PENDAHULUAN
Lyda dkk melaporkan prevalens PCP adalah 13,4% berdasarkan gejala dan 2
tanda klinis yang dialami pasien. Pada tahun 2009 jumlah pasien pneumocystis pada
RS Persahabatan dan RSCM adalah 14,55% dari sebanyak 55 pasien yang diteliti.
Bila dibandingkan dengan negara lain angka tersebut masih lebih rendah. Di Afrika
pada tahun 1992 prevalens pneumocystis pneumonia adalah 21%, di Thailand setelah
tahun 1992 mencapai 30%, di Asia Selatan angka kejadian mencapai 66% sedangkan
di Filipina adalah sebanyak 30%. Pada penelitian di Panama prevalens mencapai 84%
dan Brazil sekitar 18% sedangkan di India mencapai 12,67% serta di korea selatan
sekitar 10%. Penelitian di Spanyol ditemukan sebanyak 40% pasien terdeteksi PCP
1
dari jumlah pasien yang diteliti sebanyak 20 pasien.6 Penggunaan terapi profilaksis
dan pengobatan anti retroviral kombinasi pada penderita HIV akhirnya menurunkan
jumlah insidens Pneumocystis jirovecii. Pada periode 1992 hingga 1995 jumlah
penderita pneumocystis jirovecii menurun sebanyak 3,4 % dan menurun sebanyak
21,5 % pada periode tahun 1996 hingga 1998 menurut data Centre for Disease
Control and Prevention. Di Eropa pada akhir dekade 1990an terjadi penurunan angka
kejadian Pneumocystis jirovecii.1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
dahulu diduga suatu Tripanosoma (trypanosoma cruzi) dari jenis protozoa.
Kemudian Delanoes menyatakan bahwa organisme ini bukan termasuk genus
trypanosoma tetapi merupakan jenis spesies baru dan diberi nama Pneumocystis
carinii. Pada tahun 1952 Vanek dan Jirovec melaporkan bahwa organisme ini
menyebabkan wabah pneumonia sel plasma interstitial pada anak-anak panti
asuhan yang kekurangan gizi di Iran.2,3
B. Siklus Hidup
4
sporozoit dan kista. Bentuk kista dan trofozoit dapat ditemukan dalam rongga
alveoli yang terinfeksi. Secara mikroskopis kista berbentuk sferis atau bulan sabit
(crescentshaped form) berdinding tebal. Inti kista dapat terlihat dengan pulasan
Giemsa atau Hematoksilin. Ukuran diameter kista kira-kira 5-8 um dan bila
matang, berisi delapan sporozoit berdiameter 1-2 um yang akan berkembang
menjadi bentuk trofozoit setelah mengalami ekskistasi. Trofozoit berukuran 1-5
um terlihat sebagai bentuk uniselular atau ameboid, berdinding tipis, berukuran
kecil (2-5 um), pleimorfik, memiliki inti eksentrik dan sering ditemukan
berkelompok. Trofozoit dan sporozoit akan tampak jelas dengan pewarnaan
Giemsa, Gram atau Wright.3
5
C. Patogenesis
6
Pada proses infeksi lebih lanjut di alveoli pneumocystis jirovecii akan
berkembang biak di paru dan menstimulasi pembentukan eksudat yang
eosinofilik yang mengisi ruang alveoli. Eksudat mengandung histiosit, limfosit
dan sel plasma yang menyebabkan kerusakan alveoli paru sehingga menurunkan
fungsi difusi sebagai bagian dari proses oksigenasi. Pada keadaan lanjut
interstisium paru menebal (edema interstitial) dan menjadi fibrosis. Pada
akhirnya dapat terjadi kegagalan proses difusi di paru dikarenakan blokade
alveoli hingga ke bronchial oleh massa jamur yang berproliferasi.3,6 Dinding
alveoli yang menebal dan alveoli sendiri yang berisi eksudat eosinofilik, yang
mengandung histiosit, limfosit sel plasma dan mikroorganisme itu sendiri
memberi gambaran seperti sarang lebah (honeycomb appearance).6 Pada
penelitian Limper dkk, ditemukan bahwa jumlah P. jirovecii pada pasien dengan
AIDS adalah lebih tinggi dibandingkan pasien PCP lainnya dan memiliki jumlah
netrofil lebih sedikit di dalam sampel. Maka diambil suatu hipotesis bahwa
inflamasi paru berkontribusi terhadap kerusakan paru pada pasien PCP.5
D. Manifestasi Klinis
7
Pada pasien dengan AIDS, masa inkubasinya lebih lama, rata-rata sekitar 40
hari tetapi dapat sampai setahun dengan berat badan menurun, malaise, diare,
batuk nonproduktif, dispnea progresif dan demam ringan. Pada pemeriksaan dada,
ronki dapat ada atau tidak ada. Laporan-laporan menunjukkan bahwa sebanyak
28% dari pasien terindikasi PCP foto toraksnya normal serta kelainan fisik di
dadanya tidak ada atau tidak jelas. Klinisi diharapkan waspada akan
kemungkinan infeksi pneumocystis bila ditemukan bintik seperti kapas di fundus
mata, terutama bila tidak ada diabetes atau hipertensi. Meskipun PCP telah
ditemukan pada berbagai jaringan seperti kelenjar limfe, limpa, hati, darah
perifer, lambung, usus kecil, sumsum tulang, miokardium, kelenjar adrenal dan
tiroid, penyebaran yang berasal dari paru-paru sangat jarang. Dapat ditemukan
juga cairan serosa dan sel-sel lain di rongga interstisial dan alveoli paru-paru.6,7,8
1. Ringan Sesak napas saat beraktivitas ringan, batuk, berkeringat. PaO2 >
80 mmHg, SaO2 > 96%. Gambaran foto toraks dapat normal atau
terdapat infiltrat di perihiler yang minimal.
2. Sedang Sesak napas saat beraktivitas sedang, demam dengan atau tanpa
berkeringat. PaO2 60-80 mmHg, SaO2 91-96%. Gambaran foto toraks
terdapat infiltrat interstitial bersifat difus.
3. Berat Sesak napas saat beristirahat, demam dan batuk yang persisten.
PaO2 < 60 mmHg, SaO2 < 91%. Gambaran foto toraks terdapat infiltrat
yang ekstensif dengan atau tanpa infiltrat alveolar.9
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pewarnaan
8
biopsi atau sputum. Berbagai macam jenis pulasan telah digunakan untuk
mendeteksikista pneumocystis antara lain: modifikasi tahan asam
Gram-Wiegart, cresylecht violet, biru toluidine, acridine orang, pulasan
Gomori’s methenamine silver dan pulasan fiksasi aseton-alkohol. Pewarnaan
konvensional yang paling sering digunakan adalah Gomori Methenamine
Silver (GMS) untuk mendeteksi dinding kista, serta giemsa dengan
modifikasi untuk mendeteksi semua stadium pneumocystis.10
9
Kista Pneumocystic jirovecii dengan pewarnaan Gomori Methenamine
Silver.
2. Radiologi
10
menunjukkan sensitivitas mencapai 100% spesifitas mencapai 86% serta
akurasi 90%. Pada pemeriksaan HRCT untuk kasus pneumocystis
pneumonia seringkali ditemukan gambaran ground glass opacity yang difus
atau patchy yaitu sebanyak 92%. Penelitian lain menemukan gambaran kistik
33%, nodul sentral lobuler 25% limfadenopati 25% dan efusi pleura 17%.
Pada beberapa kasus gambaran bronkus yang lebih gelap (dark bronchus
appereance) sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi gambaran ground
glass opacity yang difus. Gambaran bronkus yang lebih gelap terjadi oleh
karena udara mengisi area bronkusyang dikelilingi oleh parenkim paru yang
berisi sel-sel inflamasi dan eksudat. Pemeriksaan HRCT dapat memberikan
hasil pemeriksaan yang lebih akurat dan dapat mendiagnosis lebih dini pada
pasien yang memiliki foto toraks yang tampak normal.11,12
11
Infiltrat interstitial multifokal, infiltrat ground glass dan pneumatokel yang
multipel.
3. Laboratorium
12
suatu sel organ tubuh tertentu. Pada pasien dengan diagnosis pneumonia
peningkatan kadar serum LDH dikaitkan dengan kerusakan pada jaringan
paru. Tetapi hal tersebut lebih menggambarkan proses inflamasi paru itu
sendiri dibandingkan merupakan suatu petanda khusus dari infeksi
pneumocystis jirovecii sehingga dapat dikatakan bahwa pemeriksaan ini
kurang spesifik. Pada penelitian di German dengan menggunakan
pemeriksaan LDH hasilnya adalah pada pasien HIV-AIDS sensitivitasnya
mencapai 100% dan spesifitasnya mencapai 47%. Sedangkan pada pasien
non HIV sensitivitasnya mencapai 63% dan spesifitasnya mencapai 43%.
Secara keseluruhan keakuratan pemeriksaan LDH untuk mendiagnosis
pneumocystis pneumonia adalah 52%, pada pasien non HIV 51% sedangkan
pada pasien HIV 58%.13
13
pneumonia. Nilai sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan real-time PCR
adalah 100% dan 87% sedangkan teknik pewarnaan adalah 60% dan 100%.
Penggunaan real-time PCR telah memberikan pencerahan dalam
pengembangan studi epidemiologi di antaranya dalam hal peningkatan
kecepatan reaksi yang diperlukan dan keleluasaan ruang lingkup.
Pengembangan real-time PCR memungkinkan pemeriksaan secara
kuantitatif untuk membedakan keadaan komensal atau infeksi subklinis
dengan patogen dalam waktu singkat namun memerlukan tingkat
keterampilan teknis yang tinggi, dukungan fasilitas yang memadai dan biaya
penyediaan alat yang tinggi.16,17,18
F. Penatalaksanaan
1. Ringan TMP-SMZ oral 960 mg 3 kali sehari selama 21 hari atau 14 hari bila
respon baik.
3. Berat Rawat inap, TMP-SMZ i.v atau oral dosis TMP 15 mg/kgBB/hari dan
SMZ 75 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 21 hari.
14
dengan dosis awal 4 x 100 mg bila tidak dapat diberikan terapi prednison
oral. Bila diberikan terapi kortikosteroid paling lambat 72 jam pertama
sebelum terjadi perburukan.9,19,20
15
Profilaksis umumnya diberikan pada pasien dengan immunodefisiensi /
immunocompromized. Pada penderita HIV / AIDS dengan CD4 count
menurun hingga < 300, dianjurkan untuk mengkonsumsi kemoprofilaksis
PCP. Kemoprofilaksis biasanya berupa pemberian kombinasi trimetoprim +
sulfametoksazol, 150 dan 750 mg / m2 / hari, dibagi dalam 2 dosis dengan
interval pemberian tiap 12 jam. Pentamidin inhaler dalam bentuk aerosol
dapat juga digunakan sebagai alternatif lain kemoprofilaksis.9,20,21
G. Prognosis
Prognosis kurang baik karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita
dengan immunodefisiensi / immunocompromized. Bila PCP ditemukan pada
penderita dengan immunodefisiensi, persentase kematian dapat mencapai 100 %.
Namun bila infeksi dapat didiagnosa sedari dini dan diberikan terapi yang
adekuat, persentase kematian dapat diturunkan hingga 10 %. Sayang, sebagian
besar kasus PCP bahkan baru terdiagnosa setelah pasien meninggal dunia pada
pemeriksaan autopsy.9,21,22
BAB III
16
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
3. Thomas CF, Limper AH. Current insights into the biology and pathogenesis of
Pneumocystis pneumonia. Nature Review Microbiology 2007.
18
9. Adler MW, Miller R. ABC of AIDS fifth edition, AIDS in the lung. University
college London. BMJ Publishing Group ISBN 2001.
10. Beck JM, Cushion MT. Pneumocystis Workshop: 10th Anniversary Summary.
American Society for Microbiology Eukaryotic Cell 2009.
11. Yaday P, et.al. The ‘dark bronchus’ sign: HRCT diagnosis of Pneumocystis
carinii pneumonia. Annals of Thoracic Medicine 2007.
12. Muller NL, et.al. Diseases of The Lung. Radiologic and Pathologic
Correlations. Lippincott Williams & Wilkins 2003.
13. Vogel M, et.al. Accuracy of serum LDH elevation for the diagnosis of
Pneumocystis jirovecii pneumonia. The Eropean Journal of Medical Sciences
2011.
18. Joly ID, et. al. Molecular diagnosis of Pneumocystis pneumonia. FEMS
Immunology and Medical Microbiology 2005.
19
19. Castro G, et,al. Management of Pneumocystis Jirovecii pneumonia in HIV
infected patients: current options, challenges and future directions. Division of
Infectious Diseases, University of Miami Miller School of Medicine, Miami,
Florida, USA.HIV/AIDS-Research and Palliative Care 2010.
21. Fisk M, Sage EK, Edwards SG, Cartledge JD, Miller RF. Outcome from
treatment of Pneumocystis jirovecii pneumonia with co-trimoxazole.
University College London Hospitals. International Journal of STD & AIDS
2009.
20