Anda di halaman 1dari 4

PENGANTAR SOSIOLOGI HUKUM

Nida Nusalbah Atika


B011211345
Kelas : PSH C

Resume Materi!

SOSIOLOGI HUKUM MENURUT PHILIPPE NONET


& PHILLIP ZELSNICK

A. Hukum Represif
Gagasan hukum represif menganggap bahwa tatanan hukum tertentu dapat berupa
“ketidakadilan yang tegas”. Keberadaan hukum tidak menjamin keadilan, apalagi keadilan
substantif. Sebaliknya, setiap tatanan hukum memiliki potensi represif sebab hingga
tingkat tertentu ia akan selalu terikat pada status quo dan dengan memberikan “baju”
otoritas kepada penguasa, hukum membuat kekuasaan makin efektif. Hal ini telah
dipahami secara umum, tetapi baru ada sedikit usaha untuk secara sistematis mertgkaji
karakter-karakter hukum represif, dan untuk melakukannya dengan tetap
mcmperhiturtgkan variasi pada karakter- karakter tersebut.
Rezim represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan dalam bahaya,
dan khususnya kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistem yang berlaku dalam hal
keistimewaan dan kekuasaan. Tetapi dalam beberapa hal dan hingga tingkat tertentu,
setiap tatanan politik bersifat represif. Beberapa kepentingan tertentu, seperti
kepentingan buruh migran atau anak-anak terlantar yang pengabaiannya menunjukkan
represi, akan bervariasi tergantung pada konteksnya. Kelompok mana yang rentan
terhadap represi sangat tergantung pada distribusi kekuasaan, pola kesadaran, dan
banyak hal Iainnya yang secara historis bersifat kondisional. Lebih jauh lagi, potensi
represi akan meningkat saat harapan-harapan semakin meluas dan kepentingan-
kepentingan baru dikemukakan. Sebab akan banyak peristiwa yang muncul ketika
instruksi dan pemerintah mensyaratkan atau mendorong diabaikannya klaim-klaim atas
hak. Di sisi lain, pengabaian hak dapat dirasakan sebagai bukan represi kalau hal itu terjadi
dalam keadaan darurat yang dirasakan secara luas, seperti perang maupun hal lain yang
sejenis. Karena itu, dalam substansinya, represi, seperti halnya “dehumanisasi”, adalah
ide yang sangat relatif. Namun hal ini tidak seharusnya menghalangi kita untuk mengakui
hukum represif sebagai suatu fenomena yang gambaran umumnya dapat diketahui meski
terdapat variasi dalam hal budaya dan konteks.
Dengan demikian, represi tidak harus melibatkan penindasan yang mencolok. Represi
terjadi pula ketika kekuasaan bersifat lunak namun hanya sedikit memperhatikan, dan
tidak secara efektif dikendalikan oleh, kepentingan-kepentingan yang terpengaruh atau
terkena akibat dan tindakan penguasa. Bentuk represi yang paling jelas adalah
penggunaan kekerasan yang tidak terkontrol untuk menegakkan perintah, menekan pihak
yang tidak patuh, atau menghentikan demonstrasi. Tetapi represi sening juga sangat halus
dan dilakukan secara tidak Iangsung. dengan mendorong dan mengeksploitasi
persetujuan pasif.
Dalam bentuknya yang paling jelas dan sistematis, hukum represif menunjukkan
karakter-karakter berikut ini:
1. Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik; hukum
diidentifikasikan sama dengan negara dan disubordinasikan pada tujuan negara
(raison d’etat).
2. Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam
administrasi hukum. Dalam “perspektif resmi” yang terbangun, manfaat dan
keraguan (the benefit of the doubt)a masuk ke sistem, dan kenyamanan
adrninistratif menjadi titik berat perhatian.
3. Lembaga-lembaga kontrol yang terspesialisasi, seperti polisi, rnenjadi pusat-pusat
kekuasaan yang ihdependen; mereka terisolasi dan konteks sosial yang berfungsi
memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik.
4. Sebuah rezim “hukum berganda” (“dual law”) melembagakan keadilan
berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitirnasi pola-pola
subordinasi sosial.
5. Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan; moralisme hukum yang
akan menang.
B. Hukum Otonom
Dengan munculnya hukum otonom, tertib hukum menjadi sumber daya untuk
menjinakkan represi. Secara historis, perkembangan tersebut dapat disebut sebagai “Rule
of Law” (pemerintahan berdasarkan hukum). Rule of Law mengandung arti lebih dan
sekadar eksistensi hukum. Mserujuk pada sebuah aspirasi hukum dan politik, penciptaan
“sebuah pemerintahan berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan orang-orang.” Dalam
pemahaman seperti itu, rule of law akan lahir ketika institusi- institusi hukum
mendapatkan cukup otoritas independen untuk memaksakan startdarstandar
pengendalian dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan.
Karakter khas hukum otonom dapat diringkas sebagai berikut :
1. Hukum terpisah dan politik. Secara khas, sistern hukum ini menyatakan
kemandirian kekuasaan peradilan, dan membuat garis tegas antara fungsi-fungsi
legislatif dan yudikatif.
2. Tertib hukurn mendukung “model peraturan” (model of rules). Fokus pada
peraturan membantu rnenerapkan ukuran bagi akuntabilitas para pejabat; pada
saat yang sarna, ia membatasi kreativitas institusi- institusi hukum maupun risiko
campur tangan lembaga-]embaga hukum itu dalam wilayah politik.
3. ”Prosedur adalah jantung hukum.” Keteraturan dan keadilan (fairness) dan
bukannya keadilan substantif, merupakan tujuan utama dan kompetensi utama
dan tertib hukum.
4. “Ketaatan pada hukum” dipahami sebagai kepatuhan yang sempurna terhadap
peraturan-peraturan hukum positif. Kritik terhadap hukum yang berlaku harus
disalurkan melalui proses politik.

C. Hukum Responsif
Pencarian hukum responsif telah menjadi kegiatan teori hukum modern yang terus-
menerus dilakukan. Seperti yang dikatakan Jerome Frank, tujuan utama penganut
realisme. hukum (legal realism) adalah untuk membuat hukum “menjadi lebih responsif
terhadap kebutuhan sosial”. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan
“bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum,” agar pola pikir atau nalar
hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial dan merniliki pengaruh
terhadap tindakan resmi para aparat hukum. Seperti halnya realisme hukum, sociological
jurisprudence juga ditujukan untuk memberi kemampuan bagi institusi hukum “untuk
secara lehih menyeluruh dan cerdas mempertimbangkan fakta-fakta sosial di mana
hukum itu berproses dan diaplikasikan.” Teori Pound mengenai kepentingan-kepentingan
sosial merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan suatu model
hukum responsif. Dalam perspektif ini, hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu
yang lebih daripada sekadar prosedur hukum.
Tipe hukum yang ketiga berusaha untuk mengatasi ketegangan tersebut. Kami
menyebutnya respons bukan terbuka atau adaptif, untuk rnenunjukkan suatu kapasitas
beradaptasi yang bentanggungjawab, dan dengan demikian, adaptasi yang selektif dan
tidak seranhpangan. Suatu institusi yang responsif (mempertahankan secara kuat hal-hal
yang esensial bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan atau memperhitungkan
keberadaan kekuatan-kekuatan baru di dalarn lingkungannya. Untuk melakukan ini,
hukurn responsif memperkuat cara-cara di mana keterbukaan dan integritas dapat saling
menopang walaupun terdapat benturan di antara keduanya. Lembaga responsif ini
menganggap tekanan tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan
untuk mengoreksi diri. Agar dapat memperoleh sosok seperti ini, sebuah institusi
memerlukan panduan berupa tujuan. Tujuan-tujuan menetapkan standar standar untuk
mengkritisi tindakan yang mapan, dan karenanya membuka kesempatan untuk terjadinya
perubahan. Pada saat yang bersarnaan, jika benar-benar dijadikan pedoman, tujuan
dapat mengontrol diskresi administratif sehingga dapat mengurarangi risiko terjadinya
penyerahan institusional (institutional surrender). Sebaliknya, ketiadaan tujuan berakar
pada kekakuan (rigidity) serta oportunisme. Kondisi-kondisi yang buruk ini ternyata hidup
berdampingan dan terkait satu dengan yang lainnya. Suatu institusi yang formalis, yang
terikat pada peraturan, merupakan institusi yang tidak memiliki kelengkapan yang
memadai untuk hal-hal yang benar-benar dipertaruhkan dalarn konfliknya dengan
lingkungan sekitar. Institusi ini cenderung beradaptasi secara oportunis kanena ia tidak
mempunyai atau kekurangan kriteria untuk secara rasional merekonstruksi kebijakan-
kebijakan yang sudah ketinggalan jaman atau yang tidak layak lagi. Hanya ketika sebuah
lembaga benar-benar mernpunyai tujuan barulah dapat ada kombinasi antara integritas
dan keterbukaan, peraturan dan diskresi.

Anda mungkin juga menyukai