Anda di halaman 1dari 15

INFLASI DAN PENGANGGURAN

INFLASI DAN PENGANGGURAN


Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ekonomi Makro

Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
1.
2.
3.

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak
memberikan nikmat kepada kita. Rahmat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada
pemimpin akhir zaman yang sangat dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad
SAW.
Makalah dengan tema Inflasi dan Pengangguran ini disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Ekonomi Makro. Selanjutnya, penyusun mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan pengarahan-pengarahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada Ibu dosen dan
teman-teman yang lain untuk memberikan sarannya kepada kami agar penyusunan
makalah ini lebih baik lagi.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan
umumnya semua yang membaca makalah ini serta dapat mendukung proses
pembelajaran.

Kudus, 26 Februari 2016

Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Inflasi
B. Perhitungan Inflasi
C. Macam-Macam Inflasi
D. Teori Inflasi
E. Efek Inflasi
F. Kebijakan Untuk Mengatasi Inflasi
G. Pengertian Pengangguran
H. Jenis-jenis Pengangguran
I. Biaya Sosial dari Pengangguran
J. Hubungan Pengangguran dengan Inflasi
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Inflasi dan pengangguran adalah dua masalah penting yang ada pada setiap negara di
dunia. Inflasi merupakan masalah ekonomi yang umum dihadapi oleh semua negara, yang
memerlukan penanganan khusus. Kenaikan harga dapat mempengaruhi ekonomi secara
keseluruhan. Terlebih jika kenaikan harga terjadi secara terus menerus inilah yang disebut
dengan inflasi. Namun, jika kenaikan harga hanya terjadi pada satu atau dua barang saja,
ini tidak bisa dikatakan sebagai inflasi. Seperti contoh ketika menjelang hari raya Idul
Fitri, harga pada barang akan cenderung naik, tetapi setelah hari raya, harga barang akan
stabil kembali. Ini bukan inflasi karena kenaikan harga semacam ini tidak dianggap
sebagai masalah ekonomi dan tidak perlu dilakukan secara khusus untuk menanganinya.
Selain inflasi, pengangguran merupakan masalah ekonomi yang dihadapi oleh semua
negara khususnya negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kurangnya lapangan
kerja dan banyaknya jumlah angkatan kerja yang tidak seimbang menyebabkan adanya
pengangguran. Namun disamping itu, banyak faktor lain pula yang menyebabkan adanya
pengangguran. Terdapat pula hubungan antara inflasi dan pengangguran yang akan di
bahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan inflasi?
2. Bagaimana cara menghitung inflasi?
3. Apa saja macam-macam inflasi?
4. Apa saja teori tentang inflasi?
5. Bagaimana efek dari inflasi?
6. Apa saja kebijakan yang dilakukan untuk mengatasi inflasi?
7. Apa yang dimaksud dengan pengangguran?
8. Apa saja jenis-jenis pengangguran?
9. Apa saja biaya sosial dari pengangguran?
10. Bagaimana hubungan antara pengangguran dengan inflasi?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian inflasi.
2. Mengetahui cara menghitung inflasi.
3. Mengetahui macam-macam inflasi.
4. Mengetahui teori inflasi.
5. Mengetahui efek dari inflasi.
6. Mengetahui kebijakan untuk mengatasi inflasi.
7. Mengetahui pengertian pengangguran.
8. Mengetahui jenis-jenis pengangguran.
9. Mengetahui biaya sosial dari pengangguran.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Inflasi
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga naik secara umum dan terus-menerus.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan
tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan ) sebagian besar dari harga barang-
barang lain.[1]
Komponen yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan inflasi:[2]
1. Kenaikan harga, harga suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi daripada
harga periode sebelumnya.
2. Bersifat umum, kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika
kenaikan tersebut tidak menyebabkan harga-harga secara umum naik.
3. Berlangsung terus menerus, kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan
memunculkan inflasi, jika terjadinya hanya sesaat. Karena itu perhitungan inflasi
dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan. Sebab dalam sebulan akan terlihat
apakah kenaikan harga bersifat umum dan terus menerus.
B. Perhitungan Inflasi
Kenaikan harga diukur dengan menggunakan indeks harga. Beberapa indeks harga
yang sering di gunakan untuk mengukur inflasi antara lain :[3]
1. Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index)
Indeks Harga Konsumen adalah angka indeks yang menunjukkan tingkat harga
barang dan jasa yang harus dibeli konsumen dalam satu periode tertentu. Angka IHK
diperoleh dengan menghitung harga-harga barang dan jasa utama yang dikonsumsi
masyarakat dalam satu periode tertentu. Masing-masing harga barang dan jasa tersebut
diberi bobot (weigthed) berdasarkan tingkat keutamaannya. Barang dan jasa yang di
anggap paling penting diberi bobot yang paling besar.
Di Indonesia, penghitungan IHK dilakukan dengan mempertimbangkan sekitar
beberapa ratus komoditas pokok. Untuk lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya,
penghitungan IHK dilakukan dengan melihat perkembangan regional, yaitu dengan
mempertimbangkan tingkat inflasi kota-kota besar, terutama ibukota provinsi-provinsi di
Indonesia. Sebagai contoh dalam tabel berikut.
Indeks Harga konsumen (IHK) Gabungan 27 Kota di Indonesia
1994-1998 (April 1988- Maret 1989 = 100)

Akhir Periode IHK Perubahan IHK (%)


1994 163,17 9,60
1995 177,83 8,98
1996 189,62 6,63
1997 211,62 11,60
1998 375,89 77,63
Sumber : Diolah dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
(Bank Indonesia)

Tabel di atas menyatakan bahwa titik awal penghitungan angka IHK adalah April
1988 Maret 1989, dengan angka 100. Jika angka IHK makin besar, maka telah terjadi
inflasi. Misalnya, angka IHK akhir periode 1994 adalah 163,17 menunjukkan selama
1989-1994 telah terjadi inflasi. Angka perubahan IHK (kolom 3) adalah angka inflasi per
tahun. Misalnya, IHK 1995 adalah 177,83, angka perubahan IHK-nya 8,98%. Berarti
selama periode 1994-1995 telah terjadi inflasi sebesar 8,98%. Angka 8,98% diperoleh
dengan menggunakan rumus perhitungan :

Inflasi = x 100%

Inflasi1995 = x 100%

= x 100%
= 8, 98 %
Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung IHK kurang mencerminkan tingkat
inflasi sebenarnya. Tetapi IHK sangat berguna karena menggambarkan besarnya
kenaikan biaya hidup bagi konsumen, sebab IHK memasukkan komoditas-komoditas
yang relevan (pokok) yang biasanya dikonsumsi masyarakat.
2. Indeks Harga Perdagangan Besar (Wholesale Price Index)
Jika IHK melihat inflasi dari sisi konsumen, maka Indeks Harga Perdagangan
Besar (IHPB) melihat inflasi dari sisi produsen. Oleh karena itu IHPB sering juga disebut
sebagai indeks harga produsen (producer price index). IHPB menunjukkan tingkat harga
yang diterima produsen pada berbagai tingkat produksi.
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB), 1995- 1998
(1983 = 100)
Akhir Periode IHPB Perubahan IHPB(%)
1995 240 11,62
1996 259 7,92
1997 282 8,88
1998 568 101,42
Sumber : Diolah dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
(Bank Indonesia)
Prinsip menghitung inflasi berdasarkan data IHPB adalah sama dengan cara berdasarkan
IHK.

Inflasi = x 100 %
3. Indeks Harga Implisit (GDP Deflator)
Untuk mendapatkan gambaran inflasi yang paling mewakili keadaan sebenarnya,
ekonom menggunakan indeks harga implisit (GDP deflator), disingkat IHI.

Inflasi = x 100%
Mungkin saja terjadi, pada saat ingin menghitung inflasi dengan menggunakan
IHI tidak dapat dilakukan karena tidak memiliki data IHI. Hal ini bisa di atasi. Sebab
prinsip dasar penghitungan inflasi berdasarkan deflator PDB (GDP Deflator) adalah
membandingkan tingkat pertumbuhan ekonomi nominal dengan pertumbuhan riil. Selisih
keduanya merupakan tingkat inflasi. Atau dapat dikatakan Inflasi = Pertumbuhan nominal
– Pertumbuhan riil.
C. Macam-Macam Inflasi
Inflasi menurut sifatnya :[4]
1. Inflasi ringan (di bawah 10% setahun)
2. Inflasi sedang (antara 10 - 30% setahun)
3. Inflasi berat (antara 30 - 100 % setahun)
4. Hiperinflasi ( di atas 100% setahun)
Inflasi menurut sebabnya :[5]
1. Demand pull Inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan permintaan
total (agregate demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan
kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh.
2. Cost Push Inflation, yaitu inflasi yang ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya
produksi.

Inflasi menurut asalnya :[6]


1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)
Inflasi yang terjadi karena dorongan permintaan misalnya karena gagal panen
sehingga stok bahan pangan menjadi berkurang. Inflasi yang terjadi karena kenaikan
biaya misalnya karena suku bunga naik, sehingga akan mendorong biaya produksi
meningkat dan harga produk pun meningkat pula.
2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)
Inflasi yang terjadi karena kenaikan harga di luar negeri yang menyebabkan
kenaikan harga di dalam negeri, misalnya bahan baku gandum di luar negeri meningkat
maka akan mendorong produksi yang menggunakan bahan baku gandum seperti mie dan
roti mengalami kenaikan harga.
D. Teori Inflasi
Teori inflasi di bagi menjadi tiga yaitu :[7]
1. Teori Kuantitas
Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi dari jumlah uang yang beredar
dan “psikologi” (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations).
Inti dari teori ini adalah :
a. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar (apakah
berupa penambahan uang kartal atau penambahan uang giral tidak menjadi soal).
b. Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh
“psikologi” (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang.
2. Teori Keynes
Menurut teori ini, inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas
kemampuan ekonominya. Poses inflasi menurut pandangan ini, tidak lain adalah proses
perebutan bagian rezeki di antara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian
yang lebih besar dari pada yang bisa disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses
perebutan ini akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan dimana permintaan masyarakat
akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia .
3. Teori Strukturalis
Teori strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang di dasarkan atas pengalaman
di negara-negara Amerika Latin. Teori ini memberi tekanan pada ketegaran
(inflexibilities) dari struktur perekonomian negara-negara berkembang. Menurut teori ini,
ada dua ketegaran utama dalam perekonomian Negara-negara sedang berkembang yang
bisa menimbulkan inflasi, yaitu :
a. Ketidakelastisan dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban
dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor lain.
b. Ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri.
E. Efek Inflasi
Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta
produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity effect, sedang
efek terhadap alokasi faktor produksi dan produk nasional masing-masing
disebut efficiency dan output effect.
1. Efek terhadap Pendapatan (Equity Effect)
Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada
pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan
tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Demikian juga orang yang menumpuk
kekayaannya dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian adanya inflasi. Contoh lain,
yang dirugikan karena adanya inflasi adalah orang/pihak yang mmberikan pinjaman uang
dengan bunga lebih rendah dari laju inflasi.
Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapat keuntungan dengan adanya inflasi adalah
mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan persentase yang lebih besar dari
laju inflasi. Atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang dimana nilainya naik
dengan persentase lebih besar daripada laju inflasi. Dengan demikian inflasi dapat
menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola pembagian pendapatan dan kekayaan
masyarakat. Inflasi seolah-olah merupakan pajak bagi seseorang dan merupakan subsidi
bagi orang lain.
2. Efek terhadap Efisiensi ( Efficiency Effect)
Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini
dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian
dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Dengan
adanya inflasi permintaan akan barang tertentu mengalami kenaikan yang lebih besar dari
barang lain, yang kemudian mendorong kenaikan produksi barang tersebut. Kenaikan
produksi barang ini pada gilirannya akan mengubah pola alokasi faktor produksi yang
sudah ada.
3. Efek terhadap Output (Output Effects)
Inflasi mungkin dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi. Alasannya
dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah
sehingga keuntungan pengusaha naik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong
kenaikan produksi. Namun apabila laju inflasi ini cukup tinggi (hyper inflation) dapat
mempunyai akibat sebaliknya, yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi yang
tinggi, nilai uang riil turun dengan drastis, masyarakat cenderung tidak menyukai uang
kas, transaksi mengarah ke barter, yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi
barang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan langsung antara
inflasi dengan output. Inflasi bisa dibarengi dengan kenaikan output, tetapi juga bisa
dibarengi dengan penurunan output.[8]
F. Kebijakan Untuk Mengatasi Inflasi
Pemerintah melakukan beberapa kebijakan untuk menekan laju inflasi, yaitu :[9]
1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal untuk mengatasi laju inflasi adalah kebijakan pendapatan dan
basis pajak. Dengan adanya kebijakan pendapatan terutama standar gaji PNS akan
mempengaruhi komponen pengeluaran pemerintah dan basis pajak sebagai instrumen
pengurang pendapatan tidak akan menimbulkan kenaikan harga karena dorongan
permintaan. Pajak sebagai alat untuk menekan dorongan permintaan sehingga harga tidak
akan naik. Kalau harga tidak mengalami kenaikan, maka inflasi dapat ditekan.
2. Kebijakan Moneter
Dengan kebijakan moneter, pemerintah mengatur suku bunga dalam level yang
rendah sehingga tidak akan menimbulkan kenaikan biaya produksi yang pada akhirnya
akan mendorong pada kenaikan harga dan inflasi.
3. Deregulasi Sektor Industri
Deregulasi sektor industri dilakukan pemerintah dengan strategi memperkuat
pasar. Misalnya, dengan mengatur kecukupan stok kebutuhan pokok masyarakat. Kalau
stok kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi, maka tidak akan terjadi kenaikan harga dan
selanjutnya dapat menekan laju inflasi.
G. Pengertian Pengangguran
Pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja, yang
secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat
memperoleh pekerjaan yang diinginkannya.
Golongan penduduk yang tergolong sebagai angkatan kerja adalah penduduk yang
berumur di antara 15 hingga 64 tahun, kecuali :
1. Ibu rumah tangga yang lebih suka menjaga keluarganya daripada bekerja.
2. Penduduk muda dalam lingkungan umur tersebut yang masih meneruskan pelajarannya
di sekolah dan universitas.
3. Orang yang belum mencapai umur 65 tetapi sudah pension dan tidak mau bekerja lagi.
4. Pengangguran sukarela, yaitu golongan penduduk yang dalam lingkaran umur tersebut
yang tidak secara aktif mencari pekerjaan.
Dengan demikian jumlah angkatan kerja dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan berikut :

L = PL – (IR+MP+PP+PS)

dimana,
L = Jumlah tenaga kerja (angkatan kerja)
PL = Penduduk dalam lingkaran umur 15-64 tahun
WR = Ibu rumah tangga yang tidak ingin bekerja
MP = Mahasiswa dan pelajar
PP = Pekerja yang telah pension dan tidak ingin bekerja lagi
PS = Orang-orang tidak sekolah dan tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan.
Perbandingan di antara angkatan kerja yang sebenarnya dengan penduduk dalam
lingkaran umur 15-64 tahun dinamakan tingkat penyertaan tenaga kerja (labour
participation rate). Tingkatnya (dinyatakan dalam persen) dapat dihitung dengan :

Tingkat penyertaan (%) = x 100

Setelah sebuah negara mendapatkan informasi mengenai dua data yang


diterangkan di atas, yaitu jumlah pengangguran dan jumlah tenaga kerja, tingkat
pengangguran dapat ditentukan dengan :

Tingkat pengangguran (%) = x 100

Dimana, U adalah jumlah pengangguran dan L adalah jumlah tenaga kerja (angkatan
kerja).[10]
H. Jenis-jenis Pengangguran
Jenis- jenis pengangguran ada empat, yaitu:[11]
1. Pengangguran Friksional
Apabila dalam suatu periode tertentu perekonomian terus menerus mengalami
perkembangan yang pesat, jumlah dan tingkat pengangguran akan menjadi semakin
rendah. Pada akhirnya perekonomian dapat mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja
penuh (full employment), yaitu apabila pengangguran tidak melebihi 4 %. Pengangguran
ini dinamakan pengangguran friksional (frictional unemployment).
2. Pengangguran Struktural
Dikatakan pengangguran structural karena sifatnya yang mendasar. Pencari kerja
tidak mampu memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk lowongan pekerjaan yang
tersedia.
3. Pengangguran Siklis
Pengangguran siklis atau pengangguran konjungtor adalah pengangguran yang
diakibatkan oleh perubahan-perubahan dalam tingkat kegiatan perekonomian.
4. Pengangguran Musiman
Pengangguran ini berkaitan erat dengan fluktuasi kegiatan ekonomi jangka
pendek, terutama terjadi di sektor pertanian.
I. Biaya Sosial dari Pengangguran
Pengangguran akan menimbulkan dampak negatif jika sifat pengangguran sudah
sangat struktural dan atau kronis.
1. Terganggunya stabilitas perekonomian
Pengangguran struktural dan atau kronis akan mengganggu stabilitas
perekonomian dilihat dari sisi permintaan dan penawaran agregat.
a. Melemahnya permintaan agregat
Untuk dapat bertahan hidup, manusia harus bekerja. Sebab dengan bekerja dia akan
memperoleh penghasilan, yang digunakan untuk belanja barang dan jasa. Jika tingkat
pengangguran tinggi dan bersifat struktural, maka daya beli akan menurun, pada
gilirannya menimbulkan penurunan permintaan agregat.
b. Melemahnya penawaran agregat
Tingginya tingkat pengangguran akan menurunkan penawaran agregat, bila dilihat
dari peranan tenaga kerja sebagai faktor produksi utama. Makin sedikit tenaga kerja yang
digunakan, makin kecil penawaran agregat. Dampak pengangguran terhadap penawaran
agregat makin terasa dalam jangka panjang. Makin lama seseorang menganggur,
keterampilan, produktifitas maupun etika kerjanya akan mengalami penurunan.
2. Terganggunya stabilitas sosial politik
Pengangguran yang tinggi akan meningkatkan kriminalitas, baik berupa kejahatan
pencurian, perampokan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang maupun kegiatan-
kegiatan ekonomi illegal lainnya. Biaya ekonomi yang dikeluarkan untuk mengatasi
masalah-masalah sosial ini sangat besar dan susah diukur tingkat efisiensi dan
efektivitasnya.[12]
J. Hubungan Pengangguran dengan Inflasi
Hubungan pengangguran dengan upah dan gaji serta inflasi digambarkan oleh Kurva
Phillips yang ditemukan oleh A.W Phillips. Kurva Phillips bermanfaat untuk menganalisa
pergerakaan pengangguran dan inflasi dalam jangka pendek. Ketika upah dan gaji tinggi,
maka pengangguran rendah, dan inflasi tinggi. Upah dan gaji tinggi karena pekerja akan
menekankan kenaikan upah dan gaji saat ada beberapa alternatif pekerjaan di luar
pekerjaan sekarang. Upah dan gaji yang tinggi akan menyebabkan dorongan permintaan
meningkat, kalau agregat permintaan naik, maka harga akan naik dan menimbulkaan
inflasi. Sebaliknya, ketika upah dan gaji rendah, maka pengangguran tinggi dan inflasi
rendah. Upah dan gaji yang rendah tidak akan menyebabkan dorongan permintaan
meningkat, kalau agregat permintaan turun, maka harga akan turun dan tidak akan
menimbulkan inflasi.
Kurva Phillips mengilustrasikan suatu trade-off teori inflasi. Menurut pandangan ini,
negara dapat mengusahakan tingkat pengangguran yang lebih rendah apabila bersedia
membayar dengan tingkat inflasi yang lebih tinggi. Trade-off ditunjukkan dengan
kemiringan kurva Phillips.
Kurva Phillips jangka panjang berbentuk vertikal, karena dalam jangka panjang hanya
terdapat satu tingkat pengangguran yang konsisten dengan inflasi yang tetap, tingkat
pengangguran ini disebut dengan pengangguran alamiah. Tingkat pengangguran alamiah
adalah tingkat dimana tekanan ke atas dan ke bawah terhadap inflasi harga dan upah
berada dalam keseimbangan.[13]
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga naik secara umum dan terus-menerus.
Kenaikan harga diukur dengan menggunakan indeks harga antara lain Indeks Harga
Konsumen, Indeks Harga Perdagangan Besar, dan Indeks Harga Implisit.
Inflasi menurut sifatnya yaitu Inflasi ringan (di bawah 10% setahun), Inflasi sedang
(antara 10 - 30% setahun), Inflasi berat (antara 30 - 100 % setahun) dan Hiperinflasi ( di
atas 100% setahun). Inflasi menurut sebabnya yaitu Demand pull Inflation dan Cost Push
Inflation. Inflasi menurut asalnya yaitu Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic
inflation) dan Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).
Teori inflasi ada 3 yaitu Teori Kuantitas yang menyoroti peranan dalam proses inflasi
dari jumlah uang yang beredar dan “psikologi” (harapan) masyarakat mengenai kenaikan
harga-harga (expectations), Teori Keynes yaitu inflasi terjadi karena suatu masyarakat
ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Dan Teori Strukturalis yang memberi
tekanan pada ketegaran (inflexibilities) dari struktur perekonomian negara-negara
berkembang yang bisa menimbulkan inflasi yaitu ketidakelastisan dari penerimaan
ekspor dan ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri.
Efek dari inflasi yaitu efek terhadap pendapatan (Equity Effect), Efek terhadap
Efisiensi ( Efficiency Effect) dan Efek terhadap Output (Output Effects). Pemerintah
melakukan beberapa kebijakan untuk menekan laju inflasi, yaitu melalui Kebijakan
Fiskal, Kebijakan Moneter dan Deregulasi Sektor Industri.

Pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja, yang
secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat
memperoleh pekerjaan yang diinginkannya. Jenis- jenis pengangguran ada empat, yaitu
Pengangguran Friksional, Pengangguran Struktural, Pengangguran Siklis dan
Pengangguran Musiman. Pengangguran akan menimbulkan dampak negatif jika sifat
pengangguran sudah sangat struktural dan atau kronis diantaranya Terganggunya
stabilitas perekonomian dan Terganggunya stabilitas sosial politik.
Hubungan pengangguran dengan upah dan gaji serta inflasi digambarkan oleh Kurva
Phillips yang ditemukan oleh A.W Phillips. Kurva Phillips bermanfaat untuk menganalisa
pergerakaan pengangguran dan inflasi dalam jangka pendek. Ketika upah dan gaji tinggi,
maka pengangguran rendah, dan inflasi tinggi. Upah dan gaji tinggi karena pekerja akan
menekankan kenaikan upah dan gaji saat ada beberapa alternatif pekerjaan di luar
pekerjaan sekarang. Upah dan gaji yang tinggi akan menyebabkan dorongan permintaan
meningkat, kalau agregat permintaan naik, maka harga akan naik dan menimbulkaan
inflasi dan sebaliknya.
A. Saran
Sangat penting untuk mempelajari masalah inflasi dan pengangguran. Karena hal ini
menyangkut perekonomian secara keseluruhan. Begitu banyaknya pengangguran yang
terjadi saat ini, kita bisa menganalisa serta mencari solusi atas permasalahan
pengangguran di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Boediono. 2001. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.2 Ekonomi Makro. Yogyakarta : BPFE-
YOGYAKARTA.
Boediono. 2001. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.5 Ekonomi Moneter. Yogyakarta : BPFE-
YOGYAKARTA.
Hikmah Endraswati. 2010. Pengantar Ekonomi Makro. Salatiga : STAIN Salatiga Press.
Nopirin. 2000. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro & Mikro. Yogyakarta : BPFE-YOGYAKARTA
Prathama Rahardja dan Mandala Manurung. 2005. Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar Edisi
Ketiga. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sadono Sukirno. 2000. Makro Ekonomi Modern Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga
Keynesian Baru. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

[1]Boediono, 2001, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.2 Ekonomi Makro, BPFE-
YOGYAKARTA, Yogyakarta, hlm.155.
[2] Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, 2005, Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar
Edisi Ketiga, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.175-176.
[3] Ibid, hlm. 184-188.
[4] Boediono, Op.Cit, hlm. 162.
[5] Nopirin, 2000, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro & Mikro, BPFE-YOGYAKARTA,
Yogyakarta, hlm.177-179.
[6] Hikmah Endraswati, 2010, Pengantar Ekonomi Makro, STAIN Salatiga Press, Salatiga,
hlm.74.
[7] Boediono, 2001, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.5 Ekonomi Moneter, BPFE-
YOGYAKARTA, Yogyakarta, hlm.167-176.
[8] Nopirin, Op.Cit, hlm.181-183.
[9] Hikmah Endraswati, Op.Cit, hlm.77-79.
[10] Sadono Sukirno, 2000, Makro Ekonomi Modern Perkembangan Pemikiran dari Klasik
Hingga Keynesian Baru, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.472-474.
[11] Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Op.Cit, hlm.195-198.
[12] Ibid.
[13] Hikmah Endraswati, Loc.Cit.

Anda mungkin juga menyukai