Disusun oleh:
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk dapat mengetahui pengertian dari ruptur uteri.
2. Untuk dapat mengetahui kasus ruptur uteri di indonesia.
3. Untuk dapat mengetahui klasifikasi ruptur uteri.
4. Untuk dapat mengetahui etiologi ruptur uteri.
5. Untuk dapat mengetahui menegakkan diagnosis.
6. Untuk dapat mengetahui penanggulangannya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Penyebab
Ada beberapa penyebab ruptur uteri, di antaranya panggul ibu yang terlalu
sempit, sudah ada kelainan rahim sebelumnya, adanya tumor di jalan lahir, ibu pernah
mengalami operasi caesar, letak janin yang melintang, bayi terlalu besar, dan masih
banyak lagi. Dilansir dari Live Science, ruptur uteri merupakan kondisi yang jarang
terjadi, yaitu sekitar 7 persen dari kehamilan namun tetap merupakan kondisi yang
perludiwaspadai
3
2. Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan menjadi:
a. Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi,
seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
b. Segmen Bawah Rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR
tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur
uteri.
c. Serviks Uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi dan
ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
d. Kolpoporeksis-Kolporeksis
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina.
3. Menurut penyebab terjadinya, ruptur uteri di bagi menjadi:
a. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil:
Pembedahan pada miometrium: seksio sesaria atau histerotomi,
histerorafia, Miomektomi yang sampai menembus seluruh ketebalan
otot uterus, reseksi pada kornua uterus atau bagian interstisial,
metroplasti.
Trauma uterus koinsidental: instrumentasi sendok kuret atau sonde
pada penanganan abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau
palu, ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya (silent rupture in
previous pregnancy).
Kelainan bawaan: kehamilan dalam bagian rahim (born) yang tidak
berkembang.
b. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan:
Sebelum kelahiran anak: his spontan yang kuat secara terus menerus,
pemakaian oksitosin atau prostaglandin untuk meransang persalinan,
instilasi cairan ke dalam kantong gestasi atau ruang amnion seperti
larutan garam fisiologik atau prostaglandin, perforasi dengan kateter
4
pengukur tekanan intrauterin, trauma luar tumpu atau tajam, versi luar,
pembesaran rrahim yang berlebihan misalnya hidramnion dan
kehamilan ganda.
Dalam periode intrapartum: versi ekstraksi, ekstraksi cunam yang
sukar, ekstraksi bokong, anomali jantung yang menyebabkan distensi
yang berlebihan pada segmen bawah rahim, teanan yang kuat pada
uterus saat melahirkan, kesulitan dlam melakukan manual plasenta.
Cacat rahim yang didapat: plasenta inkreta atau parkreta, neoplasia
trofoblas gastasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidus
inkarserata.
4. Menurut etiologinya, ruptur uteri dibedakan menjadi:
a. Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC
miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan plasenta
secara manual. Dapat juga pada graviditas pada kornu yang rudimenter dan
graviditas interstisialis, kelainan kongenital dari uterus seperti hipoplasia uteri
dan uterus bikornus, penyakit pada rahim, misalnya mola destruens,
adenomiosis dan lain-lain atau pada gemelli dan hidramnion dimana dinding
rahim tipis dan regang.
b. Karena peregangan yang luar biasa dari rahim
misalnya pada panggul sempit atau kelainan bentuk panggul, janin besar
seperti janin penderita DM, hidrops fetalis, postmaturitas dan
grandemultipara. Juga dapat karena kelainan kongenital dari janin :
Hidrosefalus, monstrum, torakofagus, anensefalus dan shoulder dystocia;
kelainan letak janin: letak lintang dan presentasi rangkap; atau malposisi dari
kepala : letak defleksi, letak tulang ubun-ubun dan putar paksi salah. Selain
itu karena adanya tumor pada jalan lahir; rigid cervix: conglumeratio cervicis,
hanging cervix, retrofleksia uteri gravida dengan sakulasi; grandemultipara
dengan perut gantung (pendulum); atau juga pimpinan partus yang salah.
c. Ruptur Uteri Violenta (Traumatika), karena tindakan dan trauma lain seperti:
Ekstraksi Forsep
5
Versi dan ekstraksi
Embriotomi
Versi Braxton Hicks
Sindroma tolakan (Pushing syndrome)
Manual plasenta
Kuretase
Ekspresi Kristeller atau Crede
Pemberian Pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
Trauma tumpul dan tajam dari luar.
5. Komplikasi
a. Gawat janin
b. Syok hipovolemik
Terjadi kerena perdarahan yang hebat dan pasien tidak segera mendapat
infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu cepat
digantikan dengan tranfusi darah.
c. Sepsis
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri telah
terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi
termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan yang demikian
pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti
pasien akan menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah.
d. Kecacatan dan morbiditas.
Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus belum
punya anak hidup akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang
berat dan mendalam.
Kematian maternal /perinatal yang menimpa sebuah keluarga
merupakan komplikasi sosial yang sulit mengatasinya.
6
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi ruptur uteri adalah pemisahan jaringan uterus dengan jaringan
serosa secara spontan atau karena penyebab iatrogenik dan traumatik. Hal ini
menyebabkan isi rahim keluar dari rongga uteri dan masuk ke rongga
peritoneum. Ketika ada robekan, darah dan isi dari rahim akan mengisi ruang
peritoneum sehingga menyebabkan aliran darah ke fetal menjadi terganggu.
Faktor risiko yang dapat memicu terjadinya pemisahan antara jaringan uterus
dengan atau penggunaan forceps jaringan serosa misalnya trauma pada
abdomen, riwayat sectio caesarea, aat persalinan
7
- Nadi : Normal/meningkat ( 100-120 x/menit)
- Pernafasan : Normal/ meningkat ( 28-34x/menit )
- Suhu : Normal/ meningkat
- Kesadaran : Normal / turun
- Fundus uteri/abdomen : lembek/keras, subinvolusi
- Kulit : Dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat,
capilary refill memanjan
- Pervaginam : Keluar darah, robekan, lochea ( jumlah
dan jenis
- Kandung kemih : distensi, produksi urine
menurun/berkurang
2) Diagnosa Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan b/d perdarahan pervaginam
b. Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahan pervaginam
c. Cemas/ketakutan b/d perubahan keadaan atau ancaman
kematian
d. Resiko infeksi b/d perdarahan
e. Resiko shock hipovolemik b/d perdarahan.
3) Rencana Tindakan Keperwatan
1) Kekurangan volume cairan b/d perdarahan pervaginam
Tujuan : Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki
volume cairan
Rencana tindakan :
a. Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedangkan
badannya tetap terlentang
R/ Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return
dan memungkinkan darah keotak dan organ lain.
b. Monitor tanda vital
R/ Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin hebat
c. Monitor intake dan output setiap 5-10 menit
8
R/ Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan fungsi
ginjal
d. Evaluasi kandung kencing
R/ Kandung kencing yang penuh menghalangi kontraksi uterus
e. Lakukan masage uterus dengan satu tangan serta tangan
lainnya diletakan diatas simpisis.
R/ Massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu
pelepasan placenta, satu tangan diatas simpisis mencegah
terjadinya inversio uteri
f. Batasi pemeriksaan vagina dan rectum
R/ Trauma yang terjadi pada daerah vagina serta rektum
meningkatkan terjadinya perdarahan yang lebih hebat, bila
terjadi laserasi pada serviks / perineum atau terdapat hematom.
Bila tekanan darah semakin turun, denyut nadi makin lemah,
kecil dan cepat, pasien merasa mengantuk, perdarahan semakin
hebat, segera kolaborasi.
g. Berikan infus atau cairan intravena
R/ Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravascular
h. Berikan uterotonika ( bila perdarahan karena atonia uteri )
R/ Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol
perdarahan
i. Berikan antibiotic
R/ Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena
perdarahan
j. Berikan transfusi whole blood ( bila perlu )
R/ Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.
9
a) Monitor tanda vital tiap 5-10 menit
R/ Perubahan perfusi jaringan menimbulkan perubahan
pada tanda vital
b) Catat perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi dan
lidah, suhu kulit
R/ Dengan vasokontriksi dan hubungan keorgan vital,
sirkulasi di jaingan perifer berkurang sehingga
menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang dingin
c) Kaji ada / tidak adanya produksi ASI
R/ Perfusi yang jelek menghambat produksi prolaktin
dimana diperlukan dalam produksi ASI
d) Tindakan kolaborasi :
- Monitor kadar gas darah dan PH ( perubahan
kadar gas darah dan PH merupakan tanda
hipoksia jaringan )
- Berikan terapi oksigen ( Oksigen diperlukan
untuk memaksimalkan transportasi sirkulasi
jaringan ).
-
3) Cemas/ketakutan berhubungan dengan perubahan keadaan atau
ancaman kematian
Tujuan : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa
cemasnya dan mengatakan perasaan cemas berkurang atau
hilang.
Rencana tindakan :
i. Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan
R/ Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya
ii. Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar )
R/ Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon
fisiologis
10
iii. Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung
R/ Memberikan dukungan emosi
iv. Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan
R/ Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang
tidak diketahui
v. Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya
R/ Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas
vi. Kaji mekanisme koping yang digunakan klien
R/ Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme
koping yang tepat.
11
R/ Pembalut yang terlalu basah menyebabkan kulit iritasi dan
dapat menjadi media untuk pertumbuhan bakteri,peningkatan
resiko infeksi.
- Tindakan kolaborasi
Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan )
Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat
diperlukan untuk keadaan infeksi ).
12
R/ Koagulan membantu dalam proses pembekuan darah dan
uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol
perdarahan.
Evaluasi
13
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
ruptur uteri adalah robekan dinding uterus yang dapat terjadi saat periode
antenatal ketika induksi, persalinan, dan kelahiran atau bahkan selama stadium
ketika persalinan saat umur kehamilan lebih dari 28 minggu.
Ruptur uteri dapat disebabkan oleh dinding rahim yang lemah dan cacat,
misalnya pada bekas SC, kuratase, pelepasan plasenta secara manual dan tindakan
persalinan lainnya, serta kerena peregangan luar biasa pada rahim.
4.2 Saran
Saran yang dapat kami sampaikan yaitu seorang tenaga kesehatan lainnya
harus lebih cepat mendiagnosa dan menegakkan diagnosa, agar kematian ibu
karena ruptur uteri bisa berkurang di indonesia.
14
DAFTAR PUSTAKA
ACOG. Vaginal birth after previous cesarean delivery. ACOG practice bulletin no. 54.
Washington, DC: American College of Obstetricians and Gynecologists;2004.
Kayani SI, Alfirevic Z. Uterine rupture after induction of labour in women with
previous caesarean section. BJOG. Apr 2005;112(4):451-5. [Medline].
Lim AC, et al.Pregnancy after uterine rupture: a report of 5 cases and a review of the
literature.Obstet Gynecol Surv.2005 ;60(9):613-7
Macones GA, Cahill A, Pare E, et al. Obstetric outcomes in women with two prior
cesarean deliveries: is vaginal birth after cesarean delivery a viable option?. Am J
Obstet Gynecol. Apr 2005;192(4):1223-8; discussion 1228-9.
15