Anda di halaman 1dari 24

Ujian Ekonomi Makro Lanjutan

Nama : Silvia Zahara


NPM : 1905102010035
KRISISI EKONOMI

1. Krisisi Ekonomi Pada Tahun 1997-1998


Krisis ekonomi pada tahun 1997, yang juga dikenal sebagai Krisis Keuangan Asia,
terjadi di sebagian besar negara Asia. Krisis Finansial Asia merupakan periode krisis
finansial yang melanda hampir seluruh kawasan Asia Timur pada Juli 1997 yang
menyebabkan kepanikan bahkan runtuhnya ekonomi dunia akibat penularan finansial. Krisis
itu bermula di Thailand (dikenal di Thailand sebagai Krisis Tom Yum Kung; Thai: ประบับตา)
ketika baht jatuh setelah pemerintah Thailand terpaksa mengambangkan baht karena nilai
tukar yang lemah mampu mempertahankan jangkar terhadap dolar AS. Saat itu, Thailand
menanggung beban utang luar negeri yang begitu besar sehingga negara tersebut bisa
dinyatakan bangkrut sebelum mata uangnya terapresiasi. Saat krisis menyebar, mata uang di
sebagian besar Asia Tenggara dan Jepang terdepresiasi, pasar saham dan aset lainnya
ambruk, dan utang swasta meningkat tajam.
Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak
krisis terparah. Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Filipina juga terdampak oleh turunnya nilai
mata uang. Brunei, RRT, Singapura, Taiwan, dan Vietnam tidak kentara dampaknya, tetapi
sama-sama merasakan turunnya permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia.
Penyebab terjadinya krisis ekonomi Asia:
a. Gelembung Kredit
Salah satu faktor penyebab krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997 adalah adanya
gelembung kredit dan sistem nilai tukar tetap yang tidak realistis.
Di banyak negara Asia, termasuk Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan, bank-bank
memberikan kredit yang besar dan mudah untuk sektor korporat dan properti, sehingga
memicu pertumbuhan ekonomi yang cepat. Namun, gelembung kredit ini pada akhirnya
terbukti tidak berkelanjutan, karena sebagian besar kredit tersebut tidak didukung oleh aset
yang sepadan.
Pada pertengahan 1990-an, Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan memiliki defisit
transaksi berjalan sektor swasta yang besar. Penerapan nilai tukar tetap meningkatkan
pinjaman luar negeri dan memperbesar keterpaparan risiko valuta asing di sektor keuangan
dan perusahaan.
Di sisi lain, banyak negara Asia menerapkan sistem nilai tukar tetap, di mana nilai mata
uang lokal terhadap dolar AS ditetapkan pada tingkat tertentu. Hal ini menyebabkan masalah
ketika nilai tukar yang ditetapkan tidak mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya di
negara tersebut. Misalnya, pada awal 1990-an, banyak negara Asia mengalami pertumbuhan
ekonomi yang pesat, sehingga nilai mata uang lokal semakin kuat terhadap dolar AS. Namun,
ketika perekonomian Asia mulai melambat pada pertengahan 1990-an, nilai tukar yang
ditetapkan tetap sama, sehingga membuat produk ekspor dari negara-negara tersebut menjadi
lebih mahal dan kurang bersaing di pasar global.
Akibatnya, ketidakseimbangan ekonomi semakin meningkat, terutama karena defisit
neraca perdagangan yang semakin besar dan beban hutang yang meningkat. Investor asing
mulai menarik modal mereka dari negara-negara Asia yang rentan, sehingga memicu
runtuhnya nilai mata uang lokal dan krisis moneter yang melanda negara-negara Asia.
b. Kelebihan kapasitas produksi
Pada pertengahan 1990-an, banyak perusahaan di Asia Tenggara, terutama di sektor
manufaktur, melakukan investasi besar-besaran untuk memperluas kapasitas produksi
mereka. Hal ini menyebabkan persaingan yang ketat dan memicu penurunan harga, sehingga
mengurangi keuntungan perusahaan.
c. Ketidakseimbangan makroekonomi
Banyak negara Asia mengalami defisit neraca perdagangan dan anggaran yang tinggi,
yang menyebabkan defisit akun berjalan yang semakin besar. Ketidakseimbangan ini
membuat negara-negara Asia lebih rentan terhadap tekanan keuangan dari luar.
d. Spekulasi
Sejumlah investor internasional terlibat dalam spekulasi mata uang di negara-negara
Asia, yang menyebabkan nilai mata uang lokal menjadi tidak stabil. Ketika nilai tukar mata
uang melemah, ini mengakibatkan meningkatnya beban hutang negara-negara Asia, dan
semakin memperburuk krisis keuangan.
e. Kebijakan moneter yang salah
Beberapa negara Asia menerapkan kebijakan moneter yang salah, seperti suku bunga
yang terlalu rendah dan nilai tukar tetap yang tidak realistis. Ini menyebabkan banyak uang
asing mengalir ke negara-negara Asia, menciptakan gelembung aset dan hutang yang tidak
berkelanjutan.
Rendahnya suku bunga dikarenakan untuk mencegah jatuhnya nilai mata uang,
negara-negara yang mengalami krisis menaikkan suku bunga dalam negeri sampai puncaknya
(mengurangi pelarian modal dengan membuat pemberian pinjaman lebih menarik bagi
investor) dan turun tangan mencampuri pasar valas, membeli mata uang domestik berlebih
apapun dalam nilai tukar tetap dengan cadangan valuta asing. Tak satu pun kebijakan yang
dampaknya bertahan lama.
Suku bunga terlampau tinggi juga mampu mengacaukan ekonomi negara rapuh. Di
sisi lain, bank sentral semakin kehabisan cadangan mata uang asing yang jumlahnya terbatas.
Ketika semakin jelas bahwa arus keluarnya modal dari negara-negara tersebut tidak dapat
dihentikan, pemerintah menghentikan penerapan nilai tukar tetap dan mengizinkan mata
uangnya mengambang. Nilai mata uang yang terdepresiasi berarti bahwa utang bermata uang
asing terus bertambah dalam nilai mata uang nasional. Hal ini memicu kebangkrutan dan
memperparah krisis.
f. Korupsi dan kelemahan struktural
Beberapa negara Asia memiliki kelemahan struktural dalam sistem ekonomi dan
keuangan mereka, termasuk korupsi yang meluas dan sistem perbankan yang buruk.
Ketidakseimbangan makroekonomi dan spekulasi mata uang semakin memperburuk situasi
tersebut.
Kombinasi dari faktor-faktor ini menyebabkan krisis keuangan di negara-negara Asia
pada akhir 1990-an, dengan Thailand menjadi negara pertama yang terkena dampak. Krisis
ini kemudian menyebar ke negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia, Malaysia,
Filipina, dan Korea Selatan, dan mempengaruhi perekonomian global secara keseluruhan.

Peran International Monetary Fund IMF dalam Mengatasi Krisis Asia


IMF memainkan peran penting dalam mengatasi krisis ekonomi tersebut. Berikut adalah
beberapa peran IMF dalam mengatasi krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997:

 Memberikan pinjaman: IMF memberikan pinjaman keuangan yang signifikan kepada


negara-negara yang terkena dampak krisis ekonomi tersebut. IMF memberikan
bantuan keuangan kepada Thailand sebesar US$ 17,2 miliar, Indonesia sebesar US$
23 miliar, dan Korea Selatan sebesar US$ 58,4 miliar.
 Memberikan kondisi pinjaman: IMF memberikan pinjaman dengan sejumlah kondisi
yang harus dipenuhi oleh negara peminjam. Kondisi tersebut berfokus pada reformasi
kebijakan ekonomi dan keuangan untuk memperbaiki sektor keuangan, menstabilkan
nilai tukar, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
 Mendorong reformasi kebijakan ekonomi: IMF mendorong negara-negara yang
terkena dampak krisis ekonomi untuk melakukan reformasi kebijakan ekonomi.
Reformasi tersebut meliputi pengurangan defisit anggaran, pemotongan subsidi, dan
perbaikan sektor keuangan dan moneter.
 Meningkatkan keterbukaan ekonomi: IMF mendorong negara-negara terkena dampak
krisis ekonomi untuk meningkatkan keterbukaan ekonomi dengan mengurangi
hambatan perdagangan, membuka pasar untuk investasi asing, dan mendorong
privatisasi sektor publik.
 Memberikan dukungan teknis: IMF memberikan dukungan teknis pada negara-negara
peminjam dalam berbagai bidang, termasuk pengelolaan keuangan, kebijakan fiskal,
kebijakan moneter, dan sektor keuangan.
Dalam waktu beberapa tahun, negara-negara yang terkena dampak krisis ekonomi pada
tahun 1997 berhasil pulih dan tumbuh dengan stabil. Meskipun demikian, beberapa kritik
terhadap IMF muncul, termasuk kritik terhadap kondisi pinjaman yang dianggap terlalu berat
dan peran IMF dalam mengubah kebijakan ekonomi negara peminjam.
Krisis di Indonesia
Di Indonesia, krisis ekonomi pada tahun 1997 disebabkan oleh beberapa faktor, di
antaranya:
1. Ketergantungan pada sektor ekspor: Indonesia terlalu bergantung pada ekspor
komoditas seperti minyak sawit, batubara, dan gas alam. Ketika harga komoditas tersebut
turun, Indonesia mengalami penurunan pendapatan ekspor. Terlalu bergantung pada
sektor ekspor juga membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas di
pasar global.
2. Ketergantungan pada utang luas negeri
Salah satu faktor utama penyebab terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 adalah
ketergantungan pada utang luar negeri. Indonesia mengambil banyak pinjaman dari
bank-bank asing untuk membiayai proyek-proyek pembangunan infrastruktur dan
industri. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki hutang luar negeri yang besar. Ketika
terjadi krisis keuangan global, investor asing mulai menarik dana mereka dari pasar
keuangan Indonesia, dan hal ini menyebabkan nilai tukar rupiah anjlok. Akibatnya,
hutang yang harus dibayar oleh Indonesia menjadi semakin besar, dan ini memperburuk
situasi keuangan negara.
3. Penurunan nilai tukar rupiah: Bank Indonesia menaikkan suku bunga untuk menahan
inflasi, tetapi hal ini menyebabkan investor asing menarik dana dari Indonesia, sehingga
nilai tukar rupiah anjlok. Akibatnya, harga barang-barang impor naik, dan hal ini
mempengaruhi daya beli masyarakat.
4. Kebijakan pemerintah yang buruk: Pemerintah Indonesia melakukan kebijakan yang
buruk dalam pengelolaan ekonomi, seperti memberikan subsidi yang berlebihan pada
sektor tertentu dan membiarkan korupsi merajalela. Hal ini menyebabkan defisit
anggaran yang semakin besar dan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan dalam
perekonomian.
Krisis ekonomi pada tahun 1997 di Indonesia memiliki dampak yang sangat besar dan
merusak bagi perekonomian, sosial, dan politik Indonesia. Berikut adalah beberapa dampak
dari krisis ekonomi tahun 1997 di Indonesia:
1. Kondisi ekonomi yang memburuk: Krisis ekonomi tahun 1997 membuat
perekonomian Indonesia mengalami kontraksi yang sangat dalam. Pada tahun 1998, PDB
Indonesia turun sekitar 13%, sedangkan inflasi mencapai angka yang sangat tinggi.
Kondisi ini mengakibatkan kemiskinan dan pengangguran semakin meningkat.
 Pada bulan Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Banyak perusahaan di
Indonesia yang meminjam dalam bentuk dolar AS. Pada tahun berikutnya, ketika
rupiah menguat terhadap dolar, kebijakan ini telah bekerja baik untuk perusahaan
tersebut—level efektivitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang
pada saat harga mata uang lokal meningkat.
 Pada bulan Juli 1997, Thailand mengambangkan baht, Otoritas Moneter
Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah
mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran mengambang
teratur ditukar dengan pertukaran mengambang-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam.
IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tetapi rupiah jatuh lebih dalam
lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar
yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan
September. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi junk
bond.
 Meskipun krisis rupiah dimulai pada bulan Juli dan Agustus 1997, krisis ini
menguat pada bulan November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul
pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus
menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah.
Akibatnya, banyak rakyat yang bereaksi dengan menukarkan rupiah dengan dolar
AS, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Indonesia mengikuti Kerajaan Thailand mengambangbebaskan nilai tukar mata
uangnya pada 14 Agustus 1997. Rupiah terdevaluasi lebih jauh ke titik
terendahnya setelah penandatanganan nota kesepahaman ke-2 dengan IMF pada
15 Januari 1998. Terlihat Pada Gamabar 1

Gambar 1
2. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok: Selama krisis ekonomi, harga-harga
kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, dan gula naik tajam. Hal ini sangat
membebani masyarakat Indonesia yang kebanyakan hidup dari gaji harian atau upah
minimum. Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan
kekacauan di Indonesia. Pada bulan Februari 1998, Presiden Soeharto memecat
Gubernur Bank Indonesia, Sudrajad Djiwandono. Akhirnya, Presiden Soeharto dipaksa
untuk mundur pada tanggal 21 Mei 1998 dan B. J. Habibie diangkat menjadi presiden.
Mulai dari sini krisis moneter Indonesia memuncak.
3. Kerugian bagi sektor perbankan: Banyak bank Indonesia mengalami kerugian besar
karena mereka memberikan pinjaman yang besar untuk pengembangan proyek yang
tidak layak. Banyak bank juga mengalami masalah likuiditas karena tidak dapat
memenuhi kewajiban mereka untuk membayar deposito nasabah. Beberapa bank juga
gulung tikar akibat krisis ekonomi.
4. Krisis sosial dan politik: Krisis ekonomi menyebabkan kerusuhan di beberapa wilayah
Indonesia, seperti Jakarta, Surakarta, dan Surabaya. Kondisi ini meningkatkan
ketegangan antara berbagai kelompok masyarakat dan mengancam stabilitas politik
negara.
5. Perubahan kebijakan ekonomi: Krisis ekonomi juga memicu perubahan besar dalam
kebijakan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1998, Indonesia memutuskan untuk
membebaskan nilai tukar rupiah dan menunda pembayaran utang luar negeri. Keputusan
ini membuat Indonesia ditekan oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan
memicu reformasi ekonomi yang signifikan di Indonesia.
6. Keprihatinan internasional: Krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997 memiliki
dampak yang sangat luas dan memicu kekhawatiran internasional. Krisis ini menyebar ke
negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, dan memicu krisis
finansial global.
Dalam keseluruhan, dampak dari krisis ekonomi tahun 1997 di Indonesia sangat
merusak dan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkan perekonomian dan stabilitas
politik. Namun, krisis ini juga memicu reformasi dan perubahan kebijakan ekonomi yang
signifikan di Indonesia.
Peran IMF dalam Krisis Ekonomi Indonesia
Krisis ekonomi pada tahun 1997 di Indonesia menjadi salah satu krisis paling parah
dalam sejarah ekonomi modern. Pada saat itu, pemerintah Indonesia meminta bantuan dari
Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang
terjadi. Berikut adalah beberapa peran IMF dalam mengatasi krisis ekonomi pada tahun 1997:
1. Memberikan pinjaman: IMF memberikan pinjaman keuangan yang signifikan kepada
pemerintah Indonesia untuk membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang terjadi.
Dalam hal ini, IMF memberikan pinjaman sebesar US$ 23 miliar dengan syarat-syarat
tertentu yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia.
2. Membantu mengambil kebijakan ekonomi yang benar: IMF membantu pemerintah
Indonesia dalam merancang dan menerapkan kebijakan ekonomi yang benar, termasuk
pengurangan defisit anggaran, pemotongan subsidi, dan reformasi sektor keuangan dan
moneter.
3. Memperketat pengawasan terhadap sistem keuangan: IMF memperketat pengawasan
terhadap sistem keuangan Indonesia untuk mencegah terjadinya krisis serupa di masa
depan. Hal ini dilakukan dengan memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap
perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
4. Memberikan dorongan pada reformasi struktural: IMF memberikan dorongan pada
reformasi struktural di Indonesia, termasuk peningkatan keterbukaan ekonomi, perbaikan
infrastruktur, peningkatan sistem pendidikan dan pelatihan, serta peningkatan tata kelola
pemerintahan.
5. Menyediakan konsultasi dan dukungan teknis: IMF juga memberikan konsultasi dan
dukungan teknis pada pemerintah Indonesia dalam berbagai bidang, termasuk
pengelolaan keuangan, kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan sektor keuangan.
Dengan bantuan IMF, pemerintah Indonesia berhasil mengatasi krisis ekonomi pada
tahun 1997 dan kembali memulihkan perekonomiannya. Meskipun terdapat kritik terhadap
beberapa syarat dan kebijakan yang diberlakukan oleh IMF, namun IMF tetap dianggap
berperan penting dalam membantu Indonesia mengatasi krisis ekonomi pada tahun 1997.
Pemerintah dalam Mengatasi Krisis
Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah melakukan reformasi dan perubahan kebijakan
ekonomi yang signifikan. Berikut adalah beberapa perubahan kebijakan ekonomi yang
dilakukan pada saat itu:
1. Pembatasan devaluasi rupiah: Pemerintah Indonesia memutuskan untuk membatasi
devaluasi rupiah, yang telah turun secara dramatis sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan
mengeluarkan kebijakan baru tentang nilai tukar yang diperketat dan menaikkan suku
bunga.
2. Penyederhanaan regulasi perbankan: Pemerintah melakukan penyederhanaan regulasi
perbankan, termasuk mengurangi jumlah bank nasional dari sekitar 240 menjadi hanya
56, dan memperketat pengawasan terhadap kinerja bank.
3. Peningkatan keterbukaan ekonomi: Pemerintah meningkatkan keterbukaan ekonomi
dengan membuka pasar Indonesia untuk investasi asing dan menghapus beberapa
hambatan perdagangan.
4. Perbaikan infrastruktur: Pemerintah meningkatkan investasi pada infrastruktur,
termasuk jalan raya, jembatan, pelabuhan, dan bandara. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan daya saing Indonesia dalam pasar global.
5. Pemberian stimulus ekonomi: Pemerintah memberikan stimulus ekonomi dalam bentuk
paket kebijakan fiskal dan moneter. Stimulus ini bertujuan untuk meningkatkan
permintaan agregat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Perubahan kebijakan ekonomi tersebut memang tidak seketika berhasil mengatasi
krisis ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia pada tahun 1997, tetapi pada akhirnya mampu
mengembalikan kepercayaan investor dan membawa Indonesia keluar dari krisis tersebut.
2. Krisis Ekonomi Pada Tahun 1998
Krisis ekonomi yang terjadi di Asia pada tahun 1998, juga dikenal sebagai Krisis
Keuangan Asia, bermula pada akhir tahun 1997 ketika mata uang Thailand, baht, mengalami
devaluasi yang signifikan. Krisis ini kemudian menyebar ke negara-negara Asia lainnya,
termasuk Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, dan Filipina.
Berikut adalah kronologi awal mula krisis ekonomi pada tahun 1998 di Asia:
1. Juli 1997: Pemerintah Thailand memutuskan untuk membiarkan baht mengambang
bebas, yang sebelumnya diikat dengan dolar AS. Keputusan ini memicu penurunan
nilai tukar baht yang signifikan terhadap dolar AS.
2. Agustus 1997: Krisis keuangan di Thailand semakin memburuk, dengan bank-bank
dan perusahaan terbesar di negara itu mulai mengalami kesulitan keuangan.
3. November 1997: Krisis finansial di Thailand menyebar ke negara-negara lain di Asia,
termasuk Indonesia, Korea Selatan, dan Filipina. Nilai tukar mata uang di negara-
negara tersebut juga mengalami penurunan yang signifikan.
4. Desember 1997: Pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk mengambil langkah-
langkah drastis dalam upaya mengatasi krisis keuangan, termasuk menaikkan suku
bunga dan meminta bantuan dari IMF.
5. Januari 1998: Krisis keuangan di Asia semakin memburuk, dengan penarikan modal
asing dari pasar keuangan dan turunnya harga saham di negara-negara Asia.
6. Februari 1998: Pemerintah Indonesia memutuskan untuk meminta bantuan dari IMF
setelah rupiah mengalami devaluasi yang signifikan.
Beberapa data ekonomi yang menunjukkan bagaimana krisis ekonomi pada tahun 1998
terjadi di Asia antara lain:

 Penurunan nilai tukar mata uang: Nilai tukar mata uang di banyak negara Asia, seperti
baht Thailand, rupiah Indonesia, won Korea Selatan, dan ringgit Malaysia, mengalami
penurunan yang signifikan. Pada tahun 1997, nilai tukar baht Thailand turun sekitar
20%, sedangkan nilai tukar rupiah Indonesia turun sekitar 80%.
 Anjloknya harga saham: Harga saham di banyak negara Asia juga mengalami
penurunan yang signifikan selama krisis ini. Pada tahun 1997, indeks saham Hang
Seng di Hong Kong turun sekitar 40%, sementara indeks saham Nikkei di Jepang
turun sekitar 30%.
 Penarikan modal asing: Krisis keuangan ini juga menyebabkan penarikan modal asing
yang signifikan dari pasar keuangan di Asia. Pada tahun 1998, jumlah modal asing
yang keluar dari negara-negara Asia mencapai sekitar US$ 100 miliar.
 Kenaikan suku bunga: Pemerintah di banyak negara Asia terpaksa menaikkan suku
bunga dalam upaya mengatasi krisis keuangan ini. Namun, langkah ini justru
memperparah krisis karena mengurangi investasi dan pertumbuhan ekonomi.
 Kerugian bank dan lembaga keuangan: Bank dan lembaga keuangan di banyak negara
Asia mengalami kerugian yang besar selama krisis ini. Misalnya, Bank Indonesia
mengalami kerugian sekitar US$ 23 miliar, sedangkan Bank of Thailand mengalami
kerugian sekitar US$ 21 miliar.
Data ekonomi ini menunjukkan bahwa krisis keuangan pada tahun 1998 di Asia sangat
kompleks dan berdampak luas pada perekonomian di kawasan tersebut.
Dampak dari krisis ekonomi ini sangat besar, terutama bagi negara-negara yang terkena
dampaknya. Beberapa dampak ekonomi dari krisis ini antara lain:
1. Penurunan pertumbuhan ekonomi: Pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang
terkena dampak krisis ekonomi menurun secara signifikan.
2. Kenaikan pengangguran: Krisis ini juga menyebabkan kenaikan tingkat pengangguran
di banyak negara.
3. Krisis finansial: Bank dan lembaga keuangan di banyak negara mengalami kerugian
yang besar, dan beberapa bahkan mengalami kebangkrutan.
4. Turunnya nilai tukar mata uang: Nilai tukar mata uang di banyak negara juga
mengalami penurunan yang signifikan selama krisis ini.
Krisis keuangan Asia pada tahun 1997/1998 adalah salah satu krisis ekonomi paling parah
dalam sejarah Asia dan telah memberikan pelajaran berharga bagi negara-negara di kawasan
tersebut tentang pentingnya regulasi dan pengawasan yang ketat pada sektor keuangan.
Krisis Ekonomi Global 1998
Krisis ekonomi global pada tahun 1998 bermula dari negara-negara berkembang, dan
kemudian menyebar ke negara-negara maju seperti Rusia, Jepang, dan Brasil.
Beberapa faktor yang memicu krisis ekonomi global pada tahun 1998 antara lain:
1. Krisis finansial di Asia Tenggara: Krisis finansial yang melanda Asia Tenggara pada
tahun 1997 menyebar ke negara-negara lain di Asia dan memicu krisis finansial global.
Melemahnya nilai tukar mata uang, meningkatnya suku bunga, dan penarikan modal
asing dari pasar keuangan menjadi faktor utama yang memperburuk krisis ini.
2. Kerentanan sektor keuangan: Terdapat kelemahan pada sektor keuangan di banyak
negara, seperti rendahnya tingkat transparansi, pengawasan dan regulasi yang lemah, dan
risiko kredit yang tinggi. Hal ini memicu terjadinya keruntuhan pada beberapa lembaga
keuangan dan bank, seperti yang terjadi pada bank-bank di Asia Tenggara.
3. Kebijakan moneter yang salah: Beberapa negara melakukan kebijakan moneter yang
salah, seperti menetapkan nilai tukar yang tidak realistis dan menaikkan suku bunga
secara drastis, yang memperburuk kondisi ekonomi.
4. Krisis di Rusia: Pada tahun 1998, Rusia mengalami krisis finansial yang sangat serius,
di mana nilai rubel melemah secara dramatis dan banyak bank dan perusahaan yang
mengalami kebangkrutan. Krisis di Rusia memicu terjadinya ketidakstabilan pada pasar
keuangan global dan memperparah krisis ekonomi global pada tahun 1998.

Krisis ekonomi global pada tahun 1998 berdampak luas pada perekonomian dunia.
Beberapa akibat dari krisis ini antara lain:
1. Penurunan perdagangan internasional: Krisis ekonomi global menyebabkan
penurunan perdagangan internasional yang signifikan. Negara-negara yang terkena
dampaknya, seperti Rusia dan negara-negara Asia, mengalami penurunan ekspor
karena melemahnya nilai tukar mata uang mereka dan menurunnya permintaan dari
negara-negara lain.
2. Turunnya harga komoditas: Harga komoditas, seperti minyak, gas, dan logam, juga
mengalami penurunan selama krisis ekonomi global. Hal ini disebabkan oleh
penurunan permintaan dari negara-negara konsumen dan penurunan investasi pada
sektor tersebut.
3. Kerugian investor: Krisis ekonomi global juga menyebabkan kerugian yang besar
bagi investor di pasar keuangan. Banyak investor kehilangan uang mereka ketika
harga saham dan nilai tukar mata uang turun.
4. Menurunnya pertumbuhan ekonomi: Krisis ekonomi global juga menyebabkan
penurunan pertumbuhan ekonomi di banyak negara. Di Rusia, misalnya, pertumbuhan
ekonomi pada tahun 1998 turun hingga -5%.
5. Penurunan kepercayaan investor: Krisis ekonomi global juga menyebabkan
penurunan kepercayaan investor terhadap perekonomian dunia. Hal ini
mengakibatkan investasi asing menurun dan banyak perusahaan yang gagal dalam
menggalang dana untuk ekspansi bisnis mereka.
6. Intervensi IMF: Krisis ekonomi global pada tahun 1998 juga menyebabkan
intervensi dari IMF dan negara-negara maju lainnya dalam upaya mengatasi krisis
tersebut. Bantuan finansial dan program pemulihan ekonomi dilakukan di negara-
negara yang terkena dampak krisis, seperti Rusia, Indonesia, dan Korea Selatan.
7. Pelajaran berharga: Krisis ekonomi global pada tahun 1998 juga memberikan
pelajaran berharga bagi negara-negara di seluruh dunia untuk meningkatkan regulasi
dan pengawasan pada sektor keuangan dan mengevaluasi kebijakan ekonomi mereka.
Secara keseluruhan, krisis ekonomi global pada tahun 1998 menyebabkan kerugian yang
besar bagi perekonomian dunia dan mengakibatkan dampak jangka panjang pada banyak
negara.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi krisis global pada tahun 1998 meliputi
beberapa langkah, di antaranya:
1. Intervensi IMF: IMF memberikan bantuan finansial dan program pemulihan
ekonomi pada negara-negara yang terkena dampak krisis, seperti Rusia, Indonesia,
dan Korea Selatan. Jumlah bantuan yang diberikan oleh IMF pada tahun 1998
mencapai sekitar US$110 miliar.
2. Program reformasi ekonomi: Banyak negara yang terkena dampak krisis melakukan
program reformasi ekonomi untuk memperbaiki kondisi perekonomian mereka.
Program reformasi ini meliputi pengurangan subsidi, penghematan belanja
pemerintah, reformasi sektor keuangan, dan peningkatan regulasi.
3. Stabilisasi nilai tukar mata uang: Negara-negara yang terkena dampak krisis juga
melakukan stabilisasi nilai tukar mata uang mereka untuk mengurangi volatilitas
pasar. Misalnya, Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk
menjaga nilai tukar rupiah agar tetap stabil.
4. Stimulus fiskal: Beberapa negara juga melakukan stimulus fiskal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan mengatasi krisis. Misalnya, Korea Selatan mengeluarkan
paket stimulus fiskal senilai US$29 miliar untuk mempercepat pemulihan ekonomi.
Berikut adalah beberapa data ekonomi yang mencerminkan upaya-upaya yang dilakukan
untuk mengatasi krisis global pada tahun 1998:
1. Pertumbuhan ekonomi di Asia pada tahun 1998:
 Indonesia: -13,1%
 Korea Selatan: -5,8%
 Malaysia: -7,5%
 Filipina: -0,5%
 Thailand: -10,5%
2. Jumlah bantuan finansial yang diberikan oleh IMF pada tahun 1998:
 Rusia: US$22,6 miliar
 Indonesia: US$11,7 miliar
 Korea Selatan: US$21,0 miliar
3. Program reformasi ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara yang terkena dampak
krisis:
 Indonesia: Program Stabilitas Ekonomi (PSE)
 Korea Selatan: Program Kebijakan Restrukturisasi dan Reorganisasi (KRRP)
 Malaysia: Program Pemulihan Ekonomi (ERP)
 Filipina: Program Stabilitas dan Pertumbuhan Ekonomi (PSGE)
 Thailand: Program Restrukturisasi dan Pemulihan Ekonomi (PRE)
4. Stimulus fiskal yang dilakukan oleh negara-negara yang terkena dampak krisis:
 Korea Selatan: Paket stimulus fiskal senilai US$29 miliar
 Indonesia: Stimulus fiskal senilai US$1,8 miliar
 Malaysia: Stimulus fiskal senilai US$1,3 miliar

Secara keseluruhan, upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi krisis global pada
tahun 1998 mencakup berbagai macam kebijakan dan program. Meskipun masih terdapat
tantangan dalam pemulihan ekonomi, langkah-langkah ini dapat dianggap berhasil.
Krisis Ekonomi di Indonesia 1998
Krisis ekonomi tahun 1998 menghantam Indonesia, menjadi salah satu krisis ekonomi
terparah dalam sejarah negara ini. Krisis tersebut berawal dari kondisi ekonomi yang kurang
sehat, seperti melemahnya nilai tukar rupiah dan defisit anggaran yang semakin meningkat,
serta kebijakan pemerintah yang kurang tepat dalam mengatasi masalah tersebut.
Berikut adalah beberapa faktor yang memicu krisis ekonomi tahun 1998:
1. Melemahnya nilai tukar rupiah: Pada tahun 1997, rupiah melemah secara signifikan
terhadap dolar AS, yang berdampak pada inflasi dan kenaikan harga-harga barang.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya spekulasi pasar valuta asing, yang
membuat nilai tukar rupiah semakin merosot.
2. Defisit anggaran yang semakin meningkat: Pemerintah Indonesia mengalami defisit
anggaran yang semakin meningkat akibat peningkatan pengeluaran pemerintah dan
pendapatan yang rendah. Defisit anggaran ini membuat pemerintah semakin
tergantung pada pinjaman luar negeri.
3. Ketergantungan pada pinjaman luar negeri: Indonesia tergantung pada pinjaman luar
negeri untuk membiayai pembangunan dan kegiatan ekonomi lainnya. Kondisi ini
semakin memburuk ketika pasar keuangan global menarik kembali investasi dari
negara berkembang, termasuk Indonesia.
4. Masalah pada sektor perbankan: Pada tahun 1997, terjadi krisis perbankan di
Indonesia akibat pemberian kredit yang tidak hati-hati dan pemanfaatan dana nasabah
yang tidak terawasi dengan baik.

Akibat dari faktor-faktor tersebut, krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1998 semakin
memburuk dan memunculkan dampak-dampak yang cukup serius, antara lain:
1. Inflasi yang tinggi: Harga-harga barang naik secara signifikan, membuat daya beli
masyarakat semakin menurun.
2. Kenaikan suku bunga: Suku bunga mengalami kenaikan drastis akibat tingginya
permintaan akan pinjaman uang.
3. Krisis likuiditas: Terjadi kelangkaan uang tunai dan banyak perusahaan yang tidak
mampu membayar hutang-hutangnya.
4. Kebangkrutan perusahaan: Banyak perusahaan yang terpaksa gulung tikar karena
tidak mampu memenuhi kewajiban keuangan.
5. Meningkatnya tingkat pengangguran: Banyak perusahaan yang tutup dan
pengangguran semakin meningkat.
6. Turunnya pertumbuhan ekonomi: Indonesia mengalami resesi ekonomi, di mana
pertumbuhan ekonomi menurun dan bahkan terjadi kontraksi ekonomi.

Upaya Pemerintah dalam Menangani Krisis Ekonomi


Krisis ekonomi 1998 di Indonesia disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk
kegagalan kebijakan makroekonomi, defisit neraca perdagangan yang meningkat, kelebihan
kapasitas produksi, dan masalah dalam sektor keuangan. Krisis ini menyebabkan depresiasi
rupiah, kenaikan suku bunga, inflasi yang tinggi, dan krisis likuiditas perbankan. Pemerintah
Indonesia melakukan berbagai upaya untuk mengatasi krisis ekonomi tersebut, antara lain:
1. Program Stabilisasi Ekonomi
Pemerintah meluncurkan Program Stabilisasi Ekonomi pada 30 September 1997 untuk
menangani krisis ekonomi. Program ini mencakup tiga pilar: stabilisasi nilai tukar, stabilitas
harga, dan restrukturisasi sektor keuangan. Pemerintah mengumumkan paket kebijakan
ekonomi yang bertujuan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, mengendalikan inflasi, dan
menstabilkan sistem perbankan.
2. Devaluasi Rupiah
Pada 14 Juli 1997, pemerintah Indonesia memutuskan untuk devaluasi rupiah sebesar 7%,
namun devaluasi ini tidak berhasil menstabilkan nilai tukar rupiah. Pada 15 Agustus 1997,
pemerintah kembali melakukan devaluasi rupiah sebesar 17%, tetapi juga tidak berhasil
menstabilkan nilai tukar.
3. IMF Bailout
Pada 31 Oktober 1997, Indonesia meminta bantuan dana dari Dana Moneter Internasional
(IMF) untuk menangani krisis ekonomi. IMF memberikan pinjaman sebesar USD 23 miliar
untuk membantu stabilisasi ekonomi dan reformasi struktural.
4. Penyelamatan Bank
Pemerintah melakukan upaya penyelamatan bank yang bermasalah dan memberikan jaminan
pada deposito nasabah agar mencegah kepanikan di masyarakat. Bank-bank yang tidak
mampu bertahan dan bangkrut, diambil alih oleh pemerintah.
5. Program Reformasi Ekonomi
Pemerintah juga melakukan reformasi ekonomi yang mencakup restrukturisasi perbankan,
deregulasi sektor keuangan, pembukaan pasar modal, dan privatisasi perusahaan milik
negara. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki sistem ekonomi Indonesia dan mengurangi
ketergantungan pada sektor tertentu.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, krisis ekonomi 1998 tetap memberikan
dampak yang signifikan pada perekonomian Indonesia, termasuk kehilangan lapangan kerja,
penurunan daya beli masyarakat, dan penurunan pertumbuhan ekonomi.
3. Krisis Ekonomi Pada Tahun 2007-2008
Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2007-2008 disebabkan oleh
serangkaian faktor, termasuk deregulasi pasar keuangan, spekulasi tinggi, dan krisis di sektor
perumahan. Krisis ini dimulai di Amerika Serikat dan menyebar ke seluruh dunia.
Berikut adalah beberapa faktor dan peristiwa yang memicu krisis ekonomi pada tahun
2007-2008:
1. Deregulasi pasar keuangan
Deregulasi pasar keuangan pada tahun 2007-2008 adalah salah satu faktor yang berperan
dalam terjadinya krisis ekonomi global pada periode tersebut.
1. Latar Belakang
Deregulasi pasar keuangan pada tahun 2007-2008 terjadi setelah berbagai
upaya pemerintah di berbagai negara untuk mengurangi hambatan-hambatan dalam
sektor keuangan guna mempromosikan pertumbuhan ekonomi. Beberapa contoh dari
upaya-upaya tersebut antara lain penghapusan batasan-batasan pada perdagangan
kredit, pengurangan aturan-aturan tentang likuiditas dan modal bank, serta liberalisasi
pasar keuangan.
2. Dampak
Deregulasi pasar keuangan pada tahun 2007-2008 berdampak pada
meningkatnya risiko dan ketidakstabilan di pasar keuangan global. Beberapa efek
yang terjadi antara lain:
 Peningkatan volume perdagangan kredit yang spekulatif dan berisiko tinggi, terutama
di sektor perumahan.
 Menurunnya kualitas kredit dan peningkatan kemungkinan terjadinya gagal bayar.
 Peningkatan kompleksitas produk-produk keuangan, sehingga sulit bagi investor
untuk memahami risiko dan potensi keuntungan.
 Terjadinya krisis likuiditas di sektor keuangan global, di mana bank-bank besar yang
terlibat dalam perdagangan kredit rumah mengalami kesulitan untuk mendapatkan
dana tunai.
3. Data Ekonomi
Beberapa data ekonomi yang terkait dengan deregulasi pasar keuangan pada
tahun 2007-2008 antara lain:
 Jumlah transaksi kredit bermasalah di sektor perumahan meningkat secara signifikan,
dari sekitar 1 juta pada tahun 2006 menjadi lebih dari 2 juta pada tahun 2007.
 Penjualan obligasi yang di-back oleh kredit perumahan mencapai puncaknya pada
tahun 2006, dengan nilai mencapai $800 miliar. Namun, pada tahun 2007 dan 2008,
penjualan obligasi tersebut menurun secara drastis, dengan nilai hanya sekitar $200
miliar.
 Indeks harga perumahan di AS turun lebih dari 30% antara tahun 2006 dan 2009.
 Bank-bank besar di berbagai negara terdampak, seperti Citigroup dan Bank of
America di AS, Royal Bank of Scotland dan Barclays di Inggris, serta UBS dan
Credit Suisse di Swiss.
Data ekonomi tersebut menunjukkan bahwa deregulasi pasar keuangan pada tahun
2007-2008 memiliki dampak yang signifikan pada sektor keuangan global dan berkontribusi
pada terjadinya krisis ekonomi global pada periode tersebut.
2. Spekulasi tinggi
Pada tahun 2007-2008, spekulasi yang tinggi terjadi di berbagai sektor pasar keuangan di
seluruh dunia. Berikut ini adalah paparan rinci mengenai historis dan data terkait spekulasi
yang tinggi pada periode tersebut:
1. Latar Belakang
Pada awal tahun 2000-an, terjadi peningkatan permintaan dan ketersediaan kredit di
seluruh dunia. Kondisi ini menyebabkan semakin banyak orang membeli aset-aset investasi,
seperti saham, obligasi, dan properti. Para investor yang semakin banyak ini mulai
berspekulasi dengan cara membeli aset-aset investasi yang berisiko tinggi dengan harapan
mendapatkan keuntungan yang besar.
Pada saat yang sama, bank dan institusi keuangan mulai memberikan kredit kepada
para spekulator dengan mudah dan tanpa memperhitungkan risiko. Kondisi ini semakin
mendorong para spekulator untuk membeli aset-aset investasi yang berisiko tinggi.
Namun, pada tahun 2007, harga aset-aset investasi mulai turun secara dramatis di
berbagai sektor pasar keuangan di seluruh dunia. Banyak spekulator yang mengalami
kerugian besar karena tidak mampu mempertahankan posisi mereka atau menjual aset-aset
investasi yang mereka miliki.
2. Dampak
Spekulasi yang tinggi pada tahun 2007-2008 menyebabkan dampak yang
signifikan pada sistem keuangan global, seperti:
 Terjadinya krisis likuiditas, di mana bank dan institusi keuangan mengalami kesulitan
dalam memperoleh dana dan likuiditas untuk membiayai operasi mereka.
 Terjadinya penurunan harga aset, di mana harga saham, obligasi, properti, dan aset-
aset investasi lainnya turun secara dramatis dan menyebabkan banyak spekulator
mengalami kerugian besar.
 Terjadinya kebangkrutan perusahaan dan lembaga keuangan, di mana banyak bank
dan institusi keuangan yang gagal karena terlalu banyak terlibat dalam perdagangan
aset-aset investasi yang berisiko tinggi.
3. Data Ekonomi
Beberapa data ekonomi terkait dengan spekulasi yang tinggi pada tahun 2007-
2008 antara lain:
 Harga saham di berbagai bursa efek di seluruh dunia mengalami penurunan secara
dramatis, dengan beberapa bursa efek mencapai level terendah dalam beberapa tahun
terakhir.
 Harga aset-aset investasi, seperti obligasi dan properti, juga mengalami penurunan
yang signifikan di banyak negara.
 Banyak bank dan institusi keuangan yang terlibat dalam perdagangan aset-aset
investasi yang berisiko tinggi mengalami kerugian besar, dengan total kerugian
mencapai triliunan dollar.
3. Krisis di sektor perumahan
Krisis sektor perumahan yang terjadi pada tahun 2007-2008 di Amerika Serikat menjadi
salah satu faktor utama dalam terjadinya krisis ekonomi global pada periode tersebut. Berikut
ini adalah paparan rinci mengenai historis dan data terkait krisis sektor perumahan pada tahun
2007-2008:
1. Latar Belakang
Pada awal tahun 2000-an, terjadi peningkatan permintaan dan ketersediaan kredit
perumahan di Amerika Serikat. Banyak bank dan institusi keuangan menawarkan kredit
perumahan dengan bunga rendah dan tanpa persyaratan yang ketat terhadap peminjam.
Kondisi ini menyebabkan semakin banyak orang membeli rumah, bahkan bagi yang
sebenarnya tidak mampu membeli rumah.
Pada saat yang sama, harga rumah di Amerika Serikat terus meningkat dan mencapai
level yang tidak masuk akal. Semua pihak, termasuk para investor, bank, dan pemerintah,
merasa optimis bahwa harga rumah akan terus naik dan tidak akan pernah turun.
Namun, pada tahun 2006, harga rumah di Amerika Serikat mulai turun. Banyak orang
yang tidak mampu membayar kredit perumahan mereka mulai mengalami kesulitan dan
kebangkrutan. Ini memicu terjadinya krisis sektor perumahan yang mempengaruhi pasar
keuangan secara keseluruhan.
2. Dampak
Krisis sektor perumahan pada tahun 2007-2008 menyebabkan dampak yang signifikan
pada sistem keuangan global, seperti:
 Terjadinya krisis kredit, di mana bank dan institusi keuangan mengalami kerugian
besar karena banyak peminjam yang gagal membayar kredit mereka.
 Terjadinya penurunan harga aset, di mana harga rumah turun secara dramatis dan
menyebabkan banyak bank dan institusi keuangan memiliki aset yang tidak likuid.
 Terjadinya kebangkrutan perusahaan dan lembaga keuangan, di mana banyak bank
dan lembaga keuangan yang gagal karena terlalu banyak terlibat dalam perdagangan
kredit perumahan yang berisiko tinggi.
3. Data Ekonomi
Beberapa data ekonomi terkait dengan krisis sektor perumahan pada tahun 2007-2008
antara lain:
 Jumlah rumah yang dilikuidasi melalui lelang meningkat secara dramatis pada tahun
2007, mencapai level tertinggi sejak tahun 2001.
 Harga rumah di Amerika Serikat turun lebih dari 30% dari level tertingginya pada
tahun 2006.
 Banyak bank dan institusi keuangan mengalami kerugian besar akibat kredit
perumahan yang gagal dibayar, dengan total kerugian mencapai triliunan dollar.
 Jumlah kebangkrutan perusahaan dan lembaga keuangan di Amerika Serikat
meningkat secara signifikan pada tahun 2008.
4. Jatuhnya Lehman Brothers
Lehman Brothers adalah sebuah perusahaan investasi bank global yang berbasis di
Amerika Serikat. Pada tahun 2008, perusahaan ini mengalami kebangkrutan yang
menyebabkan dampak besar pada sistem keuangan global dan menjadi salah satu pemicu
terjadinya krisis ekonomi global pada periode tersebut. Berikut ini adalah paparan rinci
mengenai historis dan data terkait kebangkrutan Lehman Brothers pada tahun 2007-2008:
1. Latar Belakang
Pada tahun 2007-2008, pasar keuangan global mengalami ketidakstabilan yang
signifikan akibat adanya peningkatan risiko dalam perdagangan kredit perumahan yang tidak
sehat dan tidak berkelanjutan. Lehman Brothers menjadi salah satu bank investasi terbesar
yang terlibat dalam perdagangan kredit perumahan tersebut. Seiring dengan semakin
merosotnya pasar perumahan di Amerika Serikat, Lehman Brothers mengalami kerugian
besar dan kesulitan dalam mendapatkan dana tunai.
2. Dampak
Kebangkrutan Lehman Brothers pada tahun 2008 menyebabkan dampak yang sangat
besar pada sistem keuangan global, seperti:
 Terjadinya penurunan pasar saham di seluruh dunia, di mana indeks saham di banyak
negara mengalami penurunan signifikan dalam waktu yang singkat setelah
pengumuman kebangkrutan Lehman Brothers.
 Terjadinya krisis likuiditas, di mana banyak bank dan institusi keuangan mengalami
kesulitan dalam mendapatkan dana tunai.
 Peningkatan risiko kredit dan ketidakpastian dalam pasar keuangan global, yang
menyebabkan investor menjadi ragu dan menghindari investasi.
3. Data Ekonomi
Beberapa data ekonomi yang terkait dengan kebangkrutan Lehman Brothers pada tahun
2007-2008 antara lain:
 Pada tanggal 15 September 2008, Lehman Brothers mengajukan permohonan
kebangkrutan di bawah Bab 11 Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat. Pada
saat itu, Lehman Brothers memiliki utang sebesar $613 miliar dan hanya memiliki
aset senilai $639 miliar.
 Pada saat kebangkrutan, Lehman Brothers memiliki eksposur yang signifikan pada
perdagangan kredit perumahan, dengan total eksposur sebesar $85 miliar.
 Pada tahun 2008, indeks saham Dow Jones Industrial Average di Amerika Serikat
turun lebih dari 40% dari level tertingginya pada Oktober 2007.
 Jumlah kebangkrutan perusahaan di Amerika Serikat meningkat secara signifikan
pada tahun 2008, dengan jumlah kebangkrutan mencapai rekor tertinggi sejak tahun
2001.
5. Penyebaran krisis ke seluruh dunia
Penyebaran krisis ekonomi global pada tahun 2007-2008 memang sangat cepat dan
terjadi di banyak negara. Berikut ini adalah terkait penyebaran krisis tersebut:
1. Bank-bank besar di berbagai negara terdampak
Banyak bank-bank besar di negara-negara maju terlibat dalam perdagangan
kredit rumah yang diberikan kepada orang-orang di AS. Seiring dengan jatuhnya
harga rumah di AS, nilai kredit bank-bank tersebut menurun dan menyebabkan
kerugian besar. Beberapa bank yang terkena dampak tersebut antara lain Citigroup
dan Bank of America di AS, Royal Bank of Scotland dan Barclays di Inggris, serta
UBS dan Credit Suisse di Swiss.
2. Penyebaran ke negara-negara berkembang
Krisis ekonomi global pada tahun 2007-2008 juga menyebar ke negara-negara
berkembang. Hal ini disebabkan karena banyak perusahaan multinasional yang
beroperasi di negara-negara tersebut terlibat dalam perdagangan dan investasi global.
Beberapa negara yang terdampak antara lain Brazil, Rusia, India, dan China (disebut
sebagai negara-negara BRIC).
3. Perdagangan global terhambat
Krisis ekonomi global pada tahun 2007-2008 menyebabkan penurunan
permintaan global dan meningkatnya proteksionisme di banyak negara. Hal ini
menyebabkan penurunan perdagangan global dan berdampak pada pertumbuhan
ekonomi negara-negara yang bergantung pada ekspor. Beberapa negara yang
terdampak antara lain Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
4. Krisis keuangan global
Penyebaran krisis ekonomi global pada tahun 2007-2008 berdampak pada
sistem keuangan global. Banyak lembaga keuangan di berbagai negara terdampak dan
mengalami kerugian besar. Selain itu, banyak investor global yang kehilangan
kepercayaan pada pasar keuangan dan memilih untuk menarik investasi mereka. Hal
ini memperburuk likuiditas dan memicu krisis keuangan global yang lebih besar.
Dampak Krisis Ekonomi Secara Umum
Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2007-2008 mempunyai dampak yang
signifikan terhadap perekonomian dunia. Berikut dampak krisis ekonomi tersebut:
1. Penurunan PDB
Pertumbuhan ekonomi dunia mengalami penurunan signifikan. Pada tahun 2008,
pertumbuhan ekonomi global mencapai angka 0,7%, jauh lebih rendah dari angka 3,4%
pada tahun 2007. Beberapa negara bahkan mengalami kontraksi ekonomi.
2. Kenaikan angka pengangguran
Krisis ekonomi ini menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar atau melakukan
pengurangan karyawan. Akibatnya, angka pengangguran global meningkat secara
signifikan. Di Amerika Serikat saja, angka pengangguran meningkat dari 5% pada 2007
menjadi 10% pada 2009.
3. Turunnya harga aset
Harga aset seperti saham, properti, dan komoditas mengalami penurunan yang signifikan
akibat krisis ekonomi. Misalnya, Indeks Saham S&P 500 di Amerika Serikat turun
sekitar 50% dari puncaknya pada Oktober 2007 hingga Maret 2009.
4. Turunnya nilai tukar mata uang
Krisis ini juga berdampak pada nilai tukar mata uang di seluruh dunia. Beberapa negara
mengalami depresiasi mata uang yang cukup signifikan. Misalnya, nilai tukar euro
terhadap dolar Amerika Serikat turun sekitar 20% pada tahun 2008.
5. Melemahnya sektor keuangan
Krisis ini menimbulkan keraguan di kalangan investor dan menyebabkan kepanikan di
pasar keuangan global. Banyak lembaga keuangan mengalami kerugian besar atau
bahkan kebangkrutan, seperti Lehman Brothers. Hal ini menyebabkan krisis likuiditas
dan kredit global.
6. Dampak sosial dan politik
Krisis ekonomi ini juga berdampak pada masyarakat secara sosial dan politik. Banyak
orang kehilangan pekerjaan dan rumah mereka, serta merasa tidak percaya lagi terhadap
lembaga keuangan dan pemerintah. Hal ini menimbulkan ketidakstabilan politik dan
sosial di beberapa negara.
Kebijakan yang Dikeluarkan Untuk Menangani Krisis
Berikut ini adalah beberapa langkah dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah di
berbagai negara untuk mengatasi krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2007-2008:
1. Stimulus fiskal
Banyak negara mengambil langkah stimulus fiskal dengan menaikkan belanja
pemerintah dan memberikan insentif pajak untuk mendorong konsumsi dan investasi.
Amerika Serikat mengeluarkan paket stimulus sebesar $787 miliar pada tahun 2009,
sedangkan Inggris mengeluarkan paket stimulus sebesar £20 miliar pada tahun 2008.
2. Pelonggaran kebijakan moneter
Bank sentral di berbagai negara melakukan pelonggaran kebijakan moneter dengan
menurunkan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mencegah deflasi.
Amerika Serikat menurunkan suku bunga menjadi 0-0,25% pada tahun 2008, sementara
Bank Sentral Eropa menurunkan suku bunga menjadi 1% pada tahun 2009.
3. Bailout perbankan
Beberapa negara melakukan bailout atau penyelamatan terhadap lembaga keuangan yang
mengalami kesulitan likuiditas atau bahkan bangkrut. Amerika Serikat mengeluarkan
program TARP (Troubled Asset Relief Program) senilai $700 miliar untuk
menyelamatkan lembaga keuangan, sementara Inggris melakukan bailout terhadap Royal
Bank of Scotland dan Lloyds Banking Group.
4. Reformasi keuangan
Setelah krisis, banyak negara melakukan reformasi keuangan untuk mencegah terjadinya
krisis serupa di masa depan. Amerika Serikat mengeluarkan Dodd-Frank Wall Street
Reform and Consumer Protection Act pada tahun 2010, sementara Uni Eropa
mengeluarkan paket reformasi keuangan pada tahun 2011.
5. Kerja sama internasional
Krisis ekonomi global ini menunjukkan betapa saling terkaitnya perekonomian di
berbagai negara di dunia. Oleh karena itu, kerja sama internasional menjadi sangat
penting untuk mengatasi krisis ini. G20 (Group of Twenty) menjadi forum penting untuk
negosiasi kebijakan global dan koordinasi antarnegara dalam menghadapi krisis
ekonomi.
6. Peningkatan transparansi dan pengawasa
Krisis ekonomi global ini juga menunjukkan pentingnya transparansi dan pengawasan
dalam sistem keuangan global. Oleh karena itu, banyak negara melakukan reformasi
untuk meningkatkan transparansi dan pengawasan dalam sektor keuangan.
Krisis Ekonomi yang Terjadi di Indonesia 2007-2008
Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2007-2008 juga berdampak pada
Indonesia, meskipun tidak sebesar dampak yang terjadi pada negara-negara maju. Berikut ini
adalah krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 2007 sampai 2008:
1. Latar Belakang
a. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal 2000-an terbilang cukup stabil, bahkan
menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Asia. Namun, pada
pertengahan 2000-an, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai melambat. Pada tahun 2007-
2008, Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat dari melemahnya
ekonomi global akibat krisis finansial AS dan Eropa. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
tahun 2008 hanya mencapai sekitar 6,1% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai
6,3%. Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan melambatnya pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada periode tersebut:

 Melemahnya ekspor - Ekspor merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi


Indonesia. Namun, pada tahun 2008, ekspor Indonesia mengalami penurunan yang
signifikan, terutama karena turunnya permintaan dari negara-negara tujuan ekspor seperti
Amerika Serikat dan Uni Eropa. Penurunan ekspor juga terjadi karena harga komoditas
yang turun, seperti minyak dan batu bara.
 Turunnya investasi asing - Investasi asing merupakan sumber pendanaan penting bagi
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, pada tahun 2008, investasi asing masuk ke
Indonesia mengalami penurunan karena terjadinya krisis ekonomi global dan
perlambatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Investor asing cenderung mengurangi
risiko dengan memilih untuk menarik investasinya dari negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia.
 Ketergantungan pada sektor ekonomi tertentu - Pada periode tersebut, perekonomian
Indonesia masih sangat bergantung pada sektor komoditas, terutama minyak, gas, dan
batu bara. Ketergantungan pada sektor ekonomi tertentu ini membuat Indonesia sangat
rentan terhadap fluktuasi harga komoditas di pasar internasional.
 Permasalahan dalam sektor perbankan - Sejumlah bank di Indonesia pada waktu itu
mengalami masalah keuangan dan memiliki kredit bermasalah. Sebagian besar kredit
bermasalah tersebut disebabkan oleh penyaluran kredit yang tidak tepat sasaran dan
korupsi. Kelemahan sektor perbankan ini juga berdampak pada krisis likuiditas di sektor
keuangan.

b. Dampak krisis global: Krisis ekonomi global yang dimulai dari AS pada tahun 2007
menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dampaknya:
Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2007-2008 berdampak besar pada
perekonomian Indonesia. Beberapa faktor yang mempengaruhi dampak krisis global
tersebut terhadap perekonomian Indonesia antara lain:
 Penurunan ekspor: Karena krisis global, permintaan terhadap produk ekspor
Indonesia menurun drastis, terutama produk komoditas seperti minyak, gas, dan
batu bara. Hal ini mengakibatkan penurunan pendapatan dari sektor ekspor yang
merupakan salah satu kontributor terbesar bagi perekonomian Indonesia.
 Kepemilikan asing di sektor keuangan: Indonesia juga terkena dampak dari krisis
keuangan global karena banyak perusahaan di Indonesia yang dimiliki oleh
investor asing. Dalam krisis global ini, banyak investor asing menarik dana
mereka dari Indonesia, sehingga mengakibatkan tekanan pada perekonomian
Indonesia.
 Depresiasi nilai tukar: Krisis global menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS. Hal ini mengakibatkan harga impor menjadi lebih mahal,
sehingga mengakibatkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
 Penurunan investasi: Krisis global juga menyebabkan banyak investor yang
menunda atau mengurangi investasi mereka di Indonesia. Hal ini mengakibatkan
penurunan investasi dalam negeri yang menjadi salah satu faktor penting bagi
pertumbuhan ekonomi.
Dampak dari krisis global tersebut pada akhirnya menyebabkan perekonomian
Indonesia mengalami kontraksi. Pada tahun 2009, PDB Indonesia hanya tumbuh
sebesar 4,6%, jauh di bawah target pemerintah sebesar 6,2%.
c. Pelemahan sektor keuangan: Krisis global juga menyebabkan pelemahan sektor
keuangan di Indonesia. Banyak investor asing yang menarik dananya dari pasar
keuangan Indonesia, menyebabkan penurunan nilai tukar rupiah dan turunnya harga
saham.
 Krisis likuiditas pada sektor perbankan
Krisis likuiditas pada sektor perbankan terjadi karena adanya kenaikan suku bunga
global pada tahun 2006 dan 2007, sehingga membuat biaya pinjaman bank semakin
tinggi. Selain itu, adanya pemberian kredit yang berlebihan juga menjadi penyebab
utama krisis likuiditas pada sektor perbankan di Indonesia. Bank-bank memberikan
kredit dengan bunga yang rendah, tetapi tidak memperhitungkan risiko kredit yang
diambil. Akibatnya, banyak bank yang mengalami kesulitan dalam mengumpulkan
dana untuk membayar kewajiban mereka.
 Terjadinya penurunan nilai tukar rupiah
Pada tahun 2008, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mengalami
penurunan yang cukup signifikan. Hal ini terjadi karena adanya kepanikan investor
yang menarik dananya dari pasar keuangan Indonesia, sehingga menimbulkan
tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Selain itu, kondisi politik yang tidak stabil juga
menjadi faktor penyebab turunnya nilai tukar rupiah.
 Melemahnya sektor properti dan konstruksi
Sektor properti dan konstruksi di Indonesia juga mengalami pelemahan pada tahun
2007 sampai 2008. Hal ini terjadi karena adanya penurunan permintaan akan
properti dan perumahan yang disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat.
Selain itu, terjadi juga kelebihan pasokan properti dan perumahan yang membuat
harga properti dan perumahan turun drastis.
 Turunnya harga komoditas
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil komoditas seperti minyak, gas,
dan batu bara. Pada tahun 2007 sampai 2008, harga komoditas global mengalami
penurunan yang cukup signifikan, termasuk harga komoditas yang dihasilkan
Indonesia. Hal ini berdampak pada menurunnya pendapatan negara dari sektor
komoditas dan berimbas pada pelemahan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Dari beberapa faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa pelemahan sektor keuangan
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia
pada tahun 2007 sampai 2008. Krisis tersebut membuat banyak perusahaan mengalami
kesulitan keuangan, tingkat pengangguran meningkat, dan daya beli masyarakat
menurun.
d. Ketergantungan pada ekspor komoditas: Perekonomian Indonesia pada masa itu masih
sangat bergantung pada ekspor komoditas seperti minyak, gas, dan tambang.
 Ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas juga merupakan salah satu faktor
yang memperparah krisis ekonomi pada tahun 2007 sampai 2008. Pada saat itu,
sektor ekspor Indonesia yang paling penting adalah komoditas, terutama minyak
mentah, gas alam, dan batu bara, yang membentuk sebagian besar pendapatan
ekspor negara.
 Namun, pada tahun 2007 sampai 2008, harga komoditas global mengalami
penurunan tajam karena permintaan global yang menurun akibat krisis keuangan
global. Hal ini membuat pendapatan ekspor Indonesia menurun drastis, yang pada
akhirnya mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan.
 Selain itu, ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas juga membuat
perekonomian Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Sebagai
negara pengekspor, Indonesia tidak memiliki kendali atas harga komoditas, dan
karenanya terkena dampak jika harga turun. Ini menyebabkan neraca perdagangan
Indonesia menjadi defisit dan melemahkan nilai tukar rupiah.
e. Kurangnya regulasi: Meskipun Indonesia sudah mengalami krisis ekonomi pada tahun
1997-1998, regulasi di sektor keuangan masih belum cukup ketat. Hal ini membuat
sektor keuangan Indonesia rentan terhadap praktik spekulatif dan penyalahgunaan.
 Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 2007-2008 disebabkan oleh
berbagai faktor, salah satunya adalah kurangnya regulasi dan pengawasan di sektor
keuangan. Setelah krisis ekonomi pada tahun 1998, Indonesia melakukan reformasi
keuangan dan menetapkan berbagai peraturan baru untuk menghindari terjadinya
krisis serupa di masa depan. Namun, seiring waktu, beberapa praktik keuangan yang
merugikan tetap dilakukan oleh beberapa pelaku industri.
 Salah satu contoh praktik yang merugikan adalah penyaluran kredit yang tidak
terkelola dengan baik oleh bank-bank besar di Indonesia. Banyak bank memberikan
kredit dalam jumlah besar kepada proyek-proyek yang tidak memiliki potensi
menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membayar kembali kredit tersebut. Hal
ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan regulasi dari pihak regulator.
 Kurangnya regulasi juga tercermin dalam lemahnya pengawasan terhadap pasar
modal. Saat itu, investor dapat dengan mudah membeli saham tanpa
mempertimbangkan fundamental perusahaan dan hanya berfokus pada spekulasi
harga saham. Hal ini menyebabkan peningkatan harga saham yang tidak berdasar
pada nilai intrinsik perusahaan, sehingga terjadi spekulasi yang tinggi dan pada
akhirnya mengakibatkan gejolak harga saham.
 Selain itu, ketidakpastian politik dan kebijakan ekonomi yang tidak konsisten juga
menyebabkan kurangnya kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia.
Hal ini menyebabkan keluarnya modal asing dari pasar keuangan Indonesia,
memperburuk situasi yang sudah buruk.
 Dampak dari kurangnya regulasi dan pengawasan terhadap sektor keuangan adalah
meningkatnya kredit bermasalah, terjadinya kebangkrutan bank-bank besar, dan
melemahnya sektor keuangan secara keseluruhan. Hal ini berdampak pada turunnya
pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan menambah beban pada sektor riil, seperti
sektor manufaktur dan pertanian, yang bergantung pada sektor keuangan untuk
membiayai ekspansi dan investasi.
2. Dampak
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 2007-2008 memiliki dampak yang
signifikan terhadap perekonomian dan masyarakat Indonesia. Berikut adalah beberapa
dampak yang disebabkan oleh krisis ekonomi tersebut:
 Kurs rupiah melemah terhadap dolar AS, dari Rp 9.200 per dolar AS pada pertengahan
tahun 2007 menjadi sekitar Rp 12.000 per dolar AS pada awal tahun 2009.
 Turunnya Pertumbuhan Ekonomi: Dampak pertama dari krisis ekonomi adalah
menurunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada tahun 2007, pertumbuhan ekonomi
Indonesia masih mencapai 6,3%, namun pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi hanya
mencapai 4,6%. Hal ini disebabkan oleh turunnya ekspor Indonesia ke negara-negara lain
karena adanya krisis global.
 Pengangguran: Krisis ekonomi pada tahun 2007-2008 juga menyebabkan tingginya angka
pengangguran di Indonesia. Banyak perusahaan yang gulung tikar dan melakukan
pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga banyak tenaga kerja yang kehilangan
pekerjaan. Kenaikan angka pengangguran. Pada tahun 2008, angka pengangguran
meningkat dari 8,46 juta orang pada tahun sebelumnya menjadi 8,66 juta orang.
 Pertumbuhan sektor industri melemah. Pertumbuhan industri manufaktur hanya sekitar
3,5% pada tahun 2008 dibandingkan 6,8% pada tahun sebelumnya.
 Kenaikan Harga Barang: Selain pengangguran, krisis ekonomi juga menyebabkan naiknya
harga barang-barang di pasaran. Hal ini disebabkan oleh turunnya nilai tukar rupiah yang
menyebabkan kenaikan harga barang impor, seperti bahan pangan dan BBM.
 Melemahnya Industri: Krisis ekonomi juga menyebabkan melemahnya industri di
Indonesia. Banyak perusahaan yang mengalami kesulitan finansial sehingga tidak bisa
melakukan investasi yang dibutuhkan untuk memperbarui teknologi dan meningkatkan
daya saing.
 Turunnya Nilai Aset: Turunnya nilai saham, properti, dan aset lainnya juga menjadi
dampak dari krisis ekonomi. Banyak investor yang mengalami kerugian karena nilai aset
mereka turun drastis akibat krisis ekonomi. Terjadi penurunan investasi asing langsung
(FDI) ke Indonesia. FDI pada tahun 2008 turun sekitar 19% dibandingkan tahun
sebelumnya.
 Menurunnya Daya Beli Masyarakat: Karena pengangguran yang tinggi dan kenaikan
harga barang, daya beli masyarakat Indonesia juga menurun. Hal ini berdampak pada
turunnya aktivitas ekonomi di sektor ritel dan perhotelan.
 Krisis Sosial: Dampak terakhir dari krisis ekonomi adalah krisis sosial. Banyak
masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Hal ini menyebabkan terjadinya kemiskinan dan ketimpangan sosial yang
lebih besar.
Kebijakan yang Dilakukan Pemerintah
Pada tahun 2007-2008, Indonesia juga mengalami dampak dari krisis ekonomi global
yang terjadi, terutama setelah krisis hipotek di AS pada 2008. Beberapa langkah kebijakan
yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis ekonomi tersebut antara lain:
1. Kebijakan fiskal dan moneter: Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan fiskal
dengan memberikan stimulus fiskal yang terdiri dari program percepatan
pembangunan infrastruktur, bantuan langsung tunai, dan insentif perpajakan.
Sedangkan kebijakan moneter dilakukan dengan menurunkan suku bunga acuan Bank
Indonesia.
2. Penjaminan Simpanan: Pemerintah Indonesia meningkatkan jumlah penjaminan
simpanan dalam sistem perbankan, sehingga masyarakat lebih percaya dan
menanamkan uangnya di bank.
3. Program pemulihan ekonomi nasional (PEN): Pemerintah Indonesia juga
mengeluarkan program PEN sebagai upaya untuk meningkatkan ekonomi nasional.
Program ini mencakup bantuan sosial, program subsidi bunga, serta peningkatan
investasi di sektor infrastruktur.
4. Penyelesaian masalah perbankan: Pemerintah Indonesia melakukan penyehatan dan
restrukturisasi perbankan untuk mengurangi risiko kredit bermasalah dan
meningkatkan kinerja sektor perbankan.
5. Kerja sama internasional: Pemerintah Indonesia juga menjalin kerja sama dengan
negara-negara lain dalam bentuk bantuan dan dukungan keuangan.

Anda mungkin juga menyukai