NPM : 2021510099 Prodi : Manajemen M K : Perekonomian Indonesia
TUGAS 5
Krisis Subprime Mortgage (Amerika Serikat)
• Latar Belakang : Kemunculan produk subprime mortgage yang dilatarbelakangi oleh cita-cita pemerintah Amerika Serikat untuk memperluas akses kepemilikan properti bagi seluruh penduduk, terutama mereka yang selama ini termarginalisasi dalam hal perumahan, berubah menjadi “bumerang” bagi perekonomian Negara adidaya tersebut. Krisis ekonomi global tahun 2008 terjadi karena Subprime Mortgage (over- supply akan perumahan, Mark-up harga perumahan, dan gaya hidup orang Amerika), pada 1997-an di Amerika sedang ramai-ramainya bidang properti. Pada tahun 2007 Amerika Serikat mengalami krisis subprime mortgage akibat tingginya kredit macet di sektor perumahan. Krisis yang terjadi di Amerika Serikat ini semakin membesar dan menjadi krisis keuangan global pada tahun 2008. Harga saham di berbagai negara pun berjatuhan dan turun secara bersamasama. • Wewenang Bank Sentral : Perbankan Amerika Serikat bukan hanya korban dari krisis subprime mortgage, melainkan juga salah satu faktor penyebab terjadinya krisis tersebut. Terdapat hubungan yang erat antara tata kelola perbankan Amerika Serikat dengan terjadinya krisis subprime mortgage. Penghapusan peraturan Glass Steagal Act yang harus memisahkan bank komersial dengan bank investasi menjadi awal dari timbulnya permasalahan. Apalagi perbankan di Amerika Serikat sudah semakin mengandalkan pada pasar uang dan pasar modal, melebihi dana nasabah yang disimpan di bank tersebut. Sinyal yang menandakan bahwa perbankan sudah harus mulai berhati-hati sudah tampak sejak pertengahan tahun 2007, namun berbagai imbauan khususnya dalam melakukan perbaikan manajemen resiko perbankan tidak dapat menolong lagi. Oleh karena itu dibutuhkan peningkatan transparansi, manajemen resiko yang harus lebih berhati-hati, serta dalam kaitannya dengan semakin kompleksnya berbagai instrumen investasi, perlu diperhatikan mengenai peningkatan pemahaman dan peraturan yang sesuai. Hal tersebut perlu mendapat perhatian, sebab krisis yang terjadi pada perbankan Amerika, akan menular ke belahan dunia lainnya termasuk Indonesia
Krisis Negara Zimbabwe (Hyper-inflation)
• Latar Belakang : Negara resmi mengganti nama menjadi Republik Zimbabwe yang sebelumnya bernama Republik Rhodesia. Zimbabwe dikenal sebagai lumbung pangan dengan tanahnya yang subur. Tidak hanya pertanian, sektor ekonomi lain pun juga mengalami penurunan seperti produksi manufaktur yang menurun sebanyak 26% pada 2006, serta jatuhnya sektor perbankan yang berakibat pada menurunnya kredit bank untuk membiayai perekonomian. Pemasukan ekspor pun juga menurun secara signifikan yang tadinya sebesar US$600 juta ppada 2000, menjadi kurang dari US$125 juta pada 2007. Di tengah kemelut menurunnya kualitas ekonomi, pemerintahan Mugabe justru memutuskan untuk membiayai Perang Kongo Kedua yang meletus pada 1998-2003. Presiden Mugabe pun memerintahkan bank-bank milik negara untuk mencetak uang sebanyak mungkin untuk membiayai perang terutama untuk gaji dan bonus yang besar bagi para prajuritnya. Hiperinflasi di Zimbabwe adalah sebuah masa dimana mata uang tidak stabil yang dimulai pada akhir 1990an tak lama setelah pencabutan kepemilikan lahan dari para tuan tanah, menuju akhir keterlibatan Zimbabwe dalam Perang Kongo Kedua. • Wewenang Bank Sentral : Semakin tidak terkendalinya harga barang dan jasa di Zimbabwe karena penggunaan uang elektronik, membuat Bank Sentral Zimbabwe melarang transaksi uang elektronik lewat smartphone. Akibatnya warga Zimbabwe semakin tidak leluasa dalam bertransaksi barang dan jasa. Sebelumnya, Bank Sentral Zimbabwe menetapkan peraturan setelah negara tersebut mengalami kelangkaan uang tunai. Peraturan tersebut adalah batas penarikan uang tunai dengan maksimal sebesar 100 dolar Zimbabwe atau Rp140.000 per orang . Maka dari itu, warga mulai beralih menggunakan uang elektronik untuk menarik uang tunai walaupun dengan pungutan tinggi. pungutan tinggi tersebut akan berdampak negatif karena mendistorsi harga barang dan jasa dengan kondisi Zimbabwe yang tengah menghadapi hiperinflasi. Sementara itu, IMF memperkirakan inflasi Zimbabwe pada Agustus yang mencapai hampir 300 persen, sehingga memicu kekhawatiran krisis ekonomi 2009 kembali terulang.
Krisis Asia Tenggara (Thailand)
• Latar Belakang : Krisis Moneter Asia dimulai di Thailand pada 2 Juli 1997, setelah nilai mata uang baht Thailand mengalami depresiasi atau jatuh. Selain itu, utang luar negeri Thailand juga membengkak. Segera setelah itu, hal sama juga dialami oleh negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Krisis moneter 1997 yang menimpa Asia juga memicu sentimen terhadap Barat, terutama George Soros, yang merupakan investor sekaligus spekulan andal keturunan Hungaria-Amerika, yang dianggap sebagai pemicu krisis. Dampak krisis moneter 1997 tidak hanya menimpa negara-negara Asia. Pasalnya, investor asing menjadi ragu untuk menanamkan modal atau meminjamkan uangnya ke negara-negara berkembang di seluruh dunia. • Wewenang Bank Sentral : Karena tidak mampu mengatasi krisis ini maka pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan keuangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan Oktober 1997. Ketika terjadi Krisis Moneter Asia 1997, IMF mengeluarkan beberapa paket bailout (dana talangan) untuk negara-negara yang paling parah terkena dampaknya. Misalnya dana talangan sekitar 20 miliar dollar AS ke Thailand, 40 miliar dollar AS ke Indonesia, dan 59 miliar dollar AS ke Korea Selatan, agar negara tidak bangkrut. Negara-negara yang menerima paket juga diminta untuk mengurangi pengeluaran pemerintahan, membiarkan lembaga keuangan yang bangkrut tutup, dan menaikkan suku bunga. Antara 1998-1999, terjadi pemulihan dari krisis yang berlangsung sangat cepat dan kekhawatiran dari dunia pun mereda.
Pendekatan sederhana terhadap krisis ekonomi di Yunani: Sebuah perjalanan untuk menemukan krisis ekonomi Yunani yang dimulai pada tahun 2008 dan menggemparkan dunia. Penyebab dan implikasinya