasi syok
dengan pemberian cairan dan darah, berikan antibiotika, oksigen. Tindakan bedah dapat
dilakukan laparatomi seperti histerektomi dan histerorafi.

Kata Kunci: Ruptur uteri, inkomplit, intrauterine fetal death

Anda mungkin juga menyukai