Anda di halaman 1dari 52

UJI POTENSI EKSTRAK ETANOL BAWANG PUTIH (Allium sativum)

SEBAGAI PENGHAMBAT PEMBENTUKAN BIOFILM Staphylococcus aureus

SECARA IN VITRO

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Umum

Oleh:
AJENG MAHARANI PUTRI
NIM: 155070100111063

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
1

BAB I

LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang

Staphylococcus aureus merupakan flora normal manusia yang dapat

bersifat patogen pada tubuh manusia. Staphylococcus aureus adalah bakteri

Gram positif yang berkolonisasi di nasopharynx anterior dan permukaan kulit

(Bhattacharya et al., 2015). Infeksi Staphylococcus aureus dapat menyebabkan

bakterimia, pneumonia, endokarditis, osteoartikular, osteomielitis akut

hematogen, infeksi pada kulit dan jaringan lunak, meningitis, infeksi paru-paru

dan infeksi yang terkait dengan peralatan medis (Jawetz et al., 2007).

Staphylococcus aureus yang telah resisten terhadap berbagai antibiotik yaitu

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Vancomycin-intermediate

Staphylococcus aureus (VISA), dan Vancomycin-resistant Staphylococcus

aureus (VRSA) (CDC, 2017). Staphylococcus aureus adalah penyebab utama

infeksi nosokomial dan infeksi yang didapat oleh masyarakat, serta memberikan

beban yang signifikan pada sistem kesehatan (Lister dan Horswill, 2014).

Healthcare-Associated MRSA (HA-MRSA) adalah infeksi MRSA yang terjadi di

pelayanan kesehatan, berhubungan dengan prosedur invasif atau alat-alat

kesehatan seperti operasi, pemasangan infus, dan kateterisasi (Gladwin dan

Trattler, 2011). Prevalensi S. aureus di berbagai rumah sakit di seluruh dunia,

berkisar antara 2-70% dengan rata-rata 20%. Secara keseluruhan di Asia

prevalensi dari S. aureus telah mencapai 70%, seperti di Taiwan mencapai 60%,

Cina 20%, Hongkong 70%, Filipina 5%, Singapura 60% dan Indonesia 23,5%.
2

Prevalensi S. aureus pada tahun 2003 di Rumah Sakit Atmajaya Jakarta

mencapai 47%, serta di RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang pada 2010 mencapai

46% (Yuwono, 2011).

Salah satu penyebab utama sifat patogen Staphylococcus aureus

adalah kemampuannya dalam membentuk biofilm pada jaringan dan peralatan

medis. Biofilm adalah komunitas microbial sessile dimana selnya menempel

pada permukaan sel lain dan bergabung menjadi matriks polimer ekstraselular

yang protektif (Lister dan Horswill, 2014). Selain itu, biofilm juga dapat

menghambat sistem pertahanan tubuh manusia sehingga menyebabkan

terjadinya infeksi yang persisten dan mempermudah mutasi bakteri menjadi lebih

virulen. Penggunaan antibiotik yang umum digunakan saat ini adalah

vancomycin, tetapi sudah banyak galur S. aureus yang resisten terhadap

vancomycin dan disebut sebagai Vancomycin-resistant Staphylococcus aureus

(VRSA) (CDC, 2017). Sebagian besar antibakteri berasal dari produk alami, dan

produk alami masih menyediakan sumber yang kaya untuk penemuan antibakteri

baru (Silver, 2008).

Indonesia adalah negara megabiodiversity yang kaya akan tanaman

obat, dan sangat potensial untuk dikembangkan, tapi belum dikelola secara

maksimal. Kekayaan alam tumbuhan di Indonesia meliputi 30.000 jenis

tumbuhan dari total 40.000 jenis tumbuhan di dunia, 940 jenis diantaranya

merupakan tumbuhan berkhasiat obat (jumlah ini merupakan 90% dari jumlah

tumbuhan obat di Asia) (Dephut, 2010). Bawang putih (Allium sativum)

merupakan salah satu tanaman rempah yang banyak dimanfaatkan sebagai

bumbu masakan dan obat tradisional. Menurut Badan Pusat Statistik dan

Direktorat Jenderal Hortikultura, produksi bawang putih di Indonesia pada tahun


3

2014 sebesar 1.233.983 ton per tahun. Bawang putih mudah tumbuh pada iklim

ringan dan mudah ditemukan di Indonesia. Bawang putih disebut sebagai “all-

healing herb” karena dikenal sebagai tanaman yang mampu menyembuhkan

berbagai macam penyakit seperti infeksi, tumor, dan menyembuhkan luka. Dua

senyawa aktif pada bawang putih yaitu allicin dan ajoene berpotensi sebagai

antibakteri (Josling, 2008).

Penelitian Mohsenipour dan Hassanshahian (2014) membuktikan

bahwa ekstrak (Allium sativum L.) dengan Kadar Hambat Minimal (KHM) 0,078-

2,5 mg/mL mampu menghambat biofilm S. aureus, B. cereus, S. pneumoniae, P.

aeruginosa, E. coli, dan K. pneumoniae, konsentrasi masing-masing ekstrak

memiliki hubungan langsung dengan efek penghambatan. Kemudian

Ratthawongjirakul dan Thongkerd (2015) meneliti efek ekstrak bawang putih

terhadap S. aureus dan MRSA di bawah kondisi kemopreventif dan kemoterapi,

hasil menunjukkan bahwa efek bawang putih terhadap S. aureus di bawah

kondisi kemopreventif paling baik. Penelitian Wu et al. (2015) menemukan bahwa

allicin pada bawang putih memiliki efek bakterisida pada biofilm S. epidermidis

dan menemukan bahwa Minimal Biofilm Inhibitory Concentration (MBIC) pada

ekstrak bawang putih 1,56 μg/mL untuk ekstrak aqueous dan 0,78 μg/mL untuk

ekstrak etanol, yang secara signifikan lebih rendah daripada MBIC allicin murni

yaitu 12,5 μg/mL. Baru-baru ini, November 2017 University of Copenhagen

menemukan bahwa senyawa ajoene pada bawang putih mampu menekan gen

regulator tertentu yang menyebabkan penghancuran biofilm bakteri S. aureus

dan P. aeruginosa. Di Indonesia masih belum ada penelitian mengenai efek

bawang putih terhadap biofilm Staphylococcus aureus dan masih belum

diketahui Kadar Hambat Biofilm Minimal (KHBM) atau Minimal Biofilm Inhibitory
4

Concentration (MBIC) terhadap bakteri tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui potensi pemberian ekstrak etanol bawang putih

(Allium sativum) sebagai penghambat pembentukan biofilm pada Staphylococcus

aureus secara in vitro. Dengan adanya penelitian ini, maka diharapkan bawang

putih dapat dijadikan sebagai alternatif terapi terhadap infeksi Staphylococcus

aureus yang membentuk biofilm, serta dapat dikembangkan ke tahap uji klinis

selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ekstrak etanol bawang putih (Allium sativum) dapat menghambat

pembentukan biofilm pada Staphylococcus aureus secara in vitro?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Membuktikan potensi ekstrak etanol bawang putih (Allium sativum)

sebagai penghambat pembentukan biofilm pada Staphylococcus aureus secara

in vitro.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui perbedaan hasil dari pemberian masing-

masing konsentrasi ekstrak etanol bawang putih (Allium sativum)

dalam menghambat pembentukan biofilm pada bakteri

Staphylococcus aureus secara in vitro.

2. Untuk mengetahui Minimal Biofilm Inhibitory Concentration

(MBIC) yang signifikan dari ekstrak etanol bawang putih (Allium


5

sativum) dalam menghambat pembentukan biofilm pada bakteri

Staphylococcus aureus secara in vitro.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Dapat dijadikan sebagai dasar teori untuk menambah khasanah ilmu

pengetahuan dalam bidang kesehatan mengenai manfaat dari ekstrak etanol

bawang putih (Allium sativum) sebagai penghambat pembentukan biofilm pada

Staphylococcus aureus.

Dapat dijadikan sebagai dasar teori untuk mengembangkan penelitian

selanjutnya mengenai penghambatan biofilm pada bakteri Staphylococcus

aureus.

1.4.2 Manfaat Praktis

Dapat dijadikan alternatif terapi terhadap infeksi Staphylococcus aureus

yang membentuk biofilm.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat

berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur

seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak

bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37ºC, tetapi membentuk

pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25ºC). Koloni pada perbenihan padat

berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol,

dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang

mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi

bakteri. Berbagai derajat hemolisis disebabkan oleh S. aureus dan kadang-

kadang oleh spesies Staphylococcus lainnya (Jawetz et al., 2007).

2.1.1 Taksonomi
Domain : Bacteria

Kingdom : Eubacteria

Phylum : Firmicutes

Class : Bacilli

Order : Bacillales

Family : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

Gambar 2.1 Staphylococcus aureus pada pewarnaan gram berbentuk cocci


yang berpasangan, tetrad, dan cluster (Brooks.et al., 2012)
7

2.1.2 Sifat Biakan

S. aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriologik

dibawah suasana aerobik atau mikro-aerobik. Tumbuh dengan cepat pada

temperatur 370C namun pembentukan pigmen yang terbaik adalah pada

temperatur kamar (200 - 350C). Koloni pada media yang padat akan berbentuk

bulat, halus, menonjol, dan berkilau-kilau, membentuk berbagai pigmen berwarna

kuning keemasan (Jawetz et al., 2007).

2.1.3 Sifat Pertumbuhan

Staphylococcus aureus mempunyai enzim katalase yang berperan dalam

proses pengubahan hidrogen peroksida (H2O2) menjadi hidrogen (H2) dan

oksigen (O2), karena hal tersebut Staphylococcus aureus dikatakan bersifat

katalase positif dimana hal ini dapat membedakannya dari genus Streptococcus.

Staphylococcus aureus juga mempunyai enzim koagulase yang dapat

membedakannya dari Staphylococcus jenis lainnya, seperti Staphylococcus

epidermidis. Staphylococcus aureus memiliki kemampuan untuk

memfermentasikan manitol menjadi asam, hal ini dapat dibuktikan bila

Staphylococcus aureus dibiakkan dalam agar manitol, terjadi perubahan pH dan

perubahan warna medium agar dari merah ke kuning (Jawetz et al., 2007).

2.1.4 Struktur Antigen

Protein A adalah komponen dinding sel pada banyak Staphylococcus

aureus yang berikatan dengan berbagai Fc dari molekul IgG kecuali IgG3.

Bagian Fab dari IgG yang terikat dengan protein A bebas berikatan dengan

antigen spesifik. Protein A menjadi reagen yang penting dalam imunologi dan

teknologi laboratorium diagnostik. Beberapa strain S. aureus memiliki kapsul,

yang menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear kecuali terdapat


8

antibodi spesifik. Sebagian besar strain S. aureus mempunyai koagulase atau

faktor penggumpal, pada permukaan dinding sel terjadi koagulase dengan

fibrinogen secara nonenzimatik, sehingga menyebabkan agregasi bakteri

(Jawetz et al., 2007).

2.1.5 Metabolit dan Faktor Virulensi S. aureus

Staphylococcus aureus membuat tiga macam metabolit, yaitu yang

bersifat nontoksin, eksotoksin, dan enterotoksin. Metabolit nontoksin antara lain

adalah antigen permukaan, koagulase, hialuronidase, fibrinolisin, gelatinosa,

protease, lipase, tributirinase, fosfatase, dan katalase (Warsa, 1994).

Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya

tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat

ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa

protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya (Jawetz et al., 2007) :

a. Katalase

Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap

proses fagositosis. Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda genus

Staphylococcus dari Streptococcus.

b. Koagulase

Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat,

karena adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan

enzim tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas

penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri

yang dapat menghambat fagositosis.


9

c. Hemolisin

Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona

hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari α-

hemolisin, β-hemolisin, dan δ-hemolisin. α-hemolisin adalah toksin yang

bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S.

aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada

kulit hewan dan manusia. β-hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan

Stafilokokus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah

merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat

melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang

terhadap sel darah merah domba.

d. Leukosidin

Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi

perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Stafilokokus

patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat

difagositosis.

e. Toksin eksfoliatif

Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks

mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepithelial

pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya kulit.

f. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)


10

Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom

syok toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Toksin ini menyebabkan demam,

syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh.

g. Enterotoksin

Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap

suasana basa di dalam usus. Enzim ini adalah penyebab utama dalam

keracunan makanan, terutama yang mengandung karbohidrat dan protein.

2.1.6 Patogenesis dan Patologi

Staphylococcus aureus adalah patogen utama pada manusia. Hampir

semua orang pernah mengalami infeksi S. aureus selama hidupnya, dengan

derajat keparahan yang beragam, dari keracunan makanan atau infeksi kulit

ringan hingga infeksi berat yang mengancam jiwa. Sebagian bakteri

Staphylococcus sp. merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan

saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan di udara

dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan

hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol (Jawetz et al.,

2007).

Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai

abses. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul,

jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya

pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan

endokarditis. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi fatal seperti

bakteremia/sepsis, pneumonia, endocarditis, dan osteomyelitis (CDC, 2017).


11

Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba

dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi,

dengan gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi

dalam lima hari permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon,

atau pada anak-anak dan pria dengan luka yang terinfeksi Staphylococcus sp.

Staphylococcus aureus dapat diisolasi dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal

lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan dalam aliran darah (Jawetz et al., 2007).

Pembentukan biofilm juga memicu terbentuknya sifat resisten S. aureus

terhadap antibiotik. Biofilm mendorong pembentukan sel S. aureus yang toleran

terhadap antibiotik serta menciptakan sel persister. Sel persister adalah sel yang

beradaptasi terhadap antibiotik dengan cara mengurangi ketergantunganya

terhadap bagian sel yang menjadi target antibiotik maupun menghentikan

produksi target antibiotik di dalam sel (Lewis, 2010). Pembentukan biofilm juga

makin menyulitkan terapi pada kasus infeksi bakteri yang resisten. Moghadam et

al. (2014) menemukan bahwa biofilm MRSA pada pasien infeksi luka bakar,

resisten terhadap amikacin, ceftriaxone, siprofloksasin, eritromisin, gentamisin,

tetrasiklin, dan tobramisin. Resistensi ini dapat terjadi akibat beberapa hal seperti

penurunan difusi antibiotik akibat matriks biofilm yang kompleks, aktivitas

metabolisme yang terjadi di biofilm, dan interaksi antibiotik dengan produk hasil

metabolisme bakteri yang mengubah aktivitas antibiotik.

2.1.7 Epidemiologi

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang mudah ditemukan

dimana-mana dan bersifat patogen oportunistik, berkoloni pada kulit dan

permukaan mukosa manusia. Sumber infeksi bakteri ini berasal dari lesi terbuka

maupun barang-barang yang terkena lesi tersebut, selain itu ada beberapa
12

tempat di rumah sakit yang berisiko tinggi dalam penyebaran bakteri ini, seperti

unit perawatan intensif, perawatan neonatus, dan ruang operasi (Brooks et al.,

2012).

Awal resistensi S. aureus muncul pada tahun 1942 yaitu resistensi

terhadap penisilin, kemudian eritromisin, streptomisin dan tetrasiklin pada 1950,

diikuti metisilin pada 1961. Awal tahun 2000, S. aureus bermanifestasi sebagai

super patogen multidrug-resistant yang melebihi 50% dari seluruh S. aureus di

Instalasi Rawat Intensif (IRI) atau Intensive Care Unit (ICU) rumah sakit Amerika

Serikat, Amerika Latin, dan Asia-Pasifik. Di Inggris sampai dengan tahun 2004

didapatkan data prevalensi bahwa Staphylococcus aureus menjadi masalah

yang predominan pada usia lanjut 82% usia > 60 tahun, strain Staphylococcus

aureus yang ada 92% resisten terhadap fluoroquinolone dan 72% resisten

terhadap makrolid, sebagian besar isolat masih sensitif terhadap tetrasiklin, asam

fusidat, rifampicin, dan gentamisin, dan strain Staphylococcus aureus yang telah

diuji 12% resisten terhadap mupirocin (Biantoro, 2008). Staphylococcus aureus

paling banyak ditemukan di tangan, hidung, dan perineum. Penelitian yang

dilakukan dengan subjek pasien di ruang perawatan intensif Bandung dan

Semarang tahun 2001 menggambarkan bahwa sebanyak 35,9% pada nostril

hidung dan 21,8% pada tangan petugas kesehatan. Dari penelitian pendahuluan

yang dilakukan oleh Ahmed di beberapa bagian rumah sakit yang berbeda di

Libya didapatkan 128 (22%) positif Staphylococcus aureus berdasarkan hasil

laboratorium dan 109 (19%) dikonfirmasi sebagai Staphylococcus aureus dengan

PCR dari 569 subjek penelitian. Hidung dan bagian nares anterior adalah bagian

yang paling penting dari koloni Staphylococcus dan berpotensi sebagai sumber

Staphylococcus aureus. Penelitian ini cenderung dianggap remeh karena hanya


13

menggunakan nasal swab dan tidak menguji tempat lain, seperti swab pada

tenggorokan (Ahmed et al, 2012).

2.2 Biofilm

Pembentukan biofilm merupakan strategi yang digunakan oleh

mikroorganisme untuk bertahan hidup pada kondisi yang kurang baik. Biofilm

bakteri didefinisikan sebagai komunitas terstruktur bakteri sel tertutup yang

dihasilkan oleh matriks polimer dan menempel pada permukaan organisme.

Biofilm lebih resisten terhadap antibiotik, antibodi, temperatur tinggi, maupun

proses fagositosis (Donlan, 2002).

2.2.1 Definisi Biofilm

Biofilm merupakan bentuk kehidupan mikroorganisme yang menempel

pada suatu permukaan dengan membentuk matriks yang terbuat dari

extracellular polymeric substance (EPS) (Donlan, 2002). Biofilm merupakan

kumpulan dari sel-sel mikrobial yang melekat secara ireversibel pada suatu

permukaan dan terbungkus dalam extracellular polymeric substance (EPS) yang

dihasilkannya sendiri serta memperlihatkan adanya perubahan fenotip seperti

perubahan tingkat pertumbuhan dan perubahan transkripsi gen dari sel

planktonik atau sel bebasnya (Gunardi, 2014). Bentuk biofilm sesungguhnya

merupakan bentuk pertahanan dari mikroorganisme terhadap ancaman fisis,

kimiawi, maupun biologis. Faktor-faktor yang mempengaruhi perlekatan sel-sel

bakteri dalam pembentukan biofilm adalah efek substratum (permukaan tempat

melekatnya), conditioning film, hidrodinamik dari aliran yang melewatinya,

karakteristik media cairan, dan keadaan permukaan sel bakteri yang akan

melekat (Gunardi, 2014). Donlan (2002), menduga ada 4 sifat biofilm yang

berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat yakni:


14

 pelepasan agregat biofilm pada saluran kemih atau pembuluh darah

menyebabkan penyakit infeksi hingga emboli

 sel berisiko mengadakan pertukaran plasmid dengan biofilm, yang mana

dikhawatirkan plasmid yang dipertukarkan bersifat resisten antibiotik

 sel biofilm mampu menurunkan kemampuan kerja senyawa antimikroba

 biofilm resisten terhadap sistem imun inangnya

2.2.2 Biofilm Staphylococcus aureus

Biofilm dari S. aureus merupakan penyebab utama dari infeksi

nosokomial dan implan alat medis pada manusia (Otto, 2008). Biofilm S. aureus

juga mampu menyebabkan penyakit kronis seperti chronic rhinosinusitis dengan

menginfeksi sinus penderita hingga terjadi hilangnya sel silia dan sel goblet

(Kamath et al., 2013). Infeksi lain terkait biofilm S. aureus termasuk osteomyelitis

dan endokarditis. Terapi antibiotik untuk infeksi-infeksi diatas umumnya

terhalangi oleh kehadiran biofilm.

Biofilm S. aureus memang telah diketahui terlibat dalam resistensi

terhadap antibiotik. Moghadam et al. (2014) menemukan bahwa biofilm MRSA

pada pasien infeksi luka bakar, resisten terhadap amikacin, ceftriaxone,

siprofloksasin, eritromisin, gentamisin, tetrasiklin, dan tobramisin. Resistensi ini

dapat terjadi akibat beberapa hal seperti penurunan difusi antibiotik akibat

matriks biofilm yang kompleks, aktivitas metabolisme yang terjadi di biofilm, dan

interaksi antibiotik dengan produk hasil metabolisme bakteri yang mengubah

aktivitas antibiotik.

Pembentukan biofilm S. aureus telah banyak diteliti secara mendalam.

Archer et al. (2011) merangkum dalam jurnalnya mengenai berbagai jalur


15

pembentukan biofilm S. aureus yang diketahui dapat membentuk biofilm melalui

jalur PIA-dependent, PIA-independent, serta eDNA. PIA (polysaccharide

intercelluler antigen) diproduksi S.aureus secara in vitro dari UDP-N-

acetylglucosamine melalui produk lokus intercellular adhesion (ica). Pada jalur

PIA-dependent, PIA terbukti sangat penting dalam pembentukan biofilm serta

berperan dalam pertumbuhan anaerobik. Saat PIA diproduksi maka biofilm juga

akan ikut terbentuk. Biofilm juga dapat terbentuk melalui jalur PIA-independent,

yang mana tidak mementingkan lokus gen ica. Penghapusan lokus ica terbukti

tidak menurunkan virulensi biofilm S. aureus. Pada mutan S. aureus dengan

delesi ica, ditemukan bahwa protein A (SpA) yang berperan penting dalam

pembentukan biofilm. Jalur lain yang cukup penting dalam pembuatan biofilm

adalah eDNA (extracellular DNA). S. aureus memiliki kemampuan menambahkan

DNA pada matriks awal biofilm, yang mana mendukung struktur pembentukan

biofilm.

Biofilm S. aureus diatur oleh 2 regulator utama yakni staphylococcal

accessory regulator (sarA) dan accessory gene regulator (agr). SarA berperan

dalam pertumbuhan biofilm S. aureus dan dapat mencegah degradasi eDNA dan

protein yang menjadi struktur utama biofilm. Regulator agr sendiri berperan pada

quorum sensing dari S. aureus dengan menurunkan tingkat perlekatan S. aureus

dengan permukaan, sehingga terjadi penurunan tingkat pembentukan biofilm.

Penekanan agr penting untuk pembentukan biofilm, sedangkan induksi agr

penting untuk penyebaran biofilm yang telah matang (Boles dan Horswill, 2008).

2.2.3 Struktur Biofilm

Unit struktural dari biofilm adalah mikrokoloni dari proses dasar

pembentukan dari biofilm seperti mekanisme quorum sensing, resistensi


16

antimikroba, dan perlekatan yang dapat menerangkan interaksi fisiologis dari

mikrokoloni dalam biofilm yang telah matang. Biofilm terutama terdiri dari materi

matriks (85% dari volume) dan kumpulan sel-sel bakteri (15% dari volume).

Extracellular polymeric substance (EPS) menyusun 50-90% karbon organik

biofilm dan dapat dianggap sebagai material matrik yang utama. EPS bervariasi

secara fisik dan kimia, tapi terutama terdiri dari polisakarida. EPS bersifat

hidrofilik karena dapat mengikat air dalam jumlah yang banyak, dengan tingkat

kelarutan yang berbeda-beda (Gunardi, 2014).

2.2.4 Pembentukan Biofilm

Pembentukan biofilm dimulai dari beberapa bakteri yang hidup bebas (sel

planktonik) kemudian melekat pada suatu permukaan, selanjutnya

memperbanyak diri dan membentuk satu lapisan tipis (monolayer) biofilm. Pada

saat ini, pembelahan akan berhenti selama beberapa jam dan pada masa ini

terjadi banyak sekali perubahan pada sel planktonik, yang akan menghasilkan

transisi sel planktonik menjadi sel dengan fenotip biofilm. Sel biofilm berbeda

secara metabolik dan fisiologik dari sel planktoniknya (Gunardi, 2014).

Sejalan dengan pertumbuhannya, sel biofilm ini akan menghasilkan EPS

yang akan melekatkan mereka pada suatu permukaan dan melekatkan satu

sama lain untuk membentuk suatu mikrokoloni. Monolayer ini dikenal juga

sebagai linking film yaitu substrat yang menjadi tempat sel bakteri melekat dan

membentuk mikrokoloni. Jika sel-sel terus melanjutkan pertumbuhannya dan

membentuk lapisan yang makin menebal, maka mikroba yang melekat pada

lapisan terdalam permukaan akan kekurangan zat-zat nutrisi dan terjadi

akumulasi produk buangan yang bersifat toksik. Untuk mengatasi masalah ini,

mikrokoloni akan berkembang menjadi bentuk jamur yang mempunyai saluran


17

atau pori-pori yang dapat dilewati oleh nutrisi dan produk metabolit dari semua

sel (Gunardi, 2014).

Dalam perkembangannya, sel-sel bakteri dalam matriks akan

mengeluarkan sinyal kimia. Molekul sinyal ini berperan dalam pembentukan

karakteristik biofilm menjadi lebih matang dan dalam koordinasi aktivitas biofilm.

Aksi dari sinyal ini merupakan suatu proses dari quorum sensing yaitu

komunikasi antar sel dan kemampuan molekul untuk mencetuskan suatu aksi

bergantung pada konsentrasi sinyal dalam lingkungan. Biofilm yang matang telah

terbentuk dan sekarang terdiri dari banyak spesies bakteri. Biofilm ini merupakan

suatu struktur yang dinamik dengan sel-sel yang terus silih berganti masuk dan

meninggalkan komunitasnya. Dalam proses ini, sel-sel signaling juga mengambil

peranan yang penting. Pembentukan dari biofilm ini tergantung dari konsentrasi

nutrisi yang tersedia dan diatur oleh suatu zat kimia komplek yang dikeluarkan

oleh sel sebagai komunikasi antar sel (Gunardi, 2014).

Gambar 2.2 Regulasi Pembentukan Biofilm (Vasudevan, 2014)


18

2.2.5 Quorum Sensing

Quorum sensing (QS) adalah sistem komunikasi antar sel bakteri sejenis

atau berbeda jenis yang bertujuan untuk mengaktifkan ekspresi suatu gen

tertentu oleh bakteri yang bersangkutan. Dalam mekanisme ini bakteri akan

mengekresikan suatu molekul ke lingkungannya yang kemudian akan menjadi

sinyal bagi bakteri itu sendiri dan bakteri lain. Ketika konsentrasi molekul di

lingkungannya telah mencapai level tertentu, molekul ini kemudian akan menjadi

umpan balik bagi bakteri yang bersangkutan untuk mengaktifkan dan

mengekspresikan suatu gen. Ekspresi gen yang dihasilkan oleh mekanisme

quorum sensing meliputi patogenesis, simbiosis, produksi antibiotik, motilitas,

pembentukan biofilm, transfer DNA, dan biopendar (Miller dan Bassler, 2001).

Quorum sensing pada bakteri terjadi karena bakteri memproduksi dan

melepaskan molekul sinyal kimia yang disebut autoinducer yang konsentrasinya

meningkat sebanding dengan peningkatan populasi sel, dan ketika konsentrasi

autoinducer mencapai batas minimal yang dibutuhkan, bakteri dapat meregulasi

transkripsi gen dan memberikan respon berupa perilaku tertentu. Dengan

demikian, bakteri dapat menyinkronkan perilaku tertentu pada populasi sehingga

dapat berfungsi seperti organisme multiseluler (Waters dan Bassler, 2005).

Secara umum, ada beberapa komponen yang mengatur proses QS

bakteri, yaitu: (1) gen yang mensintesis molekul sinyal; (2) gen yang terlibat

dalam transduksi sinyal; dan (3) molekul sinyal quorum sensing (Chhabra et al.,

2005). Pada sistem komunikasi ini, masing-masing sel bakteri memproduksi

minimal satu atau lebih molekul sinyal untuk kemudian diekskresikan ke

lingkungan sekitarnya. Molekul sinyal ini kemudian akan terakumulasi di

lingkungan tersebut hingga mencapai konsentrasi tertentu yang dapat dideteksi


19

oleh sel bakteri lain untuk selanjutnya mengaktifkan atau mengekspresikan gen

target. Autoinducer berbeda pada bakteri Gram positif dan negatif. Pada bakteri

Gram positif biasanya berupa oligopeptida termodifikasi dan pada bakteri Gram

negatif berupa N-acyl homoserine lactones (N-AHL). Sel bakteri memproduksi

autoinducer yang akan berdifusi keluar sel dan terakumulasi di sekitarnya

(Waters dan Bassler, 2005).

2.2.6 Faktor Lingkungan

Pembentukan biofilm juga dipengaruhi oleh beberapa faktor dari

lingkungan yang bisa berpotensi menjadi toksik untuk sel bakteri. Bakteri yang

terpapar osmolaritas yang tinggi, suhu yang tinggi, detergen, urea, dan adanya

Minimal Inhibitory Concentration (MIC) konsentrasi dari antibiotik tertentu,

glukosa, dan oxidative stress, menunjukkan peningkatan ekspresi dari ica dan

pembentukan biofilm (Nuryastuti, 2009).

2.2.7 Pembentukan Biofilm pada Alat Medis

Kriteria pembentukan biofilm sangat luas, sehingga lingkungan yang

cocok bagi mikroorganisme untuk berkoloni dan membentuk biofilm tidaklah

terbatas. Ada sebagian dari daftar peralatan medis yang telah dibuktikan dapat

menjadi tempat pertumbuhan biofilm. Biofilm yang terdapat pada peralatan medis

yang sudah diteliti selama kurang lebih 20 tahun. Berbagai peralatan medis yang

sudah diteliti dapat menjadi tempat pertumbuhan biofilm adalah prosthetic heart

valves, central venous catheters, urinary catheters, lensa kontak, dan intrauterine

devices. Untuk beberapa peralatan medis seperti urinary catheters dan lensa

kontak, penelitian juga menjelaskan kemungkinan dari ragam variasi material

untuk bacterial adhesion dan pembentukan biofilm (Donlan, 2002).


20

2.2.8 Tes Pembentukan Biofilm

2.2.8.1 Metode Tabung

Staphylococcus aureus yang sudah teridentifikasi ditanam dalam Nutrient

Broth dan diinkubasi pada suhu 37OC semalam. Bakteri yang sudah tumbuh

pada Nutrient Broth ditanam kembali pada Nutrient Agar Plate kemudian

diinkubasi pada suhu 37OC semalam. Mikroba kultur semalam dimasukkan ke

tabung TSBglu (10 mL) dan diinkubasikan 37OC selama 24 jam. Lalu tabung

dicuci dengan PBS (pH 7,3) dan dikeringkan airnya. Tabung yang sudah

dikeringkan diberi kristal violet (0,1%) dan kelebihan warna dibuang dan tabung

dicuci dengan deionized water. Tabung dikeringkan dan dilihat bentukan biofilm

(Christensen et al., 2000).

2.2.8.2 Metode Congo Red Agar (CRA)

Metode ini digunakan untuk mengetahui kemampuan bakteri

memproduksi biofilm. Agar plate diberi 5% sukrosa dan stain Congo Red (0,8

g/L). Setiap plate diinkubasi selama 24 sampai 72 jam dalam suhu 37OC. Hasil

yang positif akan ditunjukkan dengan adanya koloni berwarna hitam dengan

konsistensi dry cristalline. Jika terdapat koloni yang menghitam dan terletak di

tengah dari plate, dengan atau tanpa morfologi dry cristalline adalah bentukan

non biofilm (Moore, 2009).

2.2.8.3 Metode Microtiter-Plate Test

Untuk melakukan tes terhadap pembentukan biofilm oleh bakteri

Staphylococcus aureus dapat digunakan microtiter-plate test. Prosedurnya

adalah dengan memindahkan sebanyak 200 μL bakteri yang telah dikultur

sebelumnya ke dalam sterile 96-well flat-bottomed plastic tissue culture plate.


21

Well yang sebagai kontrol negatif hanya diisi oleh fresh broth. Kemudian semua

plates diinkubasi secara aerobic selama 24 jam dalam suhu 37OC. Setelah itu, isi

setiap well diaspirasi dan dicuci 3 kali menggunakan 250 μL sterile physiological

saline. Well-plates dikocok secara kuat untuk menghilangkan seluruh bakteri

yang tidak menempel. Sisa bakteri yang menempel difiksasi dengan 200 μL 99

methanol di setiap well selama 15 menit. Kemudian dikosongkan dan

dikeringkan. Kemudian setiap well dilakukan proses pewarnaan dengan

menggunakan 0,2 mL 2% crystal violet selama 5 menit. Lalu dilakukan

pembilasan dengan menggunakan air dan dikeringkan. Untuk menganalisis

secara kuantitatif pembentukan biofilm, ditambahkan 200 μL dari 1M HCl

isopropanol di setiap well. Kemudian dilakukan pengukuran Optical Density (OD)

pada 595 nm menggunakan spektrofotometer (Nuryastuti, 2010).

2.2.9 Tes Hambat Pembentukan Biofilm dengan Metode Tabung

Perhitungan jumlah ekstrak, TSBglu serta perbenihan bakteri pada

tabung dengan konsentrasi berbeda untuk mendapatkan larutan konsentrasi

akhir ekstrak dan bakteri pada medium TSBglu. Setiap tabung diisi dengan

perbenihan cair bakteri dengan konsentrasi kuman 1x108 CFU/mL yang telah

dicampur dengan TSBglu sehingga terbentuk perbenihan bakteri dengan

konsentrasi 1x107 CFU/mL. Selanjutnya mengisi setiap tabung dengan larutan

ekstrak sebesar hasil perhitungan tiap konsentrasi sehingga terbentuk

konsentrasi akhir yang diinginkan. Selain terbentuk konsentrasi akhir, setiap

tabung diinkubasi selama 24 jam dalam suhu 37OC. Setelah, 24 jam, tabung

dikeluarkan dan dicuci menggunakan PBS (pH 7,3) dan dicat menggunakan

crystal violet (0,1%) 5 mL. Didiamkan selama 20 menit kemudian sisa crystal

violet dibuang dan dicuci menggunakan deionized water. Terakhir, formasi cincin
22

dan dinding kebiruan diukur dengan Mean Gray Value menggunakan Adobe

Photoshop CS3 (Adityansah, 2010).

2.3 Bawang Putih (Allium sativum)

Bawang putih sebenarnya berasal dari Asia Tengah, diantaranya Cina

dan Jepang yang beriklim subtropik. Dari sini bawang putih menyebar ke seluruh

Asia, Eropa, dan akhirnya ke seluruh dunia. Di Indonesia, bawang putih dibawa

oleh pedagang Cina dan Arab, kemudian dibudidayakan di daerah pesisir atau

daerah pantai. Seiring dengan berjalannya waktu kemudian masuk ke daerah

pedalaman dan akhirnya bawang putih akrab dengan kehidupan masyarakat

Indonesia. Peranannya sebagai bumbu penyedap masakan modern sampai

sekarang tidak tergoyahkan oleh penyedap masakan buatan yang banyak kita

temui di pasaran yang dikemas sedemikian menariknya. Bawang putih (Allium

sativum) adalah herba semusim berumpun yang mempunyai ketinggian sekitar

60 cm. Tanaman ini banyak ditanam di ladang-ladang di daerah pegunungan

yang cukup mendapat sinar matahari (Syamsiah dan Tajudin, 2005).

2.3.1 Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Division : Magnoliophyta

Sub-division : Angiospermae

Class : Liliopsida

Order : Liliales

Family : Liliaceae

Gambar 2.3 Bawang Putih (Allium sativum) Genus : Allium


(Litbang Kementrian Dalam
Negeri, 2017) Spesies : Allium sativum
23

2.3.2 Morfologi dan Ekologi

Bawang putih merupakan tanaman herba parenial yang membentuk umbi

lapis. Tanaman ini tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi

30-75 cm. Batang yang nampak di atas permukaan tanah adalah batang semu

yang terdiri dari pelepah–pelepah daun. Sedangkan batang yang sebenarnya

berada di dalam tanah. Dari pangkal batang tumbuh akar berbentuk serabut kecil

yang banyak dengan panjang kurang dari 10 cm. Akar yang tumbuh pada batang

pokok bersifat rudimenter, berfungsi sebagai alat penghisap makanan (Santoso,

2008).

Bawang putih membentuk umbi lapis berwarna putih. Sebuah umbi terdiri

dari 8–20 siung (anak bawang). Antara siung satu dengan yang lainnya

dipisahkan oleh kulit tipis dan liat, serta membentuk satu kesatuan yang kuat dan

rapat. Di dalam siung terdapat lembaga yang dapat tumbuh menerobos pucuk

siung menjadi tunas baru, serta daging pembungkus lembaga yang berfungsi

sebagai pelindung sekaligus gudang persediaan makanan. Bagian dasar umbi

pada hakikatnya adalah batang pokok yang mengalami rudimentasi (Santoso,

2008). Helaian daun bawang putih berbentuk pita, panjang dapat mencapai 30–

60 cm dan lebar 1–2,5 cm. Jumlah daun 7–10 helai setiap tanaman. Pelepah

daun panjang, merupakan satu kesatuan yang membentuk batang semu. Bunga

merupakan bunga majemuk yang tersusun membulat; membentuk infloresensi

payung dengan diameter 4–9 cm. Perhiasan bunga berupa tenda bunga dengan

6 tepala berbentuk bulat telur. Stamen berjumlah 6, dengan panjang filamen 4–5

mm, bertumpu pada dasar perhiasan bunga. Ovarium superior, tersusun atas 3

ruangan. Buah kecil berbentuk kapsul loculicidal (Santoso, 2008).


24

Bawang putih umumnya tumbuh di dataran tinggi, tetapi varietas tertentu

mampu tumbuh di dataran rendah. Tanah yang bertekstur lempung berpasir atau

lempung berdebu dengan pH netral menjadi media tumbuh yang baik. Lahan

tanaman ini tidak boleh tergenang air. Suhu yang cocok untuk budidaya di

dataran tinggi berkisar antara 20O–25OC dengan curah hujan sekitar 1.200–2.400

mm pertahun, sedangkan suhu untuk dataran rendah berkisar antara 27O–30OC

(Santoso, 2008).

2.3.3 Ketersediaan Bawang Putih

Menurut Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura,

produksi bawang putih di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 1.233.983 ton per

tahun. Bawang putih mudah tumbuh pada iklim ringan dan mudah ditemukan di

Indonesia. Bawang putih disebut sebagai “all-healing herb” karena dikenal

sebagai tanaman yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit

seperti infeksi, tumor, dan menyembuhkan luka.

2.3.4 Manfaat dalam Kehidupan Sehari-hari

Bawang putih (Allium sativum) merupakan salah satu tanaman rempah

yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu masakan dan obat tradisional. Para

pakar kesehatan secara konsisten melakukan penggalian informasi khasiat

bawang putih melalui penelitian farmakologi laboratoris yang sistematis. Tahapan

pengujian, penelitian, dan pengembangan secara sistematis perlu dilakukan agar

pemanfaatan dan khasiat bawang putih dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah bukan sekedar pengetahuan yang diperoleh secara turun temurun.

Pembuatan catatan atau dokumentasi ilmiah atas hasil penelitian tersebut

dilakukan agar dapat terus dimanfaatkan dan dikembangkan oleh generasi di


25

masa depan. Penelitian farmakologi tentang bawang putih telah banyak

dilakukan, tidak hanya secara in vivo (dengan hewan percobaan) tetapi juga in

vitro (dalam tabung kultur). Hal ini ditempuh untuk membuktikan khasiat dan

aktivitas biologi dari senyawa aktif bawang putih, sekaligus dosis dan

kemungkinan efek sampingnya. Berbagai penelitian yang telah dikembangkan

untuk mengeksplorasi aktivitas biologi umbi bawang putih yang terkait dengan

farmakologi, antara lain sebagai anti- diabetes, anti-hipertensi, anti-kolesterol,

anti-atherosklerosis, anti-oksidan, anti-agregasi sel platelet, pemacu fibrinolisis,

anti-virus, anti- mikrobia, dan anti-kanker (Josling, 2008).

2.3.5 Kandungan Kimia

Bawang putih memiliki setidaknya 33 komponen sulfur, beberapa enzim,

17 asam amino dan banyak mineral, contohnya selenium. Bawang putih memiliki

komponen sulfur yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies Allium lainnya.

Komponen sulfur inilah yang memberikan bau khas dan berbagai efek obat dari

bawang putih (Londhe, 2014). Senyawa organosulfur yang utama adalah allicin

dan ajoene.

Allicin merupakan prekursor pembentukan allil sulfide yang memiliki sifat

dapat larut dalam minyak, sehingga untuk mengekstraknya digunakan pelarut

non-polar Pembentukan kelompok ajoene, serta kelompok dithiin juga berawal

dari pemecahan allicin. Senyawa organosulfur lain yang terkandung dalam umbi

bawang putih antara lain, S-propil- sistein (SPC), S-etil-sistein (SEC), dan S-

metil-sistein (SMC). Umbi bawang putih juga mengandung senyawa organo-

selenium dan tellurium, antara lain Se-(metil) selenosistein, selenometionin, dan

selenosistein yang mudah larut dalam air. Beberapa senyawa bioaktif flavonoid

penting yang telah ditemukan antara lain: kaempferol-3-O--D- glukopiranosa


26

dan iso-rhamnetin-3-O--D- glukopiranosa. Senyawa frukto-peptida yang

penting, yaitu Nα-(1-deoxy-Dfructose-1-yl)-L-arginin (Lee et al., 2012)

Ekstrak segar umbi bawang putih dapat disimpan lama dalam ethanol 15–

20%. Penyimpanan selama sekitar 20 bulan pada suhu kamar akan

menghasilkan AGE (aged garlic extract). Selama penyimpanan, kandungan

allicin akan menurun dan sebaliknya diikuti naiknya konsentrasi senyawa-

senyawa baru. Senyawa yang dominan terkandung adalah S-alil sistein dan S-

allilmerkaptosistein (SAMC). Bawang hasil maserasi mengandung kelompok

vinyl-dithiin 0,8 mg/g dan ajoene 0,1 mg/g, sedangkan ekstrak eter mengandung

vinyl-dithiin 5,7 mg/g, allil sulfida 1,4 mg/g, dan ajoene 0,4 mg/g (Banerjee dan

Maulik, 2002).

2.3.6 Senyawa Penghambat Biofilm

Bawang putih memiliki kandungan kimia seperti karbohidrat, protein,

lemak, vitamin, mineral, sterol, saponin, alkaloid, flavonoid, dan triterpenoid.

Aktivitas antimikroba bawang putih berasal dari senyawa organosulfur. Dua

senyawa aktif pada bawang putih yaitu allicin, berpotensi sebagai antibakteri dan

antifungal, dan ajoene berpotensi sebagai antibakteri, antitrombotik, antimikotik,

dan antilemak (Josling, 2008). Keduanya memiliki aktivitas antibakteri baik gram

positif maupun gram negatif.

Allicin dan komponen sulfur lain yang terkandung di dalam bawang putih

dipercaya sebagai bahan aktif yang berperan dalam efek antibakteri bawang

putih. Zat aktif inilah yang dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri dengan

spektrum yang luas, hal ini telah dievaluasi di dalam banyak penelitian, bahwa

bawang putih memiliki aktivitas antibakteri yang cukup tinggi dalam melawan

berbagai macam bakteri, baik itu bakteri gram negatif maupun bakteri gram
27

positif. Allicin (diallyl thiosulfinate) merupakan salah satu komponen biologis yang

paling aktif yang terkandung dalam bawang putih. Adanya kerusakan pada umbi

bawang yang ditimbulkan dari dipotongnya atau dihancurkannya bawang putih

akan mengaktifkan enzim Allinase yang akan memetabolisme alliin menjadi

allicin, yang kemudian akan dimetabolisme menjadi vinyldithiines dan Ajoene.

Proses ini memakan waktu berjam-jam dalam suhu ruangan dan hanya

memakan waktu beberapa menit dalam proses memasak.

Menurut analisis quantitative RT-PCR allicin memiliki kemampuan

downregulasi ekspresi ica dan aap (accumulation-associated protein) pada

biofilm Staphylococcus aureus (Wu et al., 2015). Allicin pada ekstrak bawang

putih mampu menurunkan sinyal quorum sensing, formasi biofilm dan

menghambat faktor virulensi yang dikontrol oleh sistem quorum sensing. Menurut

analisis DNA microarray, ajoene mampu menghambat ekspresi gen spesifik yang

diregulasi oleh sistem quorum sensing. Studi juga menunjukkan bahwa ekstrak

bawang putih juga menghambat gen agr dan ica yang merupakan 2 faktor utama

pembentukan biofilm pada pada Staphylococcus sp. (Jakobsen et al., 2012).


28

BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum)

Allicin Ajoene

ica agr aap (accumulated


associated protein)

Menghambat Inaktivasi
sintesis PIA quorum
sensing

Menghambat pembentukan biofilm

Keterangan :

: variabel tergantung/dependen

: variabel bebas/independen
29

Pembentukan biofilm diregulasi oleh proses sinyal yang terbagi menjadi

4 tahap yaitu perlekatan pada permukaan substrat, pembentukan mikrokoloni,

maturasi biofilm, dan agregasi/pelepasan bakteri dari biofilm. Quorum sensing

merupakan mekanisme regulasi sinyal untuk komunikasi dengan sel lain yang

memicu pembentukan biofilm yang berpengaruh pada sistem pertahanan dan

faktor virulensi dari bakteri. Quorum sensing adalah target spesifik antimikroba

untuk mengontrol virulensi bakteri. Sinyal quorum sensing diatur oleh peptida

autoinducer dengan sistem regulator gen yang terdiri atas 2 operon yaitu RNA II

dan RNA III pada locus agr. Upregulasi gen agr menjadi faktor utama pada

pelepasan sel dari permukaan biofilm Staphylococcus aureus.

Biofilm Staphylococcus aureus terdiri dari substansi polimer matriks

ekstraseluler yang disebut Polysaccharide Intercellular Adhesins (PIA) yang

meregulasi attachment dari sel bakteri dan memfasilitasi perkembangan biofilm.

Sintesis PIA dikode oleh operon ica yang mengontrol berbagai faktor regulasi,

sehingga delesi dari locus gen ica mampu menghambat pembentukan biofilm,

agregasi interselular, dan sintesis PIA pada Staphylococcus aureus. Dua

senyawa aktif pada bawang putih yaitu allicin dan ajoene berpotensi

menghambat faktor virulensi yang dikontrol oleh sistem quorum sensing. Menurut

analisis quantitative RT-PCR allicin dan ajoene memiliki kemampuan

downregulasi ekspresi ica, agr, dan aap (accumulation-associated protein) pada

biofilm Staphylococcus aureus. Dari ketiga gen tersebut, ekstrak bawang putih

(Allium sativum) mampu menginaktivasi mekanisme quorum sensing dan

penghambatan sintesis PIA, sehingga mampu menghambat pembentukan biofilm

bakteri Staphylococcus aureus.


30

3.2 Hipotesis

Ekstrak bawang putih (Allium sativum) dapat menghambat pembentukan

biofilm pada Staphylococcus aureus secara in vitro.


31

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan dan Desain Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan eksperimental

laboratoris untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol bawang putih (Allium

sativum) terhadap pembentukan biofilm Staphylococcus aureus. Desain

penelitian ini adalah post-test only control group design dengan menggunakan

metode tube test.

Kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak mendapat perlakuan

berupa pemberian ekstrak. Kelompok perlakuan adalah kelompok yang

mendapat perlakuan berupa pemberian ekstrak dengan dosis 3,125%, 6,25%,

12,5%, 25%, dan 50%.

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah bakteri Staphylococcus aureus. Sampel

penelitian ini adalah bakteri Staphylococcus aureus strain pembentuk biofilm

isolat swab tenggorok stok kultur Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya, yang telah tersertifikasi.

4.2.1 Pengulangan
32

Pada penelitian ini digunakan sampel Staphylococcus aureus pembentuk

biofilm. Menurut Federer, rumus untuk menghitung estimasi jumlah pengulangan:

(p-1)(n-1) > 15

(6-1)(n-1) > 15

5n-5 > 15

5n > 20

n > 4

Keterangan:

p: jumlah perlakuan dosis ekstrak etanol bawang putih

n: jumlah pengulangan

Berdasarkan rumus, hasil pengulangan dilakukan sebanyak minimal 4 kali

pengulangan.

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Pembuatan ekstrak etanol bawang putih dan uji penghambat biofilm

Staphylococcus aureus dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya Malang dari bulan Januari 2018 sampai

dengan April 2018. Bawang putih didapatkan dari Materia Medica Batu dan

dilakukan ekstraksi etanol di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya Malang.

4.4 Variabel Penelitian


33

4.4.1 Variabel Bebas

Variabel bebas penelitian adalah konsentrasi ekstrak etanol bawang

putih. Dalam penelitian ini digunakan konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25%

berdasarkan uji eksplorasi yang dilakukan sebelum penelitian.

4.4.2 Variabel Tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah pembentukan biofilm dari

Staphylococcus aureus yang dapat dihitung dengan menggunakan

spektrofotometer.

4.5 Definisi Operasional

1. Staphylococcus aureus tergolong dalam bakteri gram positif yang

berbentuk kokus, bergerombol seperti buah anggur, bersifat anaerob

fakultatif, hasil tes menunjukkan katalase positif dan koagulase positif,

membentuk koloni berwarna kuning emas pada Nutrient Agar Plate.

Staphylococcus aureus yang dipakai di penelitian ini adalah

Staphylococcus aureus galur pembentuk biofilm yang diidentifikasi

dengan menggunakan metode tube test dan diambil dari isolat swab

tenggorok stok kultur Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya.

2. Bakteri pembentuk biofilm yaitu bakteri yang mempunyai kemampuan

untuk menghasilkan sebuah multilayer biofilm yang tertanam pada lapisan

glycocalyx yang terutama terdiri dari teichoic acid sehingga bakteri dapat
34

bertahan lebih lama. Biofilm yang terbentuk pada tabung akan terlihat

formasi cincin dan dinding berwarna ungu kebiruan.

3. Biofilm adalah suatu produk dari bakteri yang membentuk lapisan padat

pada permukaan suatu substrat/ media. Pada penelitian ini,

penghambatan pembentukan biofilm akan diuji dengan metode tube test.

4. Ekstrak etanol bawang putih adalah hasil ekstraksi bawang putih dengan

pelarut etanol 96%. Ekstrak etanol bawang putih yang terbentuk pasta,

bening, dan tidak berwarna.

5. Metode tube test atau metode tabung adalah metode uji pembentukan

biofilm bakteri dengan menggunakan media tabung, ditandai dengan

terbentuknya cincin dan lapisan ungu kebiruan pada dinding dasar

tabung.

6. Minimum Biofilm Inhibitory Concentration (MBIC) adalah konsentrasi

ekstrak etanol bawang putih terendah yang mampu menghambat

pembentukan biofilm Staphylococcus aureus yang ditandai dengan tidak

tampaknya bentukan cincin dan lapisan ungu kebiruan pada dinding

dasar tabung.

7. Mean Gray Value adalah skala intensitas warna pada program Adobe

Photoshop Creative Suite 3. Skala berkisar antara 0-255. Angka

mendekati 0 menunjukkan kepekatan warna yang tinggi. Sebaliknya,

angka mendekati 255 menunjukkan kepekatan warna yang rendah.

4.6 Instrumen Penelitian (Bahan dan Alat)


35

4.6.1 Alat dan Bahan Pembuatan Ekstrak Etanol Bawang Putih (Allium

sativum)

1. Bawang Putih

2. Pelarut Etanol 96%

3. Vacuum oven atau drying oven

4. Blender/penumbuk

5. Rotatory evaporator

6. Kertas saring

7. Tabung pendingin

8. Pemanas aquades

9. Labu penampung (collection flask) berukuran 250 mL

10. Evaporator dengan vakum

11. Cawan penguap

4.6.2 Alat dan Bahan Identifikasi Bakteri

1. Isolat Staphylococcus aureus

2. Natrium Agar Plate (NAP)

3. Bahan Tes Katalase : H2O2 3%

4. Bahan Tes Koagulase : plasma darah dengan EDTA

5. Bahan pengecatan Gram : kristal violet, lugol, alkohol 96%, dan safranin
36

6. Minyak imersi, ose, dan mikroskop

7. Lampu spiritus

8. Tabung reaksi

4.6.3 Alat dan Bahan Identifikasi Biofilm

1. Tryticase Soy Broth (TSB) dengan 1% glukosa (TSBglu)

2. Biakan Staphylococcus aureus pembentuk biofilm

3. Tabung reaksi

4. Phosphate Buffer Saline (PBS) PH 7,3

5. Kristal violet

6. Deionized water

7. Ose

8. Pipet

9. Beaker glass

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Persiapan Bawang Putih (Allium sativum)

4.7.1.1 Ekstraksi dan Evaporasi


37

- Simplisia bawang putih didapatkan dari Materia Medica Batu, lalu

dilakukan metode ekstraksi etanol 96% untuk memperoleh zat aktif dari

bawang putih. Proses ekstraksi dilakukan oleh laboran di Laboratorium

Farmakologi Universitas Brawijaya Malang.

- Bungkus menggunakan kertas saring dan direndam dalam etanol 96%

selama semalam. Etanol 96% yang digunakan untuk merendam diganti

beberapa kali sampai air ekstrak jernih. Kemudian hasil ekstraksi siap

untuk dievaporasi

- Evaporator set dipasang pada tiang permanen agar dapat digantung

dengan kemiringan 30o-40o terhadap meja dengan susunan dari bawah

ke atas alat pemanas air, labu penampung hasil evaporasi, rotatory

evaporator dan tabung pendingin. Kemudian tabung pendingin

dihubungkan dengan pompa sirkulasi air dingin yang terhubung dengan

bak penampung air dingin melalui pipa plastik. Tabung pendingin juga

terhubung dengan pompa vakum dan penampung hasil penguapan.

- Hasil ekstraksi dimasukkan dalam labu penampung sedangkan rotatory

evaporator, alat pompa sirkulasi air dingin, dan alat pompa vakum

dinyalakan. Pemanas aquades juga dinyalakan pada suhu 65oC (titik

didih etanol) sehingga hasil ekstraksi dalam tabung penampung

evaporasi mendidih dan etanol mulai menguap.

- Hasil penguapan etanol dikondensasikan menuju labu penampung etanol

sehingga tidak tercampur hasil evaporasi dan uap lain tersedot pompa

vakum.
38

- Proses evaporasi dilakukan hingga volume hasil ekstraksi berkurang dan

menjadi kental. Setelah kental evaporasi dihentikan dan hasil evaporasi

diambil. Hasil evaporasi ditampung dalam cawan penguap kemudian

dioven selama 2 jam pada suhu 40o-50o C untuk menguapkan pelarut

yang tersisa sehingga didapatkan hasil ekstrak 100%.

4.7.2 Persiapan Bakteri Staphylococcus aureus Pembentuk Biofilm

4.7.2.1 Identifikasi Staphylococcus aureus

A. Pemeriksaan Mikroskopis (Forbes et al, 2007)

1. Pembuatan sediaan slide

Membersihkan gelas objek dengan kapas, kemudian lewatkan di

atas api untuk menghilangkan lemak atau pencemar lain. Biarkan

dingin. Buatlah sediaan sedemikian rupa, sehingga tidak terlalu

tebal dan tidak terlalu tipis dengan cara:

- Teteskan satu ose aquades steril pada gelas objek. Ambil

sedikit biakan kuman menggunakan ose, selanjutnya

suspensikan dengan aquades pada gelas objek dan ratakan.

Untuk sediaan cair tidak perlu disuspensikan dengan aquades.

- Biarkan sediaan kering di udara, kemudian lakukan fiksasi

dengan cara melewatkan sediaan di atas api satu atau dua

kali.

2. Pewarnaan Gram
39

- Tuang sediaan pada gelas objek dengan kristal violet selama

1 menit. Buang sisa kristal violet dan bilas dengan air.

- Tuang sediaan dengan lugol selama 1 menit. Buang sisa lugol

dan bilas dengan air.

- Tuang sediaan dengan alkohol 96% selama 5-10 detik atau

sampai warna cat luntur. Buang sisa alkohol dan bilas dengan

air.

- Tuang sediaan dengan safranin selama ½ menit. Buang sisa

safranin dan bilas dengan air

- Keringkan sediaan dengan kertas penghisap

- Lihat di bawah mikroskop dengan lensa objektif perbesaran

1000x kemudian akan terlihat bakteri coccus gram positif

berwarna ungu

B. Tes Katalase (Health Protection Agency, 2010)

- Tuangkan 0,2 mL H2O2 3% ke dalam tabung reaksi

- Ambil sedikit biakan bakteri dengan ose

- Usapkan ose pada dinding tabung di atas permukaan cairan

- Tutup tabung reaksi, lalu goyangkan agar cairan H2O2 3%

dapat mengenai usapan biakan bakteri

- Amati pembentukan gelembung dalam waktu 10 detik

Hasil positif bila ada gelembung


40

Hasil negatif bila tidak ada gelembung

Hasil positif menunjukkan Staphylococcus sp.

Hasil negatif menunjukkan Staphylococcus sp.

C. Tes Koagulase/ Slide Test (Forbes et al, 2007)

- Teteskan satu ose plasma darah dengan EDTA pada gelas

objek yang kering & bersih (gelas objek A)

- Teteskan air distilasi / air salin sebagai kontrol pada gelas

objek B

- Ambil sedikit biakan kuman dengan ose. Buat suspensi

dengan masing-masing gelas objek dan diratakan perlahan

selama 5-10 detik

Hasil positif bila terjadi penggumpalan dalam waktu 10

detik atau kurang pada gelas objek A dan tidak ada

penggumpalan pada gelas objek B.

Hasil negatif bila tidak ada penggumpalan pada kedua

gelas objek.

Hasil positif menunjukkan Staphylococcus aureus.

Hasil negatif menunjukkan Staphylococcus koagulase

negatif.

4.7.2.2 Pembentukan Perbenihan Cair Bakteri


41

Staphylococcus aureus yang sudah ditanam dalam medium Nutrient Agar

Plate (NAP) dikultur dalam medium Nutrient Broth (NB) selama 24 jam dalam

inkubator 37oC. Suspensi bakteri Staphylococcus aureus pada medium NB

dilakukan pengukuran spektrofotometri dengan panjang gelombang (λ) 610 nm

sehingga diketahui kepadatan bakterinya (OD = Optical Density) yang setara

dengan kepadatan bakteri 108 bakteri/mL. Kemudian dengan rumus

pengenceran N1 x V1 = N2 x V2, kepadatan bakteri tersebut dicampur dengan

TSBglu. Dasar penghitungannya sebagai berikut:

Apabila diperoleh OD bakteri hasil spektrofotometri = 0,38 (N1)

OD bakteri dengan kepadatan 108 bakteri/mL = 0,1 (N2)

Volume keseluruhan dalam satu tabung = 10 mL (V2)

Rumus : N1 x V1 = N2 x V2

0,38 x V1 = 0,1 x 10

V1 = 1/0,38 = 2,63 mL

Suspensi bakteri sebanyak 2,63 mL diambil dan ditambah dengan 7,37

mL TSBglu menjadi suspensi bakteri dengan kepadatan 108 bakteri/mL.

4.7.2.3 Uji Deteksi Pembentukan Biofilm (Metode Tabung) (Christensen et

al, 2000)

1. Staphylococcus aureus yang sudah teridentifikasi ditanam dalam Nutrient

Broth dan diinkubasi pada suhu 37oC semalam.


42

2. Bakteri yang sudah tumbuh pada Nutrient Broth, ditanam kembali pada

NAP (sebanyak 40 μL) kemudian diinkubasi pada suhu 37oC semalam.

3. Mikroba kultur semalam dimasukkan ke tabung TSBglu (10mL) dan

diinkubasikan 37oC selama 24 jam.

4. Tabung dicuci dengan PBS (pH 7,3) dan dikeringkan airnya.

5. Tabung yang sudah dikeringkan diberi kristal violet (0,1%), lalu kelebihan

warna dibuang dan tabung dicuci dengan deionized water.

6. Tabung dikeringkan dan dilihat formasi biofilmnya.

4.7.3 Uji Hambat Pembentukan Biofilm

1. Menyediakan 7 tabung steril untuk mencampurkan larutan ekstrak TSBglu

sebagai medium serta perbenihan bakteri yang digunakan untuk uji

hambat pembentukan biofilm serta 1 tabung propilen untuk

mencampurkan TSBglu dan perbenihan bakteri

2. Melakukan perhitungan jumlah ekstrak, TSBglu, serta perbenihan bakteri

yang akan digunakan pada setiap tabung dengan konsentrasi berbeda.

Setiap tabung akan berisi 5 mL larutan konsentrasi akhir ekstrak etanol

bawang putih. Perhitungan dengan menggunakan rumus N1 x V1 = N2 x

V2.

3. Menyiapkan perbenihan cair bakteri dengan konsentrasi kuman.

4. Perbenihan cair bakteri dengan konsentrasi kuman 1 x 108 CFU/mL dan

TSBglu sejumlah hasil perhitungan dimasukkan ke dalam tabung propilen


43

dan dihomogenkan sehingga terbentuk perbenihan bakteri dengan

konsentrasi 1 x 107 CFU/mL

5. Perbenihan bakteri konsentrasi 1 x 107 CFU/mL kemudian dimasukkan ke

dalam 6 tabung sesuai dengan hasil perhitungan tiap konsentrasi

6. Mengisi larutan ekstrak ke dalam 6 tabung sebesar hasil perhitungan tiap

konsentrasi dan 1 tabung dengan chlorhexidine gluconate. Rincian 7

tabung sebagai berikut:

Tabung 1 : 5 mL larutan dengan konsentrasi akhir ekstrak etanol

bawang putih sebesar 0% (kontrol negatif)

Tabung 2 : 5 mL larutan dengan konsentrasi akhir ekstrak etanol

bawang putih sebesar 3,125%

Tabung 3 : 5 mL larutan dengan konsentrasi akhir ekstrak etanol

bawang putih sebesar 6,25%

Tabung 4 : 5 mL larutan dengan konsentrasi akhir ekstrak etanol

bawang putih sebesar 12,5%

Tabung 5 : 5 mL larutan dengan konsentrasi akhir ekstrak etanol

bawang putih sebesar 25%

Tabung 6 : 5 mL larutan dengan konsentrasi akhir ekstrak etanol

bawang putih sebesar 50%

Tabung 7 : 5 mL larutan dengan chlorhexidine gluconate (kontrol

positif)

7. Seluruh tabung diinkubasikan selama 24 jam dengan suhu 37oC


44

8. Setelah 24 jam, tabung dikeluarkan dari inkubator dan dicuci dengan PBS

(pH 7,3) dan dikeringkan airnya.

9. Tabung yang sudah dikeringkan diberi kristal violet (0,1%) 0,5 mL lalu

kelebihan warna dibuang dan tabung dicuci dengan deionized water.

10. Tabung dikeringkan. Formasi biofilm yang terbentuk dianalisis

menggunakan Mean Gray Value.

4.7.4 Pengukuran Mean Gray Value

Hasil pembentukan biofilm pada tabung difoto dengan menggunakan

kamera digital spesifikasi bebas, dengan syarat brightness setiap tabung harus

sama. Untuk mengetahui intensitas warna pada area cincin dan dinding tabung

masing-masing kelompok digunakan program aplikasi Adobe Photoshop CS3.

Langkah-langkahnya adalah dengan membuka Adobe Photoshop CS3, pilih File

dan masukkan hasil fotonya. Selanjutnya pilih tab Window dan pilih

Measurement Log, blok area yang akan dilihat intensitas warnanya dengan

menggunakan Rectangular Marquee Tool, lalu klik Record Measurements maka

akan didapatkan nilai Mean Gray Value yang merupakan rerata dari intensitas

warna pengecatan tabung.

4.8 Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah Uji One Way ANOVA dan Uji

Korelasi Spearman. Uji One Way ANOVA dengan derajat kepercayaan 95%

(α=0,05) digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan pengaruh antara

berbagai konsentrasi ekstrak etanol bawang putih terhadap intensitas warnya


45

yang ditimbulkan oleh biofilm pada tabung (Mean Gray Value). Bila data tidak

berdistribusi normal, maka digunakan Uji Kruskal Wallis. Sedangkan Uji Korelasi

Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara masing-masing

konsentrasi ekstrak etanol bawang putih terhadap intensitas warna biofilm pada

tabung (Mean Gray Value). Kemudian analisis data dilanjutkan dengan Post-hoc

analysis. Analisis data menggunakan Statistical Product of Service Solution

(SPSS) versi 13.0.


46

4.9 Rancangan Operasional Penelitian

Uji Hambat Pembentukan Biofilm

Perhitungan jumlah ekstrak, TSBglu, serta perbenihan bakteri pada 6 tabung


dengan konsentrasi berbeda untuk mendapatkan larutan konsentrasi akhir ekstrak
etanol bawang putih sebanyak 5 mL.

Perbenihan cair bakteri dengan konsentrasi kuman 1 x 108 CFU/mL dicampur


TSBglu sehingga terbentuk perbenihan bakteri dengan konsentrasi 1 x 107 CFU/mL

Mengisi larutan ekstrak ke 6 tabung sebesar hasil perhitungan tiap konsentrasi


sehingga terbentuk konsentrasi akhir 0%, 3,125%, 6,25%, 12,5%, 25%, dan 50%

Inkubasi selama 24 jam dalam suhu 37oC

Cuci dengan PBS (pH 7,3) lalu tiriskan

Cat dengan Kristal Violet (0,1%) 5 mL

Diamkan selama 20 menit

Buang sisa Kristal Violet dan cuci dengan Deionized water, lalu tiriskan

Amati formasi cincin dan dinding ungu kebiruan

Ukur Mean Gray Value menggunakan Adobe Photoshop CS3

Analisis Data
47

DAFTAR PUSTAKA

Adityansah, I. 2010. Efek Ekstrak Daun Kayu Putih sebagai Penghambat

Pembentukan Biofilm. Disertasi, Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya, Malang.

Ahmed, M. O., Elramalli, A. K., Amri, S. G., Abuzweda, A. R., & Abouzeed, Y. M.

2012. Isolation and screening of methicillin-resistant Staphylococcus

aureus from health care workers in Libyan hospitals. Eastern

Mediterranean Health Journal, 18(1), 37.

Anon. 2017. [online] Available at:

https://ews.kemendag.go.id/bawangmerah/ProduksiBawangMerah.aspx/

[diakses 28 Nov. 2017].

Archer, N. K., Mazaitis, M. J., Costerton, J. W., Leid, J. G., Powers, M. E., &

Shirtliff, M. E. 2011. Staphylococcus aureus biofilms: properties, regulation,

and roles in human disease. Virulence, 2(5), 445-459.

Banerjee, S. K., & Maulik, S. K. 2002. Effect of garlic on cardiovascular disorders:

a review. Nutrition journal, 1(1), 4.

Bhattacharya, M., Wozniak, D. J., Stoodley, P., & Hall-Stoodley, L. 2015.

Prevention and treatment of Staphylococcus aureus biofilms. Expert review

of anti-infective therapy, 13(12), 1499-1516.

Biantoro, I. K. 2008. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus

(MRSA). Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.


48

Boles, B. R., & Horswill, A. R. 2008. Agr-mediated dispersal of Staphylococcus

aureus biofilms. PLoS pathogens, 4(4), e1000052.

Brooks, G. 2012. Jawetz Melnick & Adelbergs Medical Microbioogy 26. McGraw-

Hill Medical.

Carroll, K. 2016. Jawetz, Melnick & Adelberg's medical microbiology. New York:

McGraw-Hill Education.

Cdc.gov. 2017. Staphylococcus aureus in Healthcare Settings | HAI | CDC.

[online] Available at: https://www.cdc.gov/hai/organisms/staph.html [diakses

28 Nov. 2017].

Christensen, Gordon D., Simpson W., Anglen, Jeffrey O, Barry. 2000. Handbook

of Bacterial Adhesion. Humana Press Inc, New Jersey.

Donlan, R. M., & Costerton, J. W. 2002. Biofilms: survival mechanisms of

clinically relevant microorganisms. Clinical microbiology reviews, 15(2),

167-193.

Gladwin, M., & Trattler, B. 2011. Clinical Microbiology: Made Ridiculously Simple

Edition 5. International journal of infectious diseases : IJID : official

publication of the International Society for Infectious Diseases.

Gunardi, W. D. 2014. Peranan Biofilm dalam Kaitannya dengan Penyakit

Infeksi. Jurnal Kedokteran Meditek, 15(39A).

Healthsciences.ku.dk. 2017. Garlic Can Fight Chronic Infections – University of

Copenhagen. [online] Available at:

http://healthsciences.ku.dk/news/2017/11/garlic/ [Accessed 28 Nov. 2017].


49

Jakobsen, T. H., van Gennip, M., Phipps, R. K., Shanmugham, M. S.,

Christensen, L. D., Alhede, M., et al. 2012. Ajoene, a sulfur-rich molecule

from garlic, inhibits genes controlled by quorum sensing. Antimicrobial

agents and chemotherapy, 56(5), 2314-2325.

Jawetz, M. 2007. Adelberg’s Medical microbiology. Antibacterial and Antifungal

chemotherapy (Prentice-Hall International Inc).

Josling, P. 2008. Allicin. Chicago, Ill.: Allimax Nutraceuticals US.

Kamath, M. P., Shenoy, V., Mittal, N., & Sharma, N. 2013. Microbiological

analysis of paranasal sinuses in chronic sinusitis–A south Indian coastal

study. Egyptian Journal of Ear, Nose, Throat and Allied Sciences, 14(3),

185-189.

Lee, D. Y., Li, H., Lim, H. J., Lee, H. J., Jeon, R., & Ryu, J. H. 2012. Anti-

inflammatory activity of sulfur-containing compounds from garlic. Journal of

medicinal food, 15(11), 992-999.

Lewis, K. 2013. Platforms for antibiotic discovery. Nature reviews Drug

discovery, 12(5), 371-387.

Lister, J. L., & Horswill, A. R. 2014. Staphylococcus aureus biofilms: recent

developments in biofilm dispersal. Frontiers in cellular and infection

microbiology. 4.

Londhe, V. P. 2014. Role of garlic (Allium sativum) in various diseases-an

overview. Journal of pharmaceutical research & opinion, 1(4).

Miller, M. B., & Bassler, B. L. 2001. Quorum sensing in bacteria. Annual Reviews

in Microbiology, 55(1), 165-199.


50

Moghadam, S. O., Pourmand, M. R., & Aminharati, F. 2014. Biofilm formation

and antimicrobial resistance in Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus

isolated from burn patients, Iran. The Journal of Infection in Developing

Countries, 8(12), 1511-1517.

Mohsenipour, Z., & Hassanshahian, M. 2015. The Effects of Allium sativum

Extracts on Biofilm Formation and Activities of Six Pathogenic

Bacteria. Jundishapur journal of microbiology, 8(8).

Moore, G. E. 2009. Biofilm Production by Streptococcus uberis Associated with

Intramammary Infections.

Nuryastuti, T., van der Mei, H. C., Busscher, H. J., Iravati, S., Aman, A. T., &

Krom, B. P. 2009. Effect of cinnamon oil on icaA expression and biofilm

formation by Staphylococcus epidermidis. Applied and environmental

microbiology, 75(21), 6850-6855.

Ratthawongjirakul, P., & Thongkerd, V. 2016. Fresh garlic extract inhibits

Staphylococcus aureus biofilm formation under chemopreventive and

chemotherapeutic conditions. Songklanakarin Journal of Science &

Technology, 38(4).

Santoso, H. B. 2008. Ragam & Khasiat Tanaman Obat. AgroMedia.

Silver, L. L. 2008. Are natural products still the best source for antibacterial

discovery? The bacterial entry factor. Expert opinion on drug

discovery, 3(5), 487-500.

Syamsiah, I. S., & Tajudin, S. 2005. Khasiat dan Manfaat Bawang Putih Raja

Antibiotik Alami. Cetakan lV. Agromedia Pustaka, Jakarta.


51

Vasudevan, R. 2014. Biofilms: Microbial Cities of Scientific Significance. J

Microbiol Exp 1(3): 00014. DOI: 10.15406/jmen.2014.01.00014.

Waters, C. M., & Bassler, B. L. 2005. Quorum sensing: cell-to-cell communication

in bacteria. Annu. Rev. Cell Dev. Biol., 21, 319-346.

Wu, X., Santos, R. R., & Fink‐Gremmels, J. 2015. Analyzing the antibacterial

effects of food ingredients: model experiments with allicin and garlic

extracts on biofilm formation and viability of Staphylococcus

epidermidis. Food science & nutrition, 3(2), 158-168.

Yuwono, B. 2011. Pandemi Resistensi Antimikroba: Belajar dari MRSA.

Universitas Sriwijaya. (1):2837-2850.

Anda mungkin juga menyukai