Sejarah
Awal terjadinya berbagai krisis yang muncul di Indonesia adalah adanya devaluasi
mata uang Baht oleh pemerintah Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat
adanya kegiatan di pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian
merambat ke Filipina, Malaysia dan Indonesia. Pada mulanya kurs dolar Amerika
Serikat US$ 1 = Rp 2.400,- menjadi US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada
bulan Agustus November 1997) sampai menunjukan angka US$1 = Rp 12.000,-.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia antara
lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai 30%,
dengan harapan menurunkan inflasi. Namun kenyataan dilapangan, bank-bank
menaikan leading rate (tingkat suku bunga kredit) karena cost of loanable punds
mengalami kenaikkan pada semua bank. Akibat lainnya Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) juga meningkat tajam, karena bank-bank mengalami kesukaran
likuiditasnya. Kondisi ini bahkan meningkatkan laju inflasi dari 11,05% pada tahun
1997 menjadi 77,63% pada tahun 1998.
Krisis nilai tukar / krisis moneter merupakan pemicu awal terjadinya krisis perbankan
dan krisis ekonomi pada tahun 1997 diikuti oleh krisis-krisis lainnya, karena
kepercayaan masyarakat rendah dengan kondisi sector perbankan yang rapuh. Hal
ini terjadi karena kebijakan perbankan yang sangat liberal. Sampai hamper satu
decade setelah krisis perbankan masih tetap menjadi bagian dari krisis ekonomi.
Kondoso LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan masih rendah. Sepertiga bahkan
sampai 40% dana perbankan tidak bisa disalurkan sebagai kredit untuk usaha dan
bisnis. Dana perbankan banyak dimainkan untuk investasi bukan disektor riil.
Sebagai kebalikan aturan perbankan sebelum krisis, setelah krisis perbankan dijerat
dengan berbagai aturan yang sangat ketat, sehingga mengorbankan sector riil.
Kondisi sector industry akhirnya juga mengalami kemacetan. Akibat selanjutnya
tidak hanya krisis moneter, krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia, tetapi juga diikuti krisis sosial, krisis kepercayaan dan krisis polotik.
1. Thailand
Pada tahun 1980-an, perekonomian Thailand berjalan stabil dengan pertumbuhan
rata-rata sebesar 9% per tahun. Stabilnya perekonomian Thailand saat itu
mendorong banyak perusahaan swasta di Thailand untuk mendapatkan keuntungan
yang lebih banyak dengan melakukan leveraging, mengajukan kredit usaha besar-
besaran ke bank-bank di negara maju seperti Jepang. Karena melihat tren
perekonomian Thailand yang stabil secara makro, bank-bank di Jepang dengan
sangat mudah mengucurkan kredit tanpa memperhatikan fundamental perusahaan
debitur. Artinya, perbankan di Jepang telah mengucurkan kredit Ponzi ke berbagai
perusahaan di Thailand. Akhir tahun 1996, tibalah masa jatuh tempo pembayaran
utang perusahaan-perusahaan swasta di Thailand. Karena pada saat itu banyak
perusahaan yang tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka timbullah
ketidakpercayaan di kalangan perbankan Jepang terhadap kapabilitas perusahaan
Thailand. Beberapa bank Jepang mempercepat jatuh tempo pembayaran utang.
Akibatnya, masa jatuh tempo pelunasan utang terakumulasi dalam periode yang
sama. Pada tahun yang sama (1996), hedge fund Amerika Serikat menjual US$400
juta ke Thailand. Awal tahun 1997, nilai mata uang Baht jatuh karena tingginya
permintaan terhadap Dollar AS. Perusahaan swasta yang memiliki utang jatuh
tempo pada tahun 1997 semakin kesulitan mengembalikan pinjaman karena Baht
yang menurun tajam.
Ketidakmampuan perusahaan swasta Thailand dalam memenuhi kewajibannya
membuat nilai saham perusahaan-perusahaan itu jatuh. Karena banyak nilai saham
perusahaan yang anjlok, secara otomatis membuat pasar modal Thailand anjlok
pula hingga 75%. Dimulailah krisis finansial di Thailand pada 2 Juli 1997. Finance
One (perusahaan keuangan terbesar di Thailand) ikut mengalami kebangkrutan.
Pada 11 Agustus 1997, IMF menawarkan paket penyelamatan untuk Thailand
dengan menyediakan dana lebih dari US$ 16 milyar. Namun, akhirnya pada 20
Agustus IMF menyetujui pencairan paket penyelamatan sebesar US$ 3,9 milyar.
Paket penyelamatan yang dikucurkan IMF segera menunjukkan aksinya. Bulan
Januari 1998, Baht jatuh ke titik terendahnya: 56 Baht per US$, padahal sejak 1985
hingga 2 Juli 1997 Baht dipatok pada harga 25 Baht per US$.
2. Philipina
Krisis di Thailand membawa pengaruh di Filipina. Bank sentral Filipina menaikkan
suku bunga sebesar 1,75 persen pada Mei 1997 dan 2 persen lagi pada 19 Juni
1997. Pada 3 Juli, bank sentral Filipina dipaksa IMF untuk campur tangan besar-
besaran dalam menjaga kestabilan Peso Filipina, sehingga harus manut kepada
perintah IMF dengan menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen hanya
dalam waktu satu malam saja.
3. Hong Kong
Di Filipina, krisis lalu menjalar ke Hong Kong. Pada 15 Agustus 1997 seperti yang
terjadi di Filipina, suku bunga Hong Kong naik dari 8 persen ke 23 persen dalam
waktu yang sangat singkat. Pada Oktober 1997, dolar Hong Kong yang sebelumnya
dipatok HK$7,8 per USD mendapatkan tekanan spekulatif karena inflasi Hong Kong
lebih tinggi dibanding AS selama bertahun-tahun. Pemerintah setempat
menghabiskan lebih dari US$ 1 milyar untuk mempertahankan mata uang lokal.
Meskipun adanya serangan spekulasi, Hong Kong masih dapat mengatur mata
uangnya yang dipatok ke dolar AS. Pasar modal Hong Kong menjadi tak stabil,
antara 20 sampai 23 Oktober, Index Hang Seng jatuh hingga 23%.
4. Korea Selatan
Korea Selatan yang menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-11 dunia,
turut menerima imbas krisis Thailand. Meski fundamental ekonomi makro Korsel
sangat baik, namun sektor perbankannya dibebani kredit macet luar biasa. Angka
Non Performing Loan (NPL) yang sangat tinggi mengakibatkan banyak perusahaan
Korsel yang mengalami default, nilai sahamnya jatuh, atau bahkan diakuisisi oleh
perusahaan lain. Contohnya pada Juli 1997, Kia Motors yang notabene merupakan
produsen mobil terbesar ketiga di Korea, terpaksa meminta pinjaman darurat kepada
perbankan. Bursa efek Seoul jatuh sebesar 4% pada 7 November 1997. Sehari
kemudian, bursa jatuh kembali hingga mencapai angka 7%, penurunan terbesar
sepanjang sejarah negara tersebut. Pada 24 November, pasar modal jatuh lagi
hingga 7,2% karena adanya kekhawatiran IMF akan meminta reformasi yang
membebani ekonomi Korsel. Peringkat kredit Korea Selatan turun dari A1 ke A3
pada 28 November 1997, dan turun lagi menjadi B2 pada 11 Desember. Pada tahun
1998, Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors.
5. Malaysia
Di Malaysia, negara ini mengalami defisit anggaran hingga 6 persen. Pada bulan Juli
1997, Ringgit Malaysia diserang oleh para spekulator. Untuk menyikapi serangan itu,
Pemerintah Malaysia mengambil kebijakan mata uang mengambang (floating
exchange rate), tetapi akibatnya justru Ringgit Malaysia anjlok secara drastis pada
17 Agustus 1997. Empat hari kemudian Standard and Poors menurunkan peringkat
utang Malaysia. Seminggu berselang, peringkat Maybank juga ikut turun, padahal
Maybank adalah bank terbesar di Malaysia. Di hari yang sama, bursa efek Kuala
Lumpur jatuh 856 poin, dan menjadi titik terendahnya sejak 1993. Pada 2 Oktober,
Ringgit kembali terjungkal dan membuat Perdana Menteri Malaysia Mahathir
Mohamad harus mengambil kebijakan capital control. Meski demikian, mata uang
Ringgit tetap saja jatuh lagi pada akhir 1997 ketika Mahathir Mohamad
mengumumkan bahwa pemerintah Malaysia akan menggunakan RM 10 milyar untuk
membiayai proyek jalan, rel, dan saluran pipa. Pada 1998, pengeluaran di berbagai
sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9
persen, dan agrikultur 5,9 persen. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara ini
turun 6,2 persen pada 1998. Meski ikut mengalami dampak negatif krisis finansial
Asia 1997, Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis ini karena
menolak bantuan IMF
6. Indonesia
Pada Juni 1997, Indonesia mulai mengalami pengaruh krisis Thailand. Tidak seperti
Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari
US$900 juta, cadangan devisa lebih dari US$20 milyar, dan sektor perbankan yang
berjalan dengan baik. Namun sayangnya, ternyata banyak perusahaan Indonesia
yang meminjam ke luar negeri atau berutang dalam bentuk dolar AS. Pada Juli 1997
saat Thailand mengambangkan nilai tukar Baht, Rupiah mulai menunjukkan tren
bearish. Pada 14 Agustus 1997, Pemerintah RI mengganti kebijakan pertukaran
mengambang teratur dengan pertukaran mengambang bebas, akibatnya Rupiah
terperosok semakin dalam. IMF kemudian datang dengan paket bantuan US$23
milyar, tapi tetap saja rupiah semakin anjlok lebih dalam lagi karena adanya
pembayaran utang swasta luar negeri yang jatuh tempo, permintaan US$ yang
sangat tinggi di pasar, dan penjualan rupiah besar-besaran. Pasar uang dan bursa
efek Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September 1997. Moodys
menurunkan peringkat utang jangka panjang Indonesia menjadi junk bond.
7. Singapura
Ekonomi Singapura berhasil mengatur performa yang relatif sehat dibandingkan
dengan negara lain di Asia selama dan setelah krisis finansial, meskipun hubungan
erat dan ketergantungan ekonomi regional tetap membawa efek negatif terhadap
ekonominya. Tetapi, secara keseluruhan kemampuannya menghilangkan krisis
diperhatikan secara luas, dan meningkatkan penelitian kebijakan fiskal Singapura
sebagai pelajaran bagi negara tetangganya.
Sebagai ekonomi terbuka, dolar Singapura terbuka terhadap tekanan spekulatif
seperti telah terjadi pada 1985. Ekonomi sangat penting dalam keberlangsungan
Singapura sebagai negara merdeka, pemerintah Singapura berhasil mengatur suku
pertukaran mata uangnya untuk menghindari potensi penyerangan speklulatif.
8. Tiongkok daratan
Republik Rakyat Tiongkok tidak terpengaruh oleh krisis ini karena renminbi yang
tidak dapat ditukar dan kenyataan bahawa hampir semua investasi luarnya dalam
bentuk pabrik dan bukan bidang keamanan. Meskipun RRT telah dan terus memiliki
masalah solvency parah dalam sistem perbankannya, kebanyakan deposit di bank-
bank RRT adalah domestik dan tidak ada pelarian bank.
9. Amerika Serikat dan Jepang
Flu Asia juga memberikan tekanan kepada Amerika Serikat dan Jepang. Ekonomi
mereka tidak hancur, tetapi terpukul kuat. Pada 27 Oktober 1997, Industri Dow
Jones jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi Asia. Bursa
Saham New York menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke jatuhnya
konsumsi dan keyakinan mengeluarkan uang.
Jepang terpengaruh karena ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-
negara Asia biasanya menjalankan defisit perdagangan dengan Jepang karena
ekonomi Jepang dua kali lebih besar dari negara-negara Asia lainnya bila
dijumlahkan, dan tujuh kali lipat RRT. Sekitar 40 persen ekspor Jepang ke Asia.
Pertumbuhan nyata GDP melambat di 1997, dari 5 persen ke 1,6 persen dan turun
menjadi resesi pada 1998. Krisis Finansial Asia juga menuntun ke kebangkrutan di
Jepang.
10. Laos
Laos terpengaruh ringan oleh krisis ini dengan nilai tukar Kip dari 4700 ke 6000
terhadap satu dolar AS.
III. SEBAB KRISIS MONETER
Krisis moneter yang menimpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997 dan
mengalami puncaknya ketika memasuki tahun 1998. Krisis moneter lebih pantas
disebut krisis ekonomi karena sudah berakibat ke berbagai segi perekonomian
Indonesia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi krisis moneter yang terjadi
di Indonesia.Salah satu faktor yang menyebabkan krisis moneter Indonesia menurut
Jurnal Akuntansi dan Keungan Inflasi di Indonesia diawali ketika nilai mata uang
Indonesia terdepresiasi terhadap mata uang asing (terutama dolar AS). Penurunan
nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS berakibat besar pada perusahaan besar
yang banyak meminjam dana dari luar negeri. Hal ini berakibat pada biaya besar
yang harus dikeluarkan perusahaan sehingga banyak perusahaan yang gulung tikar
dan banyaknyapengangguran.Hal serupa juga diungkapkan dalam Jurnal Akuntansi
dan Keuangan Inflasi diIndonesia bahwa penurunan nilai mata uang asing
(terutama terhadap dolar AS), akibatefek domino dari terdepresiasinya mata uang
Thailand (bath) salah satunya mengakibatkan kenaikan harga barang barang yang
diimpor oleh Indonesia. Hal ini mengakibatkan kenaikan berbagai barang barang
impor secara langsung maupun tidak langsung. Kenaikan harga barang barang di
pasaran semakin di perparah dengan banyaknya pengangguran yang terjadi. Krisis
moneter ini tidak seluruhnya disebabkan oleh berbagai hal tentang moneter seperti
yang terdapat dalam Krisis Moneter : Sebab, Dampak, Peran IMF, dan Saran
mengungkapkan bahwa krisis ini juga diperparah dengan berbagai musibah nasional
yang terjadi seperti, misalnya kegagalan panen akibat kekeringan, kebakaran hutan
secara besar-besaran di Kalimantan, dan berbagai kerusuhan yang terjadi di
berbagai wilayah.Krisis ini mulai merambat ke dalam segi masalah sosial yang
terjadi dalam masyarakat. Kegagalan panen yang berimbas pada semakin mahalnya
harga beras sekaligus petani mengalami kerugian besar-besaran. Kebakaran hutan
dan kerusuhan yang terjadi dimana- mana memaksa pemerintah membagi
pikiran.Akibat fluktuasi akan dollar AS, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus
1997membebaskan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar
AS (KrisisMoneter Indonesia : Sebab, Dampak, dan Peran IMF). Indonesia yang
dulunya menganut system floating managed mengubah menjadi free floating.
Dengan sistem baru ini, Bank Indonesia tidak perlu melakukan intervensi atau
menyediakan sejumlah dana untuk membantu dalam mengembalikan nilai mata
uang rupiah. Perubahan system dari floating managed ke free floating berakibat
merosotnya cepat dan tajam dari Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp
13.513 akhir Januari 1998. Hal ini diakibatkan banyak orang yang bereaksi dengan
membeli dollar dan menjual rupiah karena harga dollar yangsemakin melambung.
Sehingga permintaan akan dolar lebih banyak dibanding permintaan akan rupiah
seperti halnya dalam hukum permintaan dan penawaran dimana ketika penawaran
tetap dan permintaan naik maka akan pula menaikkan nilai dari barang tersebut. Hal
ini berlaku pula dalam mata uang asing seperti, dollar ini. Hal ini yang semakin
memperburuk keadaan dan nilai rupiah turun dengan tajam pada tahun 1998.
Namun pada Mei 1999 nilai rupiah kembali membaik.
INDIKATOR UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990-1997
Tabel 1
Selain program sertifikasi guru untuk menjaga mutu, juga akan ditingkatkan program
pendidikan dan pelatihan bagi para guru termasuk program pendidikan bergelar bagi
para guru agar sesuai dengan bidang pelajaran yang diajarkan dan semakin
bermutu dalam memberikan pengajaran pada siswa.
Memperbaiki remunerasi guru dan melanjutkan upaya perbaikan penghasilan
kepada guru, dosen, dan para peneliti.Memperluas penerapan dari kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mendukung kinerja penyelenggaraan
pembangunan di bidang pendidikan. Mendorong partisipasi masyarakat (terutama
orang tua murid) dalam menciptakan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu dan sesuai dengan aspirasi dan tantangan jaman saat ini dan
kedepan.
Mengurangi kesenjangan dalam akses pendidikan dan kualitas pendidikan, baik
pada keluarga berpenghasilan rendah maupun daerah yang tertinggal. Pemberiaan
program beasiswa serta pelaksanaan dan perluasan Program Keluarga Harapan
(PKH), serta memberikan bantuan tunai kepada rumah tangga miskin dengan syarat
mereka mengirimkan anaknya ke bangku sekolah.
Ketika itu Indonesia seolah tinggal selangkah menjadi negara makmur. Tapi semua
itu mulai berantakan pada Agustus 1997, ketika rupiah mulai terjun bebas terhadap
dollar AS. Kredit macet dan harga-harga barang langsung melambung. Rakyat pun
mengamuk. Demikian hebatnya amuk rakyat ketika itu, tentara yang biasanya
sangat ampuh menghadapi kerusuhan tak berdaya. Akhirnya, ketika kobaran api
dan kematian makin merebak di berbagai kota, Suharto menyatakan mundur
sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998.
Mirip menjelang Krismon 1997, data BI sampai awal 2015 menunjukkan utang luar
negeri swasta lebih besar ketimbang pemerintah, yaitu US$ 192 miliar berbanding
US$ 136 miliar. Sama seperti dulu, kebanyakan utang swasta, menurut data BI
sekarang, bersifat jangka pendek dan tanpa lindung-nilai.Celakanya, tak sedikit dari
utang Valas tersebut dipakai untuk membiayai proyek-proyek berjangka menengah
atau panjang. Lebih mengkhawatirkan lagi, hasil dari proyek-proyek tersebut
berbentuk rupiah. Salah satu paling berisiko adalah proyek-properti yang
belakangan ini menjamur dimana-mana. Hal ini tampak kasatmata dari
pembangunan perumahan, mal, superblock, dan sebagainya.Maka, seperti 1997, bila
nanti rupiah jeblok berkelanjutan, kredit macet bakal melesat dan banyak proyek
berhenti di tengah jalan. PHK massal pun tak terelakkan! Bisa dipastikan, lembaga-
lembaga akan mengalami kerugian besar bahkan bisa bangkrut lantaran tak
sanggup menanggung kredit macet. Dan pemerintah pun dihadapkan pada dua
pilihan: mengambil langkah penyelamatan dengan menalangi kredit macet para
kreditor, atau membiarkan kebangkrutan terjadi. Sejak kasus Bank Century, kedua
pilihan mengandung resiko berat. Seperti kasus Bank Century, menyelamatkan bisa
membuat para pengambil keputusan menjadi bulan-bulanan para politisi, bahkan
bisa masuk penjara. Bila memilih keputusan kedua, pada titik ekstrim, dunia
keuangan bisa mengalami kebangkrutan massal atau jatuh sepenuhnya ke tangan
asing.
Berdasarkan kasus Bank Century itulah, Ketua umum Perhimpunan Bank-bank
Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono, telah berulang kali mengingatkan bahwa
UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) harus segera dibuat. Tanpa JPSK,
menurut Sigit, ketika terjadi krisis keuangan tak ada pejabat yang berani mengambil
keputusan karena takut diadili secara politis dan pidana.
Sigit berharap agar UU JPSK mengatur tentang definisi krisis, siapa yang berhak
menentukan telah terjadi krisis, dan apa yang bisa dilakukan oleh Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), atau Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Tapi Sigit tentu juga harus realistis bahwa sekarang ini
segala sesuatu bisa dijungkirbalikkan, termasuk pasal-pasal hukum yang tersurat.
Kini secara umum lembaga keuangan, baik bank maupun yang non-bank, masih
dalam kondisi sehat. Hanya saja, sejumlah isyarat bahaya sudah bermunculan.
Salah satunyanya adalah anjloknya laba bank-bank swasta papan atas pada 2014.
Laba perbankan swasta dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia, tahun lalu turun
7,06% dari Rp 28,12 triliun menjadi Rp 26,13 triliun.
Hanya dua bank swasta yang tahun lalu mengalami kenaikan laba, yaitu BCA
dengan perolehan Rp 16,49 triliun atau naik 15,7% dari Rp 14,25 triliun; dan Bank
Panin dengan pertumbuhan laba 4,42% dari Rp 2,26 triliun menjadi Rp 2,36 triliun.
Bank swasta lainnya, yaitu CIMB Niaga labanya anjlok 59,13% menjadi Rp 2,34
triliun di akhir 2014; Bank Danamon rontok 36% menjadi Rp 2,6 triliun; BII ambles
65% menjadi Rp 752 miliar; dan Bank Permata turun 8,77% menjadi Rp 1,59 triliun.
Dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia itu, bank-Bank BUMN memang masih
mencetak pertumbuhan laba. Total laba yang dibukukan Mandiri, BRI, BNI dan BTN
tahun lalu naik 12,07% menjadi Rp 56 triliun. Dengan rincian, laba BRI naik 14,35%
menjadi Rp 24,2 triliun, Mandiri naik 9,34% menjadi Rp 19,9 triliun, BNI naik 19,1%
menjadi Rp 10,78 triliun. Satu-satunya bank milik pemerintah yang membukukan
penurunan laba adalah BTN , yaitu dari 1,56 triliun menjadi 1,12 triliun atau turun
28,59%. Sementara itu merosotnya harga komoditas seperti minyak sawit, batubara
dan minyak telah mendorong OJK untuk mengingatkan para bankir agar waspada
terhadap bahaya kredit macet. Dengan alasan, rontoknya harga komoditas-
komoditas tersebut berdampak luas terhadap perekonomian nasional. Ini karena
minyak kelapa sawit dan batubara adalah komoditas unggulan Indonesia, dan
minyak masih merupakan sumber penghasilan penting bagi pemerintah.
OJK tak menginginkan apa yang terjadi pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) merembet
ke yang lain. Kemacetan KUR tahun lalu mencapai 4,2%, padahal batas toleransi
kredit macet adalah 5%. Kenyataan ini membuat pemerintah memangkas KUR
sebanyak 30% menjadi Rp 20 trilliun pada tahun ini. Agar tak kecolongan lagi,
pemerintah juga tak lagi menggunakan BPD sebagai penyalur KUR. Sekarang
hanya BRI, BNI, dan Mandiri yang diberi kepercayaan menyalurkan KUR .
Selain kerugian yang dialami Bank terjadi juga penurunan nilai mata uang rupiah,
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat menembus Rp
13.000/US$. Ini merupakan titik terlemah sejak 17 tahun terakhir, alias sejak era
krisis ekonomi 1998 (krisis moneter/krismon).
Mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga sejumlah menteri menyatakan,
pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor eksternal. Terutama karena mulai
menguatnya perekonomian Amerika Serikat (AS), setelah dilanda krisis hebat pada
2008 lalu.Kondisi ini membuat dolar AS yang menyebar di negara-negara
berkembang pulang kampung. Sehingga tak hanya rupiah, tapi banyak mata uang
di duna yang juga melemah terhadap dolar.Namun analis asing punya pendapat lain
soal pelemahan rupiah yang terjadi.
Berikut rangkumannya seperti dikutip:
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Krisis Moneter yang dialami Indonesia pada pertengahan tahun 1997 sampai akhir
tahun1998 yang berdampak pada lemahnya perekonomian Indonesia. Faktor utama
penyebab krisis monter ini adalah turunnya nilai tukar rupiah atas dollar AS. Faktor
lain yang menjadi pemicunya adalah tingkat utang perusahaan swasta yang tinggi
dan sudah mulai jatuh tempo pada tahun-tahun tersebut, hal ini diperparah dengan
berbagai musibahnasional yang terjadi seperti Krisis Monter yang membawa
dampak besar bagi seluruhsegi kehidupan Indonesia yaitu :
a) Segi Ekonomi :
Inflasi tinggi
Banyaknya perusahaan yang tutup akibat utang luar negeri merekayang
membengkak
Pengangguran tinggi
Rendahnya tingkat investasi dan tabungan masyarakat
b) Segi Sosial Politik
Banyak kerusuhan dimana-mana akibat rasa ketidakpercayaanmasyarakat
terhadap kepemimpinan presiden
Turunnya Soeharto sebagai presiden
Banyak rakyat miskin
Dampak dari Krisis Moneter tersebut salah satunya adalah tingkat inflasi yangtinggi
dan pengangguran yang tinggi pula. Kedua hal tersebut bila dihubungkan
menurutilmu makro ekonomi tidak cocok. Karena tingginya tingkat inflasi
berhubungan negativedengan tingkat pengangguran. Semakin tinggi tingkat inflasi
maka semakin turun tingkat pengangguran tersebut. Bila dikaji lebih lanjut hal
tersebut tidak bisa dijadikan sebagaikonsep utama. Jadi, hubungan antara keduanya
bergantung pada faktor penyebab terjadinya tingkat inflasi dan pengangguran
tersebut.