Anda di halaman 1dari 90

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Tanggal lahir : 17 Desember 1943
Umur : 75 tahun
No. CM : 599217
Pekerjaan : IRT
Alamat : Tegal wulung, Rt 13 Rw 03 Jatibarang
Ruang : Dahlia
DPJP : dr. Iman Darjito, Sp.PD
Tanggal Masuk RS : 29 Juni 2019
Tanggal Periksa : 01 Juli 2019
Tanggal Pulang : 03 Juli 2019
II. Anamnesis
Di lakukan autoanamnesis pada Senin, 01 Juli 2019 di ruang Dahlia.
a. Keluhan utama : Lemes.
b. RPS : Pasien mengeluh badan lemes sejak 1 minggu sejak SMRS.
Keluhan dirasa semakin memberat , pasien mengeluh sesak nafas, Pasien sering
merasakan sesak yang memberat ketika malam hari, dan bertambah sesak saat
tidur terlentang. sesak juga dirasakan ketika sedang melakukan aktifitas, sesak
bertambah saat pasien menuju ketoilet . Pasien merasa sesak nafas tersebut
berkurang ketika pasien berbaring dengan posisi setengah duduk.
Keluhan lainya pasien mengaku batuk sekitar 5 hari SMRS , dahak (+) warna
putih, bengkak pada tungkai bawah (+/+). Demam (-), pusing (-),mual(-) muntah
(-) ,disangka, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
c. RPD
Pasien dan keluarga mengatakan pasien sebelumnya tidak pernah dirawat di RS
maupun tempat kesehatan lain. riwayat, penyakit jantung (-),Paru (-) hipertensi
(-), diabetes mellitus (-), asma, peyakit hati, penyakit ginjal, alergi obat dan
riwayat trauma dada di sangkal.
d. RPK

1
Riwayat keluhan yang sama dengan pasien (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (-),
penyakit jantung, stroke dan riwayat penyakit paru pada keluaragnya disangkal.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku hanya meminum obat warung saat pusing atau batuk biasa dan
biasanya sembuh saat sudah minum obat.
f. Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi
Pasien berobat dengan Umum kelas II. Pasien tinggal dirumah dengan ventilasi
rumah cukup, konsumsi alcohol, penggunaan obat nyamuk(-) menyapu (+)
III. Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Keadaan Umum : Tampak sesak
Kesadaran : Compos Mentis (E4/V5/M6)
Tekanan darah : 150/100 mmHg tidur, manset dilengan kanan,large adult cuff
Nadi : 106 kali/menit irama regular, isi dan tekanan cukup
Frekuensi Pernafasan : 28 kali/menit irama regular, tipe pernapasan thorakoabdominal
Temperatur : 36,5° C
Status Generalisata
Kepala : Normocephali, wajah simetris, rambut tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-) edema palpebral (-/-)
Telinga : Normotia, serumen (-)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), darah (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab (-), sianosis (-), caries dentis (-), kandidiasis (-),
tonsil (T1/T1), faring hiperemis (-).
Leher : Retraksi suprasternal (-), pembesaran KGB (-), pembesaran
thyroid (-), JVP 5+3 cmH2O

Thoraks :
Pulmo I : Pengembangan dada simetris (↓/ ↓), tidak ada kelainan kulit retraksi
intercostal (-/-), jejas (-).
P : Vocal fremitus taktil dextra=sinistra getaran pulmo sinistra (↓/ ↓),
nyeri tekan (-/-)
P : Sonor pada lapang paru dx sin menurun, redup pada lapang paru
dextra sinistra mulai SIC VI kebawah

2
A : Suara dasar vesicular ( ↓/ ↓), ronkhi (+/+) wheezing (-/-) friction rub
(+/+)
Cor :I : Ictus cordis tak tampak.
P : Ictus cordis di ICS V linea axillaris anterior sinistra, tidak kuat
angkat
P : Batas kanan atas jantung ICS II linea parasternalis dextra
Batas kanan bawah jantung ICS V di linea parasternalis dextra
Batas kiri atas jantung di ICS II line parasternalis sinistra
Batas kiri bawah jantung ICS V linea axillaris anterior sinistra
A : S1>S2, regular, bising jantung : mur-mur (-) gallop (-)
Abdomen : I : Simetris, sikatrik (-), distensi (-)
A : peristaltik usus normal (10x/menit)
P : Timpani, asites (-), shifting dullness (-)
P : Supel, nyeri tekan superfisial (-) hepatomegali (-) spleenomegali (-)
Ginjal : Ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/-

Ekstremitas:
Insp : Edema Eritema - -

+ +

Palp : - - Akral dingin


- -

Capillary refill <2dtk, turgor kulit baik,clubbing finger (-)

3
Status Gizi
BB : 45 kg
TB : 150 cm
IMT : 20 (normal)
IV. Pemeriksaan Penunjang
( Laboratorium 29-06-2019)
Darah lengkap
Leukosit : 5.2 10^2/µl
Eritrosit : 2.5 10^6/µl (↓)
Hemoglobin : 4.6 g/dl (↓)
Hematokrit : 16 % (↓)
MCV : 65 (↓)
MCH : 19 (↓)
MCHC : 29 (↓)
Trombosit : 256
Diff count
Eosinofil : 1.3 %(↓)
Basofil : 0.20 %
Netrofil : 74.40 % (↑)
Limfosit : 16.0 % (↓)
Monosit : 8.10 %(↑)
MPV : 9.4 fl
RDW-SD : 46.9 fL (↑)
RDW-CV : 21 % (↑)
Golongan darah :B
Rhesus faktor : positive
Kimia Klinik
Elektrolik
Kalium : 3.37 mmol/l(↓) Creatinin :1.02 mg/dL (↑)
Natrium : 139.6 mmol/l Ureum : 40 mg/dl
Chlorida : 117.4 mmol/l (↑) SGPT : 17 U/L
Calcium : 1.05 mmol/l(↓) SGOT : 22 U/L

4
Pemeriksaan Radiologi(01 Juli 2019)

Foto Thorax PA
Cor : Apex jantung bergeser ke laterokaudal
Pulmo : Corakan bronkovaskular tampak meningkat, disertai blurring vascular
Tampak bercak pada kedua paru,
sudut cardiofrenicus tumpul
Sudut costofrenikus dextra sinistra tampak tumpul
Kesan : Cardiomegaly
Efusi pleura duplex
Gambaran Edema Pulmonum

V. Abnormalitas :
1. Anamnesis
5
− Lemes 1 minggu
− Sesak nafas memberat malam hari
− Batuk 5 hari (+) dahak (+) putih
− Bengkak kedua kaki

2. Pemeriksaan Fisik
− Tekanan darah : 150/100 mmHg
− Nadi : 106 kali/menit irama regular
− Frekuensi Pernafasan: 28 kali
− Conjuntiva Anemis : (+/+)
− JVP : 5+3 cmH2O
− Pulmo I : Pengembangan dada simetris (↓/ ↓)
P : Vocal fremitus taktil dextra=sinistra getaran pulmo (↓/ ↓),
P : Sonor pada lapang paru dx sin menurun, redup pada lapang
paru dextra sinistra mulai SIC VI kebawah
A : Suara dasar vesicular ( ↓/ ↓) Rhonki (+/+) plural frictionrub (+/
+)
− Cor
P : Ictus cordis di ICS V linea axillaris anterior sinistra, tidak kuat
angkat
P : Batas kiri bawah jantung ICS V linea axillaris anterior sinistra
A : S1>S2, regular, bising jantung : mur-mur (-) gallop (-)
− Ekstremitas : Oedem
- -

+ +

3. Pemeriksaan Laboratorium
Eritrosit : 2.5 10^6/µl (↓)
Hemoglobin : 4.6 g/dl (↓)
Hematokrit : 16 % (↓)
MCV : 65 (↓)
MCH : 19 (↓)
MCHC : 29 (↓)

6
RDW-SD : 46.9 fL (↑)
RDW-CV : 21 % (↑)
Elektrolit
Kalium : 3.37 mmol/l(↓)
Chlorida : 117.4 mmol/l (↑)
Calcium : 1.05 mmol/l(↓)
Creatinin :1.02 mg/dL (↑)

4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Thorax PA
Cardiomegaly
Efusi pleura duplex
Gambaran Edema Pulmonum

VI. Rencana Pemecahan Masalah


Problem list :
1. Anemia Mikrositik Hipokrom
2. CHF
3. Hipertensi Grade I
4. Efusi Pleura Bilateral
5. Hipokalemia

1. Anemia MH
a. Assesment:
 Anemia on chronic disease
 Anemia Defisiensi besi
b. Planning Dianostik:
 Gambaran Darah Tepi
 Fe Serum
 Feritin-TIBC
 Mentzer Index
c. Planning Therapy :
 Inf. RL 10 tpm
 Transfusi PRC 4 kolf
7
d. Planning Monitoring:
 Evaluasi Hb
 TTV

2. Chronic Heart Failur


a. Asesstment
 CHF
 Komplikasi (Oedem Pulmo, Hiperkalemi, Perikarditis, Hipertensi,
Anemia)
b. Planning Diagnostik
 Darah Lengkap
 Ureum creatinin
 Elektrolit
 EKG
 Foto Ro Thorax PA
c. Planning Terapi
 O2 4 lpm
 Inf. NaCl 10 tpm
 Inj. Furosemide 10mg/12jam
 Candesartan 8mg/24jam
 Bisoprolol 2,5mg/24jam
 Spironolakton 25mg/24 jam po
d. Planning Monitoring
 Keadaan umum
 TTV TD
 Evaluasi gejala
 (Sesak)
e. Edukasi
 Ketaatan berobat
 Diet rendah garam
 Mengatur berat badan ideal
 Membatasi asupan cairan (1,5-2 liter/hari
 Aktivitas fisik

8
3. Hipertensi grade I
a. Assesment:
 Faktor resiko(usia, jenis kelamin,rokok,hiperlipidemi)
 Komplikasi(CHF,gagal ginjal, Retinopati)

b. Planning Diagnosis:
 EKG (suda dilakukan)
 Funduskopi
 Profil lipid
 Ureum creatinin(sudah dilakukan)
c. Plannning Therapy:
 Inf. RL 10 tpm
 Candesartan 8mg/24jam P.O
 Bisoprolol 2.5 mg/jam P.O
d. Planning Monitoring:
 TTV
 Status gizi
e. Edukasi:
 Diit rendah garam
 Menghindari asap rokok
 Jaga berat badan
 Latian fisik teratur
4. Efusi Pleura Bilateral
a. Assesment:
 Faktor resiko(Hipertensi,rokok,)
 Etiologi (CHF,gagal ginjal,sirosis hati, sindrom nefrotik,TB paru)
b. Planning Diagnosis:
 Darah Lengkap √
 Rontgen Thorax PA √
 Rontgen Lateral √
 Rontgen Thorax LLD
 Bila perlu Thoracosintesis (diagnostic dan terapeutic) analisis cairan
pleura (makroskopis, mikroskopis, mikrobiologi, penanda tumor, uji
Rivalta
9
c. Plannning Therapy:
 Inf. RL 10 tpm
 Inj. Furosemid 10 mg/12 jam i.v
 Bisoprolol 1 x 2.5 mg/24jam P.O
f. Planning Monitoring:
 TTV (Respirasi rate)
 Rontgen Thorax Ulang
6. Hipokalemia
a. Assesment:
 Etiologi (Disfungsi ginjal,Diare, muntah, Obat-obatan,)
 Komplikasi( nekrosis otot ascending paralise,aritmia)
b. Plannning Therapy:
 KCl oral 20 mEq/L /8 jam
 Inj. Ranitidin 1 amp/12jam I.v
 Ondansentron 8mg/24jam P.o
c. Planning Monitoring:
 KU
 TTV (Respirasi rate)

10
DIAGNOSIS
Diagnosis kerja :
CHF dengan Anemia, Efusi Pleura Bilateral, dan Oedem Pulmo
Diagnosis Banding :
Efusi TB
Dasar Diagnosis
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang
Mengeluh lemas Keadaan Umum Laboratorium Darah Lengkap
Eritrosit : 2.5 10^6/µl
Sesak nafas, memberat Tampak sakit sedang
Hemoglobin : 4.6 g/dl (↓)
dengan aktifitas, TTV
Hematokrit : 16 % (↓)
TD 150/100
MCV : 65 (↓)
Nadi 106
MCH : 19 (↓)
Pernafasan 24x/m
MCHC : 29 (↓)
Suhu 36,5oC
Diff count
Mata : Konjungtiva anemis
Eosinofil : 1.3 %(↓)
(+/+)
Netrofil : 74.40 % (↑)
Leher : Jvp 5+3 CmH2O
Limfosit : 16.0 % (↓)
Pulmo
Monosit : 8.10 %(↑)
I : pengembangan dada
RDW-SD : 46.9 fL (↑)
(↓/↓)
RDW-CV : 21 % (↑)
P : getaran pulmo dextra ELEKTROLIT
sinistra (↓/↓) Kalium : 3.37
P:Sonor pada mmol/l(↓)
lapang paru dx sin Chlorida: 117.4 mmol/l (↑)
(↓/↓), redup (+/+) Calcium: 1.05 mmol/l(↓)

11
SIC VI kebawah Pemeriksaan Radiologi
A: SDV (↓/↓) Cor : Apex jantung
Rhonki bergeser ke laterokaudal
(+/+),pleural Pulmo : Corakan
frictionrub (+/+) bronkovaskular tampak
Cor : Batas kiri bawah meningkat, disertai blurring
jantung ICS V linea vascular
axillaris anterior sinistra Tampak bercak pada kedua
paru,
Sudut costofrenikus dextra
sinistra tampak tumpul

VII. PENATALAKSANAAN
1. Terapi IGD
 Inf. NaCL 20 tpm (tranfusi set)
 Ranitidin 50 mg/12 jam iv
 In ceftriaxon 250mg/12 jam
 Ambroxol syr 3 x1 C
2. Terapi bangsal:
 Infus RL 12 tpm
 Inj Furosemid 1x1 amp
 Inj. Ceftriaxon 2 x 1g
 Inj. Ranitidin 2x 1 amp
 Tranfusi 4 PRC
 Inj. Omz 2 x 40 mg
 P.o Ondansentron 1x 8mg
 Candesarta 1 x 8 mg
 Spironolacton1 x 25 mg
 Bisoprolol 1 x 1.25 mg
3. Planning Diagnostik
 Darah Lengkap √
 Ureum creatinin
12
 Elektrolit√
 EKG
 Rontgen Thorax PA √
 Rontgen Lateral
 Rontgen Thorax LLD
 Thoracentesis (diagnostic dan terapeutic)  analisis cairan pleura (makroskopis,
kimia, mikroskopis, mikrobiologi, uji Rivalta)
 Sitologi cairan
 Pemeriksaan Bakteriologis (TCM / BTA)
4. Monitoring
 Observasi keadaan umum, vital sign dan keluhan
5. Edukasi
 Menjelaskan keadaan dan perjalanan penyakit pada keluaraga pasien.
 Ketaatan berobat
 Diet rendah garam
 Mengatur berat badan ideal
 Membatasi asupan cairan (1,5-2 liter/hari)
 Aktivitas fisik
 Menjelaskan etika batuk.
 Edukasi untuk kontrol ke poli/melanjutkan pengobatan setelah pulang dari Rumah
Sakit.

VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia Ad malam
Ad Fungsionam : Dubia Ad malam
Ad Sanationam : Dubia Ad malam
IX. FOLLOW UP
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Plan

29/06/201 Lemas (+) Ku: Tampak sesak, CM Anemia MH O2 3 lpm


9 Sesak (+), TD: 150/100 mmHg Hipertensi RL 12 tpm
09.40 Batuk (+) HR: 106x/m, COPD Inj Ceftriaxon 2 x1 g
WIB Demam (-), RR:28x/m, Hipokalemi Inj Furosemid 1x1

13
T: 36,5 C amp
Normocephal Inj ranitidin 2x 1 amp
Mata: CA (+/+) SI (-/-) Tranfusi 4 kolf> 1
Px Thorax: kolf /12 jam
I:Pengembanan EKG
dada simetris Usul
(Sin=Dx) Ro Thorax
: Vocal fremitus
taktil
dextra=sinistra
getaran pulmo
sinistra ↓, nyeri
tekan (-/-)
P:Sonor pada lapang
paru dx sin menurun,
redup pada lapang paru
sin mulai SIC VI
kebawah
A: SDV (↓/↓),
Rhonki (+/+)
WH (-/-)
friction rub
(+/+)
Px abd: supel, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas AH (+)
Edema CTR <2 dtk,
turgor kulit baik,
clubbing finger (-).
Eritrosit: 2.5 10^6/µl
Hb: 4.6 g/dl (↓)
Ht: 16 % (↓)
MCV : 65 (↓)

14
MCH : 19 (↓)
MCHC: 29 (↓)
ELEKTROLIT
Kalium : 3.37
mmol/l(↓)
Chlorida: 117.4 mmol/l
(↑)
Calcium: 1.05mmol/l(↓)
Ureum : 40 mg/dl
Creatinin : 1. 02(↑)
SGOT: 22 U/L
SGPT: 17 U/L
EKG
Irama sinus
Axis : Normal
Q : patologi
R : Poor R wave
Progression
30/06/201 Lemas (+) Ku: Tampak sesak, CM Anemia MH O2 3 lpm
9 Sesak (+), TD: 140/80 mmHg Hipertensi RL 12 tpm
07.00 Batuk (+) HR: 84x/m, RR:24x/m, COPD Inj Ceftriaxon 2 x1 g
WIB Demam (-), T: 36,4 C Hipokalemi Inj Furosemid 1x1
Normocephal amp
Mata: CA (+/+) SI (-/-) Tranfusi 4 kolf>
Px Thorax: masuk 2 kolf
I:Pengembangan Inj ranitidin 2x 1 amp
dada simetris RO thorax AP
(Sin=Dx)
: Vocal fremitus
taktil
dextra=sinistra
getaran pulmo
sinistra ↓, nyeri

15
tekan (-/-)
P:Sonor pada
lapang paru dx
sin menurun,
redup pada
lapang paru sin
mulai SIC VI
kebawah
A: SDV (↓/↓),
Rhonki (+/+)
WH (-/-)
friction rub
(+/+)
Px abd: supel, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas AH (+)
Edema berkurang CTR
<2 dtk, turgor kulit
baik, clubbing finger
(-).
1/07/2019 Masih Ku: Tampak sesak, CM CHF dengan RL 10 tpm
07.00 lemas(+), TD: 140/80 mmHg Anemia MH, O2 3 lpm
WIB Batuk (+) HR: 80x/m, RR:22x/m, Efusi Pleura Inj. Furosemid 2amp-
Sesak nafas T: 36,7 C Bilateral dan 2-0
berkurang Normocephal Hipokalemia Inj. Omz 2 x 40 mg
Mata: CA (+/+) SI (-/-) Sucralfat 2x 1 cth
Px Thorax: Candesartan 1 x 8mg
I:Pengembanan Spironolacton 1
dada simetris x25mg
(Sin=Dx) Tranfusi 4
P: Vocal fremitus kolf>masuk 4 kolf
taktil Cek DR ulang post
dextra=sinistra transfusi
getaran pulmo
16
sinistra ↓, nyeri
tekan (-/-)
P:Sonor pada
lapang paru dx
sin menurun,
redup pada
lapang paru sin
mulai SIC VII
kebawah
A: SDV (↓/↓),
Rhonki (-/-)
WH (-/-)
friction rub
(+/+)
Px abd: supel, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas AH (+)
Edema (-) CTR <2 dtk,
turgor kulit baik,
Pemeriksaan
Radiologi
Cor : Apex jantung
bergeser ke
laterokaudal
Pulmo : Corakan
bronkovaskular tampak
meningkat, disertai
blurring vascular
Tampak bercak pada
kedua paru,
Sudut costofrenikus
dextra sinistra tampak
tumpul
2/07/2019 Lemas Ku: Sakit sedang, CM CHF dengan - Terapi lanjut
17
07.00 berkurang TD: 130/80 mmHg Anemia MH,
WIB (+) HR: 84x/m, RR:22x/m, Efusi Pleura
Batuk (+) T: 36,4 C Bilateral dan
Sesek (+) Normocephal Hipokalemia
berkurang Mata: CA (-/-) SI (-/-)
Px Thorax:
I:Pengembanan
dada simetris
(Sin=Dx)
: Vocal fremitus
taktil
dextra=sinistra
getaran pulmo
sinistra ↓, nyeri
tekan (-/-)
P:Sonor pada
lapang paru dx
sin menurun,
redup pada
lapang paru sin
mulai SIC VII
kebawah
A: SDV (+/+),
Rhonki (-/-)
WH (-/-)
friction rub (-/-)
Px abd: supel, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas AH (+)
Edema (-) CTR <2 dtk,
turgor kulit baik,
Laboratorium
(2/07/2019)

18
Leu: 5.2 10^3/µl
Eritrosit: 4.3 10^6/µl
Hb: 10.2 g/dl (↓)
Ht: 32 % (↓)
MCV : 74 (↓)
MCH : 24 (↓)
MCHC: 32

3/07/2019 Lemes (-) Ku: Sakit sedang, CM CHF dengan APS


07.00 Batuk (+) TD: 110/80 mmHg Anemia MH,
WIB berkurang HR: 84x/m, RR:22x/m, Efusi Pleura
Sesek(-) T: 36,7 C Bilateral dan
Normocephal Hipokalemia
Mata: CA (-/-) SI (-/-)
Px Thorax:
I:Pengembanan
dada simetris
(Sin=Dx)
: Vocal fremitus
taktil
Pasien dextra=sinistra
minta getaran pulmo
pulang sinistra ↓, nyeri
tekan (-/-)
P:Sonor pada
lapang paru dx
sin.
A: SDV (↓/↓),
RBK (-/-) WH
(-/-) friction rub
(-/-)
Px abd: supel, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas AH (+)
19
Edema (-) CTR <2 dtk,
turgor kulit baik,

20
X. ALUR PIKIR

Kuman masuk melalui saluran nafas

Implantasi kuman terjadi pada respiratorik bronkial atau alveoli

Fagositosis oleh makrofag Destruksi Basil

Pembentukan tuberkel, membentuk sarang pneumonik/primer

Peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) hingga limfanitis regional

Kompleks Primer

Diresorpsi kembali dan Menyebar


Sembuh dengan sedikit
sembuh tanpa cacat
cacat/bekas (sarang ghon,
garis fibrotic)

Perkontinuitatum Bronkogen Limfogen

Hematogen
Menyebar ke sekitar pleura

Antigen TB memasuki rongga pleura, biasanya mealalui


pecahnya focus subpleural dan terjadi interaksi dengan
limfosit (menghasilkan rx hipersensitivitas tipe lambat)

Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan sebabkan permeabilitas vascular meningkat
dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan cairan pleura
Terjadi Peradangan

Sel T helper tipe 1 (Th1) memperantarai limfosit dalam memberi respon thd infeksi M.Tb

Efusi Pleura

21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. EFUSI PLEURA
A. DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa
cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya
mengandung cairan sebanyak 10-20 ml, cairan pleura komposisinya sama dengan
cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah
yaitu < 1,5 gr/dl6.
B. ETIOLOGI
Berdasarkan Jenis Cairan :
1. Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
2. Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi
pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar
Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura6.
Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria
berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga
kriteria ini 6:
1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal didalam serum.
Transudat Eksudat
Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3
Kadar protein dalam efusi <0,5 >0,5
Kadar Protein dalam serum
Kadar LDH dalam efusi (I.U) <200 >200
Kadar LDH dalam efusi < 0,6 >0,6
Kadar LDH dalam serum

Berat jenis cairan efusi <1.016 >1.016


Rivalta Negatif Positif

Tabel 2.1 Perbedaan Biokimia Efusi Pleura7

22
Efusi pleura berupa :

A. Eksudat, disebabkan oleh :


1) Pleuritis karena virus dan mikoplasma: virus coxsackie, Rickettsia,
Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-
6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam,
malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa
dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam
cairan efusi.7
2) Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh
bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara
hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun
anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,
Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan
lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika
ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi
keluar dari rongga pleura.7
3) Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi.
4) Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi
melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening,
dapat juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral.
Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari
jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada
didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada
hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis
ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada
pleuritik. 5
5) Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-
paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi

23
bilateral dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Patofisiologi
terjadinya efusi ini diduga karena :
a. Invasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi
kebocoran kapiler.
b. Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan
aliran balik sirkulasi.
c. Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif
intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang
ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura
tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan pleura
cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan
pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle
biopsy).7
6) Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah
dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya
berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi
parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage
kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir.
Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy
pada pasien dengan efusi para pneumonik:
a. Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura
b. Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
c. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
d. Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri.
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi
parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam
waktu beberapa jam saja.7
7) Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma.
8) Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi
parapneumonik.7
24
B) Transudat, disebabkan oleh :
1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab
lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.
Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik
dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada
pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan
menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah
bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg
pleura dan paru-paru meningkat.8
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat
juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit
menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi
kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya
teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera
menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita
amat sesak.9
2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan
bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah dengan
memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi pengobatan yang
terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui
lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi
biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk menimbulkan dyspneu
berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol asites dan
efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat
dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous
shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau
torakotomi pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.8

25
4. Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita
dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan
sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor
ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul
karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya
terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma.
Klinisnya merupakan penyakit kronis.9
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi
unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga
peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti
dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisat.9
C) Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb
pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah
hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini
mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya
diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka
biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.7

C. PATOGENESIS
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga
pleura berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis
yang saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu
terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan
diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan yang
seimbang dengan kecepatan pembentukannya.4
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya
kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan
cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan
dengan terjadinya efusi pleura yaitu 8;
1. Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi
kapiler
26
2. Penurunan tekanan kavum pleura
3. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura.

Skema 2.1 : Mekanisme Efusi Pleura10

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh


peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,
sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena
pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga
pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah
tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.7
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain
bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik,
dialisis peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis
konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks.7

27
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial
berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam
rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa
Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau eksudatif .7
E. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan
fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan
analisa cairan pleura.
1) Manifestasi Klinis
a. Gejala Utama.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika
paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa
rasa penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang
banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-
gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi),
banyak keringat, batuk, banyak riak. Deviasi trachea menjauhi tempat
yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang
signifikan1
2) Pemeriksaan Fisik.
a. Inspeksi : Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih
cembung
b. Palpasi : Penurunan fremitus vocal atau taktil
c. Perkusi : Pekak pada perkusi
d. Auskultasi : Penurunan bunyi napas dasar vesikular
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas
bronkus.8
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak
dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati

28
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis
melengkung (garis Ellis Damoiseu).7
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak
karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini
didapati vesikuler melemah dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit
terdengar krepitasi pleura.11
Gambar 2.2 : Garis melengkung (garis Ellis Damoiseu)10

29
3) Pemeriksaan Penunjang.
a. Foto thoraks

Gambar 2.3. Hasil efusi pleura pada foto thorax1


Cairan pleura, pada posisi tegak, mengalami gravitasi pada bagian
paling bawah thoraks yang memberikan gambaran sinar-x dada sebagai
berikut2:
1) Lesi opak homogen, umumnya dengan densitas yang sama dengan
bayangan jantung
2) Hilangnya garis diafragma
3) Tifak terlihatnya gambaran paru dan bronkus
4) Batas atas cekung dengan level tertinggi pada axila
Seiring bertambah banyaknya cairan, terjadi pengurangan volume
paru dan terjadi retraksi ke arah hilus. Pada awalnya cairan terkumpul di
bagian posterior, kemudian menuju ruang kostrofrenikus di bagian
lateral. Ketika cairan terdeteksi pada film dada PA standar, yang ditandai
oleh penumpukan sudut kostofrenikus, efusi pleura telah mencapai
volume 200-300 ml. Jika efusi bertambah luas, akan terjadi pergeseran
mediastinum kea rah yang berlawanan2.
Penampakan radiologis
Pada pemeriksaan foto thoraks posisi tegak, cairan pleura tampak
berupa perselubungan homogen menutupi struktur pulmo inferior yang
biasanya radioopak dengan permukaan atas cekung, berjalan dari lateral
atas ke arah medial bawah. Karena cairan mengisi ruang hemithoraks

30
sehingga jaringan paru akan terdorong ke arah sentral/hilus, dan kadang-
kadang mendorong mediastinum ke arah kontralateral. Jumlah cairan
minimal yang dapat terlihat pada foto thoraks tegak adalah 250-300 ml3.
Pemeriksaan radiologi paling sensitif mengidentifikasi cairan pleura
yaitu dengan posisi lateral dekubitus, yang mampu mendeteksi cairan
pleura kurang dari 5 ml dengan arah sinar horizontal dimana cairan akan
berkumpul di sisi samping bawah. Apabila pengambilan foto thoraks
pasien dilakukan dalam keadaan berbaring (AP), maka penilaian efusi
dapat dilihat dari adanya gambaran apical cup sign. Gambaran radiologi
tidak dapat membedakan jenis cairan mungkin dengan tambahan
keterangan klinis atau kelainan lain yang ikut serta terlihat sehingga
dapat diperkirakan jenis cairan tersebut3.
a)Posisi tegak posteroanterior (PA)
Pada tahap awal dengan pasien posisi tegak, cairan akan cenderung
untuk terakumulasi pada posisi infrapulmonal jika rongga pleura tidak
terdapat adhesi dan paru-parunya sehat, sehingga membentuk efusi
subpulmonal. Hal ini akan menyebabkan bergesernya titik tertinggi dari
diafragma pada sisi yang mengalami efusi. Namun, diperlukan volume
cairan lebih dari 300 cc agar sinus costofrenikus tampak tumpul pada
foto tegak PA3.

Gambar 2.4. Efusi pleura dextraminimal pada foto tegak PA3

31
Gambar 2.5. Efusi pleura massif dextra3

Gambar 2.6. Loculated pleural effusion. Sering disebabkan oleh empyema


dengan perlekatan pleura3

32
b) Foto tegak lateral
Foto tegak lateral dapat digunakan untuk mendeteksi efusi minimal
dengan volume cairan ± 75 ml3.

Gambar 2.7. Efusi pleura pada foto tegak lateral3

c) Posisi dekubituslateral
Posisi ini dapat digunakan untuk mendeteksi efusi yang lebih
minimal yaitu volume cairan 15-20 ml. Selain itu, dapat digunakan untuk
menentukan apakah efusi dapat mengalir secara bebas atau tidak
sebelum dilakukan aspirasi cairan pleura dan melihat bagian paru yang
sebelumnya tertutup cairan sehingga kelainan yang sebelumnya
terselubung dapat terlihat3.

Gambar 2.8. Efusi pleura sinistra pada foto dekubitus lateral11

33
d) Foto supine efusi pleura
Foto AP yang normal tidak menyingkirkan adanya efusi. Foto AP ini
merupakan yang paling sensitif untuk mendeteksi efusi pleura. Sejumlah
cairan yang cukup banyak diperlukan untuk menghasilkan temuan
radiografi yang dapat terdeteksi, terutama di efusi bilateral. 7
Dalam sebuah penelitian, volume minimal 175ml diperlukan untuk
menghasilkan perubahan penting pada foto supine. Cairan terakumulasi
di aspek posterior hemithorax tersebut. Efusiawalnya menyebabkan
gambaran opak kabur dengan tepi yang tidak jelas. Gambaran opak
terlihat pertama kali pada paru bawah. Dengan adanya akumulasi cairan
yang meningkat, gamabaran opak dari seluruh hemithorax meningkat,
dan hilangnya diafragma menjadi jelas10.

Gambar 2.9. Ada densitas asimetris dengan peningkatan kekaburan pada


hemithorax kanan bawah (panah biru)10
Tidak adanya air-bronchogram sign juga membantu dalam
diferensiasi. Adanya gambaran opak apical ipsilateal kadang ditemukan
terutama pada efusi massif. Gambaran opak ini dipercaya sebagi
kapasitas sekunder paru pada apex dengan pelebaran cairan bagian
lateral dan superior terhadap jaringan paru. Adanya meniskuss sign
ditemukan pada lebih dari 50% efusi massif11.
b. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik
maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk.
Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris
posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan

34
pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk
diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan12:
i. Warna cairan.
Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-santrokom).
Biasanya cairan pleura berwama agak kekuning-kuningan. Bila agak
kemerah-merahan, ini dapat terjadi pada trauma, infark paru,
keganasan. adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan
dan agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema.
ii. Biokimia.
Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat.
c. Sitologi.
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik
penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi
sel-sel tertentu. Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila
ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.11
i. Sel neutrofil: pada infeksi akut
ii. Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma
maligna).
iii. Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
iv. Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
v. Sel giant: pada arthritis rheumatoid
vi. Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
vii. Sel maligna: pada paru/metastase.
d. Bakteriologi
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung
mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering
pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.7
e. Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan
tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,
penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.7

F. DIAGNOSIS BANDING 5
1. Tumor paru

35
- Sinus tidak terisi
- Permukaan tidak concaf tetapi sesuai bentuk tumor
- Bila tumor besar dapat mendorong jantung
2. Pneumonia
- Batas atas rata / tegas sesuai dgn bentuk lobus
- Sinus terisi paling akhir
- Tidak tampak tanda pendorongan organ
- Air bronchogram ( + )
3. Pneumothorak
4. Fibrosis paru
G. PENATALAKSANAAN
Terapi penyakit dasarnya antibiotika dan terapi paliatif (Efusi pleura
haemorrhagic). Jika jumlah cairannya sedikit, mungkin hanya perlu dilakukan
pengobatan terhadap penyebabnya. Jika jumlah cairannnya banyak, sehingga
menyebabkan penekanan maupun sesak nafas, maka perlu dilakukan tindakan
drainase (pengeluaran cairan yang terkumpul). Cairan bisa dialirkan melalui
prosedur torakosentesis, dimana sebuah jarum (atau selang) dimasukkan ke dalam
rongga pleura. Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
tetapi pada prosedur ini juga bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. Jika
jumlah cairan yang harus dikeluarkan lebih banyak, maka dimasukkan sebuah
selang melalui dinding dada. 12
Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah. Jika
nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka
pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus
diangkat sehingga bias dipasang selang yang lebih besar. Kadang perlu dilakukan
pembedahan untuk memotong lapisan terluar dari pleura (dekortikasi). 12
Pada tuberkulosis atau koksidioidomikosis diberikan terapi antibiotik
jangka panjang. Pengobatan pada penyakit tuberkulosis (pleuritis tuberkulosis)
dengan menggunakan OAT dapat menyebabkan cairan efusi diserap kembali, tapi
untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosintesis.
Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kadang dapat
diberikan kortikosteroid secara sistemik (Prednison 1 mg/kg BB selama 2 minggu
kemudian dosis diturunkan secara perlahan).

36
Pleuritis TB diberi pengobatan anti TB. Dengan pengobatan ini cairan
efusi  dapat diserap kembali untuk menghilangkan dengan cepat dilakukan
thoraxosentesis. Pleuritis karena bakteri piogenik diberi kemoterapi sebelum
kultur dan sensitivitas bakteri didapat, ampisilin 4 x 1 gram dan metronidazol 3 x
500 mg. Terapi lain yang lebih penting adalah mengeluarkan cairan efusi yang
terinfeksi keluar dari rongga pleura dengan efektif. Pengumpulan cairan karena
tumor pada pleura sulit untuk diobati karena cairan cenderung untuk terbentuk
kembali dengan cepat.
Pengaliran cairan dan pemberian obat antitumor kadang mencegah
terjadinya pengumpulan cairan lebih lanjut. Jika pengumpulan cairan terus
berlanjut, bisa dilakukan penutupan rongga pleura. Seluruh cairan dibuang
melalui sebuah selang, lalu dimasukkan bahan iritan (misalnya larutan atau
serbuk doxicycline) ke dalam rongga pleura. Bahan iritan ini akan menyatukan
kedua lapisan pleura sehingga tidak lagi terdapat ruang tempat pengumpulan
cairan tambahan. Jika darah memasuki rongga pleura biasanya dikeluarkan
melalui sebuah selang. Melalui selang tersebut bisa juga dimasukkan obat untuk
membantu memecahkan bekuan darah (misalnya streptokinase dan
streptodornase). Jika perdarahan terus berlanjut atau jika darah tidak dapat
dikeluarkan melalui selang, maka perlu dilakukan tindakan pembedahan. 12
a) Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi
juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan
sebagai berikut24:
1. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau
diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan
pada penderita dalam posisi tidur terlentang.
2. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di
daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di
bawah batas suara sonor dan redup.
3. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan
jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya
disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai
diahfragma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum

37
tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura
parietalis tebal.

Gambar 2.10: Metode torakosentesis11


4. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap
aspirasi. Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan paru
secara mendadak. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara
mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang
berat, dan hipotensi.12
5. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada sela iga ke-
8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serothoraks), berdarah
(hemothoraks), pus (piothoraks) atau kilus (kilothoraks), nanah (empiema).
Bila cairan serosa mungkin berupa transudat (cairan putih jernih) atau
eksudat (cairan kekuningan). 12
Indikasi pungsi pleura12 :
1. Adanya gejala subyektif seperti sakit atau nyeri, dipsneu, rasa berat dalam
dada.
2. Cairan melewati sela iga ke-2, terutama bila dihemithoraks kanan, karena
dapat menekan vena cava superior.
3. Bila penyerapan cairan terlambat (lebih dari 6-8 minggu).
b) Pemasangan WSD

38
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat
dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut10:
1. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea
aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
2. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar
kurang lebih 2 cm sampai subkutis.
3. Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
4. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai
mendapatkan pleura parietalis.
5. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar
ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.
6. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan
kasa dan plester.
7. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar
tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura.
8. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada
selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang.
Untuk memastikan dilakukan foto toraks11.
9. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan
paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.
c) Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan
penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah
sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil,
adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sbanyak-
banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan selang waktu 710
hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika
berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura,
sehingga mencegah penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.12

II. Anemia

39
A. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
Krteria Anemia: Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan
penurunan masa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
eritrosit. WHO menetapkan cutt of point anemia yaitu:
Kelompok Kriteria anemia
(Hb)
Laki laki dewasa < 13 gr/dl
Wanita dewasa (tdk hamil) < 12 gr/dl
Wanita hamil < 11 gr/dl

B. Etiologi dan Klasifikasi


Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam
penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: gangguan pembentukan
eritrosit oleh sumsum tulang, perdarahan, proses penghancuran eritrosit dalam tubuh
sebelum waktunya (hemolisa).
Klasifikasi derajat anemia berdasarkan WHO adalah:
1) anemia sangat ringan : Hb 10 gr% - 13 gr%
2) anemia ringan : Hb 8 gr% - 9.9 gr%
3) anemia sedang : Hb 6 gr% - 7.9 gr%
4) anemia berat : Hb < 6 gr%
Klasifikasi Anemia Berdasarkan Etiopatogenesisnya:
a. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
 anemia defisiensi besi
 anemia defisiensi asam folat
 anemia defisiensi vitamin B12
2. gangguan penggunaan (utilisasi) besi
 anemia akibat penyakit kronik
 anemia sideroblastik
3. kerusakan sumsum tulang
 anemia aplastik

40
 anemia mieloptisik
 anemia pada keganasan hematologi
 anemia pada sinrom mielodisplastik
 anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik
b. Anemia akibat hemoragi
1. anemia pasca perdarahan akut
2. anemia akibat perdarahan kronik
c. Anemia hemolitik
1. anemia hemolitik intrakorpuskular
 gangguan membran eritrosit
 gangguan enzim eritrosit : anemia akibat defisiensi G6PD
 gangguan hemoglobin
 thalasemia
 hemoglobinopati struktural
2. anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
 anemia hemolitik autoimun
 anemia hemolitik mikroangiopatik
 lain lain
d. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi dan etiologi13
a. anemia hipokromik mikrositer
1. anemia defisiensi besi
2. thlasemia mayor
3. anemia akibat penyakit kronik
4. anemia sideroblastik
b. anemia normokromik normositer
1. anemia pasca perdarahan akut
2. anemia aplastik
3. anemia hemolitik didapat
4. anemia akibat penyakit kronik
5. anemia pada gagal ginjal kronik
6. anemia pada sindrom mielodisplastik
7. anemia pada keganasan hematologik
41
c. anemia makrositer
1. bentuk megaloblastik
 anemia defisiensi asam folat
 anemia defisiensi B12, termasuk anemia persinosa
2. anemia non megaloblastik
 anemia pada penyakit hati kronik
 anemia pada hipotiroidisme
 anema pada sinrdrom mielodisokstik

C. Diagnosis
Manifestasi klinis anemia adalah hasil dari kurangnya perfusi oksigen ke
jaringan walau apa pun etiologi yang mendasari suatu anemia itu. Angka kejadian,
tingkat penurunan sel darah merah,volume plasma, dan pernafasan mempengaruhi
tanda - tanda dan gejala anemia mencakup :
 Palpitasi
 Pusing
 Sinkop
 Pucat (pallor) pada kulit,konjungtiva, mukosa oral atau nail bed
 Dispnoe
 Takikardi
Anemia karena penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) sering
dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan.
Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan
berat badan dan disebut sebagai anemia pada penyakit kronis. Pada umumnya anemia
pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 7-11 g/dl, kadar Fe serum
menurun disertai TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang rendah, cadangan Fe yang
tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang. Selain itu, indeks dan
morfologi eritrosit yang normositik normokromik atau hipokrom ringan (MCV jarang
<75 fL).
Hiperglikemia yang berlangsung lama ditambah dengan adanya AGEs akan
menyebabkan terjadinya penebalan difus membran basal glomerulus dan terjadi
bersamaan dengan adanya lesi berupa peningkatan difus matriks mesangium, yang
pada tahap selanjutnya berkembang menjadi glomerulosklerosis nodular.
42
Glomerulosklerosis terjadi setelah 5 sampai 10 tahun pasien menderita DM.
Glomerulosklerosis ini ditandai dengan adanya lesi glomerulus yang berakibat
terjadinya fibrosis interstisium. Fibrosis interstisium menyebabkan fibroblas tidak
bisa bekerja maksimal untuk memproduksi eritropoietin sehingga terjadi defisiensi
eritropoietin. Terjadinya defisiensi eritropoietin ini akan semakin meningkatkan risiko
terjadinya anemia pada pasien DM.

Tabel : Diagnosis Diferensial Anemia Penyakit Kronis13

Anemia Anemia Thalasemia Anemia


Penyakit Kronik Defisiensi Besi Sideroblastik

Derajat Ringan Ringan sampai Ringan Ringan sampai


anemia berat berat

MCV Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N

MCH Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N

Besi serum Menurun <0 Menurun <30 Normal/ Normal/

TIBC Menurun <300 Meningkat >360 Normal/ Normal/

Saturasi Menurun/N 10- Menurun <15% Meningkat >20% Meningkat >20%


transferin 20%

Besi sumsum Positif Negatif Positif kuat Positif dengan


tulang ring sideroblast

Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal


eritrosit

Feritin serum Normal 20-200 Menurun <20 Meningkat >50 Meningkat >50
µg/l µg/l µg/l µg/l

Elektrofoesis N N HbA2 meningkat N


Hb

D. Penatalaksanaan
Pengobatan anemia dapat berupa :
 terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat
anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien atau pada anemia pasca
perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik
 terapi suportif
43
 terapi yang khas untuk masing-masing anemia
 terapi kausal untuk menggobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia
tersebut.
 transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan gangguan
hemodinamik. Pada anemia kronik, transfusi hanya diberikan jika anemia
bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung.
 Preparat besi
Pemberian preparat besi pada anemia panyakit kronik masih dalam
perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan
besi adapat mencegah pembentukan TNF-a. Alasan lain, pada penyakit
inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat terbukti dapat meningkatkan kadar
Hb. Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini pemberian preparat
besi belum direkomendsikan untuk diberikan pada pasien anemia penyakit
kronik.

III. Gagal Jantung


A. Definisi
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang
pasien harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang
tipikal saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda
retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif
dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat.14

Gagal jantung dapat terjadi meskipun tidak ada gejala yang nampak, namun
telah terjadi kelainan struktural (disfungsi ventrikel kiri sistolik atau diastolik), dengan
dimulainya pengobatan yang tepat pada gagal jantung tanpa gejala dengan kelainan
struktural dapat mengurangi mortalitas pada gagal jantung. Gagal jantung biasanya
terjadi karena kelainan miokard yang menyebabkan disfungsi ventrikel sistolik dan/
atau diastolik. Selain itu, gagal jantung juga dapat disebabkan karena kelainan katup,
kelainan pada perikardium, endokardium, irama jantung dan konduksi. Identifikasi
masalah yang mendasarinya sangat penting untuk terapi lebih lanjut.16

B. Etiologi

44
Gagal jantung dapat disebabkan oleh beberapa hal dibawah ini 17
1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi
otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif
atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot
jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark
miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan
kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal 
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung (peningkatan afterload), mengakibatkan hipertropi
serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertropi miokard) dianggap sebagai kompensasi
karena meningkatkan kontraktilitas jantung, karena alasan yg tidak jelas hipertropi
otot jantung dapat berfungsi secara normal, akhirnya terjadi gagal jantung.
4. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif 
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
5. Penyakit jantung lain ( Defek struktural katup dan myocardium )
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya,
yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme yang biasanya terlibat
mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner),
ketidak mampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif
konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak after load.
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal : demam,
tirotoksikosis ), hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk
memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan

45
suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas
elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
Beberapa penyebab pada gagal jantung, dapat disebabkan oleh berbagai hal,
baik karena kelainan kardiovaskular atau non kardiovaskular. Dibawah ini berbagai
etiologi gagal jantung menurut ESC 2016.

Tabel 1. Etiologi Gagal Jantung

C. Klasifikasi Gagal Jantung

46
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan
pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat
aktivitas fisik, antara lain:
1. NYHA class I
Penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik serta tidak
menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak napas atau
berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.
2. NYHA class II
Penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak
mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa dapat
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar,
sesak napas atau nyeri dada.
3. NYHA class III
Penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang
dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang
tersebut di atas.
1. NYHA class IV
penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan
keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik meskipun sangat
ringan.

D. Patofisiologi
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem
tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak
mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.17 Gagal jantung ditandai
dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu
keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik
yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung
atau preload. Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi
yang bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan
pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan

47
aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan
garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik.15,17
Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah arteri yang
efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral.
Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan
darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung
melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian
afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi jantung akan lebih menambah
beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dilatasi
ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan
meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak efisien secara
mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan energi terbatas (misal pada penyakit
koroner) selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas. Selain itu kekakuan
ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel.17,18
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah
jantung normal. Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis
akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka
volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan
curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan
kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal
masih dapat dipertahankan.17,18
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu
dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup peningkatan
aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin memadai
untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada
awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja
ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan
berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.19
1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis:

48
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah
peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas adrenergik
simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan
medulla adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung
(efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi
vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume
darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah
misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak.
Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk
selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar
katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama selama
latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam
darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons
miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin akan
berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.
2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan
air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang mengakibatkan
aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas.
Namun apapun mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akan memulai
serangkaian peristiwa berikut:17,19
-
Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
-
Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
-
Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin
I
-
Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
-
Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
-
Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan
darah.

3. Hipertrofi ventrikel

49
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah
tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan
kontraksi ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan;
namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala, meningkatkan
kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan
kongesti vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir
dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat
karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen
miokardium juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih
lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan
oksigen tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan
miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini adalah
meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.

50
E. Manifestasi Klinis 16,18
Gagal Jantung memiliki gambaran klinis tergantung dari gangguan jantung
yang terlibat :
1. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun
dengan akibat tekanan akhir diastolik dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastolik
dalam ventrikel kiri meningkat.
Tanda dan gejala:

51
a. Dispnea: akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran
gas, dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau
sedang.
b. Ortopnea: kesulitan bernapas saat berbaring
c. Paroximal nokturna dispnea (terjadi bila pasien sebelumnya duduk lama dengan
posisi kaki dan tangan dibawah, pergi berbaring ke tempat tidur)
d. Batuk: biasa batuk kering dan basah yang menghasilkan sputum berbusa dalam
jumlah banyak kadang disertai banyak darah.
e. Mudah lelah: akibat cairan jantung yang kurang, yang menghambat cairan dari
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme.
f. Kegelisahan: akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan
bernafas, dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
4. Disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan
Gagal jantung kanan karena gangguan atau hambatan pada daya pompa
ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan menurun tanpa didahului oleh
adanya gagal jantung kiri.
Tanda dan gejala:
a. Edema ekstremitas bawah atau edema dependen.
b. Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan batas abdomen.
c. Anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan status vena didalam
rongga abdomen.
d. Nokturna: rasa ingin kencing pada malam hari, terjadi karena perfusi renal
didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring.
e. Lemah: akibat menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan pembuangan
produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan.
f. Bendungan pada vena perifer (jugularis)
g. Gangguan gastrointestinal (perut kembung, anoreksia dan nausea) dan asites.
h. Perasaan tidak enak pada epigastrium.
Gagal Jantung Kongestif
Bila gangguan jantung kiri dan jantung kanan terjadi bersamaan. Dalam keadaan
gagal jantung kongestif, curah jantung menurun sedemikian rupa sehingga terjadi
bendungan sistemik bersama dengan bendungan paru. Tanda dan gejala: Kumpulan

52
gejala gagal jantung kiri dan kanan Berdasarkan ESC 2016, terdapat beberapa
manifestasi dari gagal jantung kronik dan akut, yaitu:
1. Manifestasi Gagal Jantung Kronik16

2. Manifestasi Gagal Jantung Akut

53
F. Diagnosis
Untuk menegakan diagnosis Gagal Jantung, didasarkan pada gejala-gejala yang ada
dan penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG,
ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker. Berdasarkan
PERKI 2015, perlu dibedakan awitan saat akut atau saat tidak akut, dengan pemeriksaan
EKG, X-Ray, BNP/NT-Pro BNP dan ekokardiografi. Uji diagnostik biasanya paling
sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah.Uji diagnostik sering kurang
sensitf pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan
metode yang paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik.
ECS 2016 juga membagi algoritma diagnosis berdasarkan suspek gagal jantung saat tidak
akut dan saat akut.

Dibawah ini merupakan bagan dari algoritma diagnosis gagal jantung


Algoritma Gagal Jantung PERKI 201514

54
Algoritma Diagnosis Gagal Jantung (Tidak Saat Akut) ECS 201616

55
Algoritma Diagnosis Gagal Jantung Episode Akut ECS 201616

56
1. Anamnesis
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan
secara luas. Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal dua
kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor, kriteria minor
dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi
medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma
nefrotik.
Kriteria mayor
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
57
6. Gallop S3
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi (>120/menit)
2. Pemeriksaan Fisik
a) Tekanan darah dan Nadi
Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan, namun biasanya
berkurang pada HF berat, karena adanya disfungsi LV berat. Tekanan nadi dapat
berkurang atau menghilang, menandakan adanya penurunan stroke volume.
Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan
aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas
bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas
adrenergik berlebih. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya
sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan P CO2. Terdapat fase apneu,
dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat. Hal
ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan,
mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea.
Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak
napas parah (berat) atau napas berhenti sementara

b) Jugular Vein Pressure


Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium
kanan. Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring dengan
kepala membentuk sudut 300. Tekanan vena jugularis dinilai dalam satuan cm
H2O (normalnya 5-2 cm) dengan memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang
diatas sudut sternal. Pada HF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal
58
pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan
peningkatan tekanan abdomen  (abdominojugular reflux positif).
Gelombang v besar mengindikasikan keberadaan regurgitasi trikuspid.
c) Ictus cordis
Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak memberikan
informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan. Jika kardiomegali
ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi dibawah ICS V
(interkostal V) dan/atau sebelah lateral dari midclavicular line, dan denyut dapat
dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex.
d) Suara jantung tambahan
Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi
pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel kanan dapat
memiliki denyut Parasternal yang berkepanjangan meluas hingga systole.
S3 (atau prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada pasien dengan volume
overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan seringkali
menandakan gangguan hemodinamika. Suara jantung keempat (S 4) bukan
indicator spesifik namun biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi diastolic.
Bising pada regurgitasi mitral dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien.
e) Pemeriksaan paru
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi cairan
dari ruang intravaskuler kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema pulmoner,
rales dapat terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti
dengan wheezing pada ekspirasi (cardiac asthma). Jika ditemukan pada pasien
yang tidak memiliki penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk
CHF. Perlu diketahui bahwa rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan
CHF kronis, bahkan dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat,
hal ini disebabkan adanya peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar.
Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan tekanan kapiler pleura dan
mengakibatkan transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pleura
mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi pleura paling sering terjadi
dengan kegagalan biventrikuler. Walaupun pada efusi pleura seringkali bilateral,
namun pada efusi pleura unilateral yang sering terkena adalah rongga pleura
kanan.
f) Pemeriksaan hepar dan hepatojugular reflux
59
Hepatomegali merupakan tanda penting pada pasien CHF. Jika ditemukan,
pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama
systole jika regurgitasi trikuspida terjadi. Ascites sebagai tanda lajut, terjadi
sebagai konsekuensi peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena
pada peritoneum. Jaundice, juga merupakan tanda lanjut pada CHF, diakibatkan
dari gangguan fungsi hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler,
dan terkait dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.
g) Edema tungkai
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada CHF, namun namun tidak
spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic.
Edema perifer biasanya sistemik dan dependen pada CHF dan terjadi terutama
pada daerah Achilles dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada
pasien yang melakukan tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral
(edema presacral) dan skrotum. Edema berkepanjangan dapat menyebabkan
indurasi dan pigmentasi ada kulit.
h) Cardiac Cachexia
Pada kasus HF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat badan
dan cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari cachexia pada HF tidak
diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor dan termasuk
peningkatan resting metabolic rate; anorexia, nausea, dan muntah akibat
hepatomegali kongestif dan perasaan penuh pada perut; peningkatan konsentrasi
sitokin yang bersirkulasi seperti TNF, dan gangguan absorbsi intestinal akibat
kongesti pada vena di usus. Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis
keseluruhan yang buruk.
3. Pemeriksaan Penunjaang
a) Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga
gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung.
Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis
gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan
disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).14

60
Tabel 2. Abnormalitas pada Elektrokardiografi
b) Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat
mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat
sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan
kronik.

61
Tabel 3. Abnormalitas Pada Foto Thorax
c) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah
perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju
filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan
tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis
atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan
sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia,
hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien
dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting
Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis
aldosterone.

62
63
d) Natriuretic Peptida
Terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma
peptidanatriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau
memulangkan pasien, dan mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko
mengalami dekompensasi. Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun
terapi optimal mengindikasikan prognosis buruk.Kadar peptidanatriuretik
meningkat sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida
natriuretik mempunyai waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan
dinding ventrikel tidak langsung menurunkan kadar peptida natriuretik.
(thresholds: BNP ,100 pg/mL, NT-proBNP ,300 pg/mL, MR-proANP ,120
pg/mL)
e) Troponin I atau T Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung
jika gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan
ringan kadar troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama
episode dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.
f) Ekokardiografi
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound
jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan
tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau
disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan
dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran
fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan

64
pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal
> 45 - 50%).
Ekokardiografi transesofagus. Direkomendasikan pada pasien dengan
ekokardiografi transtorakal tidak adekuat (obesitas, pasien dengan ventlator),
pasien dengan kelainan katup, pasien endokardits, penyakit jantung bawaan atau
untuk mengeksklusi trombus di left atrial appendagepada pasien fibrilasi atrial.
Ekokardiografi beban (dobutamin atau latihan) digunakan untuk mendeteksi
disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas miokard
pada keadaan hipokinesis atau akinesis berat.

G. Penatalaksanaan
1. Terapi non farmakologi
a) Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup
pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi Pemantauan berat badan mandiri. Pasien
harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan >
2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan dokter
(kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C)
b) Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan
gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien
dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis (kelas
rekomendasi IIb, tingkatan bukti C).
c) Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C)
d) Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.Kaheksia
jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka kelangsungan
hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil
sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia.

65
Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati (kelas rekomendasi I,
tingkatan bukti C)
e) Latihan fisik Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung
kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan
di rumah sakit atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).

5. Terapi Farmakologi
a) Vasodilator
Vasodilator dapat menurunkan secara selektif beban jantung sebelum kontraksi,
sesudah kontraksi atau keduanya (vasodilator yang seimbang).
1) Vasodilator Parental
Vasodilator Parenteral hendaknya diberikan kepada pasien dengan kegagalan
jantung berat atau tidak dapat diminum obat-obatan oral misalnya pada pasien
setelah operasi.
-
Nitrogliserin adalah vasodilator kuat dengan pengaruh pada vena dan
pengaruh yang kuat pada jaringan pembuluh darah arteri. Penumpukan
vena paru dan sistemik dipulihkan melalui efek tersebut. Obat ini juga
merupakan vasodilator koroner yang efektif sehingga merupakan
vasodilator yang lebih disukai untuk terapi kegagalan jantung pada
keadaan infark miokard akut atau angina tak stabil.
-
Natrium nitropusida adalah vasodilator kuat dengan sifat-sifat venodilator
kurang kuat. Efeknya yang menonjol adalah mengurangi beban jantung
setelah kontraksi dan ini terutama efektif untuk pasien kegagalan jantung
yang menderita hipertensi atau reguitasi katub berat.
2) Vasodilator Oral
-
Penghambat ACE Mengeblok sistem renin angiotensin aldosteron dengan
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,
memproduksi vasodilator dengan membatasi angiotensin II, menginduksi
vasokonstriksi dan menurunkan retensi sodium dengan mengurangi
sekresi aldosteron 20
Obat yang serba guna tersebut menurunkan tahanan perifer sehingga
menurunkan afterload, menurunkan resistensi air dan garam (dengan
menurunkan sekresi aldosteron) dan dengan jalan menurunkan preload.21

66
-
Angiotensin reseptor bloker (ARB)
Merupakan pendekatan lain untuk menghambat system RAA adalah yang
akan mengeblok atau menurunkan sebagian besar efek sistem. Namun
demikian agen ini tidak menunjukkan efek penghambat ACE pada jalur
potensial lain yang memproduksi peningkatan bradikinin, prostaglandin
dan nitrit oksida dalam jantung pembuluh darah dan jaringan lain. Karena
itu, ARB dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pendapat ACE pada
pasien yang tidak dapat menerima pendapat ACE.20
Contoh obat pada golongan ARB yang digunakan dalam terapi gagal
adalah losartan, valsartan, dan kondensartan. Ketiga obat tersebut tidak
memiliki interaksi yang berarti dengan obat-obat lain.

-
Beta-Bloker
Untuk terapi kegagalan jantung bersifat kontroversial namun dapat efek-
efek yang merugikan dari katekolamin pada jantung yang mengalami
kegagalan termasuk menekan reseptor beta pada otot jantung situasi
kegagalan jantung. Beta bloker digunakan pada pasien gagal jantung stabil
ringan, sedang atuau berat.20,21 Obat ini digunakan untuk terapi gagal
jantung adalah karvedilol, bisoprolol dan metoprolol succinate.22
-
Antagonis kanal kalsium
Secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah dan
penghambat pemasukan kalsium kedalam sel otot jantung. Kegunaan
pokok obat ini dalam terapi gagal jantung adalah berasal dari pengurangan
iskemia pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang mendasari.
Semua antagonis kalsium mempunyai sifat inotropik negatif sehingga
digunakan secara berhati-hati pada pasien dengan difungsi ventrikal kiri
Obat-obat golongan tersebut sebaiknya dihindari kecuali untuk dipakai
dalam terapi hipertensi dan angina 12 dan untuk indikasi tersebut hanya
amlodipin yang boleh digunakan pada pasien gagal jantung.
-
Nitrat
Terutama berkhasiat venodilator dan oleh karena ini bermanfaat untuk
menyembuhkan gejala-gejala penumpukan vena dan paru-paru. Obat-obat
golongan ini mengurangi iskemia otot dengan menetralkan tekanan
pengisian ventrikel dan dengan melebarkan arteri koroner secara langsung
67
(Kelly dan Fry Contoh obat golongan ini adalah Isosorbit mono nitrat
(ISMN) dan dinitrat (ISND).
-
Hidralazin
Hidralazin adalah obat yang murni mengurangi beban jantung setelah
konstraksi yang bekerja langsung pada otot polos arteri untuk
menimbulkan vasodilatasi. Hidralazin terutama berguna dalam
pengobatan reguitasi mitral kronis dan insufisiensi aorta. Hidralazin oral
merupakan dilator arterioral poten dan meningkatkan output kardiak pada
pasien gagal jantung kongestif.
b) Diuretik
Diuretik merupakan cara yang paling efektif meredakan gejala pada pasien dengan
gagal jantung yang kongestif sedang sampai berat. Tujuan dari pemberian diuretik
adalah mengurangi gejala retensi cairan yaitu meningkatkan tekanan vena
jugularis atau edema ataupun keduanya. Diuretik menghilangkan retensi natrium
pada CHF dengan menghambat reabsorbsi natrium atau klorida pada sisi spesifik
di tubulus ginjal. Bumetamid, furosemid, dan torsemid bekerja pada tubulusdistal
ginjal. Pasien dengan gagal jantung yang lebih berat sebaiknya diterapi dengan
salah satu loop diuretik, obat-obat ini memiliki onset cepat dan durasi aksinya
yang cukup singkat. Manfaat dari terapi diuretik yaitu dapat mengurang edema
pulmo dan perifer dalam beberapa hari bahkan jam. Diuretik merupakan satu-
satunya obat yang dapat mengontrol retensi cairan pada gagal jantung.
c) Obat-obat Inotropik
Obat-obat inotropik positif meningkatkan kontraksi otot jantung dan
meningkatkan curah jantung. Meskipun obat-obat ini bekerja melalui mekanisme
yang berbeda, dalam tiap kasus kerja inotropik adalah akibat penigkatan
konsentrasi kalsium sitoplasma yang memicu kontraksi otot jantung.
1) Digitalis
Obat golongan digitalis ini memiliki berbagi mekanisme kerja sebagi berikut
-
Pengaturan konsentrasi kalsium sitosol Terjadi hambatan pada aktivitas
pompa proton. Hal ini menimbulkan peningkatan konsentrasi natrium
intra sel, yang menyebabkan kadar kalsium intra sel yang meningkat
menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi sistolik.
-
Peningkatan kontraktilitas otot jantung Pemberian glikosida digitalis
meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan
68
volume distribusi aksi, jadi meningkatkan efisiensi kontraksi. Efek-efek
ini menyebabkan reduksi kecepatan jantung dan kebutuhan oksigen otot
jantung berhenti (berkurang). Terapi digoksin merupakan indikasi pada
pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang hebat setelah terapi
diuretic dan vasodilator. Digoksin tidak diindikasikan pad pasien dengan
gagal jantung sebelah kanan atau diastolik. Obat yang termasuk dengan
golongan ini adalah digoksin dan digitoksin. Glikosida jantung
mempengaruhi semua jaringan yang dapat dirangsang, termasuk otot
polos dan susunan saraf pusat. Mekanisme efek ini belum diselidiki secara
menyeluruh tetapi mungkin melibatkan hambatan Na+ K + -ATPase di
dalam jaringan ini. Adanya interaksi obat denga preparat digitalis dapat
menyebabkan toksisitas digitalis. Banyak dari diuretik kuat seperti
furesemid dan hidroklortiazid memperberat kehilangan kalium dari tubuh
sehingga meningkatkan efek preparat digitalis sehingga terjadilah
toksisitas.
2) Agonis β- adrenergic Stimuli β- adrenergic memperbaiki kemampuan jantung
dengan efek inotropik spesifik dalam fase dilatasi. Hal ini menyebabkan
masuknya ion kalsium ke dalam sel miokard meningkat, sehingga dapat
meningkatkan kontraksi. Contoh obat ini adalah dopamine dan dobutamin.
3) Inhibitor fosfodiesterase
Inhibitor fosfodiesterase memacu konsentrasi intrasel siklik –AMP. Ini
menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung. Obat
yang termasuk dalam golongan inhibitor fosfodiesterase adalah amrinon dan
mirinon.
4) Antagonis aldosteron Antagonis aldosteron termasuk spironolakton dan
inhibitor konduktan natrium diktus kolektifus (triamteren dan amilorid). Obat-
obat ini sangat kurang efektif bila digunakan sendiri tanpa kombinasi dengan
obat lain untuk 15 penatalaksanaan pada gagal jantung. Meskipun demikian,
bila digunakan kombinasi dengan Tiazid atau diuretika Ansa Henle, obat-obat
golongan ini efektif dalam mempertahankan kadar kalium yang normal dalam
serum. Spironolakton merupakan inhibitor spesifik aldosteron yang sering
meningkat pada gagal jantung kongestif dan mempunyai efek penting pada
retensi potassium. Triamteren dan Amilorid bereaksi pada tubulus distal dalam
mengurangi sekresi potassium.
69
Penatalaksanaan Gagal Jantung, dapat dibedakan menjadi gagal jantung saat
onset akut dan kronik.
Gagal Jantung onset akut

Gagal Jantung Kronik

70
H. Komplikasi
71
1. Edema pulmoner akut
2. Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diit berlebih.
3. Perikarditis: Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik dan
dialisis yang tidak adekuat.
4. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-angiotensin-
aldosteron.
5. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah.

I. Prognosis
Menentukan prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks, banyak variabel
seperti yang harus diperhitungkan seperti etiologi, usia, ko-morbiditas, variasi
progresi gagal jantung tiap individu yang berbeda, dan hasil akhir kematian
(apakah mendadak atau progresif akibat gagal jantung). Dampak pengobatan
spesifik gagal jantung terhadap tiap individu pun sulit untuk diperkirakan. 23
CLASS SYMPTOMS 1-YEAR
MORTALITY*
I None, asymptomatic left 5%
ventricular dysfunction
II Dyspnoea or fatigue on moderate 10 %
physical exertion
III Dyspneoea or fatigue on normal 10 % - 20 %
daily activities
IV Dyspnoea or fatigue at rest 40 % - 50 %.

IV. Odem Pulmo


1. Definisi
Edema paru didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi perpindahan
cairan dari vaskular paru ke interstisial dan alveoli paru.24 Pada edema paru terdapat
penim- bunan cairan serosa atau serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang
interstisial dan alveoli paru.

2. Etiologi

72
Edema paru biasanya diakibatkan oleh peningkatan tekanan pembuluh kapiler paru
dan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan permeabilitas
kapiler paru sering disebut acute respiratory distress syndrome (ARDS).31
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan tekanan onkotik (osmotik) dan
hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada
gagal jantung menyebabkan edema paru, sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi
cairan yang menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia
pada sindrom nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun
sehingga terjadi edema paru. Pada tahap awal edema paru terdapat peningkatan
kandungan cairan di jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru
akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru perlu dipikirkan bahwa kaskade
inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan
jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel
endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan
mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks ini
dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dengan hasil akhir
kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli
menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung
neutrofil dan sel-sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin. Karakteristik
edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru ialah tidak adanya
peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal).31
Penyebab edema paru kardiogenik ialah: 36
1.Gagal jantung kiri, yang dapat diakibatkan oleh: infark miokard, penyakit katup
aorta dan mitral, kardiomiopati, aritmia, hipertensi krisis, kelainan jantung bawaan
(paten duktus arteriosus, ventrikel septal defek)
2.Volume overload
3.Obstruksi mekanik aliran kiri
4.Insufisiensi limfatik, yang terjadi sebagai akibat lanjut transplantasi

3. Patofisiologi

73
Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu dari cairan
dan protein intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali ke sistem aliran darah
melalui saluran limfe.
Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler
lebih banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat alveoli penuh terisi cairan
sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas.27
Faktor-faktor penentu yang berperan disini yaitu perbedaan tekanan hidrostatik
dan onkotik dalam lumen kapiler dan interstisial, serta permeabilitas sel endotel
terhadap air, larutan, dan molekul besar seperti protein plasma. Adanya
ketidakseimbangan dari satu atau lebih dari faktor-faktor diatas akan menimbulkan
terjadinya edema paru.30 Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema)
terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Bila tekanan interstisial paru lebih besar
daripada tekanan intrapleural maka cairan bergerak menuju pleura viseral yang
menyebabkan efusi pleura. Bila permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka
cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein rendah.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru biasanya disebabkan oleh
meningkatnya tekanan di vena pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri (>25 mmHg). Dalam keadaan
normal tekanan kapiler paru berkisar 8-12 mmHg dan tekanan osmotik koloid plasma
28 mmHg.43 Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus
memburuk oleh proses-proses sebagai berikut:
1.Meningkatnya kongesti paru menyebabkan desaturasi dan menurunnya pasokan
oksigen miokard memperburuk fungsi jantung.
2.Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pul-
monal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan yang melalui mekanisme
interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
3.Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.

Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor aktif ion
Na+ dan Cl- melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel
alveolar tipe I dan II serta epitel saluran napas distal. Ion Na+ secara aktif ditranspor
keluar ke ruang insterstisial oleh kerja Na/K-ATPase yang terletak pada membran

74
basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins
yang merupakan saluran air pada sel tipe I.33
Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada gagal
jantung kronik maupun akibat gagal jantung akut pada infark miokard dimana
terjadinya bendungan dan peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat
melemahnya pompa jantung.34 Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler paru
menyebabkan transudasi cairan ke dalam ruang interstisial paru, dimana tekanan
hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari tekanan osmotik koloid plasma. Pada tingkat
kritis, ketika ruang interstitial dan perivaskular sudah terisi, maka peningkatan tekanan
hidrostatik menyebabkan penetrasi cairan ke dalam ruang alveoli.
Terdapat tiga tingkatan fisiologi dari akumulasi cairan pada edema paru
kardiogenik:30,35
Tingkat 1: Cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke interstisial paru tetapi
terdapat peningkatan cairan yang keluar dari aliran limfatik.
Tingkat 2: Kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampaui sehingga
cairan dan koloid mulai terakumulasi pada ruang interstisial sekitar
bronkioli, arteriol, dan venula.
Tingkat 3: Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema alveoli.
Pada tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas.

4. Gambaran Klinis
Gambaran klinis edema paru yaitu dari anamnesis ditemukan adanya sesak
napas yang bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat nyeri dada dan riwayat
sakit jantung. Perkembangan edema paru bisa berangsur-angsur atau tiba-tiba seperti
pada kasus edema paru akut. Selain itu, sputum dalam jumlah banyak, berbusa dan
berwarna merah jambu. Gejala-gejala umum lain yang mungkin ditemukan ialah:
mudah lelah, lebih cepat merasa sesak napas dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on
exertion), napas cepat (takipnea), pening, atau kelemahan. Tingkat oksigenasi darah
yang rendah (hipoksia) mungkin terdeteksi pada pasien dengan edema paru. Pada
auskultasi dapat didengar suara-suara paru yang abnormal, seperti ronki atau
crakles.24,26,31
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis, yaitu:
1. Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan CHF) dan
adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi bilateral dengan pola
75
butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang berkabut serta adanya garis-garis
Kerley b di interlobularis. Gambaran lain yang berhubungan dengan penyakit
jantung berupa pembesaran ventrikel kiri sering dijumpai. Efusi pleura unilateral
juga sering dijumpai dan berhubungan dengan gagal jantung kiri.24,26
2.EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium kiri,
pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark.36
3.Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi dari
ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.26
4.Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar brain natriuretic peptide
(BNP) di dalam darah sebagai respon terhadap peningkatan tekanan di ventikel;
kadar BNP >500 pg/ml dapat membantu menegakkan diagnosis edema paru
kardiogenik.36,38,39
5.Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan PCO2 pada
keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya PO2 semakin
menurun sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang berat biasanya dijumpai
hiperkapnia dan asidosis respiratorik.24,26,36
6.Kateterisasi jantung kanan: Pengukuran P pw (pulmonary capillary wedge pressure)
melalui kateterisasi jantung kanan merupakan baku emas untuk pasien edema paru
kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg sedangkan pada pasien ARDS P pw 0-18
mmHg.26,36
7.Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan edema
dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk membedakan edema paru
kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil dengan pengisapan
cairan edema paru melalui pipa endotrakeal atau bronkoskop dan pengambilan
plasma. Pada edema paru kardiogenik, konsentrasi protein cairan edema relatif
rendah dibanding plasma (rasio <0,6). Pada edema paru non- kardiogenik
konsentrasi protein cairan edema relatif lebih tinggi (rasio >0,7) karena sawar
mikrovaskular ber- kurang.37

5. DIiagnosis

Manifestasi klinis edema paru baik kardiogenik maupun non-kardiogenik bisa


serupa; oleh sebab itu sangat penting untuk menetapkan gejala yang dominan dari
kedua jenis tersebut sebagai pedoman pengobatan.24 Tabel 1 memperlihatkan
76
perbedaan edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Tabel 1. Perbedaan edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik37

Pemeriksaan Kardiogenik Non-kardiogenik

Anamnesis Kejadian kardiovaskular (+) Penyakit yang

mendasari (+)

Pemeriksaan fisik

S3 galop/kardiomegali Akral Dingin Akral Hangat,


 Tekanan vena S3 gallop/ kardiomegali Pulsasi nadi kuat
jugular
 Ronki Vena jugular Meningkat Gallop tidak terdengar
Ronkhi Basah Distensi vena tak meningkat
Ronkhi Kering
Penunjang

 Enzim kardiak Dapat meningkat Biasanya normal


 PCWP(Tekanan >18 mmHg <18 mmHg
kapiler paru) Normal atau
 Rasio protein edema sedikit menurun >0,7
dan plasma <0,5

 EKG Iskemia/infark Biasanya normal

 Foto toraks Distribusi perihiler Distribusi perifer

6. Penatalaksanaan
Edema paru kardiogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang perlu
penanganan secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis.26 Penatalaksanaan utama
meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama untuk mempertahankan fungsi
paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ), sedangkan penyebab utama juga harus
diselidiki dan diobati sesegera mungkin bila memungkinkan.36
Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi
cairan, dan mempertahankan fungsi kardiovaskular.36 Pertimbangan awal ialah dengan
evaluasi klinis, EKG, foto toraks, dan AGDA24
a. Suplementasi oksigen

77
Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi susunan
saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun terjadinya syok.
Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi intervensi yang penting
untuk meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan kerja pernapasan, mengopti-
malisasi unit fungsional paru sebanyak mungkin, serta mengurangi overdistensi
alveolar.36
Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau masker
muka (face mask). Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat membantu
pada pasien edema paru kardiogenik.36 Masip et al. mendapatkan bahwa peng-
gunaan CPAP menurunkan kebutuhan akan intubasi dan angka mortalitas.40
Pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut, induksi ventilasi non- invasif
dalam gangguan pernapasan dangangguan metabolik meningkat lebih cepat daripada
terapi oksigen standar tetapi tidak berpengaruh terhadap mortalitas jangka
pendek.41Ventilasi non-invasif dengan CPAP telah terbukti menurunkan intubasi
endotrakeal dan kematian pada pasien dengan edema paru akut kardiogenik 42
Menurut penelitian Agarwal et al., noninvasive pressure support ventilation
(NIPSV) tampaknya aman dan berkhasiat sebagai CPAP, daripada jika bekerja
dengan titrasi pada tekanan tetap.42
Penelitian Winck et al. mendukung penggunaan CPAP dan non-invasive
positive pressure ventilation (NPPV) pada edema paru akut kardiogenik. Kedua
teknik tersebut dipakai untuk menurunkan need for endotracheal intubation (NETI)
dan kematian dibandingkan standard medical therapy (SMT), serta tidak
menunjukkan peningkatan risiko infark miokard akut. CPAP dianggap sebagai
intervensi pertama dari NPPV yang tidak menunjukkan khasiat yang lebih baik
bahkan pada pasien dengan kondisi lebih parah, tetapi lebih murah dan lebih mudah
untuk diimplementasikan dalam praktek klinis.20 Intubasi dan penggunaan ventilasi
mekanik dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) diperlukan pada kasus
yang berat.34,36

b. Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan preload
Nitrogliserin (NTG) dapat menurun- kan preload secara efektif, cepat, dan
efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena diawali dengan dosis

78
rendah (20µg/menit) dan kemudian dinaikkan secara bertahap (dosis maksimal
200µg/menit).24,36
Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2 mekanisme,
yaitu: diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral 20-40
mg/hari pada keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus pada keadaan
yang berat.24,36
Morfin sulfat digunakan untuk menu- runkan preload dengan dosis 3 mg
secara intra vena dan dapat diberikan berulang.24,36

Obat-obatan yang menurunkan afterload


Angiotensin-converting enzyme inhi- bitors (ACE inhibitors) menunurunkan
after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah jantung. Pemberian secara
intra vena (enalapril 1,25 mg) ataupun sublingual (captopril 25 mg) akan
memperbaiki keluhan pasien. Pada suatu meta analisis didapati bahwa pemberian
ACE inhibitors akan menurunkan angka mortalitas.24,36

Obat-obatan golongan inotropik


Obat-obatan golongan inotropik diberikan pada edema paru kardiogenik
yang mengalami hipotensi, yaitu dobutamin 2-20 µg/kg/menit atau dopamin 3-20
µg/kg/menit.24,36

V. Hipokalemi
1. Definisi44
Hipokalemia adalah keadaan konsentrasi kalium darah di bawah 3,5 mEq/L yang
disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium total tubuh atau adanya gangguan
perpindahan ion kalium ke dalam sel.
2. Etiologi
Penyebab Hipokalemia diantaranya ialah:
a. Deplesi Kalium
Hipokalemia juga bisa merupakan manifestasi dari deplesi cadangan kalium
tubuh. Dalam keadaan normal, kalium total tubuh diperkirakan 50 mEq/kgBB dan
kalium plasma 3,5--5 mEq/L. Asupan K+ yang sangat kurang dalam diet menghasilkan
deplesi cadangan kalium tubuh. Walaupun ginjal memberi tanggapan yang sesuai
dengan mengurangi ekskresi K+, melalui mekanisme regulasi ini hanya cukup untuk
mencegah terjadinya deplesi kalium berat. Pada umumnya, jika asupan kalium yang
berkurang, derajat deplesi kalium bersifat moderat. Berkurangnya asupan sampai <10
79
mEq/hari menghasilkan defisit kumulatif sebesar 250 s.d. 300 mEq (kira-kira 7-8%
kalium total tubuh) dalam 7—10 hari4. Setelah periode tersebut, kehilangan lebih
lanjut dari ginjal minimal. Orang dewasa muda bisa mengkonsumsi sampai 85 mmol
kalium per hari, sedangkan lansia yang tinggal sendirian atau lemah mungkin tidak
mendapat cukup kalium dalam diet mereka.
b. Disfungsi Ginjal
Ginjal tidak dapat bekerja dengan baik karena suatu kondisi yang disebut
Asidosis Tubular Ginjal (RTA). Ginjal akan mengeluarkan terlalu banyak
kalium. Obat yang menyebabkan RTA termasuk Cisplatin dan Amfoterisin B. 
c. Kehilangan K+ Melalui Jalur Ekstra-renal
Kehilangan melalui feses (diare) dan keringat bisa terjadi bermakna. Pencahar
dapat menyebabkan kehilangan kalium berlebihan dari tinja. Ini perlu dicurigai pada
pasien-pasien yang ingin menurunkan berat badan. Beberapa keadaan lain yang bisa
mengakibatkan deplesi kalium adalah drainase lambung (suction), muntah-muntah,
fistula, dan transfusi eritrosit.
d. Kehilangan K+ Melalui Ginjal
Diuretik boros kalium dan aldosteron merupakan dua faktor yang bisa
menguras cadangan kalium tubuh. Tiazid dan furosemid adalah dua diuretik yang
terbanyak dilaporkan menyebabkan hipokalemia.

3. Derajat Hipokalemia45
 Hipokalemia ringan: kadar serum 3-3,5 mEq/L.
 Hipokalemia sedang: kadar serum 2,5-3 mEq/L.
 Hipokalemia berat: kadar serum < 2,5 mEq/L.
 Hipokalemia <2 mEq/L biasanya sudah disertai kelainan jantung dan mengancam
jiwa.

4. Tanda dan Gejala Hipokalemia.46

80
5. Tatalaksana
a) Cara Pemberian Kalium
a. Oral
Penggantian kalium secara oral paling aman tetapi kurang ditoleransi karena
iritasi lambung. Pada hipokalemia ringan (kalium 3—3,5 mEq/L) dapat diberikan KCl
oral 20 mEq 3 – 4 kali sehari dan edukasi diet kaya kalium. Makanan mengandung
cukup kalium dan menyediakan 60 mmol kalium.
b. Jalur intravena
Harus dibatasi hanya pada pasien yang tidak dapat menggunakan jalur enteral
atau dalam komplikasi berat (contohnya paralisis dan aritmia). K+-Cl harus selalu
diberikan dalam larutan garam, bukan dekstrosa, karena peningkatan insulin yang
diinduksi dekstrosa dapat memperburuk hipokalemia.44 Pemberian dekstrosa bisa
menyebabkan penurunan sementara K+ serum sebesar 0,2—1,4 mmol/L karena
stimulasi pelepasan insulin oleh glukosa. Dosis intravena perifer biasanya 20-40 mmol
K+-Cl- per liter. Konsentrasi lebih tinggi dapat menyebabkan nyeri lokal flebitis
kimia, iritasi, dan sklerosis
c. Kecepatan Pemberian Kalium Intravena

Jika kadar serum > 2 mEq/L, kecepatan lazim adalah 10 mEq/jam, maksimal 20
mEq/jam untuk mencegah hiperkalemia.

Pada anak, 0,5—1 mEq/kg/dosis dalam 1 jam. Dosis tidak boleh melebihi dosis
maksimum dewasa.44

81

Pada kadar < 2 mEq/L, bisa diberikan 40 mEq/jam melalui vena sentral dan
pemantauan ketat di ICU. Untuk koreksi cepat ini, KCl tidak boleh dilarutkan
dalam larutan dekstrosa karena justru mencetuskan hipokalemia lebih berat.
d. Pertimbangan Sediaan Kalium
KCl biasanya digunakan untuk menggantikan defisiensi K+ pada kondisi
metabolik alkalosis dan deplesi Cl-, terutama pada pasien muntah dan pengobatan
diuretik.45
Pada kondisi metabolik asidosis (contohnya pada diare kronik) lebih
diutamakan kalium yang dikombinasikan dengan garam lain, yaitu potasium
bikarbonat atau ekuivalen bikarbonat lainnya (sitrat, asetat, atau glukonat)untuk
mengatasi kondisi asidosis.45
Hipokalemia pada penyalahgunaan alkohol atau ketoasidosis diabetes umumnya
disertai defisiensi fosfat sehingga diutamakan menggunakan potasium fosfat.45
Diet Kalium. Diet orang dewasa mengandung kalium rata-rata 50-100 mEq/hari
(contoh makanan tinggi kalium termasuk kismis, pisang, aprikot, jeruk, advokat,
kacang-kacangan, dan kentang).47

5. Prognosis
Konsumsi suplemen kalium biasanya mengoreksi hipokalemia. Hipokalemia
berat dapat menyebabkan masalah jantung yang dapat fatal.47 Hipokalemia yang tidak
dapat dijelaskan, hiperkalemia refrakter, atau gambaran diagnosis alternatif (misalnya,
aldosteronisme atau kelumpuhan periodik hipokalemia) harus dikonsultasikan ke
endokrinologi atau nefrologi.

6. Komplikasi48
Pada hipokalemia berat terdapat keluhan lemas dan konstipasi. Pada kondisi
kalium < 2,5 mmol/L, akan terjadi nekrosis otot dan pada kondisi kalium < 2 mmol/L
akan terjadi ascending paralise, bahkan mempengaruhi otot pernafasan. Keluhan yang
terjadinya sejalan dengan kecepatanpenurunan kadar kalium serum. Pada pasien tanpa
penyakit jantung, dapat terjadi abnormalitas konduksi otot jantung yang tidak lazim
walaupun denngan kadar kalium kurang 3 mmol/L. Pada pasien dengan iskemia, gagal
jantung atau hipertropi ventrikel kiri, hipokalemia ringan atau sedang mampu
mencetuskan aritmia. Kondisi hipokalemia akan memicu efek aritmogenik pada
digoxin. Deplesi kalium dan hipokalemia mampu meningkatkan tekanan darah sistolik
82
dan diastolik walaupun pada kondisi tanpa restriksi garam, kondisi ini mampu
mencetuskan retensi garam oleh ginjal.

83
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Seorang laki-laki berinisial Tn. B, berumur 36 tahun, masuk RS tanggal 30


April 2019 dengan keluhan utama sesak napas yang bertambah berat sejak ± 1 hari
SMRS. Dari keluhan tersebut, yang dapat kita pikirkan adalah gangguan di sistem
respirasi/paru, gagal jantung, dan gangguan ginjal.
Lebih kurang 1 bulan SMRS, os mengeluh batuk, dahak (+), warna dahak
putih, os merasa nafsu makan yang menurun, berat badan menurun. BAK dan BAB
normal (+). Pada keadaan ini, pasien berobat dan hanya meminum obat OAT 1
minggu, kemudian berhenti tidak minum obat OAT sama sekali selama 1 minggu.
Dari anamnesis ini, kemungkinan gangguan ginjal dapat disingkirkan karena tidak
ada kelainan BAK. Perubahan warna BAK bisa menunjukkan terjadinya gangguan
di ginjal.
Lebih kurang 1 minggu SMRS os mengeluh batuk semakin sering. Dahak
(+), warna dahak putih. Jumlah dahak semakin banyak, kurang lebih 1 sendok
makan setiap kali batuk. Batuk tidak bercampur darah, Frekuensi batuk sekitar 10-20
kali per hari. Pada saat batuk, os merasakan sakit di dadanya, sakit tidak menjalar.
Os juga mengeluh sesak, sesak tidak dipengaruhi aktifitas, posisi, cuaca, dan emosi.
badan terasa lemas (+), demam (+) tidak terlalu tinggi, nafsu makan menurun (+),
berat badan menurun (+). BAB dan BAK biasa. Dalam hal ini, dapat dicurigai
adanya TB dari warna dahak yang putih. Sakit dada dapat dikarenakan adanya
proses pada pleura, dapat disebabkan adanya pleuritis atau efusi pleura. Sesak yang
ditimbulkan juga bukan berasal dari penyakit jantung dan asma. Badan lemas,
demam, nafsu makan dan berat badan yang turun menunjukkan gejala-gejala
prodromal yang sering dijumpai pada TB paru.
Lebih kurang 1 hari SMRS, os mengeluh sesak napas semakin hebat, sesak
tidak dipengaruhi aktifitas, cuaca, posisi, dan emosi. Sakit dada ada, sakit tidak
menjalar. Os juga mengeluh batuk semakin sering. Batuk berdahak. Dahak berwarna
putih. Jumlah dahak semakin banyak, sekitar 1 ½ sendok makan. Os kemudian
berobat ke IGD RSUD Soeselo Slawi dan dirawat.
84
Riwayat sakit darah tinggi disangkal, riwayat kencing manis tidak ada,
riwayat penyakit dengan keluhan yang sama yaitu batuk darah dalam keluarga juga
disangkal oleh os.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang, dan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
98x/menit, pernafasan 26x/menit, dan temperatur 36,90C. Pemeriksaan kepala dan
leher dalam batas normal. Pada pemeriksaan paru ditemukan stemfremitus kanan
lebih dari kiri. Sonor pada paru kanan, redup pada paru kiri. Vesikuler melemah
pada paru kiri, dan didapatkan ronkhi basah sedang pada lapangan paru kiri. Pada
pemeriksaan jantung, abdomen, genital, dan ekstremitas tidak ditemukan kelainan.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, dapat ditegakkan diagnosis berupa efusi pleura kiri.
Adanya ronki basah sedang dapat menunjukkan ada kelainan lagi di parunya,
terutama TB. Karena banyaknya temuan bahwa efusi pleura sering merupakan
komplikasi TB paru, maka TB paru dapat dipertimbangkan sebagai penyebab
timbulnya efusi pleura dalam kasus ini.

85
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin, Zulkifli dan Bahar, Asril., 2009. Pengobatan TB termutakhir dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-1000.

2. Kartasasmita, C.B. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri : 11 (2) ; 124-125.


3. Kemenkes. 2014. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
4. Utami A.S., 2009. Mayoritas Usia Penderita TB Paru Berdasarkan Hasil
Pemeriksaan Radiologi di Bagian Radiologi RSUP.DR.Sardjito. Fakultas Kedokteran
UGM. Skripsi Wieslaw, J.,et al,. 2001. TB Manual National Tuberculosis
Programme Guidelines. Copenhagen: Health Documentation Service WHO.
5. Lorraine W. 2005. Penyakit Paru Restriktif. Dalam : Price, Sylvia A, Lorraine W, et

al. Editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Ed. 6. Jilid.2.

Kedokteran EGC ; Jakarta.

6. Slamet H. 2007. Efusi Pleura. Dalam : Alsagaff H, Abdul Mukty H, Dasar-Dasar

Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press ;Surabaya

7. Gambar anatomi pleura, 2007. Efusi Pleura. Diakses dari http://poslal medicina

/pleura.pdf Diakses 17 Mei 2019

8. Sudoyo AW. 2005. Kelainan Paru. Dalam: Halim H. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit

Dalam .Vol 2. Balai Penerbit FK UI ; Jakarta

9. Jeremy, et al. 2008. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. EMS. Jakarta

10. Maryani. 2008. Efusi Pleura. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/pleura.pdf

11. Astowo, pudjo. 2009. Efusi Pleura, Efusi Pleura Ganas Dan Empiema. Jakarta:
Departement Pulmonolgy And Respiration Medicine, Division Critical Care And
Pulmonary Medical Faculty UI.
12. Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009

13. Andrews, N.C. Iron Deficiency and Related Disorder. In:Greer, J.P. 2003.

86
14. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015. Pedoman

Tatalaksana Gagal Jantung (edisi pertama). Jakarta:PERKI

15. Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

16. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart

failure The Task Force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart

failure of the European Society of Cardiology (ESC) European Heart Journal (2016)

37, 2129–2200 doi:10.1093/eurheartj/ehw128

17. Sylvia Anderson Price, RN, Phd; Lorraine Mccarty Wilson, RN, PhD. 2005.

Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. EGC: Jakarta

18. Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed. V. Departemen

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

19. Fuster V, Walsh RA HR. Pathophysiology of Heart Failure. In: Hurst’s The Heart.

13th ed. McGraw Hill; 2011:721.

20. Massie, B.M., Amidon, T.M., 2002, Heart. In: Tierney LM, McPhee SJ, mapadakis

MA eds. Current medical diagnosis and treatment 41st ed. New York : McGraw – Hill

Med Publ Div. International Edition; 363 – 457.

21. Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J., 2014, Farmakologi Dasar & Klinik,

Vol.2, Edisi 12, Editor Bahasa Indonesia Ricky Soeharsono et al., Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta.

22. Hunt SA et al, 2005. Guideline update for the diagnosis and management of chronic

heart failure in the adult. European Journal Of Heart Failure.http://www. European

Heart Journal.com/2011/. Diakses tanggal 23 Mei 2019

23. American College of Cardiology Foundation/American Heart Association, 2013,

Guideline for the Management of Heart Failure, ACCF/AHA. Diakses 23 Mei 2019,

dari http://content.onlinejacc.org/

87
24. Mattu A, Martinez JP, Kelly BS. Modern management of cardiogenic pulmonary

edema. Emerg Med Clin N Am. 2005;23:1105-25.

25. Harun S, Sally N. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi ke-5).

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 2009; p. 1651-3.

26. Ware LB, Matthay MA. Acute pulmonary edema. N Engl J Med. 2005;353:2788- 96.

27. Nendrastuti H, Mohamad S. Edema paru akut, kardiogenik dan non kardiogenik.

Majalah Kedokteran Respirasi. 2010;1(3):10.

28. Majoli F, Monti L, Zanierato M, Campana C, Mediani S, Tavazzi L, et al. Respiratory

fatigue in patients with acute cardiogenic pulmonary edema. Eur Heart J. 2004;6:

F74-80.

29. Prendergast TJ, Ruoss SJ. Pulmonary disease. In: Mc Phee SJ, Lingappa VR, Ganong

WF editors. Pathophysiology of Disease, an Introduction to Clinical Medicine (Fourth

Edition). New York: Mc-Graw-Hill; 2003. p. 247-51.

30. Murray JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J Tuberc Lung Dis.

2011;15(2):155-160.

31. Huldani H. Edema paru akut. Refarat. Universitas Lambung Mangkurat Fakultas

Kedokteran, Banjarmasin. 2014. Available from: eprints.unlam.ac.id/207/

32. Salman A, Milbrandt EB, Pinsky MR. The role of noninvasive ventilation in acute

cardiogenic pulmonary edema. Critical Care. 2010;14(303):1-3.

33. Soemantri. Cardiogenic pulmonary edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu

Penyakit Dalam 2011. FK UNAIR- RSUD Dr. Soetomo, 2011. p.113-9.

34. Bestern AD. Noninvasive ventilation for cardiogenic pulmonary edema: froth and

bubbles? Am J Respir Crit Care Med, 2003.

88
35. Araújo MCM, Coelho JR. Acute pulmonary edema. [cited: 2003 Nov 6] Available

from: http:www.medstudents.com.br/terin/teri n7.htm.

36. Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, Drexler H, Filippatos GS, Jondeau G, et al.

Executive summary of the guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart

failure. Eur Heart J. 2005;26:384-416.

37. Harun S. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Markum HMS, Setiati S, Alwi I, Gani

RA, Sumaryono, editors. Naskah lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit

Dalam 1998. Jakarta: Bagian IPD FKUI; 1998. p. 97-101.

38. Rana R, Vlahakis NE, Daniels CE, Jaffe AS, Klee GG, Hubmayr RD, et al. B- type

natriuretic peptide in the assessment of acute lung injury and cardiogenic pulmonary

edema. [Abstract]. Crit Care Med. 2006;34(7):1941-6.

39. Rodeheffer RJ. Measuring plasma B-type natriuretic peptide in heart failure. J Am

Coll Cardiol. 2004;4:740-8.

40. Masip J, Roque M, Sanchez B, Fernandez R, Subirana M, Exposito JA. Noninvasive

ventilation in cardiogenic pulmonary edema: systematic review and meta-analysis.

JAMA. 2005;294:3124-32.

41. Gray A, Goodacre S, Newby DE, Masson M, Sampson F, Nicholl J. Noninvasive

Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2008;359(2):142-

51.

42. Agarwal R, Aggarwal AN, Gupta D. Is noninvasive pressure support ventilation as

effective and safe as continuous positive airway pressure in cardiogenic pulmonary

oedema? Singapore Med J. 2009;50(6):595-603.

43. Winck JC, Azevedo LF, Costa-Pereira A, Antonelli M, Wyatt JC. Efficacy and safety

of non-invasive ventilation in the treatment of acute cardiogenic pulmonary edema–a

systematic review and meta-analysis. Critical Care. 2006;10(2):1-18.

89
44. Bartel B, Gau E. Fluid and electrolyte management. In: Johnson TJ. Critical care

pharmacotherapeutics. 1st ed. Burlington (MA): Jones & Bartlett Learning, LLC;

2015. p. 11 – 13.

45. Persons PE, Wiener-Kronish JP. Critical care secrets. s. 5th ed. Cambridge, MA:

Elsevier Health Science; 2012. p 316-24

46. Kardalas E, Paschou SA, Anagnostis P, Muscogiuri G, Siasos G, Vryonidou A.

Hypokalemia: A clinical update. Endocr Connect. 2018;7(4): 135–46

47. Hypokalemia. In: Papadakis MA, McPhee SJ, editors. Quick medical diagnosis &

treatment. New York: McGraw-Hill; 2017.

48. Nugroho P, Hipokalemia dalam EIMED : Kegawat Daruratan Penyakit Dalam,

editor : Setyohadi B, Arsana PM, Suryanto A, Soeroto, Abdullah M. Buku I, Pusat

Penerbitan Ilmu penyakit Dalam, 2012. 279

90

Anda mungkin juga menyukai

  • Laporan Kasus STEMI
    Laporan Kasus STEMI
    Dokumen24 halaman
    Laporan Kasus STEMI
    fikrinajamuddin
    Belum ada peringkat
  • MTBS-M 2014
    MTBS-M 2014
    Dokumen83 halaman
    MTBS-M 2014
    Wulan
    Belum ada peringkat
  • SIM Kesehatan
    SIM Kesehatan
    Dokumen2 halaman
    SIM Kesehatan
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Formulir Pendaftaran Ukmppd Periode Februari 2020
    Formulir Pendaftaran Ukmppd Periode Februari 2020
    Dokumen3 halaman
    Formulir Pendaftaran Ukmppd Periode Februari 2020
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • FORM Luar Kota
    FORM Luar Kota
    Dokumen3 halaman
    FORM Luar Kota
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • SIM Kesehatan
    SIM Kesehatan
    Dokumen2 halaman
    SIM Kesehatan
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • JUDUL
    JUDUL
    Dokumen4 halaman
    JUDUL
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Bisa Kaya Kie
    Bisa Kaya Kie
    Dokumen13 halaman
    Bisa Kaya Kie
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Ada Ajah
    Ada Ajah
    Dokumen57 halaman
    Ada Ajah
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Sampul Osler
    Sampul Osler
    Dokumen4 halaman
    Sampul Osler
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan
    Bab I Pendahuluan
    Dokumen25 halaman
    Bab I Pendahuluan
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Jurnal
    Jurnal
    Dokumen7 halaman
    Jurnal
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Laporan Jaga Stase Penyakit Dalam: JUMAT, 12JULI2019
    Laporan Jaga Stase Penyakit Dalam: JUMAT, 12JULI2019
    Dokumen19 halaman
    Laporan Jaga Stase Penyakit Dalam: JUMAT, 12JULI2019
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Presentation 3
    Presentation 3
    Dokumen11 halaman
    Presentation 3
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Presentation 3
    Presentation 3
    Dokumen11 halaman
    Presentation 3
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Wis Lahh
    Wis Lahh
    Dokumen13 halaman
    Wis Lahh
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen3 halaman
    Bab I
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Tambahan Tetanus
    Tambahan Tetanus
    Dokumen7 halaman
    Tambahan Tetanus
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • HMMMMMM
    HMMMMMM
    Dokumen60 halaman
    HMMMMMM
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat Egi Ikm
    Cover Referat Egi Ikm
    Dokumen4 halaman
    Cover Referat Egi Ikm
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Herbal Life
    Herbal Life
    Dokumen28 halaman
    Herbal Life
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Sampul Osler
    Sampul Osler
    Dokumen4 halaman
    Sampul Osler
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Sampul Osler
    Sampul Osler
    Dokumen4 halaman
    Sampul Osler
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Seboroik
    Seboroik
    Dokumen10 halaman
    Seboroik
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Pasca Sarjana
    Pasca Sarjana
    Dokumen5 halaman
    Pasca Sarjana
    Yolanda Intan Sari
    Belum ada peringkat
  • HHHJJ
    HHHJJ
    Dokumen7 halaman
    HHHJJ
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Derma To
    Derma To
    Dokumen27 halaman
    Derma To
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Anemia Et Efusi E.C CHF
    Anemia Et Efusi E.C CHF
    Dokumen54 halaman
    Anemia Et Efusi E.C CHF
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat Egi Ikm
    Cover Referat Egi Ikm
    Dokumen4 halaman
    Cover Referat Egi Ikm
    Nuraga Dwi Pratapa
    Belum ada peringkat