Anda di halaman 1dari 13

Mini Riset: Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, dan Pengangguran Terhadap

Tingkat Kemiskinan di Jawa Timur

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana sumber daya tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Kurangnya akses terhadap makanan, pakaian, layanan kesehatan,
tempat tinggal yang aman, dan pendidikan yang cukup merupakan indikator kemiskinan absolut.
Kebutuhan hidup diukur dalam bentuk uang. Garis kemiskinan adalah jumlah minimum uang
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Penduduk dianggap miskin jika
pendapatan rumah tangga mereka di bawah tingkat kemiskinan federal.

Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang sangat penting dan


memerlukan penyelesaian segera. Kemajuan atau kemunduran pertumbuhan ekonomi suatu
negara atau wilayah dapat diukur dengan memeriksa evolusi tingkat kemiskinan di negara
tersebut. Temuan investigasi empiris yang dilakukan oleh Mills dan Pernia (1993) dengan
menggunakan pendekatan analitik lintas negara menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan suatu
negara akan berkurang jika pembangunan ekonomi pada tahun-tahun sebelumnya cukup besar,
dan kecepatan penurunan angka kemiskinan akan dipercepat dengan tingkat pertumbuhan PDB
yang lebih besar (Tambunan, 2011).

Pemerintah telah menerapkan banyak langkah untuk mengatasi masalah kemiskinan,


termasuk pengaturan inflasi. Inflasi mengacu pada kenaikan harga barang dan jasa yang terus-
menerus dan berkelanjutan. Agar suatu situasi dapat digolongkan sebagai inflasi, kenaikan harga
suatu barang harus berdampak pada harga komoditas lainnya. Ketika tingkat inflasi meningkat,
kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari berkurang, sehingga menyebabkan
peningkatan tingkat kemiskinan. Prevalensi kemiskinan di suatu wilayah menyebabkan
menurunnya kemampuan individu dalam membeli barang dan jasa. Hal ini terjadi karena
rendahnya tingkat pendapatan individu. Jika terdapat tingkat pengangguran yang besar, kondisi
ini akan semakin buruk. Saat ini, pengangguran tidak hanya menimbulkan kesulitan ekonomi,

1
namun juga masalah sosial dan politik. Pengangguran yang tinggi mungkin mempunyai dampak
sosial yang signifikan, termasuk peningkatan aktivitas kriminal seperti perampokan, pencurian,
dan perdagangan gelap. Kejadian ini mungkin timbul karena adanya kebutuhan mendesak
individu untuk memenuhi kebutuhan esensialnya.

Jawa Timur mempunyai angka kemiskinan yang relatif tinggi, di atas rata-rata nasional.

Tabel 1. Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Timur per Maret 2017
Bulan/Tahun Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase (%)
Maret 2009 1167,87 16,28
Juli 2009 1130,00 15,68
Maret 2010 1125,73 15,47
Juli 2010 1105,00 14,80
Maret 2011 1077,67 14,24
September 2011 1063,81 13,95
Maret 2012 1059,13 13,78
September 2012 1043,62 13,48
Maret 2013 1110,53 14,24
September 2013 1104,57 14,06
Maret 2014 1100,83 13,91
September 2014 1145,63 13,62
Maret 2015 1112,53 14,25
September 2015 1101,19 13,77
Maret 2016 1096,50 13,54
September 2016 106,92 13,39

Berdasarkan Tabel 1, tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Timur mengalami penurunan


setiap tahunnya sejak bulan Maret 2009 sampai dengan bulan September 2012. Jumlah penduduk
miskin mengalami penurunan dari 1.167,87 ribu jiwa (16,28 persen) pada bulan Maret 2009
menjadi 1.043,62 ribu jiwa (13,48 persen). September 2012. Selama periode September 2012
hingga Maret 2013, terjadi peningkatan baik jumlah maupun proporsi penduduk miskin. Secara
spesifik, jumlah penduduk miskin meningkat dari 1.043,62 ribu jiwa (setara 13,48 persen) pada
September 2012 menjadi 1.110,53 ribu jiwa (setara 14,24 persen) pada Maret 2013. Sejak Maret
2013 hingga September 2014, terdapat penurunan tahunan yang konsisten dalam jumlah
penduduk miskin. jumlah dan proporsi penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur. Secara spesifik,
jumlahnya turun dari 1.110,53 ribu orang (14,24 persen) pada Maret 2013 menjadi 1.085,80 ribu
orang (13,62 persen) pada September 2014. Antara September 2014 dan Maret 2015, terjadi

2
peningkatan jumlah dan proporsi penduduk miskin. Pada bulan September 2014, jumlah
penduduk mencapai 1.085,80 ribu jiwa atau 13,62 persen dari jumlah penduduk, sedangkan pada
bulan Maret 2015 jumlahnya meningkat menjadi 1.145,63 ribu jiwa atau mewakili 14,25 persen
dari jumlah penduduk. Sejak Maret 2015 hingga September 2016, terjadi penurunan jumlah dan
proporsi penduduk miskin di Provinsi Sumatera Selatan secara konsisten. Angka tersebut turun
dari 1.145,63 ribu orang (14,25 persen) pada Maret 2015 menjadi 1.096,50 ribu orang (13,39
persen) pada September 2016.

1.2 Metode
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time series rentang tahun 2001
hingga 2016 di Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda
dengan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) Least Square sebagai instrumen analisisnya.
Model yang digunakan disusun dengan cara berikut:

𝐾K = 𝛽0 + 𝛽1𝑃E + 𝛽2𝐼𝑁𝐹 + 𝛽3TP + 𝜀

dimana:
TK = Tingkat Kemiskinan;
β0 = Konstanta;
β1, β2, β3 = Koefisien regresi;
PE = Pertumbuhan Ekonomi;
INF = Inflasi;
TP = Tingkat Pengangguran;
ε = errorterm.
Agar regresi OLS dapat berfungsi sebagai alat pengambilan keputusan, asumsi klasik dan
kelayakan model perlu dinilai. Selanjutnya tindakan selanjutnya adalah melakukan percobaan
untuk memverifikasi hipotesis. Metode menjelaskan metodologi yang digunakan dalam
penelitian dan prosedur berurutan yang dilakukan dalam melakukan penelitian. Teknik yang
digunakan secara singkat dibenarkan untuk memungkinkan pembaca menilai kesesuaian
pendekatan, serta keandalan dan validitas temuan. Investigasi intervensi yang melibatkan benda
atau orang, serta penelitian lain yang memerlukan persetujuan etis, harus menyertakan otoritas
yang berwenang dan kode persetujuan etis yang sesuai.

3
BAB II
LANDASA TEORI

2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi mengacu pada perluasan output barang dan jasa, serta peningkatan
produksi aset modal. Pertumbuhan ekonomi terjadi ketika ada perluasan produksi produk dan
jasa dalam suatu perekonomian. Mengukur kuantitas produk dan jasa yang diproduksi di dunia
nyata merupakan tugas yang menantang. Akibatnya, kita mengandalkan estimasi produksi
dengan menggunakan nilai moneternya, yang diwakili oleh Produk Domestik Bruto (PDB)
(Sukirno, 2013).

Angka PDB yang digunakan untuk menilai pertumbuhan ekonomi adalah PDB yang
diukur atas dasar harga konstan. Dengan menerapkan harga konstan, dampak fluktuasi harga
dapat dihilangkan. Akibatnya, angka-angka yang disajikan mencerminkan nilai moneter dari
output barang dan jasa, sehingga perubahan nilai PDB dapat secara akurat mewakili variasi
kuantitas barang dan jasa yang diproduksi selama periode pengamatan (Manurung & Rahardja,
2008). Pengembangan lebih lanjut model klasik memungkinkan kita merumuskan persamaan:

Q = f (K, L, T, U, M, W, I)

dimana: Q adalah output atau PDB; K adalah barang modal; L adalah tenaga kerja;T adalah
teknologi; U adalah uang; M adalah manajemen; W adalah kewirausahaan (entrepreneurship);
dan I adalah informasi. Persamaan diatas secara sederhana menunjukkan faktor-faktor yang
menentukan pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor penentu penentu pertumbuhan ekonomi
(Sukirno, 2013):

Manurung dan Rahardja (2008) menyatakan bahwa fokus teori pertumbuhan ekonomi
adalah pada unsur-unsur yang berkontribusi terhadap ekspansi ekonomi. Perbedaan utama antar
teori terletak pada penekanan dan asumsi yang mendasarinya.

a. Teori Schumpeter
Pendekatan Schumpeter, sebagaimana dijelaskan Sukirno (2013), mengutamakan
kontribusi wirausaha terhadap aktualisasi kemajuan ekonomi. Dalam gagasan ini

4
ditunjukkan bahwa wirausaha adalah kelompok yang terus menerus melakukan
pembaharuan atau inovasi dalam operasional perekonomian. Beberapa contoh inovasi
tersebut adalah pengenalan produk baru, perbaikan metode produksi, pengembangan
sumber bahan baku baru, perluasan pasar produk ke pasar baru, dan penerapan perubahan
organisasi yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi perusahaan. kegiatan. Schumpeter,
dalam memperkenalkan teori pertumbuhan, pertama-tama menganalisis situasi dengan
premis bahwa pertumbuhan ekonomi tidak terjadi. Menurut Schumpeter, semakin maju
suatu perekonomian, semakin sedikit ruang untuk ide-ide baru. Hal ini akan
mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi (Sukirno, 2013).
b. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik
Sukirno (2013) menyatakan bahwa gagasan tersebut dicetuskan oleh Abraham Movits
dan Solow yang menyatakan bahwa peningkatan variabel produksi sangat penting bagi
kemajuan perekonomian. Ekspresi matematis dari sudut pandang ini adalah sebagai
berikut:
Y = f (K, L, T)
dimana: Y adalah tingkat pertumbuhan ekonomi; K adalah tingkat pertumbuhan modal;
L adalah tingkat pertumbuan penduduk; dan T adalah tingkat perkembangan teknologi.
2.2 Teori Inflasi
Inflasi, sebagaimana didefinisikan oleh Nopirin (2016), adalah kenaikan harga-harga
yang stabil secara menyeluruh. Hal ini tidak berarti bahwa semua barang mengalami persentase
kenaikan harga yang sama. Peningkatan ini mungkin tidak terwujud pada saat yang bersamaan.
Sangat penting bahwa, dalam jangka waktu tertentu, harga terus naik secara keseluruhan. Inflasi
dapat membuat garis kemiskinan semakin lebar, sebagaimana dicatat oleh Badan Pusat Statistik
(2013). Hal ini disebabkan karena garis kemiskinan sebagian ditentukan oleh biaya hidup.
Ambang batas kemiskinan akan meningkat secara tak terhindarkan jika tingkat inflasi meningkat.
Secara umum, teori inflasi dapat dibagi menjadi tiga kategori, yang masing-masing berfokus
pada aspek berbeda dari proses inflasi.
a. Mekanika Kuantum a. Irving Fisher pertama kali mengemukakan hipotesis ini, yang
menyatakan bahwa inflasi muncul ketika banyak mata uang beredar dan konsumen
mengantisipasi kenaikan harga yang lebih besar.

5
b. Teori Keynes Menurut Keynes, inflasi terjadi ketika permintaan terhadap produk
melebihi pasokan akibat tindakan orang-orang yang hidup di atas kemampuan
ekonominya. Mereka yang termasuk dalam kategori ini sering kali ingin meningkatkan
pendapatannya melebihi apa yang diperlukan untuk mendukung gaya hidup mewah
mereka.
c. Perspektif Strukturalis Karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural
perekonomian (yang menurut definisinya hanya dapat berubah secara bertahap dan dalam
jangka panjang), teori ini dapat disebut sebagai teori inflasi “jangka panjang” karena teori
ini menekankan pada kekakuan sistem inflasi. struktur perekonomian negara-negara
berkembang.

2.3 Pengangguran
Pengangguran sering kali dibahas dalam kaitannya dengan tingkat pengangguran, bukan
jumlah pengangguran sebenarnya. Metode Tingkat Pengangguran Terbuka digunakan untuk
mengevaluasi aksesibilitas pekerja (ketersediaan lapangan kerja). Menurut Biro Statistik Tenaga
Kerja (BLS), tingkat pengangguran terbuka adalah persentase penduduk yang sedang aktif
mencari pekerjaan, sedang dalam proses memulai usaha, tidak sedang aktif mencari pekerjaan
karena yakin bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan. , atau merupakan bagian dari
angkatan kerja yang ada tetapi belum mulai bekerja.

2.4 Kemiskinan
Kemiskinan menurut definisi Badan Pusat Statistik (BPS, 2016) adalah keadaan tidak
mampu memenuhi kebutuhan pokok seseorang. Kemiskinan juga dapat dipandang berada di
bawah ambang batas nilai yang telah ditentukan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
pangan dan papan. Karena kebutuhan setiap orang berbeda, kemiskinan mempunyai manifestasi
yang berbeda-beda, menurut para ahli. Menurut pemahaman konvensional, kemiskinan dapat
dibagi menjadi dua kategori: kemiskinan primer, yang mencakup kurangnya kepemilikan,
struktur sosial dan politik, dan keahlian; dan sekunder, yang mencakup kurangnya jaringan
sosial, sumber daya keuangan dan informasi. Aspek-aspek kemiskinan ini muncul dalam bentuk
tidak memadainya akses terhadap makanan, air, tempat tinggal, layanan kesehatan, dan sekolah
(Arsyad, 2010).

6
7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Uji Asumsi Klasik


3.1.1 Uji Normalitas
Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Jarque-Bera,
dengan tingkat signifikansi (alpha) sebesar 0,05. Hasil penelitian menunjukkan nilai Jarque Barra
sebesar 1,343643 dengan probabilitas sebesar 0,510777. Mengingat probabilitasnya lebih besar
dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data mengikuti distribusi normal.

3.1.2 Uji Multikolinieritas


Tujuan dari uji multikolinearitas adalah untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antar
variabel independen dalam model regresi. Nilai korelasi yang lebih besar dari 0,8 antar variabel
independen menunjukkan adanya multikolinearitas dalam model. Sebaliknya jika nilai
korelasinya di bawah 0,8 maka model tersebut terbebas dari multikolinearitas (Gujarati, 2003).
Berdasarkan temuan analisis pada tabel 2, diketahui bahwa seluruh nilai koefisien korelasi antar
variabel independen berada di bawah 0,8 yang menunjukkan tidak adanya multikolinearitas
dalam model.

3.1.3 Uji Heterokeditas


Untuk memastikan kualitas model regresi, model regresi harus menunjukkan
homoskedastisitas. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan uji White. Heteroskedastisitas
tidak muncul jika nilai probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari 0,05. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa nilai Obs*R-squared sebesar 14,67140, dan Probabilitas Chi-Squared
sebesar 0,1004. Hal ini menunjukkan bahwa probabilitasnya lebih besar dari 0,05 sehingga
menunjukkan tidak adanya heteroskedastisitas.

3.1.4 Uji Linieritas


Uji linearitas dilakukan untuk memastikan adanya hubungan linier antara variabel
independen dengan variabel dependen. Penelitian ini menggunakan uji Ramsey Reset yang
melibatkan pengujian nilai estimasi probabilitas F. Nilai F harus di atas 0,05 agar tes dianggap

8
valid. Temuan penelitian menunjukkan bahwa F-statistik sebesar 0,435790 dengan probabilitas
sebesar 0,5216. Berdasarkan nilai probabilitas yang lebih besar dari 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa model regresi memenuhi asumsi linearitas.
Temuan ini didasarkan pada hasil estimasi OLS untuk model regresi linier berganda.

Tabel 2. Hasil Regresi Model OLS


Variabel Koefisien t- statistik Prob.
Constant 12,1235 5,0022 0,0002
PE – 1,0452 -2,7305 0,0172
INF 0,3332 2,7764 0,0157
TP 1,0855 5,0354 0,0002
R2 0,7964
DW stat 1,8698
f-test 16,955 0,0001
Jarque-Bera 1,3436 0,5107
White-test 14,6714 0,1004
Breusch-Godfrey 0,5645 0,7541
Uji Multikolinieritas
Variabel PE INF TP
PE 1.00000 -0.12820 0.03083
INF -0.12820 1.00000 0.23099
TP 0.03083 0.23099 1.00000

3.2 Pembahasan
Dari Tabel 2, kita dapat menyimpulkan F-Statistik sebesar 16,95502 dan Prob (F-statistik)
sebesar 0,000089. Ini setara dengan peluang kurang dari 5%. Oleh karena itu, tingkat kemiskinan
dipengaruhi oleh ketiga variabel ekonomi tersebut: pertumbuhan, inflasi, dan pengangguran.

Dengan kata lain, jika pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran tidak pernah
berubah, maka angka kemiskinan akan selalu sebesar 12,12345 persen. Selain itu, koefisien
pertumbuhan ekonominya adalah -1,045287, yang berarti penurunan pertumbuhan ekonomi
sebesar satu poin persentase akan menurunkan angka kemiskinan sebesar 1,45% (dengan asumsi
semua faktor lainnya tetap). Karena tingkat inflasi saat ini adalah 0,333275, kenaikan inflasi
sebesar 1 persen akan mengakibatkan kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 0,33 persen, jika
semua hal lainnya dianggap sama. Tingkat kemiskinan adalah 1,08% jika pengangguran

9
meningkat sebesar 1% dan semua faktor lainnya tetap sama (tingkat pengangguran adalah
1,085540).

Tabel 2 menampilkan temuan dari sebagian pengujian yang dilakukan, yang


menunjukkan bahwa pertumbuhan, inflasi, dan pengangguran semuanya memiliki nilai
probabilitas kurang dari 0,05. Jadi, dapat dikatakan bahwa ekspansi ekonomi, inflasi, dan
pengangguran mempunyai peran dalam membentuk angka kemiskinan. Goodness-of-fit dapat
dinilai dengan menghitung koefisien determinasi, yang mengkuantifikasi sejauh mana model
dapat memperhitungkan perubahan yang diamati pada variabel dependen. Analisis menunjukkan
bahwa pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran semuanya berkontribusi terhadap
tingkat kemiskinan dengan gabungan R-Squared sebesar 0,796446 atau 79,64%. Sisanya sebesar
20,36 persen dapat disebabkan oleh faktor-faktor di luar cakupan penyelidikan ini.

Berdasarkan temuan penelitian dapat diketahui bahwa secara bersamaan (simultan)


pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran berdampak terhadap tingkat kemiskinan di
Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2001-2017. Temuan analisis F-statistik mendukung klaim
ini, menunjukkan bahwa nilai probabilitas kurang dari 0,05.

Angka kemiskinan di Provinsi Jawa Timur sedikit banyak dipengaruhi oleh pembangunan
ekonomi. Angka kemiskinan di Jawa Timur mengalami penurunan setiap tahunnya pada tahun
2001-2017 sebagai akibat langsung dari pertumbuhan ekonomi daerah yang terus meningkat
selama periode tersebut. Temuan penelitian ini sejalan dengan temuan Kuznets (1955) yang
memperkirakan bahwa ekspansi ekonomi yang pesat pada awal pembangunan suatu negara akan
diikuti dengan kesenjangan pendapatan yang semakin besar dan kemiskinan. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi akan bertahan hingga mencapai titik kritis, setelah itu kesenjangan
pendapatan dan kemiskinan mulai menurun (Subandi, 2011).

Tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Timur sedikit banyak dipengaruhi oleh inflasi.
Meskipun indeks harga konsumen menunjukkan volatilitas pada tahun 2001-2017, namun angka
inflasi yang mengalami penurunan pada tahun 2013-2017 menunjukkan bahwa daya beli
masyarakat semakin membaik dan berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan di Provinsi
Jawa Timur. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Mankiw (2003), ketika tingkat inflasi
sedang bergulir dan nilai mata uang riil berfluktuasi sangat besar, maka kenaikan inflasi akan
diikuti dengan peningkatan garis kemiskinan sebagai akibat dari peningkatan pendapatan.

10
Tingkat inflasi yang akan mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin jika tidak diikuti
dengan peningkatan daya beli atau peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya masyarakat
kelas menengah.

11
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Temuan penelitian ini memberikan kesimpulan sebagai berikut: (1) Tingkat kemiskinan
di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2001-2017 dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, inflasi,
dan pengangguran, baik secara individu maupun kolektif. (2) Pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan
pengangguran secara bersama-sama menyumbang 79,64% dari tingkat kemiskinan di Provinsi
Sumatera Selatan. Sisanya sebesar 20,36% disebabkan oleh faktor lain yang belum dieksplorasi
dalam penelitian ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi pembangunan. Edisi 5 .Yogyakarta: STIM YKP Boediono.
2005. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE UGM.
Badan Pusat Statistik. 2017. Data Inflasi dan Kemiskinan. Palembang: Badan Pusat Statistik.
Diakses melalui laman www.bps.go.id.
Badan Pusat Statistik. 2017. Data Series Sumatera Selatan. Palembang: Badan Pusat Statistik.
Diakses melalui laman www.bps.go.id.
Kuncoro, Mudrajad. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2008. Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar.
Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Kuznets, Simon. (1955). Economic Growth and Income Inequality. The American Economic
Review, 45(1), 1-28
Mankiw, N. Gregory. 2003. Teori Makro Ekonomi Terjemahan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Mills, E., & Pernia, E.M. (1994). Introduction and overview. In E.M. Pernia (Ed.), Urban
Poverty in Asia: A Survey of Critical Issues (pp. 1–51). Hong Kong: Oxford University
Press
Nopirin. 2016. Ekonomi Moneter. Buku 2. Yogyakarta: BPFE UGM
Sukirno, Sadono. 2013. Makro Ekonomi, Teori Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Subandi. 2012. Ekonomi Pembangunan. Bandung: Alfabeta.
Sharp, Ansel,. Charles, Register., & Grimes, Paul. 2012. Economics of Social Issues (20th
Edition). Chicago: Mcgraw-hill Economics Series.
Tambunan, Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia: beberapa permasalahan penting. Bogor:
Ghalia Indonesia.

13

Anda mungkin juga menyukai