Anda di halaman 1dari 13

KRISIS 1998

Latar Belakang
Krisis pada tahun 1998 pada awalnya terjadi karena imbas dari
negara-negara tetangga. Diawali dengan krisis yang terjadi di Thailand
terlebih dahulu kemudian menyebar pada negara-negara tetangganya
termasuk Indonesia. Pembangunan di Thailand terbilang sangat pesat,
banyak menarik investor untuk datang, salah satu yang menjadi pendukung
adalahnya adanya elemen stabilitas (unsur Raja) yang dibutuhkan dalam
investasi. Pembiayaan pembangunan di negara Thailand datang dari
berbagai sektor, antara lain dari dalam negeri melalui sistem perbankan
maupun finance companies dan dari luar negeri yang hakikatnya merupakan
hutang luar negeri. Dengan adanya berbagai pembiayaan salah satu
dampaknya ekspor di Thailand sangat maju, pada tahun 1990-an
pertumbuhannya bahkan mencapai 19%. Namun pada tahun 1995 kurs mata
uang USD yang menguat membuat ekspor dari negara tersebut menjadi
kurang menarik dan surut, ujungnya mempengaruhi struktur neraca
pembayaran yang kurang sehat. Di lain sisi nilai tukar THB terhadap USD
sangar kuat dan bahkan dapat dikatakan overvalued (USD 1 = THB 25), hal
ini sangat rentan terhadap permainan para spekulan sehingga mendorong
Bank Sentral Thailand untuk melepaskan nilai mata uangnya menjadi free
floating, ternyata dengan adanya langkah ini membuat THB menjadi lebih
jatuh.
Perkembangan yang ada di Thailand membuat tingkah laku para spekulator
menyerang negara-negara tetangga termasuk Indonesia. Pada tanggal 14
Agustus 1997, Bank Indonesia terpaksa membebaskan nilai tukar IDR
terhadap valuta asing dalam hal ini terutama untuk permintaan akan mata
uang USD menggantikan sistem sebelumnya managed floating. Berlakunya
sistem ini menandakan bahwa tidak ada intervensi pemerintah dalam
pemintaan dan penawaran pasar valuta asing, yang berarti kekuatan mata
uang rupiah tergantung dari kekuatan pasar semata. Pada saat kebijakan ini
diberlakukan nilai rupiah terdepresiasi besar-besaran yang pada akhir Januari
1998 mencapai angka sebesar USD 1 = IDR 13.513.

1
Penyebab dari krisis 1998 yang terjadi di Indonesia bukanlah karena
fundamental ekonomi yang lemah tetapi sebagian besar terjadi karena
merosotnya nilai tukar mata uang IDR terhadap USD yang sangat tajam.
Berikut beberapa faktor penyebab krisis 1998 pada waktu itu:
 Dianutnya sistem devisa yang terlalu lepas tanpa adanya pengawasan
yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir
keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya.
 Tingkat depresiatif rupiah yang relatif rendah (disebabkan adanya arus
modal masuk), yang berada di bawah nilai tukar nyatanya
menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Nilai
rupiah yang overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif.
Karena nilai barang ekspor menjadi lebih mahal dan harga barang
impor menjadi lebih murah, sehingga pasar lebih memilih barang
impor. Hal ini berujung pada penurunan ekspor dan produksi dalam
negeri menjadi tidak berkembang. Nilai rupiah yang overvalued ini
sangat rentan terhadap serangan para spekulan karena tidak
mencerminkan nilai yang nyata.
 Besarnya hutang perusahaan swasta dalam bentuk USD. Kesalahan
pemerintah pada waktu itu adalah karena telah memberi signal yang
salah kepada para pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah
overvalued dan suku bunga pinjaman yang tinggi sehingga pinjaman
dalam rupiah menjadi lebih mahal dan pinjaman luar negeri menjadi
lebih murah. Karena tingginya tingkat suku bunga dalam negeri pada
waktu yang lalu membuat banyak perusahaan lebih tertarik kepada
pinjaman luar negeri dengan suku bunga lebih rendah. Pada saat
terjadinya gejolak nilai tukar, pihak swasta lansung memburu USD
untuk membayar hutang mereka karena kondisi nilai tukar IDR
terhadap mata uang asing khususnya USD yang terus melemah.
Kekhawatiran yang berlebihan ini menjadi kenyataan karena semakin
banyak pihak yang memburu USD sehingga IDR semakin melemah.
 Permainan yang dilakukan oleh para spekulan asing yang dikenal
sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas
cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu. Para spekulan

2
ini meminjam dari sistem perbankan untuk memperbesar taruhan
mereka (jual beli mata uang), hal ini menyebabkan Bank Indonesia
memutuskan untuk tidak intervensi dalam pasar valas.
 Defisit neraca berjalan yang semakin membesar yang disebabkan
permintaan akan barang impor (barang impor lebih murah) lebih besar
ketimbang barang ekspor, dan juga besarnya bunga pinjaman yang
harus dibayar.
 Lemahnya sektor perbankan yang tercermin dari besarnya kredit
macet yang disebabkan oleh praktek perbankan yang tidak berhati-
hati. Banyak kredit disalurkan bukan berdasarkan pada kriteria-kriteria
umum yang digunakan sehingga dapat meningkatkan risiko dari bank
yang berangkutan. Aliran dana banyak disalurkan ke kegiatan grupnya
sendiri dan untuk proyek-proyek properti yang berlebihan yang
melampaui daya beli masyarakat yang ujungnya berakibat kredit
macet dan uangnya tidak kembali. Hal ini tentunya saja melemahkan
kondisi bank tersebut, krisis yang bergejolak membuat bank-bank
tersebut menjadi lebih rentan dan lemah. Hal itu terbukti dengan
terjadinya likuidasi 16 bank yang menggoyahkan kepercayaan
nasabah dan kreditor bank kepada sistem perbankan kita. Untuk
memulihkan kepercayaan tersebut sampai pemerintah perlu
memberikan jaminan kepada nasabah dan kreditor bank.
 Penanaman modal asing, portfolio yang pada awalnya membeli
saham besar-besaran (didasarkan atas pertimbangan stabilitas
moneter yang tinggi dan keadaan perusahaan-perusahaan swasta
yang memiliki kondisi relatif baik) mulai menarik dananya keluar dalam
jumlah besar.

Kondisi di Negara Indonesia


Semua permasalahan yang terjadi pada krisis 1998 berputar-putar
pada kurs valuta asing terutama mata uang USD yang melambung tinggi.
Dampak dari kemerosotan nilai tukar mata uang IDR secara umum dapat
diketahui yakni dimulai dengan naiknya harga bahan sembako, kesulitan

3
menutup APBN, utang luar negeri yang melonjak, tarif listrik naik, PHK
dimana-mana.
Dampak dari krisis yang berkepanjangan ini, menyebabkan adanya
peningkatan keluarga miskin menjadi 7,5 juta sehingga perlu dilancarkan
program-program untuk menunjang kehidupan mereka. Meningkatnya jumlah
penduduk miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai tukar IDR yang tajam dan
menyebabkan kesenjangan antara penghasilan yang berkurang akibat PHK
serta pengeluaran yang meningkat tajam karena adanya inflasi.
Disisi lain juga dengan merosotnya nilai tukar mata uang IDR membuat impor
barang menurun tajam, arus masuk turis asing (sektor pariwisata) meningkat
karena depresiasi mata uang IDR, daya saing produk dalam negeri dengan
tingkat kandungan impor meningkat sehingga bisa menahan impor dan
merangsang pertumbuhan ekspor khususnya berbasis pertanian.

Tindakan Pemerintah Indonesia


Dalam upayanya untuk menyelesaikan krisis ekonomi ini, pemerintah
Indonesia mengundang IMF untuk membantu menyembuhkan masalah
perekonomian. Program reformasi yang disarankan IMF melingkupi tiga
perubahan yang dimana selalu mendapatkan evaluasi sehingga
membutuhkan perubahan agar bisa beradaptasi dan effektif dalam upaya
pemulihan. Kebijakan yang pertama melingkupi 4 bidang yakni :
 Penyehatan sektor keuangan
 Kebijakan fiskal
 Kebijakan moneter
 Penyesuaian struktural
Untuk menunjang program ini, IMF mengalokasikan stand by credit sekitar
USD 11.3 milyar selama 3-5 tahun masa program. Karena dalam beberapa
hal program-program yang dirasakan berat maka dilakukan negosiasi ulang,
yang mencakup beberapa kebijakan yang disusun ulang yakni :
 Kebijakan makro-ekonomi
1. Kebijakan fiskal
2. Kebijakan moneter dan nilai tukar
 Restrukturisasi sektor keuangan

4
1. Program restrukturisasi bank
2. Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
 Reformasi struktural
1. Perdagangan luar negeri dan investasi
2. Deregulasi dan swastanisasi
3. Social safety net
4. Lingkungan hidup
Pelaksanaan reformasi yang kedua juga menghadapi hambatan, maka
dilakukan negosiasi ulang kembali dengan mengeluarkan strategi baru yang
dilancarkan yakni :
 Menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan
ekonomi Indoenesia.
 Memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistem perbankan
 Memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun
ekonomi yang efisien dan berdaya saing.
 Menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan
swasta.
 Mengembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang
normal, sehingga ekspor bisa bangkit kembal

KRISIS 2008

Latar Belakang
Krisis pada tahun 2008 pada awalnya juga disebabkan adanya gejolak
di negara lain dalam hal ini adalah Amerika Serikat yang berimbas krisis
kepada negara-negara sekitar dan Asia. Krisis pada tahun 2008 diawali
dengan adanya kesenjangan pertumbuhan sektor produksi dibandingkan
dengan sektor keuangan. Langkah yang diambil oleh pemerintah Amerika
untuk mengatasi kesenjangan antara kedua sektor tersebut adalah dengan
ekspansi pasar global dan finansialisasi ekonomi dunia. Kesenjangan yang
dimaksud adalah pertumbuhan di sektor produksi lebih lambat ketimbang
pertumbuhan di sektor ekonomi sehingga untuk mengimbangi tingkat
konsumsi yang semakin meningkat mereka mencari alternatif dana tambahan

5
dari institusi keuangan. Hal ini disambut baik oleh institusi keuangan di
Amerika dengan menciptakan berbagai instrumen keuangan yang mutakhir,
di mana pada awalnya terlihat memberikan hasil keuntungan yang sangat
besar.
Salah satu pemicu terjadinya keruntuhan ekonomi Amerika pada tahun 2008
adalah sektor properti, sebelumnya sudah disebutkan bahwa sektor produsen
pertumbuhannya tidak secepat pertumbuhan dalam bidang keuangan di
negara tersebut, juga diindikasikan bahwa pertumbuhan konsumsi di negara
mengalami peningkatan tajam. Untuk menjaga tingkat pertumbuhan
ekonominya, Amerika berusaha mempertahankan tingkat permintaan, salah
satunya di sektor properti melalui suku bunga yang relatif rendah dan fasilitas
keringanan pajak. Di sisi lain, bank sebagai pemberi pinjaman merasa secure
karena kredit perumahan dijamin dengan properti yang harganya cenderung
meningkat dari tahun ke tahun sehingga perkembangan kredit perumahan
(Mortgage) sangat pesat pada kurun waktu 1990-2004. Awalnya pemberian
kredit berdasarkan prinsip kehati-hatian, yaitu berdasarkan rating (Prime
Mortgage) Ketika tingkat permintaan rumah dari masyarakat dengan rating
tinggi telah menurun, perusahaan-perusahaan tidak kehilangan akal untuk
meningkatkan kembali penjualan yaitu dengan memberikan kredit perumahan
kepada masyarakat dengan rating sedikit lebih rendah namun dengan tingkat
suku bunga sedikit lebih tinggi (mengingat tingkat risiko yang lebih tinggi).
Demikian selanjutnya sampai akhirnya mereka berani memberikan ninja loan
– pinjaman terhadap nasabah yang no income, no job dan no asset (dengan
nama lain Sub-Prime Mortgage) dengan pertimbangan return yang lebih tinggi
dan tingkat keamanan yang relatif tinggi bagi bank karena memegang agunan
properti yang nilainya akan terus meningkat. Kredit perumahan ini kemudian
disekuritisasi secara hibrid agar lebih menarik bagi investor yang terdiri atas
bank, perusahaan sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi.
Kerusakan mulai tampak ketika tingkat NPL atas kredit perumahan ini
menjadi sangat tinggi sehingga bank-bank mengalami kesulitan dalam
membayar. Investor segera menarik dananya dari produk-produk perbankan
pada posisi harga yang masih tinggi sehingga perputaran uang di pasar
hipotik menjadi macet. Hal ini menyebabkan struktur pasar uang di mana
memilki keterkaitan produk satu dengan yang lainnya menjadi terganggu,
6
termasuk jaminan obligasi utang (Collateralised Debt Obligation – COD)
sebagai bentuk investasi kolektif dari sub-prime mortgage.
Kegagalan pembayaran kredit perumahan (Subprime Mortgage Default) di
Amerika Serikat, kemudian merusak sistem perbankan bukan hanya di
Amerika Serikat. Berbagai institusi keuangan raksasa Amerika mengalami
guncangan hebat, antara lain: Lehman Brothers, Merryl Linch, Citigroup, AIG,
demikian juga berbagai perusahaan besar seperti General Motors, Ford, dan
Chrysler sehingga mengancam perputaran roda perekonomian Amerika
Serikat. Kondisi tersebut meluas ke Eropa, lalu ke Asia. Secara beruntun
menyebabkan domino effect terhadap solvabilitas dan likuiditas lembaga-
lembaga di negara-negara tersebut, yang menyebabkan kebangkrutan
ratusan bank, perusahaan sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi.

Kondisi di Negara Indonesia


- Peningkatan yield SUN dari sekitar 10% sebelum krisis menjadi 17,10%
per 20-11-2008 (setiap peningkatan 1% kenaikan yield SUN akan
menambah biaya bunga SUN sebesar Rp. 1,4 T di APBN)
- Peningkatan Credit Default Swap (CDS) dari  250 bps pada awal tahun
2008 menjadi di atas 980 bps pada bulan November 2008, yang
menunjukkan penilaian country risk Indonesia di mata pasar tinggi pada
masa itu.
- Terdapat gangguan likuiditas di pasar karena peningkatan liquidity
premium akibat pelebaran bid-ask spread dalam perdagangan pasar
saham sehingga menyebabkan capital flight
- Penurunan cadangan devisa sebesar 13% dari USD 59,45 M (Juni 2008)
menjadi USD 51,64 M (Desember 2008)
- Depresiasi nilai tukar mata uang IDR terhadap USD sebesar 30,9% dari
Rp. 9.840,- (Jan 2008) menjadi Rp. 12.100,- (November 2008) dengan
tingkat volatilitas yang tinggi
- Penurunan Banking Pressure Index (dikeluarkan oleh Danareksa
Research Institute) dari 0,5 (kondisi normal) menjadi sebesar 0,9 (per
Oktober 2008)
- Penurunan Financial Stability Index (dikeluarkan oleh Bank Indonesia) dari
kondisi normal 2,0 menjadi sebesar 2,43 (per November 2008).
7
- Terdapat potensi terjadi capital flight yang lebih besar lagi dari para
deposan bank karena tidak adanya sistem penjaminan penuh (full
guarantee) di Indonesia seperti yang sudah diterapkan di Australia,
Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan di samping Uni Eropa.
- Tingkat ekspor khususnya dengan negara tujuan Amerika Serikat, Eropa
dan sebagainya menurun karena negara-negara tujuan ekspor tersebut
sedang dalam kondisi krisis dengan banyaknya perusahaan-perusahaan
raksasa yang bangkrut dan tingkat pengangguran yang terus meningkat
sehingga daya beli menurun.

Tindakan Pemerintah Indonesia


Tindakan pemerintah Indonesia dalam menghadapi krisis:
- Pemberian likuiditas
- Bail out (penyelamatan)
- Menurunkan tingkat bunga
- Memberikan stimulus fiskal
- Menghentikan transaksi di bursa efek
- Langkah konvensional dilakukan dengan memberikan insentif kepada
dunia usaha. Di sini, PP No 1/2007 tentang insentif pajak bagi usaha
dan daerah tertentu akan diimplementasikan. Paket kebijakan ekonomi
lawas melalui Inpres 5/2008 juga terus dijalankan
- Kebijakan non-konvensional juga dilakukan melalui pemangkasan
defisit APBN.
- Jaring pengaman sosial
- Menjaga stabilitas harga pangan dan energi

1998 VS 2008

8
Indikator Ekonomi
Indikator 1998 2008
Inflasi 77,60% 12%
PDB -13,13% 6,30%
Deposito 3 bulan 40% 10%
Cadangan Devisa USD 22 Milliar USD 56 Milliar
Short-term Loan to Foreign Reserves
175% 34,50%
Ratio
Ekspor -13% 30%
Impor -30% 45%
IHSG Rp. 272,- Rp. 1.146,-
Kurs USD-IDR Rp.13.513,- Rp.12.195.12

Kesamaan dan Perbedaan Antara Krisis 1998 dan 2008


Kesamaan dari kedua krisis tersebut antara lain:
1. Kedua krisis tersebut merupakan konsekuensi dari keberadaan
ekonomi global, di mana terdapat saling ketergantungan ekonomi dan
finansial antar Negara
2. Krisis yang terjadi berdampak pada turunnya nilai mata uang rupiah
terhadap mata uang asing.
3. Krisis akan berimbas kepada sektor ekonomi yang mengakibatkan
kerugian bagi masyarakat.
4. Krisis disebabkan karena bank/lembaga keuangan tidak menerapkan
manajemen risiko dan prinsip kehati-hatian dalam mengelola dana.

Perbedaan antara krisis ekonomi 1998 dan krisis global 2008 antara lain:

9
Krisis Ekonomi Tahun 1998 Krisis Global Tahun 2008
Krisis bersifat multidimensional yaitu Krisis finansial dan ekonomi
krisis ekonomi, politik, sosial,
ideologi, pertahanan dan keamanan.
Dipicu oleh krisis mata uang THB. Dipicu oleh macetnya Kredit
Kepemilikan Rumah (KPR) Sub
Prime di Amerika Serikat.
Kondisi likuiditas perbankan di Kondisi likuiditas perbankan di
Indonesia rentan di mana penyaluran Indonesia cukup baik karena
kredit sangat agresif namun tidak penyaluran kredit telah didukung
didukung oleh manajemen risiko dengan manajemen risiko yang lebih
yang memadai sehingga ketika memadai.
terjadi penarikan dana dari
masyarakat, bank tidak mampu
memenuhi kewajibannya.
Eksposur kredit valas tanpa proteksi Eksposur kredit valas telah diproteksi
sangat tinggi di Indonesia sehingga melalui aktivitas hedging baik yang
ketika terjadi fluktuasi nilai tukar dilakukan oleh peminjam sendiri
valas, sebagian besar peminjam maupun oleh lembaga keuangan
tidak dapat memenuhi kewajibannya. lainnya.
Berimbas pada tindakan anarkisme Tidak berimbas pada tindakan
masyarakat anarkisme masyarakat
Menyebabkan rakyat menuntut Tidak menyebabkan rakyat menuntut
pergantian kepemimpinan pergantian kepemimpinan

DAFTAR PUSTAKA

10
 Tarmidi, Lepi T. 1999 “Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak,
Peran IMF dan Saran” dalam Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan, Maret 2009,
 Iskandar, Dahlan ”Krisis Subprime di Amerika Serikat : Kalau Langit
Masih Kurang Tinggi” – http://investtool.blogspot.com
 “Regulator Top AS Ungkap Penyebab Krisis Ekonomi 2008” –
www.suaramedia.com tgl. 14 Januari 2010
 “Dari Kapitalisme Turun ke Krisis : Bagaimana Kaum Progresif
Indonesia Melihat Krisis Ekonomi 2008” –
http://indoprogress.blogspot.com
 “Krisis Global 2008” – www.indonesiarecovery.com
 “Kronologis Gelombang Krisis Global” – www.indonesiarecovery.com
 www.imf.org
 www.bi.go.id
 http://www.indonesiarecovery.com

11
LAMPIRAN

Indonesia Inflation Rate

70

60

50

40

30

20

10

0
1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004 2007

Indonesia Inflation Rate

Indonesia GDP Grow th

15

10

0
1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004 2007
-5

-10

-15

Indonesia GDP Grow th

12
K urs US D-IDR 1997-1999
16,000

14,000

12,000

10,000

8,000

6,000

4,000

2,000

0
J an-97 A pr-97 J ul-97 Oc t-97 J an-98 A pr-98 J ul-98 Oc t-98 J an-99 A pr-99 J ul-99 Oc t-99

K urs US D-IDR 1997-1999

K urs US D-IDR 2007-2009

14,000

12,000

10,000

8,000

6,000

4,000

2,000

0
J an-07 A pr-07 J ul-07 Oc t-07 J an-08 A pr-08 J ul-08 Oc t-08 J an-09 A pr-09 J ul-09 Oc t-09

K urs US D-IDR 2007-2009

13

Anda mungkin juga menyukai