Anda di halaman 1dari 54

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Tanggal lahir : 17 Desember 1943
Umur : 75 tahun
No. CM : 599217
Pekerjaan : IRT
Alamat : Tegal wulung
Ruang : Dahlia
DPJP : dr. Iman Darjito, Sp.PD
Tanggal Masuk RS : 29 Juni 2019
Tanggal Periksa : 01 Juli 2019
Tanggal Pulang : 03 Juli 2019
II. Anamnesis
Di lakukan autoanamnesis pada Senin, 01 Juli 2019 di ruang Dahlia.
a. Keluhan utama : Lemes.
b. RPS : Pasien mengeluh badan lemes sejak 1 minggu sejak SMRS.
Keluhan dirasa semakin memberat , pasien mengaku kesulitan untuk tidur sejak 1
minggu ini, pasien mengeluh sesak nafas, Pasien sering merasakan sesak yang
memberat ketika malam hari, dan bertambah sesak saat tidur terlentang. sesak
juga dirasakan ketika sedang melakukan aktifitas, sesak bertambah saat pasien
menuju ketoilet . Pasien merasa sesak nafas tersebut berkurang ketika pasien
berbaring dengan posisi setengah duduk.
Keluhan lainya pasien mengaku batuk sekitar 5 hari SMRS , dahak (+) warna
putih, bengkak pada tungkai bawah (+/+). Demam (-), pusing (-),mual(-) muntah
(-) ,disangka, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
c. RPD
Pasien dan keluarga mengatakan pasien sebelumnya tidak pernah dirawat di RS
maupun tempat kesehatan lain. riwayat, penyakit jantung (-),Paru (-) hipertensi
(-), diabetes mellitus (-), asma, peyakit hati, penyakit ginjal, alergi obat dan
riwayat trauma dada di sangkal.
d. RPK
Riwayat keluhan yang sama dengan pasien (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (-),
penyakit jantung, stroke dan riwayat penyakit paru pada keluaragnya disangkal.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku hanya meminum obat warung saat pusing atau batuk biasa dan
biasanya sembuh saat sudah minum obat.
f. Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi

1
Pasien berobat dengan BPJS kelas III. Pasien tinggal dirumah dengan ventilasi
rumah cukup, konsumsi alcohol, penggunaan obat nyamuk(-) menyapu (+)
III. Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Keadaan Umum : Tampak sesak
Kesadaran : Compos Mentis (E4/V5/M6)
Tekanan darah : 150/100 mmHg tidur, manset dilengan kanan,large adult cuff
Nadi : 106 kali/menit irama regular, isi dan tekanan cukup
Frekuensi Pernafasan : 24 kali/menit irama regular, tipe pernapasan thorakoabdominal
Temperatur : 36,5° C
Status Generalisata
Kepala : Normocephali, wajah simetris, rambut tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-) edema palpebral (-/-)
Telinga : Normotia, serumen (-)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), darah (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab (-), sianosis (-), caries dentis (-), kandidiasis (-),
tonsil (T1/T1), faring hiperemis (-).
Leher : Retraksi suprasternal (-), pembesaran KGB (-), pembesaran
thyroid (-), JVP 5+3 cmH2O

Thoraks :
Pulmo I : Pengembangan dada simetris (Sin= Dx), tidak ada kelainan kulit
retraksi intercostal (-/-), jejas (-).
P : Vocal fremitus taktil dextra=sinistra getaran pulmo sinistra, nyeri
tekan (-/-)
P : Sonor pada lapang paru dx menurun, redup pada lapang paru sin
mulai SIC IV kebawah
A : Suara dasar vesicular (+/ ↓), ronkhi basah kasar (+/+) wheezing (+/
+) friction rub (-/+)
Cor :I : Ictus cordis tak tampak.
P : Ictus cordis di ICS V linea axillaris anterior sinistra, kuat angkat
P : Batas kanan atas jantung ICS II linea parasternalis dextra
Batas kanan bawah jantung ICS V di linea parasternalis dextra
Batas kiri atas jantung di ICS II line parasternalis sinistra
Batas kiri bawah jantung ICS V linea axillaris anterior sinistra
A : S1>S2, regular, bising jantung : mur-mur (-) gallop (-)
Abdomen : I : Simetris, sikatrik (-), distensi (-)
A : peristaltik usus normal (10x/menit)
P : Timpani, asites (-), shifting dullness (-)
P : Supel, nyeri tekan superfisial (-) hepatomegali (-) spleenomegali (-)
Ginjal : Ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/-

Ekstremitas:
Insp : Edema Eritema - -

+ + 2
Palp : - - Akral dingin
- -

Capillary refill <2dtk, turgor kulit baik,clubbing finger (-)

3
Status Gizi
BB : 45 kg
TB : 150 cm
IMT : 20 (normal)
PEMERIKSAAN PENUNJANG ( LABORATORIUM 29-06-2019)
Darah lengkap
Leukosit : 5.2 10^2/µl
Eritrosit : 2.5 10^6/µl
Hemoglobin : 4.6 g/dl (↓)
Hematokrit : 16 % (↓)
MCV : 65 (↓)
MCH : 19 (↓)
MCHC : 29 (↓)
Trombosit : 256
Diff count
Eosinofil : 1.3 %(↓)
Basofil : 0.20 %
Netrofil : 74.40 % (↑)
Limfosit : 16.0 % (↓)
Monosit : 8.10 %(↑)
MPV : 9.4 fl
RDW-SD : 46.9 fL (↑)
RDW-CV : 21 % (↑)
Golongan darah :B
Rhesus faktor : positive
KIMIA KLINIK
ELEKTROLIT
Kalium : 3.37 mmol/l(↓)
Natrium : 139.6 mmol/l
Chlorida : 117.4 mmol/l (↑)
Calcium : 1.05 mmol/l(↓)

4
PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Foto Thorax PA
Cor : Apex jantung bergeser ke laterokaudal
Pulmo : Corakan bronkovaskular tampak meningkat, disertai blurring vascular
Tampak bercak pada kedua paru, sudut costofrenicus sinistra dan batas
bawah jantung. Tak tampak penebalan hilus
Sudut costofrenikus dextra sinistra tampak tumpul
Kesan : Cardiomegaly
Efusi pleura duplex

5
DIAGNOSIS
Diagnosis kerja :
Anemia et efusi deuplex e.c CHF
Diagnosis Banding :
Efusi TB
Dasar Diagnosis
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang
Keadaan Umum Laboratorium Darah Lengkap
Hemoglobin : 10.1 g/dl (↓)
Tampak sakit sedang
Hematokrit : 31 % (↓)
TTV
MCV : 65 (↓)
TD 120/80
MCH : 21 (↓)
Nadi 98
MCHC : 21 (↓)
Pernafasan 28x/m
Trombosit : 142 (↓)
Suhu 36,5oC
Pulmo
Diff count
I : Pengembangan
Netrofil : 78.50 % (↑)
dada asimetris
Limfosit : 11.90 % (↓)
(Sin< Dx)
RDW-CV : 16.6 % (↑)
P
: Vocal fremitus
taktil Pemeriksaan Radiologi

dextra=sinistra Pulmo :

getaran pulmo Corakan bronkovaskular

sinistra ↓, nyeri tampak meningkat, Tampak

tekan (-/-) opasitas di hemithorax


P:Sonor pada sinistra menutupi diafragma
lapang paru dx sinistra, sudut costofrenicus
menurun, redup sinistra dan batas bawah
pada lapang paru jantung. Sudut costofrenikus
sin mulai SIC IV dextra tampak tumpul,
kebawah meniscus sign (+) dan sudut
A: SDV (+/↓), RBK
costofrenicus sinistra tidak
(+/+) WH (+/+)
tampak.
friction rub (-/+)
Gambaran TB paru, Efusi
6
pleura duplex (kiri prominent)

IV. PENATALAKSANAAN
1. Terapi IGD
 O2 3lpm/menit
 IVFD RL + Aminofilin 1 amp 20 tpm
 Inj Vicilin 1 gr
 Inj OMZ 40 mg
2. Terapi bangsal:
 O2 3 lpm
 RL Futrolit 16 tpm
 Inj aminophilin /8jam
 Inj Klaneksi /8jam
 Inj OMZ 2x1
 Inj Furosemid 1x1 amp
 Inj Solvinex /8jam
 Inj Methil Prednison 62,5 mg 3x1
 PO:
 Ambroxol 3x1
 OAT Kategori I
R/H/Z/E
450/300/1000/1000

7
3. Planning Diagnostik
 Pemeriksaan Bakteriologis (TCM / BTA) √
 Darah Lengkap √
 Rontgen Thorax PA √
 Rontgen Lateral √
 Rontgen Thorax LLD
 Thoracentesis (diagnostic dan terapeutic)  analisis cairan pleura (makroskopis,
kimia, mikroskopis, mikrobiologi, penanda tumor, uji Rivalta)
 Sitologi cairan
4. Monitoring
 Observasi keadaan umum, vital sign dan keluhan
5. Edukasi
 Menjelaskan keadaan dan perjalanan penyakit pada keluaraga pasien.
 Menjelaskan etika batuk.
 Edukasi untuk kontrol ke poli/melanjutkan pengobatan setelah pulang dari Rumah
Sakit.
 Edukasi agar pasien teratur berobat tidak boleh putus obat.
V. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia Ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia Ad bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad bonam
VI. FOLLOW UP
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Plan

1/5/2019 Sesak (+), Ku: Sedang, CM Efusi pleura Cek TCM


07.00 Batuk (+) TD: 120/80 mmHg dextra et RO thorax lat
WIB Demam (-), HR: 94x/m, RR:26x/m, sinistra e.c O2 3 lpm
lemas (+) T: 36,4 C TB paru RL Futrolit 16 tpm
Keringat Normocephal BTA(?) Inj aminophilin /
dingin (+) Mata: CA (-/-) SI (-/-) kasus baru 8jam
menggigil Px Thorax: Inj Klaneksi /8jam
I:Pengembanan
(-) Inj OMZ 2x1
dada asimetris (Sin<
Inj Furosemid 1x1
Dx)
8
P : amp
Vocal fremitus taktil Inj Solvinex /8jam
dextra=sinistra Inj Methil Prednison
getaran pulmo 62,5 mg 3x1
sinistra ↓, nyeri PO:
tekan (-/-) Ambroxol 3x1
P:Sonor pada
OAT Kategori I
lapang paru dx
R/H/Z/E
menurun, redup
450/300/1000/1000
pada lapang
paru sin mulai
SIC IV
kebawah

A: SDV (+/↓),
RBK (+/+) WH
(+/+) friction
rub (-/+)
Px abd: supel, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas AH (+)
Edema (-) CTR <2 dtk,
turgor kulit baik,
clubbing finger (-).
2/5/2019 Batuk (+) Ku: Sedang, CM Efusi pleura - Terapi lanjut
07.00 Sesakn TD: 120/80 mmHg dextra et - Pungsi prof (-)
WIB nafas HR: 94x/m, RR:26x/m, sinistra e.c
berkurang T: 36,4 C TB paru
demam (-) Normocephal BTA(?)
mual (-) Mata: CA (-/-) SI (-/-) kasus baru
muntah (-) Paru
I:Pengembanan
dada asimetris (Sin<
Dx)
P :

9
Vocal fremitus taktil
dextra=sinistra
getaran pulmo
sinistra ↓, nyeri
tekan (-/-)
P:Sonor pada
lapang paru dx
menurun, redup
pada lapang
paru sin mulai
SIC IV
kebawah

A: SDV (+/↓),
RBK (+/+) WH
(+/+) friction
rub (-/+)
Px abd: supel, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas AH (+)
Edema (-) CTR <2 dtk,
turgor kulit baik,
clubbing finger (-).
3/5/2019 Batuk Ku: Sedang, CM Efusi pleura - Terapi lanjut
07.00 berdahak(+) TD: 120/80 mmHg dextra et
WIB darah (-), HR: 94x/m, RR:26x/m, sinistra e.c
sesak (-) T: 36,4 C TB paru
lemes Normocephal BTA(?)
Mata: CA (-/-) SI (-/-) kasus baru
Paru
I:Pengembanan
dada asimetris (Sin<
Dx)
P :
Vocal fremitus taktil

10
dextra=sinistra
getaran pulmo
sinistra ↓, nyeri
tekan (-/-)
P:Sonor pada
lapang paru dx
menurun, redup
pada lapang
paru sin mulai
SIC IV
kebawah

A: SDV (+/↓),
RBK (+/+) WH
(+/+) friction
rub (-/+)
Px abd: supel, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas AH (+)
Edema (-) CTR <2 dtk,
turgor kulit baik,
clubbing finger (-).
4/5/2019 Keluhan Ku: Tampak sakit Efusi pleura BLPL
07.00 mulai ringan, CM dextra et RHZE
WIB berkurang, TD: 120/80 mmHg sinistra e.c 450/300/1000/1000
Batuk HR: 80 x/m, TB paru Ambroxol 3x1
berdahak RR: 22 x/m, BTA(?) Salbutamol 3x1/2
(+) darah(-) T: 36,4 C kasus baru OMZ 2x1
Normocephal
Mata: SI -/-
Px Th: SNV +/+, RBK
-/-, Wh -/-.
Px abd: supel, BU (+)
normal, NT (-)
Ekstremitas AH (+)
11
Edema (-) CTR <2 dtk,
turgor kulit baik,
clubbing finger (-).

12
VII. ALUR PIKIR

Kuman masuk melalui saluran nafas

Implantasi kuman terjadi pada respiratorik bronkial atau alveoli

Fagositosis oleh makrofag Destruksi Basil

Pembentukan tuberkel, membentuk sarang pneumonik/primer

Peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) hingga limfanitis regional

Kompleks Primer

Diresorpsi kembali dan Menyebar


Sembuh dengan sedikit
sembuh tanpa cacat
cacat/bekas (sarang
ghon, garis fibrotic)

Perkontinuitatum Bronkogen Limfogen

Hematogen
Menyebar ke sekitar pleura

Antigen TB memasuki rongga pleura, biasanya mealalui


pecahnya focus subpleural dan terjadi interaksi dengan
limfosit (menghasilkan rx hipersensitivitas tipe lambat)

Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan sebabkan permeabilitas vascular meningkat
dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan cairan pleura
Terjadi Peradangan

Sel T helper tipe 1 (Th1) memperantarai limfosit dalam memberi respon thd infeksi M.Tb

Efusi Pleura

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. EFUSI PLEURA
A. DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa
cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya
mengandung cairan sebanyak 10-20 ml, cairan pleura komposisinya sama dengan
cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah
yaitu < 1,5 gr/dl19.
B. ETIOLOGI
Berdasarkan Jenis Cairan :
1. Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
2. Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi
pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar
Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura19.
Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria
berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga
kriteria ini 19:
1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal didalam serum.
Transudat Eksudat
Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3
Kadar protein dalam efusi <0,5 >0,5
Kadar Protein dalam serum
Kadar LDH dalam efusi (I.U) <200 >200
Kadar LDH dalam efusi < 0,6 >0,6
Kadar LDH dalam serum

Berat jenis cairan efusi <1.016 >1.016


Rivalta Negatif Positif

Tabel 2.1 Perbedaan Biokimia Efusi Pleura20


Efusi pleura berupa :
A. Eksudat, disebabkan oleh :
1) Pleuritis karena virus dan mikoplasma: virus coxsackie, Rickettsia,
Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-
6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam,
14
malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa
dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam
cairan efusi.20
2) Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh
bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara
hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun
anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,
Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan
lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika
ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi
keluar dari rongga pleura.20
3) Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi.
4) Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi
melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening,
dapat juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral.
Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari
jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada
didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada
hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis
ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada
pleuritik. 18
5) Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-
paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi
bilateral dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Patofisiologi
terjadinya efusi ini diduga karena :
a. Invasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi
kebocoran kapiler.
b. Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan
aliran balik sirkulasi.
c. Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif
intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang
ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura
15
tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan pleura
cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan
pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle
biopsy).20
6) Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah
dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya
berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi
parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage
kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir.
Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy
pada pasien dengan efusi para pneumonik:
a. Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura
b. Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
c. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
d. Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri.
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi
parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam
waktu beberapa jam saja.20
7) Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma.
8) Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi
parapneumonik.20

16
B) Transudat, disebabkan oleh :
1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab
lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.
Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik
dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada
pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan
menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah
bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg
pleura dan paru-paru meningkat.21
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat
juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit
menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi
kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya
teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera
menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita
amat sesak.22
2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan
bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah dengan
memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi pengobatan yang
terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui
lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi
biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk menimbulkan dyspneu
berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol asites dan
efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat
dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous
shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau
torakotomi pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.21
4. Meig’s Syndrom
17
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita
dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan
sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor
ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul
karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya
terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma.
Klinisnya merupakan penyakit kronis.22
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi
unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga
peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti
dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisat.22
C) Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb
pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah
hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini
mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya
diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka
biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.20

C. PATOGENESIS
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga
pleura berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis
yang saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu
terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan
diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan yang
seimbang dengan kecepatan pembentukannya.17
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya
kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan
cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan
dengan terjadinya efusi pleura yaitu 21;
1. Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi
kapiler
2. Penurunan tekanan kavum pleura

18
3. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura.

Skema 2.1 : Mekanisme Efusi Pleura23

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh


peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,
sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena
pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga
pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah
tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.20

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain


bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik,
dialisis peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis
konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks.20

19
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial
berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam
rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa
Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau eksudatif .20
E. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan
fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan
analisa cairan pleura.
1) Manifestasi Klinis
a. Gejala Utama.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika
paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa
rasa penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang
banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-
gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi),
banyak keringat, batuk, banyak riak. Deviasi trachea menjauhi tempat
yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang
signifikan5
2) Pemeriksaan Fisik.
a. Inspeksi : Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih
cembung
b. Palpasi : Penurunan fremitus vocal atau taktil
c. Perkusi : Pekak pada perkusi
d. Auskultasi : Penurunan bunyi napas dasar vesikular
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas
bronkus.21
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak
dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis
melengkung (garis Ellis Damoiseu).20

20
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak
karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini
didapati vesikuler melemah dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit
terdengar krepitasi pleura.24
Gambar 2.2 : Garis melengkung (garis Ellis Damoiseu)23

21
3) Pemeriksaan Penunjang.
a. Foto thoraks

Gambar 2.3. Hasil efusi pleura pada foto thorax4


Cairan pleura, pada posisi tegak, mengalami gravitasi pada bagian
paling bawah thoraks yang memberikan gambaran sinar-x dada sebagai
berikut13:
1) Lesi opak homogen, umumnya dengan densitas yang sama dengan
bayangan jantung
2) Hilangnya garis diafragma
3) Tifak terlihatnya gambaran paru dan bronkus
4) Batas atas cekung dengan level tertinggi pada axila
Seiring bertambah banyaknya cairan, terjadi pengurangan volume
paru dan terjadi retraksi ke arah hilus. Pada awalnya cairan terkumpul di
bagian posterior, kemudian menuju ruang kostrofrenikus di bagian
lateral. Ketika cairan terdeteksi pada film dada PA standar, yang ditandai
oleh penumpukan sudut kostofrenikus, efusi pleura telah mencapai
volume 200-300 ml. Jika efusi bertambah luas, akan terjadi pergeseran
mediastinum kea rah yang berlawanan13.
Penampakan radiologis
Pada pemeriksaan foto thoraks posisi tegak, cairan pleura tampak
berupa perselubungan homogen menutupi struktur pulmo inferior yang
biasanya radioopak dengan permukaan atas cekung, berjalan dari lateral
atas ke arah medial bawah. Karena cairan mengisi ruang hemithoraks
sehingga jaringan paru akan terdorong ke arah sentral/hilus, dan kadang-
kadang mendorong mediastinum ke arah kontralateral. Jumlah cairan
minimal yang dapat terlihat pada foto thoraks tegak adalah 250-300 ml14.
22
Pemeriksaan radiologi paling sensitif mengidentifikasi cairan pleura
yaitu dengan posisi lateral dekubitus, yang mampu mendeteksi cairan
pleura kurang dari 5 ml dengan arah sinar horizontal dimana cairan akan
berkumpul di sisi samping bawah. Apabila pengambilan foto thoraks
pasien dilakukan dalam keadaan berbaring (AP), maka penilaian efusi
dapat dilihat dari adanya gambaran apical cup sign. Gambaran radiologi
tidak dapat membedakan jenis cairan mungkin dengan tambahan
keterangan klinis atau kelainan lain yang ikut serta terlihat sehingga
dapat diperkirakan jenis cairan tersebut14.
a)Posisi tegak posteroanterior (PA)
Pada tahap awal dengan pasien posisi tegak, cairan akan cenderung
untuk terakumulasi pada posisi infrapulmonal jika rongga pleura tidak
terdapat adhesi dan paru-parunya sehat, sehingga membentuk efusi
subpulmonal. Hal ini akan menyebabkan bergesernya titik tertinggi dari
diafragma pada sisi yang mengalami efusi. Namun, diperlukan volume
cairan lebih dari 300 cc agar sinus costofrenikus tampak tumpul pada
foto tegak PA14.

Gambar 2.4. Efusi pleura dextraminimal pada foto tegak PA14

23
Gambar 2.5. Efusi pleura massif dextra14

Gambar 2.6. Loculated pleural effusion. Sering disebabkan oleh empyema


dengan perlekatan pleura14

24
b) Foto tegaklateral
Foto tegak lateral dapat digunakan untuk mendeteksi efusi minimal
dengan volume cairan ± 75 ml14.

Gambar 2.7. Efusi pleura pada foto tegak lateral14

c) Posisi dekubituslateral
Posisi ini dapat digunakan untuk mendeteksi efusi yang lebih
minimal yaitu volume cairan 15-20 ml. Selain itu, dapat digunakan untuk
menentukan apakah efusi dapat mengalir secara bebas atau tidak
sebelum dilakukan aspirasi cairan pleura dan melihat bagian paru yang
sebelumnya tertutup cairan sehingga kelainan yang sebelumnya
terselubung dapat terlihat14.

Gambar 2.8. Efusi pleura sinistra pada foto dekubitus lateral24

25
d) Foto supine efusi pleura
Foto AP yang normal tidak menyingkirkan adanya efusi. Foto AP ini
merupakan yang paling sensitif untuk mendeteksi efusi pleura. Sejumlah
cairan yang cukup banyak diperlukan untuk menghasilkan temuan
radiografi yang dapat terdeteksi, terutama di efusi bilateral. 20
Dalam sebuah penelitian, volume minimal 175ml diperlukan untuk
menghasilkan perubahan penting pada foto supine. Cairan terakumulasi
di aspek posterior hemithorax tersebut. Efusiawalnya menyebabkan
gambaran opak kabur dengan tepi yang tidak jelas. Gambaran opak
terlihat pertama kali pada paru bawah. Dengan adanya akumulasi cairan
yang meningkat, gamabaran opak dari seluruh hemithorax meningkat,
dan hilangnya diafragma menjadi jelas23.

Gambar 2.9. Ada densitas asimetris dengan peningkatan kekaburan pada


hemithorax kanan bawah (panah biru)23
Tidak adanya air-bronchogram sign juga membantu dalam
diferensiasi. Adanya gambaran opak apical ipsilateal kadang ditemukan
terutama pada efusi massif. Gambaran opak ini dipercaya sebagi
kapasitas sekunder paru pada apex dengan pelebaran cairan bagian
lateral dan superior terhadap jaringan paru. Adanya meniskuss sign
ditemukan pada lebih dari 50% efusi massif24.
b. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik
maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk.
Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris
posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan

26
pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk
diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan25:
i. Warna cairan.
Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-santrokom).
Biasanya cairan pleura berwama agak kekuning-kuningan. Bila agak
kemerah-merahan, ini dapat terjadi pada trauma, infark paru,
keganasan. adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan
dan agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema.
ii. Biokimia.
Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat.
c. Sitologi.
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik
penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi
sel-sel tertentu. Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila
ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.24
i. Sel neutrofil: pada infeksi akut
ii. Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma
maligna).
iii. Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
iv. Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
v. Sel giant: pada arthritis rheumatoid
vi. Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
vii. Sel maligna: pada paru/metastase.
d. Bakteriologi
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung
mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering
pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.20
e. Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan
tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,
penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.20
F. DIAGNOSIS BANDING18
1. Tumor paru
- Sinus tidak terisi
- Permukaan tidak concaf tetapi sesuai bentuk tumor
- Bila tumor besar dapat mendorong jantung
2. Pneumonia
- Batas atas rata / tegas sesuai dgn bentuk lobus
- Sinus terisi paling akhir
- Tidak tampak tanda pendorongan organ
- Air bronchogram ( + )
27
3. Pneumothorak
4. Fibrosis paru
G. PENATALAKSANAAN
Terapi penyakit dasarnya antibiotika dan terapi paliatif (Efusi pleura
haemorrhagic). Jika jumlah cairannya sedikit, mungkin hanya perlu dilakukan
pengobatan terhadap penyebabnya. Jika jumlah cairannnya banyak, sehingga
menyebabkan penekanan maupun sesak nafas, maka perlu dilakukan tindakan
drainase (pengeluaran cairan yang terkumpul). Cairan bisa dialirkan melalui
prosedur torakosentesis, dimana sebuah jarum (atau selang) dimasukkan ke dalam
rongga pleura. Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
tetapi pada prosedur ini juga bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. Jika
jumlah cairan yang harus dikeluarkan lebih banyak, maka dimasukkan sebuah
selang melalui dinding dada. 25
Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah. Jika
nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka
pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus
diangkat sehingga bias dipasang selang yang lebih besar. Kadang perlu dilakukan
pembedahan untuk memotong lapisan terluar dari pleura (dekortikasi). 25
Pada tuberkulosis atau koksidioidomikosis diberikan terapi antibiotik
jangka panjang. Pengobatan pada penyakit tuberkulosis (pleuritis tuberkulosis)
dengan menggunakan OAT dapat menyebabkan cairan efusi diserap kembali, tapi
untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosintesis.
Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kadang dapat
diberikan kortikosteroid secara sistemik (Prednison 1 mg/kg BB selama 2 minggu
kemudian dosis diturunkan secara perlahan).
Pleuritis TB diberi pengobatan anti TB. Dengan pengobatan ini cairan
efusi dapat diserap kembali untuk menghilangkan dengan cepat dilakukan
thoraxosentesis. Pleuritis karena bakteri piogenik diberi kemoterapi sebelum
kultur dan sensitivitas bakteri didapat, ampisilin 4 x 1 gram dan metronidazol 3 x
500 mg. Terapi lain yang lebih penting adalah mengeluarkan cairan efusi yang
terinfeksi keluar dari rongga pleura dengan efektif. Pengumpulan cairan karena
tumor pada pleura sulit untuk diobati karena cairan cenderung untuk terbentuk
kembali dengan cepat.

28
Pengaliran cairan dan pemberian obat antitumor kadang mencegah
terjadinya pengumpulan cairan lebih lanjut. Jika pengumpulan cairan terus
berlanjut, bisa dilakukan penutupan rongga pleura. Seluruh cairan dibuang
melalui sebuah selang, lalu dimasukkan bahan iritan (misalnya larutan atau
serbuk doxicycline) ke dalam rongga pleura. Bahan iritan ini akan menyatukan
kedua lapisan pleura sehingga tidak lagi terdapat ruang tempat pengumpulan
cairan tambahan. Jika darah memasuki rongga pleura biasanya dikeluarkan
melalui sebuah selang. Melalui selang tersebut bisa juga dimasukkan obat untuk
membantu memecahkan bekuan darah (misalnya streptokinase dan
streptodornase). Jika perdarahan terus berlanjut atau jika darah tidak dapat
dikeluarkan melalui selang, maka perlu dilakukan tindakan pembedahan. 25
a) Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi
juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan
sebagai berikut24:
1. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau
diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan
pada penderita dalam posisi tidur terlentang.
2. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di
daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di
bawah batas suara sonor dan redup.
3. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan
jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya
disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai
diahfragma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum
tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura
parietalis tebal.

29
Gambar 2.10: Metode torakosentesis24
4. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap
aspirasi. Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan paru
secara mendadak. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara
mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang
berat, dan hipotensi.25
5. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada sela iga ke-
8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serothoraks), berdarah
(hemothoraks), pus (piothoraks) atau kilus (kilothoraks), nanah (empiema).
Bila cairan serosa mungkin berupa transudat (cairan putih jernih) atau
eksudat (cairan kekuningan). 25
Indikasi pungsi pleura25 :
1. Adanya gejala subyektif seperti sakit atau nyeri, dipsneu, rasa berat dalam
dada.
2. Cairan melewati sela iga ke-2, terutama bila dihemithoraks kanan, karena
dapat menekan vena cava superior.
3. Bila penyerapan cairan terlambat (lebih dari 6-8 minggu).
b) Pemasangan WSD
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat
dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut23:
1. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea
aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
2. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar
kurang lebih 2 cm sampai subkutis.
3. Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
4. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai
mendapatkan pleura parietalis.
5. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar
ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.
6. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan
kasa dan plester.
7. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar
tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura.
8. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada
selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang.
Untuk memastikan dilakukan foto toraks24.
30
9. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan
paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.
c) Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan
penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah
sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil,
adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sbanyak-
banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan selang waktu 710
hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika
berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura,
sehingga mencegah penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.25
II. TUBERKULOSIS PARU
A. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman tuberkulosis
menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya.1,2
B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama
kesehatan yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian
(mortalitas).1 Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB
baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia.11,13
Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di
dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus
TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di Indonesia pada
tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70%
usia produktif (15-50 tahun).3,11.
Menurut Kemenkes tahun 2016 diperkirakan sebanyak 8,6 juta kasus TB
pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) adalah pasien dengan HIV positif.
Sekitar 75% dari total berada di wilayah Afrika. Pada tahun 2012 juga telah
diperkirakan sebanyak 450.000 orang yang menderita TB MDR dan 170.000 di
antaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012 diperkirakan kasus TB anak secara
global mencapai 6% atau 530.000 pasien TB anak pertahun.4,14
C. ETIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini,
dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada beberapa mikobakteri

31
pirogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia yang patogenik terhadap manusia.
Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil dari sel
darah merah Yang tergolong dengan kuman Mycobacterium tuberculosis complex
adalah:5,7,8
a. M. tuberculosae
b. Varian Asian
c. Varian African I
d. Varian African II
e. M.bovis
Gambar berikut ini adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat
dengan pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini
terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang
menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).8,9
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit
intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob,
sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.9
1) Cara Penularan
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+).
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi
individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang
masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke
bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh
lainnya.9,10
2) Resiko Penularan
Resiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya di
antara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang
terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis.9,10
D. PATOGENESIS

32
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006), patogenesis
tuberkulosis dibagi menjadi:2
1) Tuberkulosis Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke
alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil
berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan
radang dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di
sekitar hilus paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi
sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat
dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya respon
daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman
tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman
persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari
seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6
bulan.2,7
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut:7,8
a) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c) Menyebar dengan cara:
i. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh
adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar
sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut,
yang dikenal sebagai epituberkulosis.

33
ii. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun
ke paru sebelahnya atau tertelan.
iii. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi
bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier,
meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini
juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,
misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan:

Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau

Meninggal.2,14
2) Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary Tuberculosis)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca
primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi
pleura.7,10
Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior.Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:7,8
a) Diresorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
b) Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi
pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut
dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
c) Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju

34
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
i. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan
di atas.
ii. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
iii. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped). 2,6,12

GGambar 2.11 Skema Patogenesis TB paru

35
E. KLASIFIKASI
Klasifikasi tuberkulosis dibagi menjadi:2,4
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak :
a) Tuberkulosis paru BTA (+) adalah
i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif.
ii. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif.
iii. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif.
b) Tuberkulosis paru BTA (-)
i. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan
tuberkulosis aktif.
ii. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M. Tuberculosis.
Berdasarkan tipe pasien:
a) Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b) Kasus kambuh (relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif.Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi
gambaran radiologi dicurigai lesi aktif atau perburukan dan terdapat gejala
klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan:
i. Lesi non tuberkulosis (pneumonia,bronkiektasis,keganasan).
ii. TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang
berkompeten menangani kasus tuberkulosis
c) Kasus drop out
Pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil
obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai.
d) Kasus gagal

36
Pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir
pengobatan.
e) Kasus kronik
Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang
baik
f) Kasus bekas TB
 Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif,
atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung
 Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang
tidak ada perubahan gambaran radiologi
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang,
ginjal, saluran kencing dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas
kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus
yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti
klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif.2
TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit,
yaitu :

TB di luar paru ringan, contohnya TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan
kelenjar adrenal.

TB diluar paru berat, contohnya meningitis, millier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kencing dan alat kelamin. 2,7
F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis (gejala
klinis dan pemeriksaan fisik), pemeriksaan bakteriologik, radiologi dan
pemeriksaan penunjang lainnya.5,14
1) Pemeriksaan Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi 2 bagian :
a) Gejala respiratorik :
 Batuk > 3 minggu
 Batuk darah
37
 Sesak napas
 Nyeri dada
b) Gejala sistemik :

Demam

Gejala sistemik lain seperti keringat malam, anoreksia, malaise,
berat badan menurun.2,7
Pemeriksaan fisik atau jasmani sangat tergantung pada luas lesi dan
kelainan struktural paru yang terinfeksi. Pada permulaan penyakit sulit
didapatkan kelainan pada pemeriksaan jasmani. Suara atau bising napas
abnormal dapat berupa suara bronkial, amforik, ronki basah, suara napas
melemah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.2
2) Pemeriksaan Bakteriologi
Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara mengisolasi kuman.
Untuk membedakan spesies mikobakterium satu dari yang lain harus dilihat
sifat-sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media dan
perbedaan kepekaan terhadap OAT. Bahan pemeriksaan bakteriologi dapat
berasal dari sputum, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus,
bronchoalveolar lavage, urine, jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologi
yang menggunakan sputum cara pengambilannya terdiri dari 3 kali yaitu
sewaktu (pada saat kunjungan), pagi (keesokan harinya), sewaktu (pada saat
menghantarkan dahak pagi). Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan
Ziehl Nielsen dan Kinyoun Gabbet.7,8
WHO merekomendasikan pembacaan dengan skala IUATLD
(International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :11
a) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif.
b) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
c) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (1+).
d) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (2+).
e) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (3+).
3) Pemeriksaan Radiologi

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih
memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang
pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di
daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus
menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-

38
sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan
dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat
maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut
tuberkuloma.10,15

Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat


dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan
penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus
yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang
sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus
seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis
dan emfisema.4 Pada gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif yakni
fibrotik, kalsifikasi, Schwarte atau penebalan pleura.
American Thoracic Society membagi luasnya proses TB pada foto toraks
terdiri dari 3 bagian :2,15
a) Lesi Minimal
Bila proses TB mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan
luas tidak melebihi volume paru yang terletak diatas chondrosternal
junction dari iga kedua dan prossesus spinosus dari vertebra torakalis IV
atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.
b) Lesi Sedang
Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar
dengan densitas sedang, tetapi luas tidak boleh lebih luas dari satu paru,
atau jumlah dari seluruh proses TB tadi memiliki densitas yang lebih
padat, lebih tebal, tetapi tidak boleh melebihi sepertiga dari satu paru dan
proses ini dapat disertai atau tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas,
tidak boleh melebihi 4 cm.
c) Lesi Luas
Kelainan lebih luas dari lesi sedang.
4) Pemeriksaan Khusus Lain
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mendeteksi
kuman TB seperti :
a) BACTEC : dengan metode radiometrik, dimana CO 2 yang dihasilkan dari
metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya.

39
b) Polymerase Chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari
M.tuberculosis, hanya saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah
kemungkinan kontaminasi.
c) Pemeriksaan serologi seperti ELISA, ICT, Mycodot, Uji peroksidase anti
peroksidase.
d) Uji Tuberkulin, dengan prevalensi yang tinggi uji ini kurang bermakna
apalagi pada orang dewasa.18

G. PENATALAKSANAAN
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan
sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu
Isoniazid (H), Para Amino Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E),
Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z). Sejak tahun 1994 program pengobatan TB di
Indonesia telah mengacu pada program Directly observed Treatment Short-course
(DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini memasukkan
pendidikan kesehatan, penyediaan OAT gratis dan pencarian secara aktif kasus
TB. Pengobatan ini memiliki 2 prinsip dasar :4,5,11
1) Pertama, terapi yang berhasil memerlukan minimal 2 macam obat yang
basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah satu daripadanya harus
bakterisidik. Obat anti tuberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda
dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R
merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan
mencegah, sedangkan Z mempunyai efektifitas terkecil
2) Kedua, penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik
setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan
diperlukan untuk mengeleminasi basil yang persisten.5
Metode DOTS pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari
berbagai jenis OAT, dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan,
supaya semua kuman dapat dibunuh. Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, tahap
intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif penderita mendapat obat baru
setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap
semua jenis OAT terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis BTA positif
menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam
40
tahap ini sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Pada tahap
lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu
yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk membunuh kuman persisten
(dormant) sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.5,6

41
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.1. Jenis dan Sifat OAT 1,14

Jenis OAT Sifat Keterangan

Isoniazid (H) Bakterisid Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang
Terkuat
sedang berkembang. Mekanisme kerjanya
adalah menghambat cell-wall biosynthesis
pathway.

Rifampisin (R) Bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-


dormant (persistent) yang tidak dapat dibunuh
oleh Isoniazid. Mekanisme kerjanya adalah
menghambat polimerase DNA-dependent
ribonucleic acid (RNA) M. Tuberculosis

Pirazinamid Bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman yang


(Z) berada dalam sel dengan suasana asam. Obat
ini hanya diberikan dalam 2 bulan pertama
pengobatan.

Streptomisin Bakterisid Obat ini adalah suatu antibiotik golongan


(S) aminoglikosida dan bekerja mencegah
pertumbuhan organisme ekstraselular.

Etambutol (E) Bakteriostatik

42
43
Tabel 2.2. Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan4,6

Kategori Pasien TB Paduan Pengobatan TB Alternatif

Fase Awal
(setiap hari / 3 x Fase Lanjutan
seminggu)
I Kasus baru TB paru dahak 2 RHZE (RHZS) 6 HE
positif;
2 RHZE (RHZS) 4 RH
kasus baru TB paru dahak
2 RHZE (RHZS) 4 R3H3
negatif dengan kelainan
luas di paru;

kasus baru TB ekstra-


pulmonal berat

II Kambuh, dahak positif; 2 RHZES / 1 RHZE 5 RHE

pengobatan gagal; 2 RHZES / 1 RHZE 5 RHE

pengobatan setelah terputus 2 RHZES / 1 RHZE 5 R3H3E3

III Kasus baru TB paru dahak 2 RHZE 4RH / 4H


negatif (selain dari kategori
2 RHZE 4R3H3 / 4H
I); kasus baru TB ekstra-
pulmonal yang tidak berat 2 RHZE 6HE

IV Kasus kronis (dahak masih TIDAK DIPERGUNAKAN


positif setelah menjalankan
(merujuk ke penuntun WHO guna
pengobatan ulang)
pemakaian obat lini kedua yang
diawasi pada pusat-pusat spesialis)

Atau,

Kronik : RHZES/OAT Lini 2 (minimal


18 bulan)

MDR TB : OAT Lini 2 / H (seumur


hidup)
44
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah :1,2,5

 Kategori I : 2RHZE / 4RH atau 2RHZE(S) / 6HE


Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2RHZE(S) setiap hari
selama 2 bulan obat R, H, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif
setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan
ke fase lanjutan 4RH atau 4R3H3 atau 6HE. Apabila sputum BTA masih
positif setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi
tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.
 Kategori II : 2RHZES / 1RHZE/ 5RHE atau 2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2RHZES / 1RHZE yaitu R dengan
H, Z, E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan
pertama. Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa
segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12,
fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-
2 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari
dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan
memakai fase lanjutan, yaitu 5R3H3E3 atau 5RHE.
 Kategori III : 2RHZE / 4RH / 4H atau 2RHZE / 4R3H3 / 4H atau 2RHZE / 6HE
Fase intensif 2RHZE dan dilanjutkan dengan fase lanjutan 4RH atau
4R3H3. Bila lesi di paru lebih luas dari 10 cm2 atau penderita TB di luar
paru dimana remisi belum sempurna maka dilanjutkan dengan H saja
selama 4 bulan. Panduan alternatif untuk fase lanjutan adalah 6HE
yang tentunya merupakan panduan yang amat lemah.
 Kategori IV : Rujuk ke ahli paru untuk mendapatkan obat sekunder,
tindakan bedah atau menggunakan INH seumur hidup. Pada pasien kategori
ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya harus dikultur dan dilakukan
uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO atau
menggunakan pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB). Untuk negara yang
kurang mampu dapat diberikan INH saja seumur hidup. Untuk negara yang
mampu dapat dicoba obat berdasarkan hasil tes resistensi.
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (RHZE).
Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II
45
pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2
minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA positif.10
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien :
Tabel 2.3. Dosis Obat Yang Dipakai Di Indonesia1,5

JENIS DOSIS

Rifampisin (R) Harian = Intermiten : 10 mg/kgBB

Isoniazid ( H )  Harian : 5mg/kg BB


 Intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
Pirazinamid (Z)  Harian : 25mg/kg BB
 Intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu

Streptomisin (S)  Harian = Intermiten : 15 mg/kgBB


 Usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
 Usia > 60 th : 0,50 gr/hari

Etambutol (E)  Harian : 15mg/kg BB


 Intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu

Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat


kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk
menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan
OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Tersedia obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT kategori I dan II. Tablet
OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya
(jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini
dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan
OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:2,11

Tabel 2.4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)32

46
Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3x seminggu
badan selama 56 hari selama 16 minggu

RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT

> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT

Tabel 2.5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(RH)3E31

Berat Tahap Intensif tiap Tahap Lanjutan3x seminggu


hari RHZE
badan RH (150/150) + E (400)
(150/75/400/275) + S

Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu

30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab


Etambutol
Streptomisin inj

38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab


Etambutol
Streptomisin inj

55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab


Etambutol
Streptomisin inj

> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab


Etambutol
Streptomisin inj

Tabel 2.6. Dosis OAT Untuk Sisipan1

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari

RHZE (150/75/400/275)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT

47
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien,
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.7. Efek Samping Pengobatan Dengan OAT1

Jenis Obat Ringan Berat

Rifampisin (R) Gatal-gatal kemerahan Hepatitis, sindrom respirasi


kulit, sindrom flu, sindrom yang ditandai dengan sesak
perut nafas, kadang disertai
dengan kolaps atau renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut, gagal
ginjal

Isoniazid (H) Tanda-tanda keracunan Hepatitis, ikhterus


pada syaraf tepi, kesemutan,
nyeri otot dan gangguan
kesadaran. Kelainan yang
lain menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan kulit yang
bervariasi antara lain gatal-
gatal

Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi,


demam, mual dan serangan arthritis gout
kemerahan

Etambutol (E) Gangguan penglihatan Buta warna untuk warna


berupa berkurangnya merah dan hijau
ketajaman penglihatan

48
Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII yang
demam, sakit kepala, berkaitan dengan
muntah dan eritema pada keseimbangan dan
kulit pendengaran

H. KOMPLIKASI
Komplikasi TB ini dapat terjadi baik pada pasien yang diobati ataupun tidak.
Secara garis besar, komplikasi TB dikategorikan menjadi: 15
1) Lesi parenkim
a) Tuberkuloma dan thin-walled cavity
b) Sikatriks dan destruksi paru.
c) Aspergilloma.
d) Karsinoma bronkogenik.
2) Lesi saluran nafas
a) Bronkiektasis.
b) Stenosis trakeobronkial.
c) Bronkolitiasis
3) Komplikasi vaskular
a) Trombosis dan vaskulitis.
b) Dilatasi arteri bronchial.
c) Aneurisma rassmussen.
4) Lesi mediastinum
a) Kalsifikasi nodus limfa.
b) Fistula esofagomediastinal.
c) Tuberkulosis perikarditis.
5) Lesi pleura
a) Chronic tuberculous empyema dan fibrothorax.
b) Fistula bronkopleura.
c) Pneumotoraks.
6) Lesi dinding dada
a) TB kosta.
b) Tuberculous spondylitis.
c) Keganasan yang berhubungan dengan empyema kronis.
I. PROGNOSIS
TB merupakan suatu penyakit yang parah dan sering menyebabkan
kematian jika tidak ditangani. Setelah 5 tahun tanpa pengobatan, hasil dari smear-
positive (BTA positif) TB Paru pada penderita HIV negatif adalah
sebagai berikut:
1) 50-60% meninggal (CFR untuk TB yang tidak diobati)
2) 20-25% sembuh (sembuh spontan)
3) 20-25% berlanjut kronis
Dengan pengobatan yang adekuat, Case Fatality Rate (CFR) sering menurun
menjadi kurang dari 2 – 3% dibawah kondisi optimal. Penurunan CFR serupa

49
terlihat pada penderita TB paru smear-negative (BTA negatif) dan ExtraPulmonary
Tuberculosis (EPTB) dengan pengobatan adekuat. TB yang tidakdiobati pada
penderita infeksi HIV (tanpa antiretroviral) hampir selalu fatal. Bahkan dengan
retroviral pun, CFR-nya selalu lebih tinggi dari pada penderita non-infeksi HIV.15,18

50
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seorang laki-laki berinisial Tn. B, berumur 36 tahun, masuk RS tanggal 30
April 2019 dengan keluhan utama sesak napas yang bertambah berat sejak ± 1 hari
SMRS. Dari keluhan tersebut, yang dapat kita pikirkan adalah gangguan di sistem
respirasi/paru, gagal jantung, dan gangguan ginjal.
Lebih kurang 1 bulan SMRS, os mengeluh batuk, dahak (+), warna dahak
putih, os merasa nafsu makan yang menurun, berat badan menurun. BAK dan BAB
normal (+). Pada keadaan ini, pasien berobat dan hanya meminum obat OAT 1
minggu, kemudian berhenti tidak minum obat OAT sama sekali selama 1 minggu.
Dari anamnesis ini, kemungkinan gangguan ginjal dapat disingkirkan karena tidak
ada kelainan BAK. Perubahan warna BAK bisa menunjukkan terjadinya gangguan
di ginjal.
Lebih kurang 1 minggu SMRS os mengeluh batuk semakin sering. Dahak
(+), warna dahak putih. Jumlah dahak semakin banyak, kurang lebih 1 sendok
makan setiap kali batuk. Batuk tidak bercampur darah, Frekuensi batuk sekitar 10-20
kali per hari. Pada saat batuk, os merasakan sakit di dadanya, sakit tidak menjalar.
Os juga mengeluh sesak, sesak tidak dipengaruhi aktifitas, posisi, cuaca, dan emosi.
badan terasa lemas (+), demam (+) tidak terlalu tinggi, nafsu makan menurun (+),
berat badan menurun (+). BAB dan BAK biasa. Dalam hal ini, dapat dicurigai
adanya TB dari warna dahak yang putih. Sakit dada dapat dikarenakan adanya
proses pada pleura, dapat disebabkan adanya pleuritis atau efusi pleura. Sesak yang
ditimbulkan juga bukan berasal dari penyakit jantung dan asma. Badan lemas,
demam, nafsu makan dan berat badan yang turun menunjukkan gejala-gejala
prodromal yang sering dijumpai pada TB paru.
Lebih kurang 1 hari SMRS, os mengeluh sesak napas semakin hebat, sesak
tidak dipengaruhi aktifitas, cuaca, posisi, dan emosi. Sakit dada ada, sakit tidak
menjalar. Os juga mengeluh batuk semakin sering. Batuk berdahak. Dahak berwarna
putih. Jumlah dahak semakin banyak, sekitar 1 ½ sendok makan. Os kemudian
berobat ke IGD RSUD Soeselo Slawi dan dirawat.
Riwayat sakit darah tinggi disangkal, riwayat kencing manis tidak ada,
riwayat penyakit dengan keluhan yang sama yaitu batuk darah dalam keluarga juga
disangkal oleh os.

51
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang, dan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
98x/menit, pernafasan 26x/menit, dan temperatur 36,90C. Pemeriksaan kepala dan
leher dalam batas normal. Pada pemeriksaan paru ditemukan stemfremitus kanan
lebih dari kiri. Sonor pada paru kanan, redup pada paru kiri. Vesikuler melemah pada
paru kiri, dan didapatkan ronkhi basah sedang pada lapangan paru kiri. Pada
pemeriksaan jantung, abdomen, genital, dan ekstremitas tidak ditemukan kelainan.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, dapat ditegakkan diagnosis berupa efusi pleura kiri.
Adanya ronki basah sedang dapat menunjukkan ada kelainan lagi di parunya,
terutama TB. Karena banyaknya temuan bahwa efusi pleura sering merupakan
komplikasi TB paru, maka TB paru dapat dipertimbangkan sebagai penyebab
timbulnya efusi pleura dalam kasus ini.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen


Kesehatan Republik Indonesia. Edisi 2, Cetakan I.
2. Persatuan Dokter Paru Indonesia.,2006. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf. Diakses: 19 Mei
2019. 1-42.
3. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI., 2009.
Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis. http://staff.ui.
ac.id/systm/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf. Diakses 18 Mei 2019). 1-
14.
4. Kemenkes. 2016. Tuberkulosis: Temukan, Obati sampai Sembuh. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI

5. Amin, Zulkifli dan Bahar, Asril., 2009. Pengobatan TB termutakhir dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-1000.

6. Menteri Kesehatan Republik Indonesia., 2013. Pedoman Manajemen Terpadu


Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat.
Http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/67_PMK%2010.%2013%20ttg%2
0Pengendalian%20tuberkulosis%20resisten%20obat.pdf. Diakses: 13 Mei 2019).
7. Sudoyo, Aru W. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
8. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC
9. Alsagaff, Hood., 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi
tuberkulosis. Surabaya, Universitas Airlangga Press , 19-21.
10. Bihari Gupta, Khrisna; Gupta, Rajesh; Atreja, Atulya; Verma, Manish dan
Vishukorma, Suman., 2009. Tuberkulosis and Nutrition, Lung India, 26(1), 9-11.
11. World Health Organitation., 2010. Countdown to 2015 Global Tuberculosis
Report2013Supplement.http://www.stoptb.org/assets/documents/global/plan/tb_globa
l/ plantostopTB2011.pdf. Diakses: 17 Mei 2019. 21-2.
12. Djojodibroto, Darmanto., 2007. Penyakit Parenkim Paru. Jakarta, Buku Kedokteran
EGC, 151-68.
13. Kartasasmita, C.B. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri : 11 (2) ; 124-125.
14. Kemenkes. 2014. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
15. Kim, H.Y. 2001. Thoracic Sequelae and Complications of Tuberculosis. Radio
Graphics. 21 (4) ; 839-856

53
16. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia., 2010. Jurnal Tuberkulosis
Indonesia.http://Jurnal-tuberkulosis-indonesia-vol17-okt2010.pdf. Diakses 17 Mei
2019. 2-4.
17. Utami A.S., 2009. Mayoritas Usia Penderita TB Paru Berdasarkan Hasil
Pemeriksaan Radiologi di Bagian Radiologi RSUP.DR.Sardjito. Fakultas Kedokteran
UGM. Skripsi Wieslaw, J.,et al,. 2001. TB Manual National Tuberculosis Programme
Guidelines. Copenhagen: Health Documentation Service WHO.
18. Lorraine W. 2005. Penyakit Paru Restriktif. Dalam : Price, Sylvia A, Lorraine W, et

al. Editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Ed. 6. Jilid.2.

Kedokteran EGC ; Jakarta.


19. Slamet H. 2007. Efusi Pleura. Dalam : Alsagaff H, Abdul Mukty H, Dasar-Dasar

Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press ;Surabaya

20. Gambar anatomi pleura, 2007. Efusi Pleura. Diakses dari http://poslal medicina

/pleura.pdf Diakses 17 Mei 2019

21. Sudoyo AW. 2005. Kelainan Paru. Dalam: Halim H. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit

Dalam .Vol 2. Balai Penerbit FK UI ; Jakarta

22. Jeremy, et al. 2008. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. EMS. Jakarta

23. Maryani. 2008. Efusi Pleura. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/pleura.pdf

24. Astowo, pudjo. 2009. Efusi Pleura, Efusi Pleura Ganas Dan Empiema. Jakarta:
Departement Pulmonolgy And Respiration Medicine, Division Critical Care And
Pulmonary Medical Faculty UI.
25. Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009

54

Anda mungkin juga menyukai

  • Laporan Kasus STEMI
    Laporan Kasus STEMI
    Dokumen24 halaman
    Laporan Kasus STEMI
    fikrinajamuddin
    Belum ada peringkat
  • MTBS-M 2014
    MTBS-M 2014
    Dokumen83 halaman
    MTBS-M 2014
    Wulan
    Belum ada peringkat
  • SIM Kesehatan
    SIM Kesehatan
    Dokumen2 halaman
    SIM Kesehatan
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Formulir Pendaftaran Ukmppd Periode Februari 2020
    Formulir Pendaftaran Ukmppd Periode Februari 2020
    Dokumen3 halaman
    Formulir Pendaftaran Ukmppd Periode Februari 2020
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • FORM Luar Kota
    FORM Luar Kota
    Dokumen3 halaman
    FORM Luar Kota
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • SIM Kesehatan
    SIM Kesehatan
    Dokumen2 halaman
    SIM Kesehatan
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Sampul Osler
    Sampul Osler
    Dokumen4 halaman
    Sampul Osler
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Presentation 3
    Presentation 3
    Dokumen11 halaman
    Presentation 3
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Jurnal
    Jurnal
    Dokumen7 halaman
    Jurnal
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • New Anemia Et Efusi E.C CHF
    New Anemia Et Efusi E.C CHF
    Dokumen90 halaman
    New Anemia Et Efusi E.C CHF
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen3 halaman
    Bab I
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Laporan Jaga Stase Penyakit Dalam: JUMAT, 12JULI2019
    Laporan Jaga Stase Penyakit Dalam: JUMAT, 12JULI2019
    Dokumen19 halaman
    Laporan Jaga Stase Penyakit Dalam: JUMAT, 12JULI2019
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • JUDUL
    JUDUL
    Dokumen4 halaman
    JUDUL
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • HMMMMMM
    HMMMMMM
    Dokumen60 halaman
    HMMMMMM
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Ada Ajah
    Ada Ajah
    Dokumen57 halaman
    Ada Ajah
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Wis Lahh
    Wis Lahh
    Dokumen13 halaman
    Wis Lahh
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Bisa Kaya Kie
    Bisa Kaya Kie
    Dokumen13 halaman
    Bisa Kaya Kie
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat Egi Ikm
    Cover Referat Egi Ikm
    Dokumen4 halaman
    Cover Referat Egi Ikm
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Sampul Osler
    Sampul Osler
    Dokumen4 halaman
    Sampul Osler
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Presentation 3
    Presentation 3
    Dokumen11 halaman
    Presentation 3
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan
    Bab I Pendahuluan
    Dokumen25 halaman
    Bab I Pendahuluan
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Pasca Sarjana
    Pasca Sarjana
    Dokumen5 halaman
    Pasca Sarjana
    Yolanda Intan Sari
    Belum ada peringkat
  • Herbal Life
    Herbal Life
    Dokumen28 halaman
    Herbal Life
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Seboroik
    Seboroik
    Dokumen10 halaman
    Seboroik
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • HHHJJ
    HHHJJ
    Dokumen7 halaman
    HHHJJ
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Tambahan Tetanus
    Tambahan Tetanus
    Dokumen7 halaman
    Tambahan Tetanus
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Derma To
    Derma To
    Dokumen27 halaman
    Derma To
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Sampul Osler
    Sampul Osler
    Dokumen4 halaman
    Sampul Osler
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat Egi Ikm
    Cover Referat Egi Ikm
    Dokumen4 halaman
    Cover Referat Egi Ikm
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat