Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit paru masih menjadi masalah yang sering ditemukan di Indonesia,


dengan iklim yang tropis dan beragam budaya yang ada di Indonesia, ini menjadi
salah satu faktor terjadinya Pneumocystis Pneumonia (PCP) atau Pneumocystis
Jirovecii Pneumonia atau Pneumocystis Carinii Pneumonia. PCP merupakan enyakit
yang menyerang terhadap pasien yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang
menurun, HIV/AIDS merupakan suatu kondisi yang mengakibatkan sistem kekebalan
tubuh sangat turun dan hal ini mengakibatkan banyak terjadinya PCP. PCP
merupakan salah satu penyebab kematian pada penderita immunocompromised
lainnya seperti pada pasien yang sedang menjalani kemoterapi, pasien yang
mendapatkan terapi kortikosteroid jangka lama, pasien dengan malnutrisi protein dan
pasien dengan penyakit keganasan hematologi. Pernah dilaporkan pula terjadi
penularan PCP melalui transplantasi organ.

PCP mempunyai distribusi hampir di seluruh dunia dan manusia menjadi


tempat berkembang biaknya organisme ini. PCP tidak menginfeksi manusia dengan
kekebalan tubuh yang normal. Selain itu PCP diyakini dapat muncul pula dari
reaktivasi infeksi laten. Hal ini membuktikan telah terjadi pajanan di masa lampau
dan menjadi aktif beberapa tahun kemudian.

Lyda dkk melaporkan prevalens PCP adalah 13,4% berdasarkan gejala dan 2
tanda klinis yang dialami pasien. Pada tahun 2009 jumlah pasien pneumocystis pada
RS Persahabatan dan RSCM adalah 14,55% dari sebanyak 55 pasien yang diteliti.
Bila dibandingkan dengan negara lain angka tersebut masih lebih rendah. Di Afrika
pada tahun 1992 prevalens pneumocystis pneumonia adalah 21%, di Thailand setelah
tahun 1992 mencapai 30%, di Asia Selatan angka kejadian mencapai 66% sedangkan
di Filipina adalah sebanyak 30%. Pada penelitian di Panama prevalens mencapai 84%
dan Brazil sekitar 18% sedangkan di India mencapai 12,67% serta di korea selatan
sekitar 10%. Penelitian di Spanyol ditemukan sebanyak 40% pasien terdeteksi PCP

1
dari jumlah pasien yang diteliti sebanyak 20 pasien.6 Penggunaan terapi profilaksis
dan pengobatan anti retroviral kombinasi pada penderita HIV akhirnya menurunkan
jumlah insidens Pneumocystis jirovecii. Pada periode 1992 hingga 1995 jumlah
penderita pneumocystis jirovecii menurun sebanyak 3,4 % dan menurun sebanyak
21,5 % pada periode tahun 1996 hingga 1998 menurut data Centre for Disease
Control and Prevention. Di Eropa pada akhir dekade 1990an terjadi penurunan angka
kejadian Pneumocystis jirovecii.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Etiologi

Pneumocystis carinii pneumonia (selanjutnya disebut PCP) merupakan


infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii, sekarang
dikenal dengan nama Pneumocystis jiroveci, sebagai tanda penghormatan kepada
ahli parasitologi berkebangsaan Cechnya; Otto Jirovec. Organisme ini pertama
kali ditemukan oleh Chagas (1909).

Pneumocystis jirovecii pneumonia yang disebabkan oleh organisme


Pneumocystis jirovecii sebelumnya dikenal dengan nama Pneumocystis carinii.
Pemberian nama jirovecii sendiri adalah sebagai tanda penghormatan kepada
Otto Jirovec, seorang ahli parasitologi berkebangsaan Cechnya. Organisme ini
pertama kali diidentifikasi oleh Carlos Chagas pada tahun 1909 dari paru guinea
pig di Sao Paulo, Brazil dan Antonio Carinii dari paru tikus yang terinfeksi.
Chagas menemukan bentuk kista pneumocystis dari bagian siklus hidup yang

3
dahulu diduga suatu Tripanosoma (trypanosoma cruzi) dari jenis protozoa.
Kemudian Delanoes menyatakan bahwa organisme ini bukan termasuk genus
trypanosoma tetapi merupakan jenis spesies baru dan diberi nama Pneumocystis
carinii. Pada tahun 1952 Vanek dan Jirovec melaporkan bahwa organisme ini
menyebabkan wabah pneumonia sel plasma interstitial pada anak-anak panti
asuhan yang kekurangan gizi di Iran.2,3

Pada tahun 1988 melalui analisis DNA ditemukan bahwa Pneumocystis


merupakan golongan jamur tanpa komponen ergosterol dalam dinding
selnya.Kemudian pada tahun 1999 dilakukan pengelompokan yang lebih spesifik
secara taksonomi berdasarkan analisis DNA. Pneumocystis carinii
dikelompokkan lebih spesifik menjadi Pneumocystis Carinii f.sp. Carinii
(Pneumocystis carinii) dan Pneumocystis carinii f. sp. Hominis (Pneumocystis
jirovecii). Nama baru tersebut tidak mengubah akronim PCP karena masih dapat
diambil dari Pneumocystis pneumonia.3 Pneumocystis pneumonia pada manusia
disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii yang berbeda dengan Pneumocystis
carinii. Dari dua spesies pneumocystis, pneumocystis carinii hanya ditemukan
pada hewan tikus dan mamalia sedangkan pneumocystis jirovecii hanya
ditemukan pada manusia. Pneumocystis jirovecii adalah jamur yang bersifat
patogen karena kasusnya yang sering ditemukan sebagai penyebab pneumonia
pada pasien immunodeficiency. Contoh orang-orang yang berisiko meliputi
pasien dengan pengobatan anti neoplastik, malnutrisi protein, penggunaan
obat-obat immunosuppressive dan glukokortikoid, orang-orang dengan penyakit
keganasan hematologi (leukemia, limfoma, multiple myeloma) serta orang-orang
dengan infeksi HIV.4

B. Siklus Hidup

Pneumocystis jirovecii adalah mikroorganisme eukariotik dan uniselular.


Organisme ini memiliki 3 stadium dalam siklus hidupnya yaitu bentuk trofozoit,

4
sporozoit dan kista. Bentuk kista dan trofozoit dapat ditemukan dalam rongga
alveoli yang terinfeksi. Secara mikroskopis kista berbentuk sferis atau bulan sabit
(crescentshaped form) berdinding tebal. Inti kista dapat terlihat dengan pulasan
Giemsa atau Hematoksilin. Ukuran diameter kista kira-kira 5-8 um dan bila
matang, berisi delapan sporozoit berdiameter 1-2 um yang akan berkembang
menjadi bentuk trofozoit setelah mengalami ekskistasi. Trofozoit berukuran 1-5
um terlihat sebagai bentuk uniselular atau ameboid, berdinding tipis, berukuran
kecil (2-5 um), pleimorfik, memiliki inti eksentrik dan sering ditemukan
berkelompok. Trofozoit dan sporozoit akan tampak jelas dengan pewarnaan
Giemsa, Gram atau Wright.3

Secara umum siklus hidup Pneumocystis digambarkan oleh John J. Ruffolo,


Ph.D terbagi menjadi 2 yaitu aseksual dan seksual. Pada fase aseksual bentuk
trofozoid 4 akan bereplikasi melalui proses mitosis yaitu sebuah sel trofozoid
akan membelah menjadi 2 di mana trofozoid kedua mempunyai genetik yang
sama dengan trofozoid awal. Pada fase seksual bentuk trofozoid yang haploid
akan berkonjugasi menjadi satu dan akan menghasilkan bentuk kista dini yang
diploid (diploid precyst) atau zigot. Kemudian zigot akan membelah diri secara
meiosis dilanjutkan dengan membelah diri secara mitosis untuk menghasilkan 8
nukleus yang haploid atau kista matur. Kista matur mengandung 8 sporozoit
yang berbentuk sferis atau memanjang yang kemudian akan berelongasi dan akan
memicu sporozoit keluar dari kantongnya pada fase ekskistasi (excystment
phase)sebagai trofozoid yang baru.3

5
C. Patogenesis

Penularan Pneumocystis jirovecii terjadi melalui respiratory droplet infection,


terhirup atau kontak langsung dengan penderita dalam bentuk infektifnya yaitu
kista. Dilaporkan pula bahwa transmisi dapat terjadi secara in utero dari ibu ke
bayi yang dikandungnya namun dengan trofozoid sebagai bentuk infektifnya.
Dalam bentuk kista Pneumocystis jirovecii terhirup oleh manusia dan sampai ke
alveoli dan melekat pada permukaan sel alveolar tipe I. Perlekatan itu
diperantarai oleh major surface glycoprotein (MSG) yaitu suatu antigen yang
paling banyak ditemukan pada permukaan sel pneumocystis dan berperan
penting dalam interaksinya dengan pejamu serta menimbulkan suatu respon imun.
Individu dengan sistem imun intak akan mengontrol infeksi primer itu dan
mikroorganisme tersebut tetap berada di dalam paru secara laten. Penyakit akan
muncul bila suatu ketika terjadi gangguan atau defisiensi sistem imun.5,6

6
Pada proses infeksi lebih lanjut di alveoli pneumocystis jirovecii akan
berkembang biak di paru dan menstimulasi pembentukan eksudat yang
eosinofilik yang mengisi ruang alveoli. Eksudat mengandung histiosit, limfosit
dan sel plasma yang menyebabkan kerusakan alveoli paru sehingga menurunkan
fungsi difusi sebagai bagian dari proses oksigenasi. Pada keadaan lanjut
interstisium paru menebal (edema interstitial) dan menjadi fibrosis. Pada
akhirnya dapat terjadi kegagalan proses difusi di paru dikarenakan blokade
alveoli hingga ke bronchial oleh massa jamur yang berproliferasi.3,6 Dinding
alveoli yang menebal dan alveoli sendiri yang berisi eksudat eosinofilik, yang
mengandung histiosit, limfosit sel plasma dan mikroorganisme itu sendiri
memberi gambaran seperti sarang lebah (honeycomb appearance).6 Pada
penelitian Limper dkk, ditemukan bahwa jumlah P. jirovecii pada pasien dengan
AIDS adalah lebih tinggi dibandingkan pasien PCP lainnya dan memiliki jumlah
netrofil lebih sedikit di dalam sampel. Maka diambil suatu hipotesis bahwa
inflamasi paru berkontribusi terhadap kerusakan paru pada pasien PCP.5

D. Manifestasi Klinis

Gejala klinis Pneumocystis pneumonia meliputi demam yang tidak terlalu


tinggi, batuk yang non produktif dan sesak napas yang terjadi secara subakut 2
minggu atau lebih. Gambaran penyakitnya akan berbeda pada pasien AIDS dan
pasien tanpa sindroma AIDS. Pada pasien bukan AIDS onsetnya tidak jelas
dengan masa inkubasi sampai 2 bulan. Batuk nonproduktif merupakan gejala
yang tipikal dan dapat berlanjut hingga kapasitas ventilasinya menurun. Meski
gangguan pernapasannya menjadi berat, tanda-tanda kliniknya tidak begitu jauh
dari normal. Pasien mungkin afebris, jumlah sel darah putih normal atau
meningkat sedikit, dan mungkin terdapat eosinophilia. Pada bayi di bawah 3
bulan dapat timbul batuk-batuk, takipnea, dengan episode apnea. Pada
pemeriksaan fisik biasanya terdapat ronki yang difus.4,6

7
Pada pasien dengan AIDS, masa inkubasinya lebih lama, rata-rata sekitar 40
hari tetapi dapat sampai setahun dengan berat badan menurun, malaise, diare,
batuk nonproduktif, dispnea progresif dan demam ringan. Pada pemeriksaan dada,
ronki dapat ada atau tidak ada. Laporan-laporan menunjukkan bahwa sebanyak
28% dari pasien terindikasi PCP foto toraksnya normal serta kelainan fisik di
dadanya tidak ada atau tidak jelas. Klinisi diharapkan waspada akan
kemungkinan infeksi pneumocystis bila ditemukan bintik seperti kapas di fundus
mata, terutama bila tidak ada diabetes atau hipertensi. Meskipun PCP telah
ditemukan pada berbagai jaringan seperti kelenjar limfe, limpa, hati, darah
perifer, lambung, usus kecil, sumsum tulang, miokardium, kelenjar adrenal dan
tiroid, penyebaran yang berasal dari paru-paru sangat jarang. Dapat ditemukan
juga cairan serosa dan sel-sel lain di rongga interstisial dan alveoli paru-paru.6,7,8

Derajat Kriteria klinis

1. Ringan Sesak napas saat beraktivitas ringan, batuk, berkeringat. PaO2 >
80 mmHg, SaO2 > 96%. Gambaran foto toraks dapat normal atau
terdapat infiltrat di perihiler yang minimal.

2. Sedang Sesak napas saat beraktivitas sedang, demam dengan atau tanpa
berkeringat. PaO2 60-80 mmHg, SaO2 91-96%. Gambaran foto toraks
terdapat infiltrat interstitial bersifat difus.

3. Berat Sesak napas saat beristirahat, demam dan batuk yang persisten.
PaO2 < 60 mmHg, SaO2 < 91%. Gambaran foto toraks terdapat infiltrat
yang ekstensif dengan atau tanpa infiltrat alveolar.9

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Pewarnaan

Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kista atau trofozoit


pneumocystis dalam sediaan bahan sample pasien misal dari bilasan bronkus,

8
biopsi atau sputum. Berbagai macam jenis pulasan telah digunakan untuk
mendeteksikista pneumocystis antara lain: modifikasi tahan asam
Gram-Wiegart, cresylecht violet, biru toluidine, acridine orang, pulasan
Gomori’s methenamine silver dan pulasan fiksasi aseton-alkohol. Pewarnaan
konvensional yang paling sering digunakan adalah Gomori Methenamine
Silver (GMS) untuk mendeteksi dinding kista, serta giemsa dengan
modifikasi untuk mendeteksi semua stadium pneumocystis.10

Penggunakan pewarnaan GMS sensitivitasnya dalam mendeteksi


pneumocystis dari sediaan bilasan bronkus mencapai 70-92%, bila
dikombinasikan dengan pemeriksaan sediaan biopsi transbronkial
sensitivitasnya dapat mencapai 100%. Induksi sputum merupakan prosedur
pemeriksaan yang lebih sederhana serta noninvasif dibandingkan bilasan
bronkus atau biopsi transbronkial, tetapi sensitivitasnya menggunakan
pewarnaan konvensional hanya 35-78%. Pengembangan teknik pewarnaan
imunositokimia dilaporkan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan induksi
sputum hingga 97%.10

Kista Pneumocystic jirovecii dengan pewarnaan Giemsa.

9
Kista Pneumocystic jirovecii dengan pewarnaan Gomori Methenamine
Silver.

2. Radiologi

Pada pemeriksaan radiologis foto toraks memperlihatkan infiltrat


bilateral difus yang dapat meningkat menjadi homogen. Infiltrat bilateral
dapat simetris mulai dari hilus hingga ke perifer dan dapat pula meliputi
seluruh lapangan paru. Kadangkala ditemukan pula gambaran berupa nodul
soliter atau multipel, kavitas, kista, bulla atau pneumatocele dan konsolidasi.
Pada 2-6% kasus dapat ditemukan gambaran pneumotoraks. Ditemukan pula
gambaran emfisema yang meluas hingga menyerupai gambaran sarang lebah
(honeycomb appereance). Ditemukan gambaran foto toraks yang normal
pada 10-40% kasus namun bila dilakukan CT scan dapat ditemukan
gambaran ground glass atau lesi kistik. Maka apabila gambaran foto toraks
terlihat normal atau meragukan tetapi gejala klinis mendukung ke arah
pneumocystis dapat dianjurkan pemeriksaan CT scan atau High Resolution
Computed Tomography. Pada beberapa kasus pemeriksaan HRCT

10
menunjukkan sensitivitas mencapai 100% spesifitas mencapai 86% serta
akurasi 90%. Pada pemeriksaan HRCT untuk kasus pneumocystis
pneumonia seringkali ditemukan gambaran ground glass opacity yang difus
atau patchy yaitu sebanyak 92%. Penelitian lain menemukan gambaran kistik
33%, nodul sentral lobuler 25% limfadenopati 25% dan efusi pleura 17%.
Pada beberapa kasus gambaran bronkus yang lebih gelap (dark bronchus
appereance) sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi gambaran ground
glass opacity yang difus. Gambaran bronkus yang lebih gelap terjadi oleh
karena udara mengisi area bronkusyang dikelilingi oleh parenkim paru yang
berisi sel-sel inflamasi dan eksudat. Pemeriksaan HRCT dapat memberikan
hasil pemeriksaan yang lebih akurat dan dapat mendiagnosis lebih dini pada
pasien yang memiliki foto toraks yang tampak normal.11,12

Infiltrat interstitial bilateral yang homogen.

11
Infiltrat interstitial multifokal, infiltrat ground glass dan pneumatokel yang
multipel.

3. Laboratorium

Berdasarkan penelitian terbaru pemeriksaan serum Beta-D-glucan


merupakan pemeriksaan yang potensial dan dapat digunakan sebagai sarana
untuk mendiagnosis pneumocystis jirovecii. Beta-D-glucan sendiri
merupakan komponen dinding sel jamur termasuk jenis pneumocystis
jirovecii. Sensitivitas pemeriksaan beta-D-glucan dalam mendiagnosis
pneumocystis jirovecii mencapai 92% serta spesifitasnya mencapai 65%.
Pemeriksaan beta-D-glucan berdasarkan reaksi antigen-antibodi untuk
mendeteksi suatu infeksi jamur di dalam darah manusia telah diakui oleh
Food and Drug Administration.Walaupun demikian cara pemeriksaan ini
masih jarang digunakan di Indonesia selain biayanya yang relatif mahal.6
Pemeriksaan laboratorium lainnya adalah pemeriksaan kadar serum lactate
dehydrogenase (LDH) dalam darah yang merupakan enzim yang terdapat di
dalam sitoplasma dari sel pada semua sistem organ tubuh. Apabila terdapat
peningkatan kadar LDH maka dapat dideteksi telah terjadi kerusakan dari

12
suatu sel organ tubuh tertentu. Pada pasien dengan diagnosis pneumonia
peningkatan kadar serum LDH dikaitkan dengan kerusakan pada jaringan
paru. Tetapi hal tersebut lebih menggambarkan proses inflamasi paru itu
sendiri dibandingkan merupakan suatu petanda khusus dari infeksi
pneumocystis jirovecii sehingga dapat dikatakan bahwa pemeriksaan ini
kurang spesifik. Pada penelitian di German dengan menggunakan
pemeriksaan LDH hasilnya adalah pada pasien HIV-AIDS sensitivitasnya
mencapai 100% dan spesifitasnya mencapai 47%. Sedangkan pada pasien
non HIV sensitivitasnya mencapai 63% dan spesifitasnya mencapai 43%.
Secara keseluruhan keakuratan pemeriksaan LDH untuk mendiagnosis
pneumocystis pneumonia adalah 52%, pada pasien non HIV 51% sedangkan
pada pasien HIV 58%.13

4. Polymerase Chain Reaction

Penggunaan Polymerase Chain Reaction dalam mendiagnosis


Pneumocystis pneumonia pertama kali dilaporkan oleh Wakefield dkk.
Pemeriksaan PCR dilaporkan dapat meningkatkan sensitivitas deteksi
Pneumocystis hingga 86-100% dari sediaan induksi sputum. Beberapa
penelitian menggunakan PCR telah berhasil mendeteksi P. Jirovecii pada
individu yang sediaan pewarnaannya negatif. Sebagian pasien tersebut
memperlihatkan gejala klinis, sebagian lagi tidak sehingga memungkinkan
dugaan kolonisasi asimtomatik. Pemeriksaan P. Jirovecii secara kuantitatif
menggunakan realtime PCR memungkinkan dibedakannya kolonisasi
komensal dengan patogen secara cepat dan akurat.14,15,16

Flori dkk. membandingkan pemeriksaan realtime PCR dengan PCR


konvensional serta teknik pewarnaan dalam diagnosis pneumocystis

13
pneumonia. Nilai sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan real-time PCR
adalah 100% dan 87% sedangkan teknik pewarnaan adalah 60% dan 100%.
Penggunaan real-time PCR telah memberikan pencerahan dalam
pengembangan studi epidemiologi di antaranya dalam hal peningkatan
kecepatan reaksi yang diperlukan dan keleluasaan ruang lingkup.
Pengembangan real-time PCR memungkinkan pemeriksaan secara
kuantitatif untuk membedakan keadaan komensal atau infeksi subklinis
dengan patogen dalam waktu singkat namun memerlukan tingkat
keterampilan teknis yang tinggi, dukungan fasilitas yang memadai dan biaya
penyediaan alat yang tinggi.16,17,18

F. Penatalaksanaan

1. Ringan TMP-SMZ oral 960 mg 3 kali sehari selama 21 hari atau 14 hari bila
respon baik.

2. Sedang Perlu dipertimbangkan rawat inap. TMP-SMZ oral 960 mg 3 kali


sehari selama 21 hari.

3. Berat Rawat inap, TMP-SMZ i.v atau oral dosis TMP 15 mg/kgBB/hari dan
SMZ 75 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 21 hari.

Pengobatan pilihan lain dapat diberikan Trimethoprim oral 15


mg/kgBB/hari dan Dapson 100 mg/hari selama 21 hari. Pada kasus berat
dapat diberikan Pentamidin intravena 3-4 mg/kgBB/hari selama lebih dari 60
menit selama 21 hari. Terapi lain adalah Clindamycin intravena dengan dosis
3 x 600-900 mg atau oral 4 x 300-450 mg ditambah Primakuin oral dosis 1 x
15-30 mg selama 21 hari. Dapat diberikan pula Atovaquon oral 2 x 750 mg
selama 21 hari. Pada kondisi kasus sedang hingga berat dapat diberikan
kortikosteroid bersamaan dengan antibiotik yaitu prednison oral 2 x 40 mg
dalam 5 hari pertama, 1 x 40 mg dalam 5 hari berikutnya dan dilanjutkan 20
mg/hari hingga terapi selesai. Metilprednisolon intravena dapat diberikan

14
dengan dosis awal 4 x 100 mg bila tidak dapat diberikan terapi prednison
oral. Bila diberikan terapi kortikosteroid paling lambat 72 jam pertama
sebelum terjadi perburukan.9,19,20

Pengobatan Pneumocystis pneumonia pada kasus sedang hingga berat


dengan kortikosteroid.

Pengobatan Pilihan Lain

15
Profilaksis umumnya diberikan pada pasien dengan immunodefisiensi /
immunocompromized. Pada penderita HIV / AIDS dengan CD4 count
menurun hingga < 300, dianjurkan untuk mengkonsumsi kemoprofilaksis
PCP. Kemoprofilaksis biasanya berupa pemberian kombinasi trimetoprim +
sulfametoksazol, 150 dan 750 mg / m2 / hari, dibagi dalam 2 dosis dengan
interval pemberian tiap 12 jam. Pentamidin inhaler dalam bentuk aerosol
dapat juga digunakan sebagai alternatif lain kemoprofilaksis.9,20,21

G. Prognosis

Prognosis kurang baik karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita
dengan immunodefisiensi / immunocompromized. Bila PCP ditemukan pada
penderita dengan immunodefisiensi, persentase kematian dapat mencapai 100 %.
Namun bila infeksi dapat didiagnosa sedari dini dan diberikan terapi yang
adekuat, persentase kematian dapat diturunkan hingga 10 %. Sayang, sebagian
besar kasus PCP bahkan baru terdiagnosa setelah pasien meninggal dunia pada
pemeriksaan autopsy.9,21,22

BAB III

16
KESIMPULAN

1. Pneumocystis pneumonia masih menjadi suatu infeksi oportunistik yang umum


pada pasien dengan HIV-AIDS, selain pasien yang menjalani kemoterapi,
pengobatan imunosupresif dan pasien dengan kondisi immunocompromised.
2. Manifestasi klinis yang kadang-kadang tidak khas pada pasien PCP menyebabkan
keterlambatan diagnosis yang mengakibatkan keterlambatan penatalaksanaan
sehingga pada akhirnya meningkatkan risiko kematian.
3. Penegakan diagnosis PCP selain melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis
ditunjang dengan beberapa pemeriksaan lainnya seperti radiologis, pewarnaan
yang didapat dari bahan sampel (sputum, bilasan, biopsi), pemeriksaan
laboratorium LDH, Beta-D-glucan dan PCR.
4. Penatalaksanaan PCP disesuaikan dengan derajat tingkat keparahan penyakit dan
trimetophrim-sulfamethoksazole masih merupakan obat yang efektif untuk
pencegahan dan pengobatan selain obat alternatif lainnya.
5. Pengobatan profilaksis terhadap pasien HIV-AIDS dapat menurunkan angka
kejadian PCP dan angka kematian pada penderita PCP.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Maskell NA, et.al. Asymptomatic carriage of Pneumocystis jirovecii in subjects


undergoing bronchoscopy: a prospective study. Church Hospital, Oxford UK.
BMJ Thorax 2003.

2. Tabarsi P, et.al.. Pneumocystis Pneumonia in Patients with Human


Immunodeficiency Virus. National Research Institute of Tuberculosis and
Lung Disease, Iran. Tanaffos 2007.

3. Thomas CF, Limper AH. Current insights into the biology and pathogenesis of
Pneumocystis pneumonia. Nature Review Microbiology 2007.

4. Viegas C, et.al. Management of Pneumocystis carinii pneumonia in


HIV-infected patients: empiric treatment versus microscopic confirmation.
Journal Pneumologi 1997.

5. Sepkowitz A. Opportunistic Infections in patients with and patients without


Aquired Immunodeficiency Syndrom. Journal Oxford Clinical Infection
Diseases 2002.

6. Onishi A, et.al. Diagnostic Accuracy of serum 1,3-β-D-Glucan for


Pneumocystis jirovecii Pneumonia, Invasive Candidiasis, and Invasive
Aspergillosis: Systematic Review and Meta-Analysis. Department of
Evidence Based Laboratory Medicine Kobe Japan. Journal of Clinical
Microbiology 2011.

7. Gripaldo R, et.al. Pneumocystis Pneumonia in HIV-Negative Patients: A


Review of the Literature. Clinical Pulmonary Medicine 2012.

8. Matsumura Y, et al. Clinical characteristics of Pneumocystis pneumonia in


non-HIV patients and prognostic factors including microbiological genotypes.
Department of Clinical laboratory Medicine, Kyoto University, Japan.
BioMed Central Infectious Diseases 2011.

18
9. Adler MW, Miller R. ABC of AIDS fifth edition, AIDS in the lung. University
college London. BMJ Publishing Group ISBN 2001.

10. Beck JM, Cushion MT. Pneumocystis Workshop: 10th Anniversary Summary.
American Society for Microbiology Eukaryotic Cell 2009.

11. Yaday P, et.al. The ‘dark bronchus’ sign: HRCT diagnosis of Pneumocystis
carinii pneumonia. Annals of Thoracic Medicine 2007.

12. Muller NL, et.al. Diseases of The Lung. Radiologic and Pathologic
Correlations. Lippincott Williams & Wilkins 2003.
13. Vogel M, et.al. Accuracy of serum LDH elevation for the diagnosis of
Pneumocystis jirovecii pneumonia. The Eropean Journal of Medical Sciences
2011.

14. Samuel C, et.al. Improved detection of Pneumocystis jirovecii in upper and


lower respiratory tract specimens from children with suspected pneumocystis
pneumonia using real-time PCR: a prospective study. BMC Infectious
Diseases 2011.

15. Oren I, et.al. Polymerase Chain ReactionBased Detection of Pneumocystis


jirovecii in Bronchoalveolar Lavage Fluid for 21 the Diagnosis of
Pneumocystis Pneumonia. The American Journal of the Medical Sciences
2011.

16. Rozaliyani A, et.al. Pemeriksaan Real-time PCR dalam Diagnosis Pneumonia


Pneumocystis. Journal Respirasi Indonesia 2011.

17. Yuan L, et.al. PCR Diagnosis of Pneumocystis Pneumonia: a Bivariate


Meta-Analysis. Department of Respiratory Diseases, Guangxi Medical
University Republic of China. Journal of Clinical Microbiology American
Society 2011.

18. Joly ID, et. al. Molecular diagnosis of Pneumocystis pneumonia. FEMS
Immunology and Medical Microbiology 2005.

19
19. Castro G, et,al. Management of Pneumocystis Jirovecii pneumonia in HIV
infected patients: current options, challenges and future directions. Division of
Infectious Diseases, University of Miami Miller School of Medicine, Miami,
Florida, USA.HIV/AIDS-Research and Palliative Care 2010.

20. Vilar FJ, et.al. The management of Pneumocystis carinii pneumonia.


Blackwell Science Ltd Br Journal Clin. Pharmacol.

21. Fisk M, Sage EK, Edwards SG, Cartledge JD, Miller RF. Outcome from
treatment of Pneumocystis jirovecii pneumonia with co-trimoxazole.
University College London Hospitals. International Journal of STD & AIDS
2009.

22. Wang HW, et.al. Mortality predictors of Pneumocystis jirovecii pneumonia in


human immunodeficiency virus-infected patients at presentation: Experience
in a tertiary care hospital of northern Taiwan. Journal of Microbiology,
Immunology and Infection 2011.

20

Anda mungkin juga menyukai