Anda di halaman 1dari 19

I.

Sejarah
Awal terjadinya berbagai krisis yang muncul di Indonesia adalah adanya devaluasi
mata uang Baht oleh pemerintah Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat
adanya kegiatan di pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian
merambat ke Filipina, Malaysia dan Indonesia. Pada mulanya kurs dolar Amerika
Serikat US$ 1 = Rp 2.400,- menjadi US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada
bulan Agustus November 1997) sampai menunjukan angka US$1 = Rp 12.000,-.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia antara
lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai 30%,
dengan harapan menurunkan inflasi. Namun kenyataan dilapangan, bank-bank
menaikan leading rate (tingkat suku bunga kredit) karena cost of loanable punds
mengalami kenaikkan pada semua bank. Akibat lainnya Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) juga meningkat tajam, karena bank-bank mengalami kesukaran
likuiditasnya. Kondisi ini bahkan meningkatkan laju inflasi dari 11,05% pada tahun
1997 menjadi 77,63% pada tahun 1998.
Krisis nilai tukar / krisis moneter merupakan pemicu awal terjadinya krisis perbankan
dan krisis ekonomi pada tahun 1997 diikuti oleh krisis-krisis lainnya, karena
kepercayaan masyarakat rendah dengan kondisi sector perbankan yang rapuh. Hal
ini terjadi karena kebijakan perbankan yang sangat liberal. Sampai hamper satu
decade setelah krisis perbankan masih tetap menjadi bagian dari krisis ekonomi.
Kondoso LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan masih rendah. Sepertiga bahkan
sampai 40% dana perbankan tidak bisa disalurkan sebagai kredit untuk usaha dan
bisnis. Dana perbankan banyak dimainkan untuk investasi bukan disektor riil.
Sebagai kebalikan aturan perbankan sebelum krisis, setelah krisis perbankan dijerat
dengan berbagai aturan yang sangat ketat, sehingga mengorbankan sector riil.
Kondisi sector industry akhirnya juga mengalami kemacetan. Akibat selanjutnya
tidak hanya krisis moneter, krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia, tetapi juga diikuti krisis sosial, krisis kepercayaan dan krisis polotik.

II. Krisis Ekonomi Asia pada Tahun 1997 1998


Inilah krisis yang tidak akan pernah hilang dari ingatan kita. Sungguh penderitaan
yang nyata kita rasakan pada masa-masa krismon 1997. Kata-kata yang masih terus
menempel dalam ingatan saya hingga saat ini adalah keluhan dari seorang kerabat
yang hidup di bawah garis kemiskinan, Sekarang kita tidak mampu lagi membeli mi
instant. Jelas mereka yang berpenghasilan Rp5.000,- per hari tak lagi mampu
membeli bahan makanan yang cukup untuk empat orang anggota keluarganya,
sebab harga mi instant yang biasanya hanya Rp300 tiba-tiba melonjak dahsyat
menjadi Rp1.500,- per bungkusnya. Saat itu, tidak hanya orang-orang yang tinggal
di Indonesia saja yang merasakan penderitaan akibat krisis ekonomi, tetapi mungkin
hampir sebagian besar warga Asia turut tersiksa. Krisis yang bermula dari Thailand
ini terus menjalar tak terbendung ke Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia.
Sementara negara yang tak terpengaruh dampak krisis Asia secara signifikan
adalah Brunei Darussalam, Singapura, dan Republik Rakyat Cina (RRC).

1. Thailand
Pada tahun 1980-an, perekonomian Thailand berjalan stabil dengan pertumbuhan
rata-rata sebesar 9% per tahun. Stabilnya perekonomian Thailand saat itu
mendorong banyak perusahaan swasta di Thailand untuk mendapatkan keuntungan
yang lebih banyak dengan melakukan leveraging, mengajukan kredit usaha besar-
besaran ke bank-bank di negara maju seperti Jepang. Karena melihat tren
perekonomian Thailand yang stabil secara makro, bank-bank di Jepang dengan
sangat mudah mengucurkan kredit tanpa memperhatikan fundamental perusahaan
debitur. Artinya, perbankan di Jepang telah mengucurkan kredit Ponzi ke berbagai
perusahaan di Thailand. Akhir tahun 1996, tibalah masa jatuh tempo pembayaran
utang perusahaan-perusahaan swasta di Thailand. Karena pada saat itu banyak
perusahaan yang tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka timbullah
ketidakpercayaan di kalangan perbankan Jepang terhadap kapabilitas perusahaan
Thailand. Beberapa bank Jepang mempercepat jatuh tempo pembayaran utang.
Akibatnya, masa jatuh tempo pelunasan utang terakumulasi dalam periode yang
sama. Pada tahun yang sama (1996), hedge fund Amerika Serikat menjual US$400
juta ke Thailand. Awal tahun 1997, nilai mata uang Baht jatuh karena tingginya
permintaan terhadap Dollar AS. Perusahaan swasta yang memiliki utang jatuh
tempo pada tahun 1997 semakin kesulitan mengembalikan pinjaman karena Baht
yang menurun tajam.
Ketidakmampuan perusahaan swasta Thailand dalam memenuhi kewajibannya
membuat nilai saham perusahaan-perusahaan itu jatuh. Karena banyak nilai saham
perusahaan yang anjlok, secara otomatis membuat pasar modal Thailand anjlok
pula hingga 75%. Dimulailah krisis finansial di Thailand pada 2 Juli 1997. Finance
One (perusahaan keuangan terbesar di Thailand) ikut mengalami kebangkrutan.
Pada 11 Agustus 1997, IMF menawarkan paket penyelamatan untuk Thailand
dengan menyediakan dana lebih dari US$ 16 milyar. Namun, akhirnya pada 20
Agustus IMF menyetujui pencairan paket penyelamatan sebesar US$ 3,9 milyar.
Paket penyelamatan yang dikucurkan IMF segera menunjukkan aksinya. Bulan
Januari 1998, Baht jatuh ke titik terendahnya: 56 Baht per US$, padahal sejak 1985
hingga 2 Juli 1997 Baht dipatok pada harga 25 Baht per US$.

2. Philipina
Krisis di Thailand membawa pengaruh di Filipina. Bank sentral Filipina menaikkan
suku bunga sebesar 1,75 persen pada Mei 1997 dan 2 persen lagi pada 19 Juni
1997. Pada 3 Juli, bank sentral Filipina dipaksa IMF untuk campur tangan besar-
besaran dalam menjaga kestabilan Peso Filipina, sehingga harus manut kepada
perintah IMF dengan menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen hanya
dalam waktu satu malam saja.
3. Hong Kong
Di Filipina, krisis lalu menjalar ke Hong Kong. Pada 15 Agustus 1997 seperti yang
terjadi di Filipina, suku bunga Hong Kong naik dari 8 persen ke 23 persen dalam
waktu yang sangat singkat. Pada Oktober 1997, dolar Hong Kong yang sebelumnya
dipatok HK$7,8 per USD mendapatkan tekanan spekulatif karena inflasi Hong Kong
lebih tinggi dibanding AS selama bertahun-tahun. Pemerintah setempat
menghabiskan lebih dari US$ 1 milyar untuk mempertahankan mata uang lokal.
Meskipun adanya serangan spekulasi, Hong Kong masih dapat mengatur mata
uangnya yang dipatok ke dolar AS. Pasar modal Hong Kong menjadi tak stabil,
antara 20 sampai 23 Oktober, Index Hang Seng jatuh hingga 23%.
4. Korea Selatan
Korea Selatan yang menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-11 dunia,
turut menerima imbas krisis Thailand. Meski fundamental ekonomi makro Korsel
sangat baik, namun sektor perbankannya dibebani kredit macet luar biasa. Angka
Non Performing Loan (NPL) yang sangat tinggi mengakibatkan banyak perusahaan
Korsel yang mengalami default, nilai sahamnya jatuh, atau bahkan diakuisisi oleh
perusahaan lain. Contohnya pada Juli 1997, Kia Motors yang notabene merupakan
produsen mobil terbesar ketiga di Korea, terpaksa meminta pinjaman darurat kepada
perbankan. Bursa efek Seoul jatuh sebesar 4% pada 7 November 1997. Sehari
kemudian, bursa jatuh kembali hingga mencapai angka 7%, penurunan terbesar
sepanjang sejarah negara tersebut. Pada 24 November, pasar modal jatuh lagi
hingga 7,2% karena adanya kekhawatiran IMF akan meminta reformasi yang
membebani ekonomi Korsel. Peringkat kredit Korea Selatan turun dari A1 ke A3
pada 28 November 1997, dan turun lagi menjadi B2 pada 11 Desember. Pada tahun
1998, Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors.
5. Malaysia
Di Malaysia, negara ini mengalami defisit anggaran hingga 6 persen. Pada bulan Juli
1997, Ringgit Malaysia diserang oleh para spekulator. Untuk menyikapi serangan itu,
Pemerintah Malaysia mengambil kebijakan mata uang mengambang (floating
exchange rate), tetapi akibatnya justru Ringgit Malaysia anjlok secara drastis pada
17 Agustus 1997. Empat hari kemudian Standard and Poors menurunkan peringkat
utang Malaysia. Seminggu berselang, peringkat Maybank juga ikut turun, padahal
Maybank adalah bank terbesar di Malaysia. Di hari yang sama, bursa efek Kuala
Lumpur jatuh 856 poin, dan menjadi titik terendahnya sejak 1993. Pada 2 Oktober,
Ringgit kembali terjungkal dan membuat Perdana Menteri Malaysia Mahathir
Mohamad harus mengambil kebijakan capital control. Meski demikian, mata uang
Ringgit tetap saja jatuh lagi pada akhir 1997 ketika Mahathir Mohamad
mengumumkan bahwa pemerintah Malaysia akan menggunakan RM 10 milyar untuk
membiayai proyek jalan, rel, dan saluran pipa. Pada 1998, pengeluaran di berbagai
sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9
persen, dan agrikultur 5,9 persen. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara ini
turun 6,2 persen pada 1998. Meski ikut mengalami dampak negatif krisis finansial
Asia 1997, Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis ini karena
menolak bantuan IMF
6. Indonesia
Pada Juni 1997, Indonesia mulai mengalami pengaruh krisis Thailand. Tidak seperti
Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari
US$900 juta, cadangan devisa lebih dari US$20 milyar, dan sektor perbankan yang
berjalan dengan baik. Namun sayangnya, ternyata banyak perusahaan Indonesia
yang meminjam ke luar negeri atau berutang dalam bentuk dolar AS. Pada Juli 1997
saat Thailand mengambangkan nilai tukar Baht, Rupiah mulai menunjukkan tren
bearish. Pada 14 Agustus 1997, Pemerintah RI mengganti kebijakan pertukaran
mengambang teratur dengan pertukaran mengambang bebas, akibatnya Rupiah
terperosok semakin dalam. IMF kemudian datang dengan paket bantuan US$23
milyar, tapi tetap saja rupiah semakin anjlok lebih dalam lagi karena adanya
pembayaran utang swasta luar negeri yang jatuh tempo, permintaan US$ yang
sangat tinggi di pasar, dan penjualan rupiah besar-besaran. Pasar uang dan bursa
efek Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September 1997. Moodys
menurunkan peringkat utang jangka panjang Indonesia menjadi junk bond.
7. Singapura
Ekonomi Singapura berhasil mengatur performa yang relatif sehat dibandingkan
dengan negara lain di Asia selama dan setelah krisis finansial, meskipun hubungan
erat dan ketergantungan ekonomi regional tetap membawa efek negatif terhadap
ekonominya. Tetapi, secara keseluruhan kemampuannya menghilangkan krisis
diperhatikan secara luas, dan meningkatkan penelitian kebijakan fiskal Singapura
sebagai pelajaran bagi negara tetangganya.
Sebagai ekonomi terbuka, dolar Singapura terbuka terhadap tekanan spekulatif
seperti telah terjadi pada 1985. Ekonomi sangat penting dalam keberlangsungan
Singapura sebagai negara merdeka, pemerintah Singapura berhasil mengatur suku
pertukaran mata uangnya untuk menghindari potensi penyerangan speklulatif.
8. Tiongkok daratan
Republik Rakyat Tiongkok tidak terpengaruh oleh krisis ini karena renminbi yang
tidak dapat ditukar dan kenyataan bahawa hampir semua investasi luarnya dalam
bentuk pabrik dan bukan bidang keamanan. Meskipun RRT telah dan terus memiliki
masalah solvency parah dalam sistem perbankannya, kebanyakan deposit di bank-
bank RRT adalah domestik dan tidak ada pelarian bank.
9. Amerika Serikat dan Jepang
Flu Asia juga memberikan tekanan kepada Amerika Serikat dan Jepang. Ekonomi
mereka tidak hancur, tetapi terpukul kuat. Pada 27 Oktober 1997, Industri Dow
Jones jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi Asia. Bursa
Saham New York menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke jatuhnya
konsumsi dan keyakinan mengeluarkan uang.
Jepang terpengaruh karena ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-
negara Asia biasanya menjalankan defisit perdagangan dengan Jepang karena
ekonomi Jepang dua kali lebih besar dari negara-negara Asia lainnya bila
dijumlahkan, dan tujuh kali lipat RRT. Sekitar 40 persen ekspor Jepang ke Asia.
Pertumbuhan nyata GDP melambat di 1997, dari 5 persen ke 1,6 persen dan turun
menjadi resesi pada 1998. Krisis Finansial Asia juga menuntun ke kebangkrutan di
Jepang.
10. Laos
Laos terpengaruh ringan oleh krisis ini dengan nilai tukar Kip dari 4700 ke 6000
terhadap satu dolar AS.
III. SEBAB KRISIS MONETER
Krisis moneter yang menimpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997 dan
mengalami puncaknya ketika memasuki tahun 1998. Krisis moneter lebih pantas
disebut krisis ekonomi karena sudah berakibat ke berbagai segi perekonomian
Indonesia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi krisis moneter yang terjadi
di Indonesia.Salah satu faktor yang menyebabkan krisis moneter Indonesia menurut
Jurnal Akuntansi dan Keungan Inflasi di Indonesia diawali ketika nilai mata uang
Indonesia terdepresiasi terhadap mata uang asing (terutama dolar AS). Penurunan
nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS berakibat besar pada perusahaan besar
yang banyak meminjam dana dari luar negeri. Hal ini berakibat pada biaya besar
yang harus dikeluarkan perusahaan sehingga banyak perusahaan yang gulung tikar
dan banyaknyapengangguran.Hal serupa juga diungkapkan dalam Jurnal Akuntansi
dan Keuangan Inflasi diIndonesia bahwa penurunan nilai mata uang asing
(terutama terhadap dolar AS), akibatefek domino dari terdepresiasinya mata uang
Thailand (bath) salah satunya mengakibatkan kenaikan harga barang barang yang
diimpor oleh Indonesia. Hal ini mengakibatkan kenaikan berbagai barang barang
impor secara langsung maupun tidak langsung. Kenaikan harga barang barang di
pasaran semakin di perparah dengan banyaknya pengangguran yang terjadi. Krisis
moneter ini tidak seluruhnya disebabkan oleh berbagai hal tentang moneter seperti
yang terdapat dalam Krisis Moneter : Sebab, Dampak, Peran IMF, dan Saran
mengungkapkan bahwa krisis ini juga diperparah dengan berbagai musibah nasional
yang terjadi seperti, misalnya kegagalan panen akibat kekeringan, kebakaran hutan
secara besar-besaran di Kalimantan, dan berbagai kerusuhan yang terjadi di
berbagai wilayah.Krisis ini mulai merambat ke dalam segi masalah sosial yang
terjadi dalam masyarakat. Kegagalan panen yang berimbas pada semakin mahalnya
harga beras sekaligus petani mengalami kerugian besar-besaran. Kebakaran hutan
dan kerusuhan yang terjadi dimana- mana memaksa pemerintah membagi
pikiran.Akibat fluktuasi akan dollar AS, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus
1997membebaskan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar
AS (KrisisMoneter Indonesia : Sebab, Dampak, dan Peran IMF). Indonesia yang
dulunya menganut system floating managed mengubah menjadi free floating.
Dengan sistem baru ini, Bank Indonesia tidak perlu melakukan intervensi atau
menyediakan sejumlah dana untuk membantu dalam mengembalikan nilai mata
uang rupiah. Perubahan system dari floating managed ke free floating berakibat
merosotnya cepat dan tajam dari Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp
13.513 akhir Januari 1998. Hal ini diakibatkan banyak orang yang bereaksi dengan
membeli dollar dan menjual rupiah karena harga dollar yangsemakin melambung.
Sehingga permintaan akan dolar lebih banyak dibanding permintaan akan rupiah
seperti halnya dalam hukum permintaan dan penawaran dimana ketika penawaran
tetap dan permintaan naik maka akan pula menaikkan nilai dari barang tersebut. Hal
ini berlaku pula dalam mata uang asing seperti, dollar ini. Hal ini yang semakin
memperburuk keadaan dan nilai rupiah turun dengan tajam pada tahun 1998.
Namun pada Mei 1999 nilai rupiah kembali membaik.
INDIKATOR UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990-1997
Tabel 1

*Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan


Indonesia;World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998 (dalam Krisis Moneter
Indonesia : Sebab, Dampak,Peran IMF)*
Data Indikator Ekonomi Indonesia di atas yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia selama tujuh tahun dari tahun 1990 1997. Data diatas terlihat ditahun
1997 pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang cukup drastis dan tingkat
inflasi yang naik tajam. Menurut Krisis Moneter : Sebab, Dampak, dan Peran IMF
bahwa krisis ekonomi terjadi bukan hanya karena fundamental ekonomi Indonesia
yang lemah, bisa dilihat dari data diatas dimana sebelum tahun 1997 pertumbuhan
ekonomi Indonesia berkembang cukup baik. Krisis ini lebih disebabkan karena utang
swasta luar negeri yang cukup besar. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis
merosotnya nilai rupiah yang jatuh tajam. Hal ini akibat dari utang swasta luar negeri
yang sudah mulai jatuh tempo dan juga karena serbuan bertubi-tubi akan dollar AS.
Jatuh temponya utang swasta luar negeri ini memaksa permintaan akan dollar AS
yang tinggi. Jika permintaan akan dollar AS tidak tinggi pada tahun tersebut
Indonesia tidak akan mengalami krisis yang berkepanjangan. Menurut Anwar
Nasution (Nasution : 28) dalam Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, dan
Peran IMF bahwa besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah
dengan lemahnya sistem perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis
finansial. Defisitnya neraca berjalan berarti Indonesia banyak melakukan impor
barang sedangkan ekspor Indonesia sangat lemah. Ini disebabkan produk-produk
Indonesia yang mulai kalah bersaing dengan produk-produk luar negeri, selain itu
perusahaan dalam negeri yang mengalami masalah utang luar negeri mereka yang
mulai jatuh tempo berdampak pula pada biaya produksi yang tinggi. Utang luar
negeri ini yang menjadi faktor utama terjadinya krisis moneter Indonesia walaupun
masih ada faktor lain yang mempengaruhi krisis tersebut. Oleh karena itu, bila
ditelusuri lebih jauh menurut para pakar ekonom terjadinya krisis moneter yang
paling utama karena utang luar negeri Indonesia walaupun masih ada faktor faktor
lain yang mempengaruhi dan setiap ekonom memiliki pemikiran sendiri sendiri
terhadap faktor lain yang mempengaruhi tersebut.

IV. FAKTOR PEMICU KRISIS


Diantara sejumlah penjelasan mengenai penyebab krisis, beberapa faktor dinilai
sebagai pemicu atau awal mula timbulnya kondisi yang berbahaya sehingga krisis
mulai terjadi dan kemudian berlanjut secara berlarut-larut. Penurunan nilai mata
uang regional terhadap US dollar, pada tingkat tertentu menggambarkan
penyesuaian global nilai tukar valas beberapa negara penting terhadap US dollar,
terutama mata uang Yen dan Deutsche Mark yang terjadi sejak 1995. Semakin
bertambahnya kerawanan mata uang domestik terhadap goncangan-goncangan dari
luar. Ada tiga area yang perlu menjadi perhatian : (i) Terjadinya penurunan kegiatan
export diwilayah ini sejak tahun 1996 membangkitkan kecemasan terhadap defisit
rekening berjalan akan semakin buruk sehingga terus menekan nilai mata uang.
Penurunan ekspor disebabkan bukan hanya oleh faktor siklikal, tetapi juga oleh
faktor struktural yang mengakibatkan penurunan kemampuan bersaing barang-
barang ekspor. (ii) Pembiayaan defisit neraca berjalan juga menambah tingkat risiko
regional, karena struktur maturitas aliran modal masuk beralih dari penanaman
modal langsung jangka panjang (long term FDI) menjadi aliran dana portofolio dan
pinjaman jangka pendek. Akumulasi investasi semacam ini bagi perekonomian
domestik sangat berbahaya karena sewaktu-waktu dapat terjadi arus balik.
(iii) Pertambahan pinjaman luar negeri oleh sektor swasta, terutama yang berjangka
pendek. Sebelum masa krisis, pinjaman ini dapat terbayar oleh besarnya
kemampuan ekspor dan pertumbuhan pendapatan domestik. Selain itu, risiko
perubahan nilai tukar valas dapat dikatakan minimal karena selama belum krisis nilai
mata uang bertahan stabil.
Pada waktu krisis semakin mendalam, perhatian pasar beralih kepada stabilitas
sistim perbankan; Kerapuhan sistim perbankan dikawasan ini berkaitan dengan
pertumbuhan kredit yang luarbiasa dimana alokasinya banyak cenderung untuk
sektor non-perdagangan dan berisiko tinggi, yaitu properti dan pasar saham.
Disamping itu terjadi akumulasi pinjaman luar negeri jangka pendek yang digunakan
untuk menggerakkan banyak aktivitas ekonomi domestik. Pada waktu kegiatan
ekonomi mulai menurun dan tingkat suku bunga domestik melonjak, sektor properti
dan perdagangan saham terguncang dan menekan kemampuan pengembalian
hutang peminjam domestik, sehingga perbankan terancam mengalami penurunan
kualitas asset.
Bagaimanapun juga, efek imbasan krisis tidak seluruhnya dapat menjelaskan
pergerakan nilai tukar mata uang berbagai negara terhadap US dollar. Kerawanan
ekonomi domestik terhadap goncangan dari luar dan kerapuhan sektor perbankan
sangat berbeda-beda antar negara di kawasan ini. Perubahan sentimen pasar dan
kepercayaan investor juga berperan besar membawa krisis semakin parah. Pada
awalnya, kawasan ini menikmati aliran masuk modal besar-besaran selama euforia
sedang berlangsung dengan menggeloranya pertumbuhan ekonomi dan pasar
aktiva. Prospek adanya perbaikan terus-menerus membawa sikap penilaian risiko
yang terlalu rendah, dan kemudian diperkuat lagi oleh persepsi pasar adanya
jaminan secara implisit oleh pemerintah. Pada waktu perkembangan berbalik, pasar
tiba-tiba mempertimbangkan kembali seluruh situasi ekonomi keuangan di kawasan.
Dengan cepat hal ini menyadarkan akan persepsi ancaman yang melonjak, dan
langsung merusak sentimen pasar maupun kepercayaan investor. Perilaku
geropyokan yang semula mendorong aliran modal masuk berbalik menjadi
penarikan modal besar-besaran seketika saat krisis berkobar. Semakin parah dalam
perkembangan selanjutnya, menjadikan kerawanan pasar finansial seolah lingkaran
setan antara kepercayaan dan sentimen buruk, yaitu dengan adanya:
Penurunan peringkat kredit oleh agen-agen pemeringkat internasional
Ketidak pastian politik mengenai komitmen pelaksanaan kebijakan pemerintah
yang drastis untuk menstabilkan kondisi makroekonomi dan reformasi sektor
perbankan.
Tindakan revisi kebawah oleh analis sektor swasta mengenai prospek jangka
pendek-menengah bagi ekonomi regional dan sektor perbankan.
Mulai timbul kesulitan pembayaran hutang oleh sebagian perekonomian kawasan
V. SEBAB-SEBAB TERJADINYA KRISIS EKONOMI TAHUN 1997-1998
Ada beberepa sebab terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka
pendek yang telah menciptakan ketidakstabilan. Hal ini diperburuk oleh rasa
percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri
dibidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya
serta persyaratan hutang swasta tersebut. Pemerintah sama sekali tidak memiliki
mekanisme pengawasan terhadap hutang yang dibuat oleh sector swasta Indonesia.
Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -
benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli
1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman
swasta (World Bank, 1998). Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan
modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi
rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah
besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem
perdagangan terbuka.
2. Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan
kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung
beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
3. Tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis
berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
4. Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi,
dan pada gilirannya memperbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
5. Miss government.
6. Faktor utama yang menyebabkan krisis moneter tahun 1998 yaitu faktor politik.
Pada tahun 1998 krisis ekonomi bercampur kepanikan politik luar biasa saat rezim
Soeharto hendak tumbang. Begitu sulitnya merobohkan bangunan rezim Soeharto
sehingga harus disertai pengorbanan besar berupa kekacauan (chaos) yang
mengakibatkan pemilik modal dan investor kabur dari Indonesia. Pelarian modal
besar-besaran (flight for safety) karena kepanikan politik ini praktis lebih dahsyat
daripada pelarian modal yang dipicu oleh pertimbangan ekonomi semata (flight for
quality). Karena itu, rupiah merosot amat drastis dari level semula Rp 2.300 per
dollar AS (pertengahan 1997) menjadi level terburuk Rp17.000 per dollar AS
(Januari 1998).
7. Banyaknya utang dalam valas, proyek jangka panjang yang dibiayai dengan
utang jangka pendek, proyek berpenghasilan rupiah dibiayai valas, pengambilan
kredit perbankan yang jauh melebihi nilai proyeknya, APBN defisit yang tidak efisien
dan efektif, devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri, perbankan yang kurang
sehat, jumlah orang miskin dan pengangguran yang relative masih besar, dan
seterusnya.
8. Krisis moneter dimulai dari gejala/kejutan keuangan pada juli 1997, menurunnya
nilai tukar rupiah secara tajam terhadap valas, diukur dengan dolar Amerika Serikat
yang merupakan pencetus/trigger point. Meskipun tidak ada depresiasi tajam
baht(mata uang Thailan), Krismon tetap akan terjadi di Negara tercinta ini. Karena
gejolak sosial dan politik Indonesia yang memanas. Oleh karena itu penyebab
krismon 98 bisa dikatakan campuran dari unsur-unsur eksternal dan domestik(J.
Soedrajad Djiwandono).
11. Kegagalan manajemen makro ekonomi tercermin dari kombinasi nilai tukar
yang kaku dan kebijakan fiskal yang longgar, inflasi yang merupakan hasil dari
apresiasi nilai tukar efectif riil, deficit neraca pembayaran dan pelarian modal.:

1) krisis disebabkan tidak sepadannya kenaikan konsumsi ketimbang kenaikan


kapasitas produksi atau underconsumption crisis.
2) Krisis disebabkan terlampau besarnya investasi yang dipicu modal asing karena
tabungan nasional sudah lebih dari habis untuk berinvestasi. Krisis seperti ini disebut
overinvestment, dan ini yang terjadi di Indonesia (Kwik Kian Gie)
VI. Dampak Krisis Terhadap Perekonomian Indonesia
Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa
dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu masih
lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut. Dampak negatif yang
ditimbulkan antara lain, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1
Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang
mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun
kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah
tersebut. Dampak negatif lainnya adalah kepercayaan internasional terhadap
Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat
membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan
hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi
atau menghentikan kegiatannya, kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar
negeri melonjak, laju inflasi yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan
persediaan barang nasional, khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai
menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali
dan berarti biaya hidup semakin tinggi. Selain memberi dampak negatif, krisis
ekonomi juga membawa dampak positif. Secara umum impor barang, termasuk
impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah
ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, meningkatkan
ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat, dan
adanya perbaikan dalam neraca berjalan. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu
peluang besar bagi Unit Kecil Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni
pertumbuhan jumlah unit usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran
dari IMB untuk melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan
peningkatan pendapatan untuk kelompok menengah kebawah.Namun secara
keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari
dampak positifnya.
VII. KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERAN IMF DALAM
MENGATASI KRISIS
Butir-butir dalam kebijakan fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip anggaran
berimbang, usaha-usaha untuk mengurangi pengeluaran, seperti menghilangkan
subsidi BBM dan listrik serta membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan
yang terakhir meningkatkan pendapatan pemerintah dengan penangguhan PPN dan
fasilitas pajak serta bea cukai, mengenakan pajak tambahan terhadap bensin,
memperbaiki audit PPN dan memperbanyak objek pajak.
sehingga ekspor bangkit kembali.
Sedangkan ke tujuh appendix itu antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga,
pembangunan sektor perbankan, bantua anggaran pemerintah untuk golongan
lemah, reformasi BUMN dan swastanisasi, reformasi structural, restrukturisasi utang
swasta, dan hukum kebangkrutan dan reformasi yuridis.
VIII. Kondisi Perekonomian Semasa Pemerintahan SBY
Kondisi perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan SBY mengalami
perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di
tahun 2010, seiring pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global yang terjadi
sepanjang 2008 hingga 2009. Terbukti, perekonomian Indonesia mampu bertahan
dari ancaman pengaruh krisis ekonomi dan finansial yang terjadi di zona Eropa.
Kinerja perekonomian Indonesia akan terus bertambah baik, tapi harus disesuaikan
dengan kondisi global yang sedang bergejolak. Ekonomi Indonesia akan terus
berkembang, apalagi pasar finansial, walaupun sempat terpengaruh krisis, tetapi
telah membuktikan mampu bertahan.
Sementara itu, pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap
perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil mendobrak dan menjadi katarsis
terhadap kebuntuan tersebut. Korupsi dan kemiskinan tetap menjadi masalah di
Indonesia. Namun setelah beberapa tahun berada dalam kepemimpinan nasional
yang tidak menentu, SBY telah berhasil menciptakan kestabilan politik dan ekonomi
di Indonesia.
Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya
kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan
pengurangan utang Negara. Perkembangan yang terjadi dalam lima tahun terakhir
membawa perubahan yang signifikan terhadap persepsi dunia mengenai Indonesia.
Namun masalah-masalah besar lain masih tetap ada. Pertama, pertumbuhan makro
ekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara
menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya yang tinggi dan
kota-kota besar lain di Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih
banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Pada pemerintahan SBY kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi
Negara Indonesia, atau menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM), kebijakan
bantuan langsung tunai kepada rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut
diberhentikan sampai pada tangan rakyat atau masyarakat yang membutuhkan,
kebijakan menyalurkan bantuan dana BOS kepada sarana pendidikan yang ada di
Negara Indonesia.

Sasaran pertama adalah pengurangan kemiskinan dan pengangguran dengan


target berkurangnya persentase penduduk tergolong miskin dari 16,6 persen pada
tahun 2004 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009 dan berkurangnya pengangguran
terbuka dari 9,5 persen pada tahun 2003 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009.

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil mencatat, pemerintahan Susilo Bambang


Yudhoyono dan Jusuf Kalla memperbesar utang dalam jumlah sangat besar. Posisi
utang tersebut merupakan utang terbesar sepanjang sejarah RI.
Berdasarkan catatan koalisi, utang pemerintah sampai Januari 2009 meningkat 31
persen dalam lima tahun terakhir. Posisi utang pada Desember 2003 sebesar Rp
1.275 triliun. Adapun posisi utang Januari 2009 sebesar Rp 1.667 triliun atau naik Rp
392 triliun. Apabila pada tahun 2004, utang per kapita Indonesia Rp 5,8 juta per
kepala, pada Februari 2009 utang per kapita menjadi Rp 7,7 juta per kepala.
Memerhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009,
koalisi menilai rezim sekarang ini adalah rezim anti-subsidi. Hal itu dibuktikan
dengan turunnya secara drastis subsidi. Pada tahun 2004 jumah subsidi masih
sebesar 6,3 persen dari produk domestik bruto. Namun, sampai 2009, jumlah
subsidi untuk kepentingan rakyat tinggal 0,3 persen dari PDB.
Pendidikan merupakan hal mendasar. Pendidikanlah yang menentukan kualitas
sumber daya manusia. Kebijakan dalam bidang pendidikan diterapkan oleh
kepemimpinan SBY. Beberapa diantaranya adalah meningkatkan anggaran
pendidikan menjadi 20% dari keseluruhan APBN. Meneruskan dan mengefektifkan
program rehabilitasi gedung sekolah yang sudah dimulai pada periode 2004-2009,
sehingga terbangun fasilitas pendidikan yang memadai dan bermutu dengan
memperbaiki dan menambah prasarana fisik sekolah, serta penggunaan teknologi
informatika dalam proses pengajaran yang akan menunjang proses belajar dan
mengajar agar lebih efektif dan berkualitas.

Pemanfaatan alokasi anggaran minimal 20 persen dari APBN untuk memastikan


pemantapan pendidikan gratis dan terjangkau untuk pendidikan dasar 9 tahun dan
dilanjutkan secara bertahap pada tingkatan pendidikan lanjutan di tingkat SMA.
Perbaikan secara fundamental kualitas kurikulum dan penyediaan buku-buku yang
berkualitas agar makin mencerdaskan siswa dan membentuk karakter siswa yang
beriman, berilmu, kreatif, inovatif, jujur, dedikatif, bertanggung jawab, dan suka
bekerja keras. Meneruskan perbaikan kualitas guru, dosen serta peneliti agar
menjadi pilar pendidikan yang mencerdaskan bangsa, mampu menciptakan
lingkungan yang inovatif, serta mampu menularkan kualitas intelektual yang tinggi,
bermutu, dan terus berkembang kepada anak didiknya.

Selain program sertifikasi guru untuk menjaga mutu, juga akan ditingkatkan program
pendidikan dan pelatihan bagi para guru termasuk program pendidikan bergelar bagi
para guru agar sesuai dengan bidang pelajaran yang diajarkan dan semakin
bermutu dalam memberikan pengajaran pada siswa.
Memperbaiki remunerasi guru dan melanjutkan upaya perbaikan penghasilan
kepada guru, dosen, dan para peneliti.Memperluas penerapan dari kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mendukung kinerja penyelenggaraan
pembangunan di bidang pendidikan. Mendorong partisipasi masyarakat (terutama
orang tua murid) dalam menciptakan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu dan sesuai dengan aspirasi dan tantangan jaman saat ini dan
kedepan.
Mengurangi kesenjangan dalam akses pendidikan dan kualitas pendidikan, baik
pada keluarga berpenghasilan rendah maupun daerah yang tertinggal. Pemberiaan
program beasiswa serta pelaksanaan dan perluasan Program Keluarga Harapan
(PKH), serta memberikan bantuan tunai kepada rumah tangga miskin dengan syarat
mereka mengirimkan anaknya ke bangku sekolah.

IX. Krisis Ekonomi Masa Pemerintahan Joko Widodo


Demonstrasi dan protes meruak ke arah Jokowi, sebagian besar pendemo malah
mendesaknya pulang ke Solo karena gagal dan memalukan warga Solo. Indonesia
dibayangi krisis ekonomi warisan eras SBY ,dan suasananya mirip menjelang krisis
moneter 1997, utang swasta saat ini kebanyakan berjangka pendek dan tanpa
lindung-nilai. Banyak pula dari utang tersebut dipakai membiayai proyek jangka
panjang. Para oligarki kelilingi Jokowi. Sampai menjelang krismon 1997, kinerja
lembaga-lembaga keuangan Indonesia sangat kinclong. Asetnya melejit sangat
cepat, demikian pula keuntungannya. Para konglomerat pemilik bank pun tampak
sangat percaya diri dalam melakukan ekspansi bisnis di segala sektor.

Ketika itu Indonesia seolah tinggal selangkah menjadi negara makmur. Tapi semua
itu mulai berantakan pada Agustus 1997, ketika rupiah mulai terjun bebas terhadap
dollar AS. Kredit macet dan harga-harga barang langsung melambung. Rakyat pun
mengamuk. Demikian hebatnya amuk rakyat ketika itu, tentara yang biasanya
sangat ampuh menghadapi kerusuhan tak berdaya. Akhirnya, ketika kobaran api
dan kematian makin merebak di berbagai kota, Suharto menyatakan mundur
sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998.
Mirip menjelang Krismon 1997, data BI sampai awal 2015 menunjukkan utang luar
negeri swasta lebih besar ketimbang pemerintah, yaitu US$ 192 miliar berbanding
US$ 136 miliar. Sama seperti dulu, kebanyakan utang swasta, menurut data BI
sekarang, bersifat jangka pendek dan tanpa lindung-nilai.Celakanya, tak sedikit dari
utang Valas tersebut dipakai untuk membiayai proyek-proyek berjangka menengah
atau panjang. Lebih mengkhawatirkan lagi, hasil dari proyek-proyek tersebut
berbentuk rupiah. Salah satu paling berisiko adalah proyek-properti yang
belakangan ini menjamur dimana-mana. Hal ini tampak kasatmata dari
pembangunan perumahan, mal, superblock, dan sebagainya.Maka, seperti 1997, bila
nanti rupiah jeblok berkelanjutan, kredit macet bakal melesat dan banyak proyek
berhenti di tengah jalan. PHK massal pun tak terelakkan! Bisa dipastikan, lembaga-
lembaga akan mengalami kerugian besar bahkan bisa bangkrut lantaran tak
sanggup menanggung kredit macet. Dan pemerintah pun dihadapkan pada dua
pilihan: mengambil langkah penyelamatan dengan menalangi kredit macet para
kreditor, atau membiarkan kebangkrutan terjadi. Sejak kasus Bank Century, kedua
pilihan mengandung resiko berat. Seperti kasus Bank Century, menyelamatkan bisa
membuat para pengambil keputusan menjadi bulan-bulanan para politisi, bahkan
bisa masuk penjara. Bila memilih keputusan kedua, pada titik ekstrim, dunia
keuangan bisa mengalami kebangkrutan massal atau jatuh sepenuhnya ke tangan
asing.
Berdasarkan kasus Bank Century itulah, Ketua umum Perhimpunan Bank-bank
Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono, telah berulang kali mengingatkan bahwa
UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) harus segera dibuat. Tanpa JPSK,
menurut Sigit, ketika terjadi krisis keuangan tak ada pejabat yang berani mengambil
keputusan karena takut diadili secara politis dan pidana.
Sigit berharap agar UU JPSK mengatur tentang definisi krisis, siapa yang berhak
menentukan telah terjadi krisis, dan apa yang bisa dilakukan oleh Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), atau Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Tapi Sigit tentu juga harus realistis bahwa sekarang ini
segala sesuatu bisa dijungkirbalikkan, termasuk pasal-pasal hukum yang tersurat.
Kini secara umum lembaga keuangan, baik bank maupun yang non-bank, masih
dalam kondisi sehat. Hanya saja, sejumlah isyarat bahaya sudah bermunculan.
Salah satunyanya adalah anjloknya laba bank-bank swasta papan atas pada 2014.
Laba perbankan swasta dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia, tahun lalu turun
7,06% dari Rp 28,12 triliun menjadi Rp 26,13 triliun.
Hanya dua bank swasta yang tahun lalu mengalami kenaikan laba, yaitu BCA
dengan perolehan Rp 16,49 triliun atau naik 15,7% dari Rp 14,25 triliun; dan Bank
Panin dengan pertumbuhan laba 4,42% dari Rp 2,26 triliun menjadi Rp 2,36 triliun.
Bank swasta lainnya, yaitu CIMB Niaga labanya anjlok 59,13% menjadi Rp 2,34
triliun di akhir 2014; Bank Danamon rontok 36% menjadi Rp 2,6 triliun; BII ambles
65% menjadi Rp 752 miliar; dan Bank Permata turun 8,77% menjadi Rp 1,59 triliun.
Dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia itu, bank-Bank BUMN memang masih
mencetak pertumbuhan laba. Total laba yang dibukukan Mandiri, BRI, BNI dan BTN
tahun lalu naik 12,07% menjadi Rp 56 triliun. Dengan rincian, laba BRI naik 14,35%
menjadi Rp 24,2 triliun, Mandiri naik 9,34% menjadi Rp 19,9 triliun, BNI naik 19,1%
menjadi Rp 10,78 triliun. Satu-satunya bank milik pemerintah yang membukukan
penurunan laba adalah BTN , yaitu dari 1,56 triliun menjadi 1,12 triliun atau turun
28,59%. Sementara itu merosotnya harga komoditas seperti minyak sawit, batubara
dan minyak telah mendorong OJK untuk mengingatkan para bankir agar waspada
terhadap bahaya kredit macet. Dengan alasan, rontoknya harga komoditas-
komoditas tersebut berdampak luas terhadap perekonomian nasional. Ini karena
minyak kelapa sawit dan batubara adalah komoditas unggulan Indonesia, dan
minyak masih merupakan sumber penghasilan penting bagi pemerintah.
OJK tak menginginkan apa yang terjadi pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) merembet
ke yang lain. Kemacetan KUR tahun lalu mencapai 4,2%, padahal batas toleransi
kredit macet adalah 5%. Kenyataan ini membuat pemerintah memangkas KUR
sebanyak 30% menjadi Rp 20 trilliun pada tahun ini. Agar tak kecolongan lagi,
pemerintah juga tak lagi menggunakan BPD sebagai penyalur KUR. Sekarang
hanya BRI, BNI, dan Mandiri yang diberi kepercayaan menyalurkan KUR .
Selain kerugian yang dialami Bank terjadi juga penurunan nilai mata uang rupiah,
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat menembus Rp
13.000/US$. Ini merupakan titik terlemah sejak 17 tahun terakhir, alias sejak era
krisis ekonomi 1998 (krisis moneter/krismon).
Mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga sejumlah menteri menyatakan,
pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor eksternal. Terutama karena mulai
menguatnya perekonomian Amerika Serikat (AS), setelah dilanda krisis hebat pada
2008 lalu.Kondisi ini membuat dolar AS yang menyebar di negara-negara
berkembang pulang kampung. Sehingga tak hanya rupiah, tapi banyak mata uang
di duna yang juga melemah terhadap dolar.Namun analis asing punya pendapat lain
soal pelemahan rupiah yang terjadi.
Berikut rangkumannya seperti dikutip:

1.Akibat Pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI)


Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ mengatakan, pelemahan rupiah tidak
lepas dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo beberapa
waktu lalu. Agus sempat menyebut, bahwa tahun ini sepertinya inflasi Indonesia
terkendali. Bahkan bukan tidak mungkin. inflasi sepanjang 2014 hanya berada di
kisaran 4%.Pasar mengartikan ini sebagai sinyal, bahwa BI akan mulai
mengendurkan kebijakan moneter. Salah satunya adalah peluang penurunan suku
bunga acuan atau BI Rate.Ketika suku bunga semakin rendah, maka investasi di
Indonesia sudah kurang menggiurkan. Akibatnya terjadi arus modal keluar (capital
outflow) yang membuat rupiah melemah.Sepertinya bank sentral mengizinkan
rupiah melemah. Ini memicu lebih banyak arus modal keluar, tutur Goh seperti
dikutip dariCNBC.Pada 17 Februari 2015, kala BI memangkas BI Rate dari 7,75%
menjadi 7,5%, rupiah melemah sampai 0,56%.
2. Pudarnya Jokowi Effect
Ada faktor lain yang menyebabkan rupiah cenderung melemah. Pelaku pasar saat
ini sudah mulai rasional, dan sepertinya euforia terpilihnya Joko Widodo (Jokowi)
sebagai presiden, atau sering disebut Jokowi Effect, sudah memudar. Euforia atas
kemenangan Presiden Joko Widodo tidak bertahan lama, ujar Khoon Goh, Senior
FX Strategy dari ANZ. Pasca pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli 2014, pasar
keuangan Indonesia menikmati guyuran arus modal masuk (capital inflow). Rupiah
pun menguat hingga nyaris 5% selama periode 25 Juni hingga 23 Juli. Setelah itu,
rupiah cenderung melemah karena euforia Jokowi Effect sudah terkikis. Apalagi
fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi
berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jadi arus
modal masuk itu tidak berkelanjutan, kata Goh.

3. Dolar Bisa Menyentuh Rp 13.250


Fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi
berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jadi arus
modal masuk itu tidak berkelanjutan, kata Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ.
Tidak hanya dari dalam negeri, rupiah juga tertekan faktor eksternal karena dolar AS
begitu perkasa terhadap mata uang dunia. Ini ditunjukkan dengan Dollar Index
(perbandingan dolar AS dengan mata uang utama dunia) yang mencapai titik
tertinggi dalam 12 tahun terakhir. Oleh karena itu, Goh memperkirakan rupiah masih
bisa melemah lagi. Dia menilai pada akhir tahun rupiah akan berada di posisi Rp
13.250/US$

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Krisis Moneter yang dialami Indonesia pada pertengahan tahun 1997 sampai akhir
tahun1998 yang berdampak pada lemahnya perekonomian Indonesia. Faktor utama
penyebab krisis monter ini adalah turunnya nilai tukar rupiah atas dollar AS. Faktor
lain yang menjadi pemicunya adalah tingkat utang perusahaan swasta yang tinggi
dan sudah mulai jatuh tempo pada tahun-tahun tersebut, hal ini diperparah dengan
berbagai musibahnasional yang terjadi seperti Krisis Monter yang membawa
dampak besar bagi seluruhsegi kehidupan Indonesia yaitu :
a) Segi Ekonomi :
Inflasi tinggi
Banyaknya perusahaan yang tutup akibat utang luar negeri merekayang
membengkak
Pengangguran tinggi
Rendahnya tingkat investasi dan tabungan masyarakat
b) Segi Sosial Politik
Banyak kerusuhan dimana-mana akibat rasa ketidakpercayaanmasyarakat
terhadap kepemimpinan presiden
Turunnya Soeharto sebagai presiden
Banyak rakyat miskin
Dampak dari Krisis Moneter tersebut salah satunya adalah tingkat inflasi yangtinggi
dan pengangguran yang tinggi pula. Kedua hal tersebut bila dihubungkan
menurutilmu makro ekonomi tidak cocok. Karena tingginya tingkat inflasi
berhubungan negativedengan tingkat pengangguran. Semakin tinggi tingkat inflasi
maka semakin turun tingkat pengangguran tersebut. Bila dikaji lebih lanjut hal
tersebut tidak bisa dijadikan sebagaikonsep utama. Jadi, hubungan antara keduanya
bergantung pada faktor penyebab terjadinya tingkat inflasi dan pengangguran
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai