Anda di halaman 1dari 10

Nama : Elya Santika

Nim : 1606010183

Kelas : 4D Manajemen Pagi

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA

A.    Jenis Krisis Ekonomi dan Jalur Transmisi Dampaknya

Suatu perubahan ekonomi dapat menjelma menjadi suatu krisis ekonomi. Dilihat dari proses
terjadinya, krisis ekonomi mempunyai dua sifat yang berbeda. Pertama, krisisi ekonomi yang
terjadi secara mendadak atau muncul tanpa tanda – tanda sebelumnya, yang umum disebut
goncangan ekonomi yang tak terduga. Misalnya harga kenaikan  minyak mentah yang sangat
besar dipasar internasional pada tahun 1974, yang dilakukan oleh OPEC. Sedangkan krisis
ekonomi yang sifatnya tidak mendadak, melainkan melewati suatu proses akumulasi yang
cukup panjang, adalah seperti krisis ekonomi global yang terjadi pada periode 2008 – 2009.
Krisis ini diawali dengan suatu krisis keuangan yang paling serius yang pernah terjadi di
Amerika Serikat setelah depresi pada decade 30 – an yang akhirnya merembet ke Negara –
Negara maju lainnya seperti jepang dan Eropa lewat keterkaitan – keterkaitan keuangan
global.

Krisis ekonomi juga dapat dibedakan menurut jenis atau sumbernya. Berikut ini akan dibahas
sejumlah tipe krisis ekonomi yang mana dunia atau banyak Negara pernah mengalaminya
dalam 50 tahun belakangan ini, dan kemungkinan besar akan terjadi lagi di masa mendatang.

1.      Krisis Produksi

Krisis produksi adalah krisis ekonomi yang bersumber dari dalam negeri. Krisis tersebut bisa
dalam bentuk penurunan produksi domestic secara mendadak dari sebuah komoditi pertanian,
misalnya padi/beras. Penurunan produksi tersebut berakibat langsung pada penurunan tingkat
pendapatan riil dari para petani dan buruh tani padi. Jika pemerintah disebuah provinsi yang
mengalami penurunan produksi padi tidak melakukan impor padi untuk mengkompensasi
kekurangan beras di pasar local akibat penurunan produksi tersebut, maka akan terjadi
kelebihan permintaan terhadap padi diprovinsi tersebut, dan sesuai dengan mekanisme pasar,
harga beras diprovinsi tersebut akan melonjak tinggi yang berakhir inflasi yang tinggi.

Dalam tipe ini krisis ini, jalur – jalur transmisi dampaknya terhadap kemiskinan adalah
perubahan – perubahan dalam harga (inflasi), jumlah kesempatan kerja dan tingkat
pendapatan. Kelompok – kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap krisis ini adalah
petani dan keluarga, buruh tani dan peringkat berikutnya adalah para pekerja dan pemilik –
pemilik usaha serta keluarga – keluarga disektor lainya.

2.      Krisis Perbankan
Krisis perbankan adalah kesempatan kerja dan pendapatan yang menurun disubsektor
keuangan tersebut. Pada fase kedua, krisis perbankan merembet ke prusahaan – perusahaan
sangat tergantung pada sektor perbankan dalam pembiayaan kegiatan – kegiatan
produksi/bisnis mereka. Perusahan – perusahaan tersebut tidak bisa lagi mendapatkan
pinjaman dari perbankan karena subsector keuangan tersebut sedang mengalami kekurangan
dana atau bangkrut, atau perusahaan masih bisa mendapatkan kredit tetapi dengan tingkat
suku bunga pinjaman (R) yang jauh lebih tinggi dibandingkan pada saat perbankan dalam
keadaan normal. Kenaikan suku bungan itu disebabkan terutama oleh  permintaan kredit dari
dunia usaha yang besar, disatu sisi, dan sisi lain dana yang terkumpul dari pihak ketiga atau
masyarakat untuk disalurkan sebagai kredit usaha terbatas. Misalnya krisis keuangan Asia
tahun 1997 – 1998. Yang mengakibatkan perusahaan melakukan pemberhentian pekerja
(PHK). Sehingga berdamapk ke rumah tangga . ada dua macam damapak terhadap rumah
tangga :

1.      Kelompok rumah tangga yang kaya , tabungan mereka hilang karena bank – bank yang
menyimpan uang mereka bangkrut. Di banyak Negara termasuk Indonesia pemerintah
memberikan jaminan keamanan bagi pemilik – pemilik rekening tabungan perbankan, tetapi
hanya pada batas tertentu saja.

2.      Kelompok rumah tangga non – kaya, pengeluaran – pengeluaran mereka terutama untuk
barang – barang bukan kebutuhan pokok (seperti rumah, mobil, naik haji) menurun karena
mereka tidak bisa lagi meminjam dari bank, karena tingkat bunga (R)  yang sangat tinggi
yang membuat biaya pinjaman menjadi terlalu mahal.

Dalam tipe krisis ini, jalur – jalur tranmisisi berdampak pada tingkat kemiskinan yakni
perubahan dalam arus kredit dari perbankan ke dunia usaha atau tingkat suku bunga
pinjaman, volume produksi (output) jumlah kesempatan kerja, dan tingkat pendapatan
masyarakat. Kelompok – kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap krisis ini dalah
bukan masyarakat miskin melainkan masyarakat kelas menengah dan atas seperti pegawai
dan pemilik bank.

3.      Krisis Nilai Tukar

Suatu perubahan kurs dari sebuah mata uang, misalnya rupiah terhadap dolar AS dianggap
krisis apabila kurs dari mata uang tersebut mengalami penurunan atau depresiasi yang sangat
besar yang prosesnya mendadak atau berlangsung terus – menerus yang membentuk tren
yang meningkat ( rupiah per satu dollar). Dari sisi impor, akibat mata uang nominal melemah
misalnya rupiah persatu dollar menjadi Rp.10.000 persatu dollar AS, maka harga – harga
dalam rupiah dipasar dalam negeri dari produk – produk impor akan naik, yang bahkan bisa
mengakibatkan meningkatnya laju inflasi di Indonesia.

Depresiasi nilai tukar dari suatu mata uang pada dasarnya berdampak positif terhadap
ekonomi, dari Negara yang mata uangnya mengalami pelemahan lewat sisi ekspor dan
berdampak negative lewat sisi impor. Oleh karena itu, efek netto dari krisis nilai tukar
terhadap kemiskinan bisa negative, positif atau nol, tergantung pada selisih anatara kedua
efek tersebut. Efek netonya positif apabila efek ekspornya lebih besar dari pada efek
impornya. Sebaliknya, efek netonya negative apabila efek ekspor lebih kecil dari efek
impornya.

Dalam tipe ini, jalur- jalur transmisi adalah perubahan – perubahan dalam volume ekspor dan
impor (jika volume ompor tidak berubah, maka nilainya yang lebih berubah). Sedangkan
jalur skundernya adalah perubahan – perubahan dalam volume produksi, jumlah kesempatan
kerja, tingkat pendapatan dan laju inflasi. Kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap
krisis nilai tukar adalah mereka yang bejerja diperusahaan yang berurusan langsung maupun
tidak langsung dengan impor. Selain itu pengurangan volume produksi dan terhadap tenaga
kerja seperti pemberhentian, pengurangan jam kerja, pengahapusan bonus, dan pemotongan
gaji.

4.      Krisis Perdagangan  

Dalam hal krisis ekonomi yang berasal dari sumber perdagangan ada dua jalur utama yaitu
perdagangan dan investasi/arus modal. Dalam jalur perdangan sendiri ada dua sub jalur yaitu,
ekspor dan impor (barang dan jasa). Dalam jalur ekpor misalnya ekspor barang, suatu krisis
bagi Negara eksportif bisa terjadi baik karena harga dipasar internasional dari komoditas
yang diekspor turun secara drastic atau permintaan dunia terhadap komoditi tersebut menurun
secara signifikan.

Dalam  kasus ini, jalur – jalur transmisi paling penting adalah perubahan – perubahan dalam
ekspor, output, pendapatan dan kesempatan kerja. Kelompok – kelompok masyarakat paling
rentan adalah petani, buruh tani, dan perusahaan eksportir, termasuk pekerja dan keluarga
mereka. Dalam ekspor jasa, suatu krisis bisa terjadi jika jumlah wisatawan asing yang
berkunjung ke dalam negeri menurun secara drastic atau sejumlah pengiriman uang ke
Indonesia dari tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja diluar negeri mengalami
pengurangan secara signifikan. Dalam hal impor, suatu kenaikan harga dunia yang signifikan
atau suatu penurunan secara tiba – tiba dan dalam jumlah yang besar dari persediaan dunia
untuk suatu kmoditas yang diperdagangkan dipasar global dapat menjadi suatu krisis
ekonomi yang serius bagi Negara – Negara importer jika komoditas itu sangat kursial.

5.      Krisis Modal

Suatu pengangguran modal didalam negeri dalam jumlah besar atau penghentian bantuan
serta pinjaman luar negeri akan menjadi sebuah krisis ekonomi bagi banyak Negara miskin
didunia seperti di Afrika dan Asia Tengah yang ekonomi mereka selama ini sangat
tergantung pada ULN atau hibah internasional. Dari sisi lain, suatu pelarian modal dalam
jumlah besar akan menyebabkan depresiasi nilai tukar mata uang dari Negara bersangkutan.
Dalam kasus ini tarnsmisi memiliki dampak utama yakni perubahan – perubahan dalam
investasi, khususnya investasi jangka panjang, volume produksi, dan jumlah tenaga kerja
yang bekerja. Masyarakat yang paling rentan terhadap krisis ekonomi yaitu kelompok miskin
dan kelompok non- miskin.
Anailisis Empiris

1.      Krisis Keuangan Asia 1997 – 1998

Krisis keuangan Asia melibatkan empat masalah atau isu dasar: (1) kekurangan valuta asing
yang menyebabkan nilai mata uang ekuitas di Thailand, Indonesia, Korea Selatan, dan
Negara-negara Asia lainnya turun drastis, (2) sektor keuangan yang tidak cukup berkembang
dan mekanisme alokasi modal dalam ekonomi Asia yang bermasalah, (3) efek dari krisis
terhadap AS dan dunia, dan (4) peranan, operasi, dan pengisian dana dari IMF.

Krisis keuangan Asia diawali oleh dua putaran depresiasi mata uang yang berlangsung sejak
musim panas 1997. Putaran pertamanya adalah penurunan terjal nilai baht Thailand, ringgit
Malaysia, peso Filipina, dan rupiah Indonesia. Pada saat mata uang-mata uang ini stabil,
putaran kedua pun bermula dengan adanya tekanan ke bawah yang melanda dolar Taiwan,
won Korea Selatan, dan real Brazilia, dolar Singapura, dan dolar Hong Kong. Pemerintah
telah melawan kelemahan mata uangnya dengan menjual cadangan valuta asingnya dan
menaikkan suku bunga, yang pada gilirannya telah memperlambat pertumbuhan ekonomi dan
membuat keamanan penahan bunga yang lebih menarik ketimbang ekuitas. Krisis-krisis mata
uang juga mengungkapkan adanya masalah yang parah dalam perbankan dan sektor
keuangan dalam ekonomi Asia yang bermasalah. IMF telah menyusun paket bantuan bagi
Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan. Paket ini termasuk infus dana awal dengan syarat-
syarat yang harus dipenuhi untuk pinjaman tambahan yang disediakan.

2.      Krisis Ekonomi Global 2008 – 2009

Krisis ekonomi global 2008 – 2009 di picu oleh suatu krisis keungangan yang besar di AS
pada tahun 2007 dan melalui keterkaitan keuangan global, krisis tersebut menjalar ke
sebagian besar di dunia, terutama Negara – Negara maju seperti Jepang dan UE yang secara
ekonomi dan keuangan sangat terintegrasi dengan AS. Oleh banyak ekonom krisis ini di
sebut sebagai krisis ekonomi paling serius setelah depresi ekonomi besar yang terjadi pada
decade – 30 an. Krisis tersebut  mempengaruhi secara negative kegiatan – kegiatan bisnis
didunia sektor keuangan dan perdagangan yang selanjutnya menurunkan laju pertumbuhan
ekonomi global dan tingkat pendapatan riil perkapita di dunia.

Fenomena krisis yang merembes ke hampir seluruh pelosok dunia inilah yang kemudian kita
kenal dengan istilah krisis global, sebuah masalah krisis yang mengglobal; globalisasi krisis.
Interkoneksi sistem bisnis global yang saling terkait, membuat 'efek domino' krisis yang
berbasis di Amerika Serikat ini, dengan cepat dan mudah menyebar ke berbagai negara di
seluruh penjuru dunia. Tak terkecualikan Indonesia. Krisis keuangan yang berawal dari krisis
subprime mortgage (kredit perumahan) itu merontokkan sejumlah lembaga keuangan AS.
Pemain-pemain utama Wall Street berguguran, termasuk Lehman Brothers dan Washington
Mutual, dua bank terbesar di AS. Para investor mulai kehilangan kepercayaan, sehingga
harga-harga saham di bursa-bursa utama dunia pun rontok. Menurut Direktur Pelaksana IMF
Dominique Strauss-Kahn di Washington, seperti dikutip AFP belum lama ini, resesi sekarang
dipicu pengeringan aliran modal. Ia menaksir akan terdapat kerugian sekitar 1,4 triliun dolar
AS pada sistem perbankan global akibat kredit macet di sektor perumahan AS. "Ini lebih
tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 945 miliar dolar AS,". Hal ini menyebabkan sistem
perbankan dunia saling enggan mengucurkan dana, sehingga aliran dana perbankan, urat nadi
perekonomian global, menjadi macet. Hasil analisis Dana Moneter Internasional (IMF) pekan
lalu mengingatkan, krisis perbankan memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menyebabkan
resesi. Penurunan pertumbuhan setidaknya dua kuartal berturut-turut sudah bisa disebut
sebagai resesi.
Sederet bank di Eropa juga telah menjadi korban, sehingga pemerintah di Eropa harus turun
tangan menolong dan mengatasi masalah perbankan mereka.

KRISIS-KRISIS YANG PERNAH TERJADI DI INDONESIA SEJAK ZAMAN


KEMERDEKAAN SAMPAI SEKARANG

1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950) 

 Orde lama (Demokrasi Terpimpin) 


Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh : 
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan
tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang
pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6
Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu)
mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan
Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang
Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya
jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga. 
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup
pintu perdagangan luar negeri RI. 
c. Kas negara kosong. 
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan. 

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain : 


a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. 
b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke
Singapura dan Malaysia.
c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang
bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-
perkebunan.
d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947 Rekonstruksi
dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang
ke bidang-bidang produktif.
2.  Masa Demokrasi Liberal (1950-1957) 
 Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori
mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi
masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha
Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang
baru merdeka. 
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain : 
a)      Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun. 

b)      Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan
membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir
pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat
berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat
pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-
pribumi. 

c)       Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat
UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. 

d)      Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak


Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha
pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha
pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman,
sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. 

e)      Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya
sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut. 

3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967) 

                Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem
demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-
galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada
kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab
Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini
belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain : 

a)      Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai
berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi
Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan. 
b)      Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi
perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%. 

c)       Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000
menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama,
tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan
pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi. Kegagalan-
kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak
menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar
yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia
dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan
menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke
Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain. 

4.Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila) 


 Awal terjadinya berbagai krisis yang muncul di Indonesia adalah adanya devaluasi
mata uang Baht oleh pemerintah Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya
kegiatan di pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian merambat ke
Filipina, Malaysia dan Indonesia.Pada mulanya kurs dolar Amerika Serikat US$ 1 = Rp
2.400,- menjadi US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada bulan Agustus – November
1997) sampai menunjukan angka US$1 = Rp 12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh
pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat
Bank Indonesia (SBI) sampai 30%, dengan harapan menurunkan inflasi.

Seperti yang dikemukakan berbagai pengamat ekonomi (Lukman Dendawijaya, 2003)


krisis yang melanda 
Indonesia sejak Juli 1997 hingga tahun 2003 adalah sebagai berikut:

1.      Krisis Moneter, Indikatornya :

a.       Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat


b.      Neraca pembayaran (Balance of Payment) yang negative
c.       L/C bank-bank nasional tidak diterima oleh perbankan internasional
d.      Uang beredar terus meningkat.

2.      Krisis Perbankan, Indikatornya :

a.      Likuidasi bank ditutup


b.      Pembentukan BPPN untuk menyehatkan bank-bank
c.     Bank beku operasi dan bank take over
d.      Utang luar negeri yang membengkak
e.     Tingkat suku bunga SBI naik terus, mulai 30%, 40% dan 45% jangka waktu 1
bulan
f.       Tingkat suku bunga deposito bank umum 45%, 55% dan 65% jangka waktu 1
bulan
g.       Utang bank dalam bentuk BLBI melampaui 200%-500%.
3.      Krisis Ekonomi, Indikatornya :

a.     Tingkat suku bunga pinjaman sangat tinggi, hingga mencapai 70%


b.     Stagnasi di sector riil
c.   Tingkat inflasi sangat tinggi (inflasi mencapai 24% dalam 3 bulan pertama tahun
1998)
d.     PHK di berbagai sector riil.

                Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi
yang sangat parah warisan orde lama.Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan
ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan
pendapatan per kapita.Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai
dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63%  dari penerimaan pemerintah tahun 1962
menjadi127% tahun 1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga
disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri,yang kebanyakan
diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi.Disamping itu,pengawasan
devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga
kali lipat.Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri.Hal ini
memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu (Siregar,1987).Krisis kedua adalah laju
inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an.Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang
yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972.Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun
1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978.Bulan
September 1984,Indonesia mengalami krisis perbankan ,yang bermula dari deregulasi
perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka
dan memikul risiko kredit macet,serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga,baik
deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut terus
berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997.

Krisis Ekonomi Masa Pemerintahan Joko Widodo

Demonstrasi dan protes meruak ke arah Jokowi, sebagian besar pendemo malah
mendesaknya pulang ke Solo karena gagal dan memalukan warga Solo.  Indonesia dibayangi
krisis ekonomi warisan  eras SBY ,dan suasananya mirip menjelang krisis moneter 1997,
utang swasta saat ini kebanyakan berjangka pendek dan tanpa lindung-nilai. Banyak pula dari
utang tersebut dipakai membiayai proyek jangka panjang. Para oligarki kelilingi Jokowi.
Sampai menjelang krismon 1997, kinerja lembaga-lembaga keuangan Indonesia sangat
kinclong. Asetnya melejit sangat cepat, demikian pula keuntungannya. Para konglomerat
pemilik bank pun tampak sangat percaya diri dalam melakukan ekspansi bisnis di segala
sektor.

                Ketika itu Indonesia seolah tinggal selangkah menjadi negara makmur. Tapi semua
itu mulai berantakan pada Agustus 1997, ketika rupiah mulai terjun bebas terhadap dollar AS.
Kredit macet dan harga-harga barang langsung melambung. Rakyat pun mengamuk.
Demikian hebatnya amuk rakyat ketika itu, tentara yang biasanya sangat ampuh menghadapi
kerusuhan tak berdaya. Akhirnya, ketika kobaran api dan kematian makin merebak di
berbagai kota, Suharto menyatakan mundur sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998.
Mirip menjelang Krismon 1997, data BI sampai awal 2015 menunjukkan utang luar
negeri swasta lebih besar ketimbang pemerintah, yaitu US$ 192 miliar berbanding US$ 136
miliar. Sama seperti dulu, kebanyakan utang swasta, menurut data BI sekarang, bersifat
jangka pendek dan tanpa lindung-nilai.
Selain kerugian yang dialami Bank terjadi juga penurunan nilai mata uang rupiah,
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat menembus Rp 13.000/US$.
Ini merupakan titik terlemah sejak 17 tahun terakhir, alias sejak era krisis ekonomi 1998
(krisis moneter/krismon).
Mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga sejumlah menteri menyatakan,
pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor eksternal. Terutama karena mulai menguatnya
perekonomian Amerika Serikat (AS), setelah dilanda krisis hebat pada 2008 lalu.Kondisi ini
membuat dolar AS yang menyebar di negara-negara berkembang ‘pulang kampung’.
Sehingga tak hanya rupiah, tapi banyak mata uang di duna yang juga melemah terhadap
dolar.Namun analis asing punya pendapat lain soal pelemahan rupiah yang terjadi. Berikut
rangkumannya seperti dikutip,

1.Akibat Pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI)

Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ mengatakan, pelemahan rupiah tidak lepas
dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo beberapa waktu lalu.
Agus sempat menyebut, bahwa tahun ini sepertinya inflasi Indonesia terkendali. Bahkan
bukan tidak mungkin. inflasi sepanjang 2014 hanya berada di kisaran 4%.Pasar mengartikan
ini sebagai sinyal, bahwa BI akan mulai mengendurkan kebijakan moneter. Salah satunya
adalah peluang penurunan suku bunga acuan atau BI Rate.Ketika suku bunga semakin
rendah, maka investasi di Indonesia sudah kurang menggiurkan. Akibatnya terjadi arus modal
keluar (capital outflow) yang membuat rupiah melemah.“Sepertinya bank sentral
mengizinkan rupiah melemah. Ini memicu lebih banyak arus modal keluar,” tutur Goh seperti
dikutip dari CNBC.Pada 17 Februari 2015, kala BI memangkas BI Rate dari 7,75% menjadi
7,5%, rupiah melemah sampai 0,56%.

2. Pudarnya Jokowi Effect

Ada faktor lain yang menyebabkan rupiah cenderung melemah. Pelaku pasar saat ini
sudah mulai rasional, dan sepertinya euforia terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai
presiden, atau sering disebut Jokowi Effect, sudah memudar. “Euforia atas kemenangan
Presiden Joko Widodo tidak bertahan lama,” ujar Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ.
Pasca pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli 2014, pasar keuangan Indonesia menikmati
‘guyuran’ arus modal masuk (capital inflow). Rupiah pun menguat hingga nyaris 5% selama
periode 25 Juni hingga 23 Juli. Setelah itu, rupiah cenderung melemah karena euforia Jokowi
Effect sudah terkikis. Apalagi fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi,
misalnya defisit transaksi berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto
(PDB). “Jadi arus modal masuk itu tidak berkelanjutan,” kata Goh.

3. Dolar Bisa Menyentuh Rp 13.250

Fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi


berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Jadi arus modal
masuk itu tidak berkelanjutan,” kata Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ. Tidak hanya
dari dalam negeri, rupiah juga tertekan faktor eksternal karena dolar AS begitu ‘perkasa’
terhadap mata uang dunia. Ini ditunjukkan dengan Dollar Index (perbandingan dolar AS
dengan mata uang utama dunia) yang mencapai titik tertinggi dalam 12 tahun terakhir. Oleh
karena itu, Goh memperkirakan rupiah masih bisa melemah lagi. Dia menilai pada akhir
tahun rupiah akan berada di posisi Rp 13.250/US$.
4. Dollar menyentuh Rp  14.300
Pengamat ekonomi Didik J Rachbini menilai melorotnya nilai tukar rupiahhingga di atas
14.000 per dollar AS tak hanya disebabkan faktor eksternal tetapi juga internal. Menurutnya,
faktor internal tersebut yaitu belum dipercayainya tim ekonomi pemerintah oleh pasar.
"Tim ekonomi pemerintahah baru yang tidak bisa meyakinkan publik dan pasar secara
khusus. Dengan tim seperti ini meskipun pemilu berhasil dan ekonom-ekonom
bilang rupiah akan kuat menjadi Rp 10.000 per dollar AS apabila Jokowi terpilih, tetapi
karena tim ekonomi tidak meyakinkan maka rupiah terus merosot," ujar Didik saat dihubungi
Kompas.com, Senin (24/8/2015).
Selain itu, respons pemerintah menjaga stabilitas rupiah dalam satu tahun terakhir ini juga
dinilai tak maksimal. Masalahnya kata dia, lantaran pasar sebenarnya tak memiliki
kepercayaan kepada tim ekonomi pemerintah.
"Dalam waktu kurang setahun rupiah sudah merosot dari Rp 12.000 ke Rp14.000 karena
pemerintah masih belum dipercaya pasar untuk dapat meredam dampak faktor eksternal,"
kata dia.

Anda mungkin juga menyukai