Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SISTEM POLITIK ISLAM

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 10

1. Heruman ( F1C116016 )
2. M. Zamharir Muzzaki ( G1C016024 )
3. Novi Herianto (
4. Themy Armanda (

UNIVERSITAS MATARAM

2016
DAFTAR ISI

COVER..................................................................................................................................

DAFTAR ISI .........................................................................................................................

BAB I

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................


1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................
1.3 Tujuan ..................................................................................................................

BAB II

2.1 Pengertian Sistem Politik Islam ...........................................................................


2.2 Kedudukan Sistem Politik dalam Islam ..............................................................
2.3 Prinsip Dasar Politik dalam Islam .......................................................................
2.4 Khilafah ...............................................................................................................
2.5 Demokrasi dalam Islam .......................................................................................

BAB III

3.1 Kesimpulan ..........................................................................................................


3.2 Saran ....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat muslim. Namun,
realitasnya politik berubah menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat, baik
itu berupa perkataan maupun perbuatannya yang menyimpang dari kebenaran Islam yang
dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan tidak baik, baik itu dari kalangan non muslim
ataupun dari kalangan umat Islam itu sendiri. Oleh karena itu politik yang seharusnya
bersifat baik menjadi sifat yang kurang baik seperti kedustaan, tipu daya, dan penyesatan
yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa.
Penyalahgunaan wewenang dari para politisi atau penguasa itu bersebrangan dengan
kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono
mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna sebenarnya dari politik itu
sendiri. Bahkan, dengan pandangan seperti itu, para politisi atau penguasa memanfaatkan
rakyat demi kepentingan sendiri, bukan sebagai pemerintah yang shalih dan berbuat baik
kepada rakyat. Hal ini dapat memicu bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama
(Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak
cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan,
dan tipu daya. Cara pandang yang demikian, sadar atau tidak, mereka mempengaruhi
sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam.
Untuk mengubah pandangan seperti itu, maka pada bab ini akan di jelaskan bagaimana
politik yang seharusnya khususnya politik islam.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sistem politik islam?
2. Bagaimana kedudukan sistem politik dalam islam?
3. Apa saja prinsip dasar politik dalam islam?
4. Apa yang dimaksud dengan Khilafah dan Khalifah?
5. Apa yang dimaksud dengan Demokrasi dalam Islam?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian sistem politik islam.
2. Mengetahui kedudukan sistem politik dalam islam.
3. Mengetahui prinsip dasar politik dalam islam.
4. Mengetahui definisi Khilafah, Khalifah, dan Demokrasi dalam islam.
5. Mengetahui perbedaan khilafah dengan Demokrasi islam.
BAB II

ISI

2.1 Pengertian Sistem Politik Islam

Kata sistem berasal dari bahasa asing (Inggris), yaitu sistem, artinya perangkat unsur
yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu totalitas atau susunan yang
teratur dengan pandangan, teori, dan asas. Sedangkan kata politik pada mulanya berasal dari
Bahasa Yunani atau Latin, Politicos atau politicus, yang berarti relating to citizen. Keduanya
berasal dari kata polis, yang berarti kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata politik
diartikan sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai
pemerintahan. Sedangkan kata Islam, adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW, berpedoman pada kitab suci Al Quran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah
SWT. Dengan demikian, sistem politik islam adalah sebuah aturan tentang pemerintahan yang
berdasarkan nilai-nilai Islam.

Dalam kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan
kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu, yang biasa diartikan mengemudi,
mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama, ditemukan kata sus,
yang berarti penuh kuman, kutu atau rusak, sementara dalam Al Quran tidak ditemukan kata
yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al Quran tidak
menguraikan masalah sosial politik.

Banyak ulama ahli Al Quran yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik
dengan menggunakan Al Quran dan Sunnah Nabi sebagai rujukan, bahkan Ibnu Taimiyah
(1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan al-Siyasah al-Syariyah (politik
keagamaan). Uraian Al Quran tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat
yang menjelaskan tentang hukum. Kata ini pada mulanya berarti menghalangi atau melarang
dalam rangka aperbaikan. Dari akar kata yang sama, terbentuk kata hikmah, yang pada
mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais-
siyasah, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali dan cara pengendalian (M.
Quraish Shihab, Wawasan Al Quran, Tafsir Maudhui atas pelbagai persoalan umat, 1997:
417).

Kata siyasah, sebagaimana dikemukakan diatas, diartikan dengan politik, dan juga
sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain, terdapat persamaan makna
antara kata hikmah dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmah sebagai kebijaksanaan,
atau kemampuan menangani suatu masalah, sehingga mendatangkan manfaat atau
menghindarkan mudharat. Dengan demikian, sistem politik Islam adalah suatu konsepsi yang
berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara, siapa
pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar, dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa
kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu
bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai agama
Islam (sesuai dengan sumber ajaran Islam, yaitu Al Quran, Hadits dan Ijtihad).

Jadi sistem politik islam adalah ilmu atau persoalan yang berkaitan dengan
ketatanegaraan atau pemerintahan dalam pandangan Islam. Wewenang penguasa dalam
mengatur kepentingan umum, sehingga terjamin kemaslahatan dan terhindar dari
kemudharatan, dalam batas-batas yang ditentukan syara dan kaidah umum yang berlaku.
Dalam istilah Arab sering dikenal dengan sebutan Siyaasatusy Syariyyah.

2.2 Kedudukan Sistem Politik dalam Islam

Sampai saat ini, umat Islam berbeda pendapat tentang kedudukan politik dalam
syariat Islam, paling tidak dalam hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Dalam hal ini
ada tiga aliran / pendapat, yaitu :

- Islam adalah agama yang serba lengkap, Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem
ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya, dalam bernegara umat Islam hendaknya
kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu mengetahui, bahkan
jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami
yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad
SAW dan oleh empat al-Khulafa al-Rasyidin. Tokoh-tokoh utama dari pendapat ini
antara lain Syeikh Hassan al-Banna, Sayyid Quthb, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha,
dan Maulana Abul Ala al-Maududi..
- Islam tidak mengatur ketatanegaraan. Muhammmad adalah rasul yang tidak bertugas
untuk mendirikan atau memimpin suatu negara. Nabi Muhammad SAW hanyalah
seorang Rasul biasa, seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal
mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi
budi pekerti luhur, akhlakul karimah, akhlak yang mulia, dan Nabi tidak pernah
dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Diantara tokoh-tokoh
yang terkemuka dari pendapat ini adalah Ali Abdul Raziq dan Dr. Thaha Husein.
- Dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi hanya terdapat seperangkat
tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh-tokoh dari aliran ketiga ini
yang terhitung cukup menonjol adalah Dr. Mohammad Husein Haikal, seorang
pengarang Islam yang cukup terkenal dan penulis buku Hayatu Muhammad dan Fi
Manzil al-Wahyi.
2.3 Prinsip Dasar Politik dalam Islam

Al Quran menegaskan bahwa, kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, jangan
sekali-kali diragukan, sebagaimana disebutkan dalam QS. 2 : 147. Ditegaskan pula dalam QS.
3: 60, bahwa kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, jangan engkau termasuk mereka yang
meragukannya. Juga terdapat penegasan bahwa kebenaran dating dari Allah SWT, manusia
bebas menentukan pilihannya, menerima kebenaran itu atau menolaknya, sebagaimana firman
Allah dalam QS. 18 (al-Kahfi) : 29. Sebagai umat Islam, maka tentu saja kita mengambil
prinsip-prinsip dasar berdasarkan Al Quran dan al-Hadits sebagai sumber referensi dan
rujukan dalam berbagai hal termasuk dalam urusan politik. Berikut adalah prinsip-prinsip
sistem politik islam.

1. Musyawarah
Asas musayawarah yang paling utama adalah berkenaan dengan pemilihan ketua
negara dan orang-orang yang akan menjawab tugas-tugas utama dalam pentatbiran
ummat. Asas musyawarah yang kedua adalah berkenaan dengan penentuan jalan dan cara
pelaksanaan undang-undang yang telah dimaktubkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Asas musyawarah yang seterusnya ialah berkenaan dengan jalan-jalan bagi menentukan
perkara-perkara baru yang timbul dikalangan ummat melalui proses ijtihad.
2. Keadilan
Prinsip ini adalah berkaitan dengan keadilan sosial yang dijamin oleh sistem sosial dan
sistem ekonomi Islam. Dalam pelaksanaannya yang luas, prinsip keadilan yang
terkandung dalam sistem politik Islam meliputi dan merangkumi segala jenis perhubungan
yang berlaku dalam kehidupan manusia, termasuk keadilan di antara rakyat dan
pemerintah, di antara dua pihak yang bersengketa di hadapan pihak pengadilan, diantara
pasangan suami isteri dan di antara ibu bapa dan anak-anaknya.
3. Kebebasan
Kebebasan yang diipelihara oleh sistem politik Islam ialah kebebasan yang
berteruskan kepada makruf dan kebajikan. Menegakkan prinsip kebebasan yang sebenar
adalah tujuan terpenting bagi sistem politik dan pemerintahan Islam serta menjadi asas-
asas utama bagi undang-undang perlembagaan negara Islam.
4. Persamaan
Persamaan di sini terdiri daripada persamaan dalam mendapatkan dan menuntut hak,
persamaan dalam memikul tanggung jawab menurut peringkat-peringkat yang ditetapkan
oleh undang-undang perlembagaan dan persamaan berada di bawah kuatkuasa undang-
undang.
5. Hak Menghisab Pihak Pemerintah
Hak rakyat untuk menghisab pihak pemerintah dan hak mendapat penjelasan terhadap
tindak tanduknya. Prinsip ini berdasarkan kepada kewajiban pihak pemerintah untuk
melakukan musyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan dan pentatbiran
negara dan ummat. Hak rakyat untuk disyurakan adalah bererti kewajipan setiap anggota
dalam masyarakat untuk menegakkan kebenaran dan menghapuskan kemungkaran. Dalam
pengertian yang luas, ini juga bererti bahawa rakyat berhak untuk mengawasi dan
menghisab tindak tanduk dan keputusan-keputusan pihak pemerintah.

Al Quran sebagai sumber ajaran utama dan pertama agama Islam mengandung ajaran
tentang nilai-nilai dasar yang harus diaplikasikan dan diimplentasikan dalam pengembangan
sistem politik Islam. Nilai-nilai dasar tersebut adalah :

1. Keharusan mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tercantum dalam


QS. 23 (al-Mukminun): 52. Dengan demikian, tidak dapat disangkal bahwa Al Quran
memerintahkan persatuan dan kesatuan. Hal ini dipertegas lagi dalam QS. 21 (al-
Anbiya): 92. Perlu digaris bawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah
pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakekatnya menyatakan bahwa agama
umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan
dalam aqidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam rincian (furu) ajarannya. Dengan
kata lain, Al Quran sebagai kitab suci pedoman bagi manusia mengakui kebinekaan
dalam ketungalan.
2. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyah. Dalam
QS. 42 (al-Syura) : 38 dijelaskan, dan dalam QS. 3 (Ali Imran) : 159. Ayat diatas dari segi
redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW agar memusyawarahkan persoalan-
persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Ayat ini juga sekaligus
sebagai petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar
bermusyawarah dengan anggota-anggotanya karena Rasulullah Muhammad SAW, bagi
kita umat muslim adalah suri teladan dalam hidup dan kehidupan. Dengan kata lain
kata al-amr (urusan) tercakup urusan ekonomi, pendidikan, social, politik, budaya,
hukum,dan lain sebagainya.
3. Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil. Dijelaskan dalam
QS. 4 (al-Nisa) : 58. Al Quran terutama adalah landasan agama, bukan sebuah kitab
hukum. Berbagai kebutuhan hukum dewasa ini tidak mendapatkan aturannya dalam Al
Quran. Tentu saja Al Quran menyediakan landasan, prinsip-prinsip bagi pencapaian
keadilan dan kesejahteraan serta penetapan hukum, yang harus diikuti oleh umat Islam.
Tetapi landasan itu hanyalah cita-cita pemberi arah, dan rakyat iru sendirilah, lewat
musyawarah dan lainnya, yang menyusun hukum-hukum Negara itu termasuk prinsip-
prinsip dalam menunaikan amanat dan menetapkan hukum sehingga tetap berpedoman
pada Al Quran sebagai sumber utama dan pertama bagi umat Islam.
4. Kemestian mentaati Allah dan Rasulullah serta Ulil Amri(pemegang kekuasaan)
sebagaimana difirmankan dalam QS. 4 (al-Nisa): 59. Perlu dicermati bahwa redaksi ayat
di atas menggandengkan kata taat kepada Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu
pada Ulil Amri. Tidak disebutkannya kata taat pada ulil amri untuk memberi isyarat
bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan
ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-
nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka.
Dalam hal ini dikenal Hadits Rasulullah SAW yang sangat populer yaitu : Tidak
dibenarkan adanya ketaatan kepada seseorang makhluk dalam kemaksiatan kepada
Khalik (Allah). Tetapi di sisi lain, apabila perintah ulil amri tidak mengakibatkan
kemaksiatan, maka wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang
diperintah. Dalam sebuah hadits disebutkan Seorang muslim wajib memperkenankan dan
taat menyangkut apa saja (yang direintahkan ulil amri), suka atau tidak suka, kecuali bila
ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak
juga taat. (HR. Bukhari Muslim, dan lain-lain melalui Ibnu Umar).
5. Keniscayaan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam,
sebagaimana difirmankan dalam QS. 49 (al-Hujarat): 9.
6. Keharusan mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan melakukan agresi dan
invasi. Dijelaskan dalam QS. 2 (al-Baqarah) : 90.
7. Kemestian mementingkan perdamaian dari pada pernusuhan. Dalam QS. 8 (al-Anfal):
61.
8. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan,
sebagaimana firman Allah dalam QS. 8 (al-Anfal): 60.
9. Keharusan menepati janji, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. 16 (al-Nahl):
91.
10. Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa, sebagaimana firman Allah
SWT dalam QS. 49 (al-Hujarat): 13.
11. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat. Dalam QS. 59 (al-Hasyr):
7. Bahkan Al Quran sama sekali tidak melarang kaum muslim untuk berbuat baik dan
memberi sebagian harta mereka kepada siapapun, selama mereka tidak memerangi dengan
motif keagamaan atau mengusir kaum muslimin dari kampong halaman mereka,
sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam QS. 60 (al-Mumtahanah): 8.
12. Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum. Dalam Al Quran
ditemukan banyak ayat yang berkaitan atau berbicara tentang hokum. Dalam Al Quran
secara tegas dinyatakan, bahwa hak pembuat hokum itu hanyalah milik Allah SWT
semata, sebagaimana firman-Nya dalam QS. 6 (al-An,am): 57.

Setiap muslim dalam pelaksanaan hukum Islam mesti mengikuti prinsip-prinsip : (a)
menyedikitkan beban (taqlil al-takalif), (b) berangsur-angsur (al-Tadarruf), dan (c) tidak
menyulitkan (adam al-haraj).

2.4 Khilafah
Secara bahasa, Khilaafah berarti penggantian atau suksesi, masdar dari kata kerja kho-
la-fa (mengganti). Sedangkan kata Kholiifah adalah ism fail (subjek) dari kata kerja yang
sama (kho-la-fa), maknanya adalah orang yang menggantikan/orang yang menempati posisi
sebagai pengganti.
Adapun secara istilah, Al Khilaafah diartikan sebagai kepemimpinan umum bagi
seluruh kaum muslimin di dunia dalam rangka menegakkan hukum-hukum Islam dan
mengembangkan Islam ke segenap penjuru dunia melalui dakwah dan jihad. Sedangkan
kholiifah secara istilah adalah orang yang diserahi tugas untuk menjalankan Khilaafah. Dia
disebut sebagai kholiifah (pengganti) karena bertugas menggantikan fungsi Rasulullaah
shollallaahu alaihi wa sallam dalam hal penegakkan hukum Islam di tengah kehidupan umat
manusia dan dalam hal menjalankan langkah-langkah strategis untuk menyebarkan Islam ke
seluruh penjuru alam.
Sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta/ Allah SWT
adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang
Allah turunkan. Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-
Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat.
Dalil dari al-Kitab di antaranya bahwa Allah SWT telah berfirman menyeru Rasul
saw.:
Karena itu, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 48).
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah
turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan
kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 49).
Seruan Allah SWT kepada Rasul saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah
mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan juga merupakan seruan bagi umat
Beliau. Mafhm-nya adalah hendaknya kaum Muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa)
setelah Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan
wahyu yang telah Allah turunkan. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas karena yang
menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan
indikasi yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara
di tengah-tengah kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah saw. adalah Khalifah, sedangkan
sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah. Apalagi penegakan hukum-hukum hudd
dan seluruh ketentuan hukum syariah adalah wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa
adanya penguasa/hakim, sedangkan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya
sesuatu maka keberadaan sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Artinya, mewujudkan
penguasa yang menegakkan syariah hukumnya adalah wajib. Dalam hal ini, penguasa yang
dimaksud adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah.
2.5 Demokrasi dalam Islam

Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan
istilah (terminologis). Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari
bahasa yunani yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan createin
atau creatos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau
demos-creatos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya
kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama
rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.

Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana dikemukakan para


ahli sebagai berikut: (a) Menurut Sidney Hook berpendapat demokrasi adalah bentuk
pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau
tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari
rakyat dewasa. (b) Henry B. Mayo menyatakan demokrasi sebagai sistem politik merupakan
suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik.

Demokrasi merupakan sistem yang bertentangan dengan Islam. Karena sistem ini
meletakkan rakyat sebagai sumber hukum atau orang-orang yang mewakilinya (seperti
anggota parlemen). Maka dengan demikian landasan hukumnya tidak merujuk kepada Allah
Swt., tapi kepada rakyat dan para wakilnya. Patokannya tidak harus kesepakatan semua
mereka, tapi suara terbanyak. Kesepakatan mayoritas akan menjadi UU yang wajib dipegang
masyarakat walaupun bertentangan dengan fitrah, agama dan akal. Dengan sistem ini,
dikeluarkan aturan bolehnya aborsi, perkawinan sesame jenis, bunga bank, digugurkannya
hukum-hukum syariat, dibolehkannya zina dan khamar. Bahkan dengan sistem ini, Islam dan
para penganutnya yang taat diperangi.

Allah Swt. telah mengabarkan dalam KitabNya, bahwa penetap hukum hanyalah Dia
semata, Dialah sebaik-baik yang menetapkan hukum. Dilarang menyekutukannya dalam
menetapkan hukum dan Dia mengabarkan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih baik
hukumnya dariNya.

Allah Swt. berfirman,

(12 : )

Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.
SQ. Ghofir: 12.

Allah Swt. berfirman,


(40 : )

Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui." SQ. Yusuf: 40.

Allah Swt. berfirman,

Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?. SQ. At-Tin : 8.





(26 :)
Katakanlah: "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua);
kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang
penglihatan-Nya dan Alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang
pelindungpun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun
menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan". SQ. Al-Kahfi: 26

(50 : )

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?. SQ. Al-Maidah: 50.

Allah Azza wa Jallah merupakan Sang Pencipta makhluk, Dia mengetahui apa yang
terbaik bagi mereka dan hukum apa yang layak untuk mereka. Sementara manusia beragam
akal, akhlak dan kebiasaannya. Mereka tidak mengetahui apa yang baik buat mereka apalagi
mengetahui apa yang terbaik untuk selain mereka. Karena itu, masyarakat yang menjadikan
rakyat sebagai pedoman hukum dan UUnya tidak ada yang dihasilkannya kecuali kerusakan,
runtuhnya moral dan rusaknya kehidupan sosial.

Catatan, bahwa sistem ini di banyak Negara hanya sekedar dekorasi saja, tidak ada
kenyataannya. Hanya sekedar slogan yang menipu rakyat. Penguasa yang sesungguhnya
adalah kepala Negara atau musuh-musuhnya. Sedangkan rakyat tidak memiliki wewenang.

Tidak ada yang paling menunjukkan kesimpulan tersebut bahwa demokrasi yang
disebut-sebut itu hanyalah yang sesuai dengan kemauan penguasa, jika tidak sesuai, maka
akan dianjak-injak kaki mereka. Kenyataan pemalsuan pemilu, dibungkamnya kebebasan
orang-orang yang hendak menyuarakan kebenaran adalah kenyataan yang diketahui semua
pihak, tidak butuh lagi dalil.
BAB III

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. Kuwait :
Darul Buhuts Al-Ilmiyah.
Erwina, Brigita Win. 2010. Makalah Studi Kepemimpinan Islam Demokrasi Dalam Perspektif
Islam. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Yogyakarta.
http://islamlib.com/id/artikel/islam-dan-demokrasi/
Mansoer, Hamdan, dkk. 2004. Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam Di Perguruan
Tinggi Umum. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama
RI.

Anda mungkin juga menyukai