Anda di halaman 1dari 27

Makalah

Sistem persepsi penglihatan

Disusun :
Orlando Solambela (19142010068)
Rany Veronika Futwembun (19142010065)

Universitas Pembangunan Indonesia manado


Fakultas keperawatan
Kata pengantar

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat
tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Manado 12 November 2021

Kelompok 3.1
GANGGUAN PENGLIHATAN
1.        PENGERTIAN
   Gangguan penglihatan adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan tajam penglihatan ataupun
menurunnya luas lapangan pandang, yang dapat mengakibatkan kebutaan (Quigley dan Broman,
2006).
   Cacat Netra dalah Seseorang yang terhambat mobilitas gerak yang disebabkan oleh
hilang/berkurangnya fungsi penglihatan sebagai akibat dari kelahiran, kecelakaan maupun
penyakit (Marjuki, 2009)
   Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian tunanetra ialah tidak dapat melihat, buta.
Sedangkan menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa yang dimaksud dengan tunanetra
adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera
penglihatan. Karena adanya hambatan dalam penglihatan serta tidak berfungsinya penglihatan
(Heward & Orlansky, 1988 cit Akbar 2011).
Mata adalah organ sensorik yang mentransmisikan rangsang melalui jaras pada otak ke
lobus oksipital dimana rasa penglihatan ini diterima. Sesuai dengan proses penuaan yang terjadi,
tentunya banyak perubahan yang terjadi, diantaranya alis berubah kelabu, dapat menjadi kasar
pada pria, dan menjadi tipis pada sisi temporalis baik pada pria maupun wanita. Konjungtiva
menipis dan berwarna kekuningan,produksi air mata oleh kelenjar lakrimalis yang berfungsi
untuk melembabkan dan melumasi konjungtiva akan menurun dan cenderung cepat menguap,
sehingga mengakibatkan konjungtiva lebih kering.
Pada mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil menurun dan
reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi. Lensa menguning dan
berangsur-angsur menjadi lebih buram mengakibatkan katarak, sehingga memengaruhi
kemampuan untuk menerima dan membedakan warna-warna. Kadang warna gelap seperti coklat,
hitam, dan marun tampak sama. Pandangan dalam area yang suram dan adaptasi terhadap
kegelapan berkurang ( sulit melihat dalam cahaya gelap) menempatkan lansia pada risiko sedera.
Sementara cahaya menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi kemampuan untuk
membedakan objek-objek dengan jelas, semua hal itu dapat memengaruhi kemampuan
fungsional para lansia.
2.        KLASIFIKASIPENYANDANG CACAT PENGLIHATAN
Berdasarkan Klasifikasi International Classification of Functioning for Disability and
Health (ICF) dalam Marjuki (2009), Penyandang Cacat Penglihatan diklasifikasikan menjadi 3,
yaitu:
a.         Low vision (Penglihatan Sisa) adalah seseorang yang mengalami kesulitan/ gangguan jika dalam
jarak minimal 30 cm dengan penerangan yang cukup tidak dapat melihat dengan jelas baik
bentuk, ukuran, dan warna. Jika responden memakai kacamata maka yang ditanyakan adalah
kesulitan melihat ketika melihat tanpa kacamata (sumber: modifikasi Susenas 2000 dan ICF)
(tidak termasuk orang yang menggunakan kacamata plus, minus ataupun silinder).
b.         Light Perception (Persepsi Cahaya) yaitu seseorang hanya dapat membedakan terang dan gelap
namun tidak dapat melihat benda didepannya.
c.         Totally blind (Buta Total) yaitu seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui/
membedakan adanya sinar kuat yang ada langsung di depan matanya.
Sedangkan menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, ada beberapa klasifikasi
tunanetra, seperti di bawah ini:
a.         Berdasarkan Waktu Terjadinya Ketunanetraan:
1)        Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman
penglihatan.
2)        Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta
pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
3)        Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual
dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
4)        Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu
melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5)        Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian
diri.
b.         Berdasarkan Kemampuan Daya Penglihatan
1)        Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam
penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu
melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
2)        Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya
penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa
atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
3)        Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
3.        PENYEBAB KETUNANETRAAN
Ada berbagai faktor yang menyebabkan kelainan penglihatan (ketunanetraan) seperti
kelainan struktur mata atau penyakit yang menyerang cornea, lensa, retina, saraf mata dan lain
sebagainya. Di samping itu kelainan penglihatan juga dapat diperoleh karena faktor keturunan
misalnya perkawinan antar saudara dekat dapat meningkatkan kemungkinan diturunkannya
kondisi kelainan penglihatan. Secara garis besar kelainan penglihatan dapat disebabkan karena
beberapa hal yaitu:
a.         Kelainan Refraksi
Bagi seseorang yang mengalami kelainan refraksi (pembiasan cahaya) tanpa disertai gangguan
lain, biasanya dapat diperbaiki penglihatannya hingga menjadi normal dengan menggunakan
kaca mata atau lensa kontak. Bagi penyandang kelainan refraksi yang telah dikoreksi dengan
kaca mata biasanya tidak ada masalah dengan penglihatannya kecuali jika kaca mata atau lensa
kontak yang diresepkan baginya tidak dipakai. Beberapa kelainan refraksi meliputi:
1)        Myopiadan Hyperopia
Dalam penglihatan normal, berkas cahaya paralel yang datang dari jauh akan terfokus pada
retina. Jika bola mata terlalu panjang dari depan ke belakang, maka berkas cahaya itu terfokus di
depan retina dan hal ini mengakibatkan penglihatan menjadi kabur atau buram.
Seseorang yang mengalami myopia sering dikatakan memiliki penglihatan dekat
(nearsightedness) karena ketajaman penglihatannya bagus pada jarak dekat tetapi mengalami
masalah pada jarak jauh. Pada penderita myopia image obyek yang dilihat tidak jelas, masalah
ini terjadi selain karena bola mata lebih besar dari pada yang normal juga dapat terjadi pada bola
mata yang normal tetapi elastisitas lensanya kurang baik dan kekuatan refraksi lensa dan cornea
menguat.
Dalam kebanyakan kasus myopia, pemanjangan bola mata itu hanya sedikit dan tidak terus
memanjang, dan koreksi dapat dilakukan dengan pemakaian kaca mata. Akan tetapi, dalam
sejumlah kecil kasus myopia, bola mata memanjang terus. Kondisi ini dikenal dengan istilah
progressive myopia atau high myopia, dan ketajaman penglihatan yang normal tidak akan dapat
dicapai dengan pemakaian kaca mata ataupun lensa kontak. .
Sebaliknya jika bola mata lebih kecil dari yang normal atau lensa dalam keadaan tidak dapat
berakomodasi dengan baik sehingga bentuknya cenderung cekung, akibatnya image obyek yang
sedang dilihat difokuskan di belakang retina dan pada kondisi seperti ini penderita merasakan
penglihatannya menjadi kabur. Kelainan seperti ini disebut hyperopiaatau penglihatan jauh
(farsightedness). Penderita hyperopia mengalami penurunan ketajaman penglihatan dan
mengalami gangguan penglihatan pada jarak dekat tetapi normal pada jarak jauh.
Dalam kasus hyperopia yang parah penglihatan menjadi tidak efektif. Hyperopia sederhana dapat
dikoreksi hingga ke penglihatan normal dengan mengunakan lensa cembung (lensa plus)
sehingga berkas cahaya terfokus pada retina. Permasalahan biasanya timbul hanya apabila
kondisi ini disertai kondisi penglihatan lain seperti katarak. Dalam kasus seperti ini, meskipun
kaca mata akan diresepkan, tetapi ketajaman penglihatan tetap akan berkurang dan kondisi ini
dapat disertai dengan keadaan juling.
2)        Presbyopia
Dengan meningkatnya usia, seseorang pada umumnya mengalami penurunan fungsi akomodasi
sehubungan dengan lemahnya elastisitas lensa dan cairan lensa yang mengeras. Oleh karena
gangguan penglihatan ini umumnya berkaitan dengan meningkatnya usia maka, keadaan ini
disebut presbyopia. Presbyopia biasanya terjadi pada usia 40-an dan penderita mengalami
penurunan ketajaman penglihatan dan mengalami gangguan untuk membaca. Seseorang yang
mengalami presbyopia dapat dibantu dengan sepasang kaca mata yang memiliki dua lensa. Lensa
semacam ini disebut lensa bifocals, satu lensa untuk membantu menyebarkan (diverge) cahaya
dan yang lain untuk memfokuskan (converge) cahaya.
3)        Astigmatism
Penyebab utama astigmatism adalah bervariasinya daya refraksi cornea atau lensa akibat
kelainan dalam bentuknya permukaannya. Hal ini mengakibatkan distorsi pada image yang
terbentuk pada macula. Bila kasusnya sederhana, kondisi ini dapat dikoreksi dengan memakai
kaca mata dengan lensa silindris, tetapi permasalahan menjadi lebih berat bila kondisi ini disertai
myopia dan hypermetropia. Bila disertai dengan jenis gangguan penglihatan lain, koreksinya
akan menjadi sulit dan dapat  mengakibatkan berkurangnya ketajaman penglihatan bahkan
kebutaan.
4)        KATARAK
Katarak adalah kelainan mata yang terjadi pada lensa di mana cairan dalam lensa menjadi keruh.
Karena cairan dalam lensa keruh, lensa mata kelihatan putih dan cahaya tidak dapat
menmbusnya. Orang yang mengidap katarak melihat seperti melalui kaca jendela yang kotor
karena keruhnya lensa menghalangi masuknya cahaya ke retina. Katarak merupakan salah satu
penyebab kebutaan yang utama baik pada anak-anak maupun orang tua.
a)        Definisi Katarak
  Katarak adalah perubahan lensa mata yang tadinya jernih dan tembus cahaya menjadi keruh,
menyebabkan gangguan pada penglihatan (Klinik mata nusantara, 2008)
  Katarak adalah sejenis kerusakan mata yang menyebabkan lensa mataberselaput dan rabun. Lensa
mata menjadi keruh dan cahaya tidak dapat menembusinya, bervariasi sesuai tingkatannya dari
sedikit sampai keburaman total dan menghalangi jalan cahaya (Wikipedia, 2012)
  Katarak adalah keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan
cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat kedua- duanya.Biasanya mengenai kedua mata
dan berjalan progresif.(kapita selekta. jilid satu.2001)
                      
Gambar 1. Perbedaan mata normal dan mata Katarak

b)       Etiologi
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia seseorang. Usia
rata-rata terjadinya katarak adalah pada umur 60 tahun keatas. Akan tetapi, katarak dapat pula
terjadi pada bayi karena sang ibu terinfeksi virus pada saat hamil muda.
Penyebab katarak lainnya meliputi :
  Faktor keturunan.
  Cacat bawaan sejak lahir.
  Masalah kesehatan, misalnya diabetes.
  Penggunaan obat tertentu, khususnya steroid.
  gangguan metabolisme seperti DM (Diabetus Melitus)
  gangguan pertumbuhan,
  Mata tanpa pelindung terkena sinar matahari dalam waktu yang cukup lama.
  Rokok dan Alkohol
  Operasi mata sebelumnya.
  Trauma (kecelakaan) pada mata.
  Faktor-faktor lainya yang belum diketahui.
c)        Klasifikasi
(1)      Katarak primer
Katarak primer, menurut umur ada tiga golognan yaitu :
(a)      Katarak juvenilis (umur <20 tahun ),
(b)     Katarak presenilis (umur sampai 50tahun)
(c)      katarak senilis (umur sampai 50tahun )
Katarak primer dibagi menjadi 4 stadium (Yasin, 2009):
(a)      Stadium Insipien
  Stadium paling dini
  Kekeruhan lensa terdapat pada bagian perifer berbentuk bercak-bercak yang tidak teratur
  Pasien mengeluh gangguan penglihatan melihat ganda dengan satu mata
  Tajam penglihatan belum terganggu
  Proses degenerasi belum menyerap cairan mata yang kedalam lensa sehingga terlihat bilik mata
depan yang kedalaman normal.
(b)     Stadium Imatur
  Proses degenerasi mulai menyerap cairan mata kedalam lensa sehingga lensa
  Menjadi cembung.
  Terjadi pembengkakan lensa yang dapat menjadi katarak intumesen.
  Terjadi miopisasi
  Dapat terjadi glaucoma sekunder
  Shadow test positif
(c)      Stadium Matur
  Terjadi kekeruhan seluruh lensa
  Tekanan dalam seimbang dengan cairan dalam mata dengan ukuran lensa normal Kembali.
  Tajam penglihatan sangat menurun dan hanya tinggal proyeksi sinar positif
  Di pupil tampak lensa seperti mutiara
(d)     Stadium Hypermatur
  Korteks lensa yang seperti bubur telah mencair sehingga nucleus lensa turun karena daya
beratnya.
  Melalui pupil, nucleus terbayang sebagai setengah lingkaran di bagian bawah dengan warna
berbeda dari atasnya yaitu kecoklatan
  Terjadi kerusakan kapsul lensa yang menjadi lebih permeabel dsehingga isi korteks dapat keluar
dan lensa menjadi kempis yang dibawahnya terdapat nucleus lensa (Katarak Morgagni)
(2)   Katarak Komplikata
Katarak jenis ini terjadi sekunder atau sebagai komplikasi dari penyakir lain. Penyebab katarak
jenis ini adalah :
  Gangguan okuler, karena retinitis pigmentosa glaucoma, ablasio retinayang sudah lama, uveitis,
myopia maligna.
  Penyakit sistemik, Diabetes Mellitus, hipoparatiroid, sindrom down, dermatitis atopik.
  Trauma, trauma tumpul, pukulan, benda asing di dalam mata, terpajan panas yang berlebihan,
sinar –X, radioaktif, terpajan sinar matahari, toksik kimia.
(3)   Katarak Kongenital
Katarak kongenital adalah kekeruhan pada lensa yang timbul pada saat pembentukan lensa.
Kekeruhan sudah terdapat pada waktu bayi lahir. Katarak ini sering ditemukan pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang :
  menderita rubella
  diabetes mellitus
  toksoplasmosis,
  hipoparatiroidisme
  galaktosemia
Ada pula yang menyertai kelainan bawaan pada mata itu sendiri seperti mikroftalmus,
aniridia, koloboma , ektopia lentis, keratokonus, megalokornea, heterokornea iris. Kekeruhan
dapat dijumpai dalam bentuk arteri hialoidea yang persisten, katarak polaris anterior-posterior,
katarak aksialis, katarak zonularis, katarak stelata, katarak totalis dan katarak congenital
membranasea.
d)       Tanda Dan Gejala
Biasanya gejala berupa keluhan penurunan tajam pengelihatan secara progresif (seperti rabun
jauh memburuk secara progresif). Pengelihatan seakan-akan melihat asap dan pupil mata seakan
akan bertambah putih. Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-
benar putih ,sehingga refleks cahaya pada mata menja di negatif (-). Bila Katarak dibiarkan maka
akan mengganggu penglihatan dan akan dapat menimbulkan komplikasi berupa Glaukoma dan
Uveitis.
Gejala umum gangguan katarak meliputi (Julianto, 2009) :
  Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
  Peka terhadap sinar atau cahaya.
  Dapat melihat dobel pada satu mata.
  Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
  Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
e)        Patofisiologi
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk
seperti kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga
komponen anatomis: Pada zona sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yan
mengelilingi keduanya adalah kapsula anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia,
nukleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan . Di sekitar opasitas terdapat
densitas seperti duri di anterior dan poterior nukleus. Opasitaspada kapsul poterior merupakan
bentuk aktarak yang paling bermakna seperti kristal salju. Perubahan fisik dan kimia dalam lensa
mengakibatkan hilangnya traansparansi. Perubahan dalam serabut halus multipel (zonula) yang
memaenjang dari badan silier ke sekitar daerah di luar lensa.
Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan: koagulasi, sehingga
mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori
menyebutkan terputusnya protein lensa normal disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini
mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan
bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim
akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita
katarak.
Katarak bisa terjaadi bilateral, dapat disebabkan oleh kejadian trauma atau sistemis (diabetes)
tetapi paling sering karena adanya proses penuaan yang normal. Faktor yang paling sering
berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar UV, obat-obatan, alkohol, merokok, dan
asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu yang lama.
  
    Pathway
f)         Pemeriksaan Diagnostik
(1)      Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa,
akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina.
(2)      Lapang Penglihatan : penuruan mngkin karena massa tumor, karotis, glukoma.
(3)      Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)
(4)      Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glukoma.
(5)      Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe gllukoma
(6)      Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan.
(7)      Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi sistemik / infeksi.
(8)      EKG, kolesterol serum, lipid
(9)      Tes toleransi glukosa : kotrol DM.
g)        Komplikasi
  Komplikasi preoperasi katarak antara lain glaukoma sekunder, uveitis, dan dislokasi lensa.
  Komplikasi postoperasi katarak
o  Afakia (iris tremulans, +10 sampai +13 diopter dengan adisi 3 diopter untuk penglihatan dekat).
o  Pseudofakia (dengan pemasangan IOL).
h)       Penatalaksanaan Medis
(1)      Intervensi bedah
  Indikasi operasi katarak
o  Pada bayi (<1tahun) jika fundus tidak terlihat
o  Pada usia lanjut
  Indikasi Klinis : jika timbul komplikasi glaucoma / uveitis
  Indikasi Visual : katarak matur dengan visus 1/300 atau 1/~dengan catatan LP bik segala arah.
  Indikasi Sosial : pekerjaan
  Jenis pembedahan katarak :
o  Extracapsular Cataract Extractive (ECCE)
Korteks dan nucleus diangkat kapsul posterior di tinggalkan untuk mencegah prolapsvitreus
untuk melindungi retina dari sinar ultravioler dan memberikan sokongan untuk implantasi lensa
mata intra okuler.
o  Intracapsular Cataract Extractive (ICCE) Pada pembedahan jenis ini lensa diangkat seluruhnya.
(2)      Pengobatan Katarak
Salah satu cara pengobatan katarak adalah dengan cara pembedahan ,yaitu
  lensa yang telah keruh diangkat dan sekaligus ditanam lensa intraokuler sehingga pasca operasi
tidak perlu lagi memakai kaca mata khusus (kaca mata aphakia). Setelah operasi harus dijaga
jangan sampai terjadi infeksi.
  Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah menurun sedemikian rupa sehingga
mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila telah menimbulkan penyulit seperi glaukoma dan
uveitis.
  Tekhnik yang umum dilakukan adalah ekstraksi katarak ekstrakapsular, dimana isi lensa
dikeluarkan melalui pemecahan atau perobekan kapsul lensa anterior sehingga korteks dan
nukleus lensa dapat dikeluarkan melalui robekan tersebut. Namun dengan tekhnik ini dapat
timbul penyulit katarak sekunder. Dengan tekhnik ekstraksi katarak intrakapsuler tidak terjadi
katarak sekunder karena seluruh lensa bersama kapsul dikeluarkan, dapat dilakukan pada yang
matur dan zonula zinn telah rapuh, namun tidak boleh dilakukan pada pasien berusia kurang dari
40 tahun, katarak imatur, yang masih memiliki zonula zinn.
  Dapat pula dilakukan tekhnik ekstrakapsuler dengan fakoemulsifikasi yaitu fragmentasi nukleus
lensa dengan gelombang ultrasonik, sehingga hanya diperlukan insisi kecil, dimana komplikasi
pasca operasi lebih sedikit dan rehabilitasi penglihatan pasien meningkat.
  Kacamata (aphakic spectacles)
Setelah ekstraksi katarak, mata klien tidak mempunyai lensa yang disebut afakia.Keadaan ini
harus dikoreksi dengan lensa sefris (+) 10D supaya dapat melihat jauh. Koreksi ini harus
diberikan 3bulan pasca operasi sebab sebelum 3 bulan keadaan refraksi masih berubah – ubah,
karena keadaan luka belum tenang dan astigmatismenya tidak tetap.
  Lensa kontak
Keuntungan pilihan ini adalah ukuran bayangan hanya 7% lebih besar dari pada ukuran normal,
sehingga kedua mata berfungsi bersama. Lapang pandang tidak berubah/ konstriksi. Kerugiannya
dapat terjadi lakrimasi, risiko tinggi komplikasi, kemungkinan penolakan lensa dan biaya mahal.
b.        Kelainan Lantang Pandangan
Penerimaan cahaya oleh otak sangat tergantung pada kualitas impuls yang ditimbulkan oleh
retina. Terjadinya suatu hambatan atau kerusakan pada pusat penglihatan di otak atau bagian
saraf tertentu akan menimbulkan gangguan penglihatan.
c.         Kelainan Lain
1)        Buta Warna
Seseorang yang tidak dapat membedakan warna disebabkan karena mengalami kerusakan atau
kelainan pada sel receptor di retina yang berbentuk kerucut yang disebut cone. Seseorang yang
buta warna biasanya ketajaman penglihatannya (visus) normal. Buta warna lebih banyak terjadi
pada laki-laki dari pada perempuan.
2)        Strabismus(juling)
Istilah strabismus digunakan untuk menunjukkan suatu kondisi dimana image obyek yang dilihat
tidak diterima secara baik oleh mata kanan dan mata kiri. Dengan kata lain kedua mata tidak
bekerja secara bersama-sama karena tidak ada koordinasi yang baik antara otot-otot mata.
Akibatnya dalam retina terdapat dua image terhadap satu obyek yang sedang dilihat. Kondisi ini
disebut diplopia. Untuk menolong penderita strabismus dapat dilakukan operasi pada otot mata.
3)        Nystagmus
Nystagmus adalah suatu kondisi dimana mata bergerak secara cepat dan tidak teratur. Nystagmus
dapat terjadi pada seseorang karena kelelahan atau stress dan juga dapat terjadi karena adanya
kerusakan pada otak atau gangguan medis lain yang kronis. Penderita nystagmus tidak dapat
melihat suatu obyek dengan baik karena matanya sselalu bergerak dan tidak dapat memfokuskan
obyek yang sedang dilihat.
4)        Glaucoma
Glaucoma mengakibatkan meningginya tekanan di dalam bola mata yang dapat mempengaruhi
suplai darah ke kepala syaraf optik. Terdapat beberapa jenis glaucoma: dapat merupakan
penyakit tersendiri, atau dapat juga terkait dengan kondisi-kondisi lain, misalnya aniridia. Satu
jenis glaucoma yang terjadi pada anak-anak adalah buphthalmos (“mata sapi”), yang ditandai
dengan membesarnya satu mata atau kedua belah mata. Ini merupakan kondisi yang berbahaya,
yang jika tidak diberi perawatan dapat merusak lensa, retina atau syaraf optik. Jenis-jenis
glaucoma lainnya ditandai dengan berkurangnya bidang pandang dan kesulitan melihat di tempat
yang gelap atau redup.

4. ANATOMI FISIOLOGI MATA

mata adalah organ sensori yang menstranmisikan rangsang memalui saraf pada otak ke lobus
oksipital, dimana rasa penglihatan ini diterima.
a.         mata eksternal
  Kelopak mata adalah lipatan-lipatan kulit denga pelekatan otot yang memungkinkannya untuk
bergerak. Kelopak mata melindungi bola mata yang berkedip secara reflektif dan menggerakan
cairan yang melumasi diatas permukaan mata.
  Fisura palpebra adalah lubang diantara kelopak mata bagian atas dan bagian bawah. Bulu mata
pada tepi kelopak mencegah objek dari udara masuk kemata. Intropion dimana kelopak mata
terlipat kedalam sehingga bulu mata menggesek mata menyebabkan abrasi kornea. Ektropion
dimana kelopak mata terbalik keluar, mencegah penutupan, dan menyebabkan kemerahan dan
kongesti bola mata.
  Alis mata
Terletak secara transpersal diatas kedua mata sepanjang puncak orbital superior tulang
tengkorak. Rambut pendek dan tebal ini mencegah keringat masuk kemata. sesuai proses
penuaan alis berubah kelabu.
  Konjugtiva
Suatu yang tipis, transparan dan mensekresi mucus, terbagi dalah dua bagian : konjungtiva
palpebra yang membatasi permukaan interior dari masing-masing kelopak mata dan tampak
merah muda berkilauan hingga merah dan konjungtiva bulbaris yang membatasi permukaan
anterior bola mata sampai tembus dan tampak jelas. Sesuai dengan proses penuaan, konjungtivca
menipis dan bewarna kakuningan.
  Apratus Lakrimalis
Terdiri dari kelenjar lakrimalis, duktus dan pungta lakrmalis. Kelnjar lakrimalis terletak pada
bagian superolateral pada orbit dan dipersarafi oleh saraf kranialis VII ( fasialis ). Kelenjar ini
yang melembabkan konjungtiva dan kornea
b.         Mata internal
  Sklera
Sclera atau bagian putih mata tersusun atas jaringan-jaringa elastis dan kolagen yang memberi
bentuk dan melindungi struktur-struktur bagian dalam dari bola mata. Beberapa lansia dapat
terjadi bintik-bintik coklat pada sklera.
  Lensa
Lensa memisahkan bola mata dalam dua rongga ; ruang anterior dan posterior. Ruang anterior
terlatak didepan iris dan dibelakang kornea. Ruang posterior diantara iris dan lensa. Glokoma
suatu penyakit mata yang sering kali berhubungan dengan proses penuaan.
  Iris
Iris adalah piringan bulat dan berpigmen dikelilingi oleh serat otot polos. Kontraksi serat otot ini
mengatur diameter pupil, lubang ditengah iris. Sesuai dengan proses penuaan pulpil menurun
dalam ukuran dan kemampuannya untuk kontraksi pada respon dan cahaya akomodasi.
  Retina
Retina adalah lapisan mata paling dalam dimana bayangan diproyeksikan. Struktur retina tampak
dengan optalmokopis meliputi piringan optic atau saraf utama pada saraf optic. Saraf optic :
pembuluh-pembuluh darah retina yang timbulm dari piringan optic : macula, dimana penglihatan
pusat dan persepsi warna dikonsentrasikan dan latara belakang retina jingga kemerahan itu
sendiri.
c.         otot-otot ekstraokuler
gerakan-gerakan bola mata dikontrol oleh enam otot ektrinsik : otot rektusuporior, inferior,
radial, dan median dan otot-otot obliqsuperior dan inferior. Mata bergerak dalam arah yang sama
karena otot pada satu mata bekerja dengan otot yang berhubungan dengan mata yang lainnya.
Otot mata dipersarafi oleh tiga saraf cranial, saraf inferior dan otot oblique superior dan inferior.
Saraf troklear ( SK IV ) mempersarafi otot oblique superior dan otot abdusen ( SK VI )
mempersarafi otot rektus lateral.

Gambar 2. Anatomi Mata


5.        PERUBAHAN SISTEM PENGLIHATAN
   Perubahan normal pada system sensoris (penglihatan) akibat penuaan :
Perubahan Normal yang b.d Penuaan Implikasi Klinis
Penurunan kemampuan akomodasi. Kesukaran dalam membaca huruf-huruf yang
kecil
Kontriksi pupil sinilis Penyempitan lapang pandang
Peningkatan kekeruhan lensa dengan perubahan  Sensitivitas terhadap cahaya
warna menjadi menguning.   Penurunan penglihatan pada malam hari dengan
persepsi kedalamam
   Perubahan sistem indera Penglihatan pada penuaan :
Perubahan Morfologis Perubahan Fisiologis
  Penurunan jaringan lemak sekitar mata   Penurunan penglihatan jarak dekat
  Penurunan elastisitas dan tonus jaringan   Penurunan koordinasi gerak bola mata
  Penurunan kekeuatan otot mata   Distorsi bayangan
  Penurunan ketajaman kornea   Pandangaan biru-merah
  Degenerasi pada sclera, pupil dan iris   Compromised night vision
  Peningkatan frekuensi proses terjadinya  Penurunan ketajaman mengenali warna hijau, biru
penyakit dan ungu
  Peningkatan densitas dan rigiditas lensa   Kesulitan mengenali benda yang bergerak
  Perlambatan proses informasi dari system saraf
pusat

6.        JENIS GANGGUAN PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN PENGLIHATAN


a.         Perubahan sistem lakrimalis
Pada usia lanjut seringkali dijumpai keluhan nrocos. Kegagalan fungsi pompa pada
system kanalis lakrimalis disebabkan oleh karena kelemahan palpebra, eversi punctum atau
malposisi palpebra sehingga akan menimbulkan keluhan epifora. Namun sumbatan system
kanalis lakrimalis yang sebenarnya atau dacryostenosis sering dijumpai pada usia lanjut, diman
dikatakan bahwa dacryostenosis akuisita tersebut lebih banyak dijumpai pada wanita dibanding
pria. Adapun patogenesia yang pasti terjadinya sumbatan ductus nasolakrimalis masih belum
jelas, namun diduga oleh karena terjadi proses jaringan mukosa dan berakibat terjadinya
sumbatan.
Setelah usia 40 tahun khususnya wanita pasca menopause sekresi basal kelenjar
lakrimal secara progesif berkurang. Sehingga seringkali pasien dengan sumbatan pada duktus
nasolakrimalis tak menunjukkan gejala epifora oleh karena volume air matanya sedikit. Akan
tetapi bilamana sumbatan sistim lakrimalis tak nyata akan memberi keluhan mata kering yaitu
adanya rasa tidak enak seperti terdapat benda asing atau seperti ada pasir, mata tersa leleh dan
kering bahkan kabur. Sedangkan gejala obyektif yang didapatkan diantaranya konjungtiva bulbi
kusam dan menebal kadang hiperaemi, pada kornea didapatkan erosi dan filamen. Periksa yang
perlu dilakukan adalah Schirmer, Rose Bengal, “Tear film break up time”
b.        Perubahan refraksi
Pada orang muda, hipermetrop dapat diatasi dengan kontraksi muskulus silisris. Dengan
bertambahnya usia hipermetrop laten menjadi lebih manifest karena hilangnya cadangan
akomodasi. Namun bila terjadi sclerosis nucleus pada lensa, hipermetrop menjadi berkurang atau
terjadi miopisasi karena proses kekeruhan di lensa dan lensa cenderung lebih cenbung.
Perubahan astigmat mulai terlihat pada umur 10-20 tahun dengan astigmat with the
rule 75,5% dan astigmat against the rule 6,8%. Pada umur 70-80 tahun didapatkan keadaan
astigmat with the rule 37,2% dan against the rule 35%. Factor-faktor yang mempengaruhi
perubahan astigmat antara lain kornea yang mengkerut oleh karena perubahan hidrasi pada
kornea, proses penuaan pada kornea.
Penurunan daya akomodasi dengan manifestasi presbiopia dimana seseorang akan
kesulitan untuk melihat dekat dipengaruhi oleh berkurangnya elastisitas lensa dan perubahan
pada muskulus silisris oleh karena proses penuaan.
c.         Produksi humor aqueous
Pada mata sehat dengan pemeriksaan Fluorofotometer diperkirkan produksi H.Aqueous
2.4 + 0,06 micro liter/menit. Beberapa factor berpengaruh pada produksi H.Aqueous. dengan
pemeriksaan fluorofotometer menunjukkan bahwa dengan bertambahnya usia terjadi penurunan
produksi H.Aqueous 2% (0,06 mikro liter/menit) tiap decade. Penurunan ini tidak sebanyak yang
diperkirakan, oleh karena dengan bertambahnya usia sebenarnya produksi H.Aqueous lebih
stabil disbanding perubahan tekanan intra okuler atau volume COA.
d.        Perubahan struktur kelopak mata
Dengan bertambahnya usia akan menyebabkan kekendoran seluruh jaringan kelopak
mata. Perubahan ini yang juga disebut dengan perubahan involusional terjadi pada :
1)        M.orbicular
Perubahan pada m.orbicularis bisa menyebabkan perubahan kedudukan palpebra yaitu terjadi
entropion atau ektropion. Entropion/ektropion yang terjadi pada usia lanjut disebut
entropion/ekropion senilis/ involusional. Adapun proses terjadinya mirip, namun yang
membedakan adalah perubahan pada m.orbicularis preseptal dimana enteropion muskulus
tersebut relative stabil.
Pada ektropion, bila margo palpebra mulai eversi, konjungtiva tarsalis menjadi terpapar
(ekspose), ini menyebabkan inflamasi sekunder dan tartus akan menebal sehingga secara
mekanik akan memperberat ektropionnya.
2)        Retractor palpebra inferior
Kekendoran retractor palpebra inferior mengakibatkan tepi bawah tarsus rotasi/ berputar kearah
luar sehingga memperberat terjadinya entropion.
3)        Tartus
Bilaman tartus kurang kaku oleh karena proses atropi akan menyebabkan tepi atas lebih
melengkung ke dalam sehingga entropion lebih nyata.
4)        Tendo kantus medial/lateral
Perubahan involusional pada usia lanjut juga mengenai tendon kartus medial/ lateral sehingga
secar horizontal kekencangan palpebra berkurang.
Perubahan-perubahan pada jaringan palpebra juga diperberat dengan keadaan dimana bola mata
pada usia lanjut lebih enoftalmus karena proses atropi lemak orbita. Akibatnya kekencangan
palpebra secara horizontal relative lebih nyata. Jadi apakah proses involusional tersebut
menyebabkan margo palpebra menjadi inverse atau eversi tergantung perubahan-perubahan yang
terjadi pada m.orbikularis oculi, retractor palpebra inferior dan tarsus.
5)        Aponeurosis muskulus levator palpebra
Dengan bertambahnya usia maka aponeurosis m.levator palpebra mengalami disinsersi dan
terjadi penipisan, akibatnya terjadi blefaroptosis akuisita. Meskipun terjadi perubahan pada
aponeurosis m.levator palpebra namun m.levatornya sendiri relative stabil sepanjang usia. Bial
blefaroptosis tersebut mengganggu penglihatan atau secara kosmetik menjadi keluhan bias
diatasi dengan tindakan operasi.
6)        Kulit
Pada usia lanjut kulit palpebra mengalami atropi dan kehilangan elastisitasnya sehingga
menimbulkan kerutan dan lipatan-lipatan kulit yang berlebihan. Keadaan ini biasanya diperberat
dengan terjadinya peregangan septum orbita dan migrasi lemak preaponeurotik ke arterior.
Keadaan ini bisa terjadi pada palpebra superior maupun inferior dan disebut sebagai
dermatokalis.
7.        KOMPLIKASI/ DAMPAK KETUNANETRAAN
Penglihatan merupakan salah satu saluran informasi yang sangat penting bagi manusia
selain pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan. Pengalaman manusia kira-kira 80 persen
dibentuk berdasarkan informasi dari penglihatan. Di bandingkan dengan indera yang lain indera
penglihatan mempunyai jangkauan yang lebih luas. Pada saat seseorang melihat sebuah mobil
maka ada banyak informasi yang sekaligus diperoleh seperti misalnya warna mobil, ukuran
mobil, bentuk mobel, dan lain-lain termasuk detail bagian-bagiannya. Informasi semacam itu
tidak mudah diperoleh dengan indera selain penglihatan.
Kehilangan indera penglihatan berarti kehilangan saluran informasi visual. Sebagai
akibatnya penyandang kelainan penglihatan akan kekuarangan atau kehilangan informasi yang
bersifat visual. Seseorang yang kehilangan atau mengalami kelainan penglihatan, sebagai
kompensasi, harus berupaya untuk meningkatkan indera lain yang masih berfungsi.
Seberapa jauh dampak kehilangan atau kelainan penglihatan terhadap kemampuan
seseorang tergantung pada banyak faktor misalnya kapan (sebelum atau sesudah lahir, masa
balita atau sesudah lima tahun) terjadinya kelainan, berat ringannya kelainan, jenis kelainan dan
lain-lain. Seseorang yang kehilangan penglihatan sebelum lahir sering sampai usia lima tahun
pengalaman visualnya sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan yang
kehilangan penglihatan setelah usia lima tahun atau lebih dewasa biasanya masih memiliki
pengalaman visual yang lebih baik tetapi memiliki dampak yang lebih buruk terhadap
penerimaan diri.
a.         Dampak terhadap Kognisi
Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyekobyek yang
diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek tergantung pada
bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia kognitifnya ,dan citra atau “peta”
dunia setiap orang itu bersifat individual. Setiap orang mempunyai citra dunianya masingmasing
karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh factor-faktor berikut: (1)
Lingkungan fisik dan sosisalnya, (2) struktur fisiologisnya, (3) keinginan dan tujuannya, dan (4)
pengalaman-pengalaman masa lalunya.
Dari keempat faktor yang menentukan kognisi individu tunanetra menyandang kelainan
dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan
indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya. Banyak di antara mereka tidak pernah
mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi orang awas mereka tentang dunia ini sejauh
tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya.
b.         Dampak terhadap Keterampilaan Sosial
Orang tua memainkan peranan yang penting dalam perkembangan sosial anak.
Perlakuan orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan oleh sikapnya terhadap
ketunanetraan itu, dan emosi merupakan satu komponen dari sikap di samping dua komponen
lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan tindakan. Ketunanetraan yang terjadi pada seorang
anak selalu menimbulkan masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa
kecewa, sedih, malu dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa bersalah
atau saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam
berbagai cara, dan dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat mengakibatkan perceraian. Persoalan
seperti ini terjadi pada banyak keluarga yang mempunyai anak cacat.
Pada umumnya orang tua akan mengalami masa duka akibat kehilangan anaknya yang
“normal” itu dalam tiga tahap; tahap penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap
penerimaan, meskipun untuk orang tua tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah
bertahun-tahun. Proses “dukacita” ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak
penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap
hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka dengan anak itu, dan hubungan
tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.
c.         Dampak terhadap Bahasa
Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan secara umum mereka
berkesimpulan bahwa tidak terdapat defisiensi dalam bahasa anak tunanetra. Mereka mengacu
pada banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-
siswa yang awas dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga mengemukakan bahwa berbagai
studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan awas tidak menemukan perbedaan dalam
aspekaspek utama perkembangan bahasa. Karena persepsi auditif lebih berperan daripada
persepsi visual sebagai media belajar bahasa, maka tidaklah mengherankan bila berbagai studi
telah menemukan bahwa anak tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak
anak tunanetra bahkan lebih termotivasi daripada anak awas untuk menggunakan bahasa karena
bahasa merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang lain.
Secara konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak awas, karena makna kakat-
kata dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaannya di dalam bahasa. Sebagaimana halnya
dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata yang didengarnya meskipun kata-kata itu
tidak terkait dengan pengalaman nyata dan tak ada makna baginya. Kalaupun anak tunanetra
mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat
langsung dari ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukannya.
Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman kaidah-kaidah
bahasa.
d.        Dampak terhadap Orientasi dan Mobilitas
Mungkin kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk berhasil dalam
penyesuaian social individu tunanetra adalah kemampuan mobilitas yaitu ketrampilan untuk
bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya. Ketrampilan mobilitas ini sangat terkait dengan
kemampuan orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek
dengan obyek lainnya di dalam lingkungan (Hill dan Ponder,1976).
Para pakar dalam bidang orientasi dan mobilitas telah merumuskan dua cara yang dapat
ditempuh oleh individu tunanetra untuk memmproses informasi tentang lingkungannya, yaitu
dengan metode urutan (sequncial mode) yang menggambarkan titk-titik di dalam lingkungan
sebagai rute yang berurutan, atau dengan metode peta kognitif yang memberikan gambaran
topografis tentang hubungan secara umum antara berbagai titik di dalam lingkungan (Dodds et al
dalam Hallahan dan Kaufman,1991).
Metode peta kognitif lebih direkomendasikan karena cara tersebut menawarkan
fleksibilitas yang lebih baik dalam menavigasi lingkungan. Bayangkan tiga titik yang berurutan –
A, B, dan C. Memproses informasi tentang orientasi lingkungan dengan metode urutan
membatasi gerakan individu sedemikian rupa sehingga dia dapat bergerak dari A ke C hanya
melalui B. Tetapi individu yang memiliki peta kognitif dapat pergi dari titik A langsung ke titik
C tanpa memlalui B. Akan tetapi, metode konseptualisasi ruang apapun , metode urutan ataupun
metode peta kognitif- individu tunanetra tetap berkekurangan dalam bidang mobilitas
dibandingkan dengan sebayanya yang awas. Mereka kurang mapu atau tidak mampu sama sekali
menggunakan “visual metaphor” (Hallahan dan Kauffman, 1991:310) Di samping itu, para
palancong tunanetra harus lebih bergantung pada ingatan untuk memperoleh gambaran tentang
lingkungannya dibandingkan dengan individu yang awas (Holfield & Fouke dalam Hallahan dan
Kauffman,1991)
Untuk membentuk mobilitas itu, alat bantu yang umum dipergunakan oleh orang tuna
netra di Indonesia adalah tongkat, sedangkan di banyak negara barat penggunaan anjing
penuntun (guide dog) juga populer. Dan penggunaan alat elektronik untuk membantu orientasi
dan mobilitas individu tunanetra masih terus dikembangkan. Agar anak tuna netra memiliki rasa
percaya diri untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya dala bersosialisasi, mereka
harus memperoleh latihan orientasi dan mobilitas. Program latihan orientasi dan mobilitas
tersebut harus mencakup sejumlah komponen, termasuk kebugaran fisik, koordinasi motor,
postur, keleluasaan gerak, dan latihan untuk mengembangkan fungsi indera –indera yang masih
berfungsi.
8.        PENGKAJIAN
a.         Aktivitas / Istirahat :
Perubahan aktivitas biasanya / hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan.
b.         Makanan / Cairan :
Mual, muntah
c.         Neurosensori :
Gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan
bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap
(katarak). Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi sekitar sinar, kehilangan
penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut). Perubahan kacamata/pengobatan tidak
memperbaiki penglihatan.
Tanda :
Pupil menyempit dan merah/mata keras dengan kornea berawan.
Peningkatan penyebab katarak mata.
d.        Nyeri / Kenyamanan :
Ketidaknyamanan ringan/mata berair, nyeri tiba-tiba/berat menetap atau tekanan pada dan sekitar
mata, sakit kepala.
e.         Penyuluhan / Pembelajaran
Riwayat keluarga glaukoma, DM, gangguan sistem vaskuler.
Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan tekanan vena),
ketidakseimbangan endokrin. Terpajan pada radiasi, steroid/toksisitas fenotiazin.
Pengkajian pada lansia dengan gangguan penglihatan meliputi hal-hal berikut ini :
a.         Ukuran pupil mengecil
b.         Pemakaian kacamata
c.         Penglihatan ganda
d.        Sakit pada mata seperti glaucoma dan katarak
e.         Mata kemerahan
f.          Mengeluh ketidaknyamanan terhadap cahaya terang (menyilaukan).
g.         Kesulitan memasukan benang ke lubang jarum.
h.         Permintaan untuk membacakan kalimat
i.           Kesulitan/ kebergantungan dalam melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari
(mandi, berpakaian, ke kamar kecil, makan, BAK/BAB, serta berpindah)
j.           Visus
9.        DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan penglihatan
2. Ansietas b.d krisis situasional

Dx 1
Intervensi
-Observasi
Monitor Dan sesuaikan tingkat aktifitas dan stimulasi lingkungan
-Terapeutik
Pertahankan lingkungan yang aman
-edukasi
Anjurkan melakukan distraksi misalnya mendengar musik Dan melakukan teknik relaksasi
-kolaborasi
Pemberian obat anti psikotik Dan anti ansietas jika perlu

Dx 2
Intervensi
-Observasi
Monitor tanda-tanda ansietas
-Terapeutik
Diskusikan oerencanaan realistis tentang peristiwa yang akan datang
-Edukasi
Jelaskan prodesedur termasuk sensasi yang mungkin dialami
-Kolaborasi
Pemberian obat anti ansietas
DAFTAR PUSTAKA
Maryam RS,ekasari,MF,dkk .2008.mengenal usia lanjut dan perawatannya.Jakarta:salemba medika
Tamher,s,noorkasiani.2009.kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan   
keperawatan.Jakarta:salemba medika
Pranaka, Kris. 2010. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 4. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Stockslager, Jaime L . 2008. Asuhan Keperawatan Geriatrik. Edisi 2. Jakarta :EGC
Stanley M, Patricia GB.2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC
Pudjiastuti SS, Budi Utomo. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC
Maryam RS, ekasari MF, dkk .2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba

Anda mungkin juga menyukai