Anda di halaman 1dari 11

TUGAS SEJARAH INDONESIA

KRISIS MONETER 1997


Guru Pembimbing: Asmi Rahayu, S.Pd.

Disususn Oleh:

William Edward Hasiholan Lumbantobing

SMA NEGERI 1 MATAULI PANDAN

Tahun Ajaran 2023/2024


DAFTAR ISI:

1. PENGERTIAN KRISIS MONETER


2. CIRI-CIRI KRISIS MONETER
3. PENYEBAB KRISIS MONETER
4. DAMPAK KRISIS MONETER
5. SEJARAH SINGKAT KRISIS MONETER Di INDONESIA
6. PENUTUP
1. PENGERTIAN KRISIS MONETER
Pengertian krisis moneter adalah kondisi terpuruknya perekonomian
suatu negara yang menyebabkan harga-harga aset mengalami
penurunan tajam. Selain itu, krisis keuangan juga bisa membuat
masyarakat tidak bisa melunasi utang dan industri perbankan
kekurangan likuiditas. Kondisi krisis moneter tentunya akan memicu
kepanikan masyarakat sehingga mereka berlomba-lomba menjual aset
dan menarik dana dari rekening tabungan. Hal tersebut dilakukan untuk
menghindari risiko kerugian karena harga aset yang terus menurun
apabila tetap disimpan. Tindakan tersebut selanjutnya akan berdampak
buruk pada pasar saham, pemerintah, serta menimbulkan krisis mata
uang.

2. CIRI-CIRI KRISIS MONETER


Krisis moneter adalah kondisi yang menyebabkan seluruh masyarakat
mengalami kesulitan, khususnya dalam bidang perekonomian .Adapun
ciri-ciri negara yang sedang mengalami krisis moneter, di antaranya
yaitu:
•Jumlah utang luar negeri lebih besar dibandingkan pendapatan negara
•Negara mengalami inflasi yang tidak bisa dikendalikan, misalnya
seperti harga pokok melonjak naik dan menyebabkan mata uang
kehilangan nilainya
•Kurs pertukaran mata uang tidak seimbang
•Tingginya suku bunga yang melebihi batas wajar

3. PENYEBAB KRISIS MONETER


Adapun beberapa hal yang menjadi penyebab krisis moneter adalah
sebagai berikut.
1. Nilai Mata Uang Merosot
Krisis moneter yang pernah terjadi di Indonesia ditandai dengan
menurunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya
dolar Amerika Serikat.
Salah satu penyebab merosotnya nilai tukar rupiah adalah adanya
permainan spekulan dari dalam dan luar negeri yang tidak hanya
menggunakan dana pribadi, namun juga meminjam dari bank.
Saat itu, mata uang rupiah mengalami penurunan drastis dari Rp2.450
per dolar AS pada Juni 1997 menjadi Rp13.513 per dolar AS pada
Januari 1998.
Hal ini tak dapat diantisipasi, bahkan devisa negara juga tidak mampu
untuk menahan gempuran terhadap kemerosotan tersebut.
2. Utang Negara Meningkat
Suatu negara tentunya membutuhkan dana segar dari luar negeri untuk
memenuhi kebutuhan jangka pendek dan mendesak.
Namun, apabila terlalu bergantung pada utang dari luar negeri, hal ini
bisa berakibat buruk, terutama jika terjadi penurunan mata uang.
Terlebih apabila dana tersebut digunakan untuk melakukan spekulasi
atau mengambil keuntungan jangka pendek dalam jumlah besar.
Hal ini bisa menyebabkan kestabilan ekonomi menjadi menurun drastis
dan memicu terjadinya krisis moneter.
3. Kepanikan Perbankan
Salah satu sebab terjadinya krisis moneter adalah kepanikan yang
dialami perbankan sehingga melakukan pembatasan pinjaman.
Seperti yang diketahui, bank merupakan sumber keuangan eksternal
yang penting bagi seluruh negara.
Jika ada hal yang merugikan bank, misalnya dengan
tingkat default lebih tinggi dari harapan, maka mereka akan
mengurangi pinjamannya untuk menghindari kebangkrutan.
Tindakan tersebut tentunya berdampak negatif pada perekonomian
negara dan memicu terjadinya krisis keuangan.
4. Kenaikan Suku Bunga
Selanjutnya, faktor lain penyebab adanya krisis moneter adalah
kenaikan suku bunga yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Hal ini tentu membuat kegiatan bisnis menjadi kurang menguntungkan
dan menurunkan minat debitur untuk meminjam modal.
Kenaikan suku bunga yang tinggi secara tidak langsung juga akan
menurunkan gairah para pelaku industri untuk menjalankan bisnisnya.
5. Sektor Produksi Tidak Seimbang
Sektor produksi adalah elemen penting yang dibutuhkan untuk
mencukupi kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Maka dari itu, agar sektor produksi bisa berjalan lancar, maka struktur
di dalamnya harus kuat.
Sebab, struktur yang tidak seimbang pada sektor produksi akan
membuat harga barang menjadi meningkat dan masyarakat kesulitan
untuk memenuhi kebutuhannya.
6. Krisis Politik
Penyebab lain dari krisis moneter adalah adanya gejolak politik yang
bisa memberikan dampak buruk pada perekonomian.
Misalnya, konflik antar suku yang ada di Afrika, perebutan kekuasaan
di Afghanistan, serta kudeta di Myanmar.
Hal tersebut akan memicu terjadinya ketidakstabilan kondisi
perekonomian. Di saat yang bersamaan, masyarakat juga akan menjadi
kesulitan untuk bekerja karena kondisi negaranya kurang aman.

4. DAMPAK KRISIS MONETER


lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak
perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang
menganggur.
Adapun beberapa dampak krisis moneter 1998 di Indonesia, di
antaranya:

1. Perusahaan Gulung Tikar


Perusahaan yang tidak mampu membayar utang akhirnya
mengalami gulung tikar. Apalagi mengingat bahwa sebagian besar
bahan baku diperoleh secara impor, tentu mereka membutuhkan
dolar Amerika Serikat untuk membelinya. Penurunan nilai tukar
rupiah yang melonjak membuat perusahaan tidak bisa membeli
bahan baku dan melakukan kegiatan produksi, sehingga terpaksa
harus kehilangan bisnisnya. Situasi ini sangat merugikan karena ada
banyak pekerja yang kehilangan sumber penghasilan sehingga
kemiskinan meningkat tajam.

2. Perbankan Mengalami Kredit Macet


Penyebab krisis moneter 1998 yang mengakibatkan nilai tukar
rupiah menurun akhirnya membuat seluruh bank menghadapi situasi
kredit gagal bayar. Kredit macet ini merugikan bank, sehingga
pemerintah memutuskan untuk menggabungkan beberapa lembaga
keuangan untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia.
3. Hilangnya Kepercayaan Negara Asing
Indonesia saat itu cukup terbuka bagi investor asing yang
menanamkan modal usahanya di perusahaan dalam negeri.
Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mencocokkan nilai tukar
rupiah dengan harga pasar. Namun, bukannya membaik, nilai
tersebut justru mencapai angka yang lebih rendah daripada
sebelumnya. Hal tersebut membuat investor tidak lagi percaya
bahwa uang yang diinvestasikan di Indonesia akan memberikan
hasil yang baik sehingga mereka memilih untuk menarik modalnya.

4. Harga Bahan Pokok Meningkat


Selain menyebabkan kenaikan tingkat pengangguran, nilai tukar
yang terus terdepresiasi akan memengaruhi harga komoditas pokok.
Kenaikan harga barang pokok membuat masyarakat resah karena
kehilangan daya beli dan menimbulkan protes di mana-mana.

5. Kerusuhan Masyarakat
Krisis moneter 1998 juga memicu timbulnya protes besar-
besaran yang terjadi hampir di seluruh Indonesia, termasuk oleh
mahasiswa. Hal tersebut membuat situasi semakin memburuk
karena terjadi bentrokan antara pelaku demo dengan pihak polisi.

5. SEJARAH SINGKAT KRISIS MONETER


Di INDONESIA
Terjadi pada tanggal 2 juli 1997Pada Agustus 1997, mata uang
rupiah mulai bergerak di luar pakem normal. Rupiah tidak saja bergeliat
negatif, tapi lebih dari itu. Rupiah bergerak sempoyongan. Kemudian
September 1997, Bursa Efek Jakarta (saat ini Bursa Efek Indonesia)
bersujud di titik terendahnya. Perusahaan yang meminjam dalam dolar
harus menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk membayar utang.
Padahal beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Juni 1997, nilai tukar
rupiah terhadap dolar masih sangat adem, hanya Rp 2.380 per dolar.
Mendadak pada Januari 1998, dolar menguat menyentuh level Rp
11.000. Kemudian pada Juli 1998, rupiah terus merosot , US$1 setara
dengan Rp 14.150. Pada 31 Desember 1998, rupiah menguat perlahan,
tapi hanya mampu meningkat hingga Rp 8.000 untuk US$1.

Pada Juni 1997, banyak yang berpendapat bahwa Indonesia masih


jauh dari krisis. Karena beberapa pandangan ketika itu menyatakan
bahwa Indonesia berbeda dengan Thailand. Indonesia memiliki inflasi
yang rendah, surplus neraca perdagangan lebih dari US$900 juta,
cadangan devisa cukup besar, lebih dari US$20 miliar, dan sektor
perbankan masih baik-baik saja. Walaupun sebenarnya di tahun-tahun
sebelumnya, cukup banyak perusahaan Indonesia yang meminjam
dalam bentuk dolar. Karena sebelum 1997 memang tercatat bahwa
rupiah menguat atas dolar Amerika. Jadi, pinjaman dalam bentuk dolar
dianggap jauh lebih murah.

Faktor yang mempercepat efek bola salju krisis moneter adalah


rontoknya kepercayaan pasar dan masyarakat, ditambah kondisi
kesehatan Presiden Soeharto saat memasuki tahun 1998 yang kian
memburuk sehingga melahirnya ketidakpastian terkait suksesi
kepemimpinan nasional. Yang tak kalah penting adalah sikap plin-plan
pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Kondisi tersebut
berkelindan dengan besarnya utang luar negeri yang segera jatuh
tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan,
dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam
50 tahun terakhir.

Tercatat, dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai
138 miliar dolar AS, sekitar 72,5 miliar dolar AS adalah utang swasta
yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 miliar dolar AS
akan jatuh tempo pada 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa
tinggal sekitar 14,44 miliar dolar AS. Terpuruknya kepercayaan ke titik
nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dolar AS pada
1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dolar AS pada
22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang
tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.
Risikonya, rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya
permintaan dolar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap
angka-angka RAPBN 1998/1999 yang diumumkan 6 Januari 1998.
RAPBN dinilai tak realistis. Krisis yang menandakan kerapuhan
fundamental ekonomi tersebut dengan cepat merambah ke semua
sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan
pasar modal juga rontok, bank-bank nasional mendadak terlilit
kesulitan besar. Peringkat internasional bank-bank besar tersebut
memburuk, tak terkecuali surat utang pemerintah, peringkatnya ikut
lengser ke level di bawah "junk" atau menjadi sampah.

Tak sampai di situ, kemudian ratusan perusahaan, mulai dari skala


kecil hingga konglomerat bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih
perusahaan yang tercatat di pasar modal mendadak berstatus insolvent
alias bangkrut. Sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan adalah
sektor yang terpukul cukup parah. Sehingga risiko lanjutannya adalah
lahirnya gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir
1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan
kerja.

Akibat PHK dan melesatnya harga-harga barang, jumlah penduduk


di bawah garis kemiskinan juga meningkat. Ketika itu, angkanya
tercatat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Pendapatan per
kapita yang mencapai 1.155 dolar/kapita pada 1996 dan 1.088
dolar/kapita pada 1997 menciut menjadi 610 dollar/kapita pada 1998.
Dua dari tiga penduduk Indonesia, sebagaimana dicatat oleh Organisasi
Buruh Internasional (ILO), berada dalam kondisi yang sangat miskin
pada 1999 jika ekonomi tak segera diperbaiki.

6. PENUTUP
Demikian makalah ini saya susun sebagai tugas dari mata pelajaran
sejarah. Sekian terimakasih

Anda mungkin juga menyukai