Anda di halaman 1dari 12

Tugas Terstruktur Mata Kuliah Politik Hukum

Analisis Kritis terhadap Philippe Nonet and Philip Selznick, Law

and Society in Transition: Toward Responsive Law (New York :

Harper & Row, 1978), at 29-113

Aulia Putri Kesuma Tanjung

NPM 5222221001

Nomor Urut Absen 02

Program Magister

Universitas Pancasila

Jakarta, 2023
Philippe Nonet dan Philip Selznick mengkualifikasi hukum menjadi 3

kelompok yang merupakan tahapan – tahapan evolusi dalam hubungan hukum

dengan tertib sosial dan tertib politik. Ketiga kategori hukum tersebut adalah (1)

hukum represif, (2) hukum otonom dan (3) hukum responsif.

Hukum represif pada prinsipnya mengakui hukum dan negara merupakan dua

hal yang tidak dapat dipisahkan. Pemberlakuan hukum represif tidak terlepas dari

integrasi yang deka tantara hukum dan politik. Wujud dari intergrasi yang sangat

dekat ini adalah adanya suatu subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum

terhadap elit-elit yang berkuasa.

Seperti dalam modul Politik Hukum 2 yang dikumpulkan oleh Prof Satya

Arinanto pada halaman 76;

In its most distinct and systematic form repressive law displays the following

characteristics:

1. Legal institutions are directly accessible to political power; law is identified

with the state and subordinated to ratson d’etat.

2. The conservation of authority is an overriding preoccupation of legal

officialdom. In the “official perspective” that ensues, the benefit of the doubt

goes to the system, and administrative convenience weighs heavily.

3. Specialized agencies of control, such as the police, become independent

centers of power; they are isolated from moderating social context and

capable of resisting political authority.

4. A regime of “dual law” institutionalizes class justice by consolidating and

legitimating patterns of social subordination.

5. The criminal code mirrors the dominant mores; legal moralism prevails.
Hukum represif adalah hukum sebagai alat kekuasaan represif dari penguasa

negara atau rezim yang berkuasa dalam pemerintahan. Hukum represif

dikembangkan sebagai bagian dari sistem kekuasaan absolut yang bertujuan untuk

mempertahankan kekuasaan status quo. Umumnya, cara kerja hukum represif

adalah keras dan terperinci terhadap rakyat, dan sebaliknya lunak terhadap pembuat

peraturan dan penguasa negara karena hukum tunduk pada politik kekuasaan.

Tujuan hukum represif dalam memaksakan kepatuhan dan ketundukan penuh rakyat

terhadap penguasa. Sebaliknya, kritik rakyat terhadap penguasa dianggap sebagai

wujud ketidakpatuhan atau pelanggaran hukum. Hukum dalam wujudnya yang nyata

tertekan oleh kekuasaan, bahkan hukum menjadi ‘instrumen’ untuk

mempertahankan kekuasaan tersebut.

Hukum represif merupakan perintah dari penguasa dan menjadi alat yang

mudah diutak-atik, siap dipakai untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal

otoritas, mengamankan hak-hak istimewa, dan memenangkan ketaatan. Contoh

hukum represif adalah UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas UU

Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara yang

selanjutnya disebut UU Minerba. Dalam hal ini contoh hukum dalam wujudnya

sebagai peraturan perundang-undangan yaitu UU Minerba. Perlu diketahui bersama

bahwa hukum yang represif memiliki ciri-ciri yaitu; ketertiban adalah tujuan utama,

legitimasi atau dasar kekuatan mengikatnya adalah kekuasaan negara, peraturan-

peraturannya yang terumus secara rinci bersifat keras (represif) mengikat rakyat,

tapi lunak terhadap penguasa, alasan pembuatannya bersifat ad-hoc sesuai

keinginan arbitrer penguasa, kesempatan bertindak bersifat serba meresap sesuai

kesempatan, pemaksaan serba mencakupi tanpa batas yang jelas, moralitas yang

dituntut dari masyarakat adalah pengendalian diri, kekuasaan menempati posisi di


atas hukum, kepatuhan masyarakat harus tanpa syarat, dan ketidakpatuhan

dihukum sebagai kejahatan, partisipasi masyarakat diijinkan lewat penundukan diri,

sedangkan kritik dipahami sebagai pembangkangan. 2 Undang-Undang Minerba

terbaru merupakan contoh hukum yang represif hal ini dikarenakan, beberapa Pasal

dalam UU tersebut yaitu, Pasal 7, 8, 37, 43, 44, 45, 142, 143 yang telah

menghapuskan kewenangan Kepala Daerah (Gubernur, Kab/Wali kota) dalam

pengelolaan pertambangan Minerba yang berpotensi menggerus prinsip

desentralisasi. Kemudian yang sangat krusial yaitu penghapusan Pasal 165 terkait

sanksi pidana bagi pelaku penyalahgunaan wewenang penerbitan izin tambang

mencakup IUP, IUPR, IUPK. Padahal diketahui bahwa Locus dari usaha

pertambangan dan batubara tersebut ada di daerah harusnya wewenang tersebut

tidak dihapuskan, namun sistem pengawasan nyalah yang harus diperbaiki dan

diatur dengan baik. Kewenangan pemerintah pusat yang terlalu dominan dalam

pengelolaan pertambangan Minerba telah mencerminkan hukum yang represif

karena tidak melibatkan daerah sebagai tempat operasional perusahaan Minerba

tersebut.

Upaya merefleksikan hubungan negara, hukum dan masyarakat, menjadi

perhatian penting agar tercipta harmonisasi yang efektif dan konsolidatif. Pergulatan

hukum pada areal empiris menemukan titik terang yang menarik perhatian dengan

munculnya tipelogi hukum baru yang dinamakan hukum otonom. Dalam ModulPolitik

Hukum 2 yang dikumpulkan oleh Prof Satya Arinanto pada halaman 98, tertuang

beberapa karakteristik dari hukum otonom.

The chief attributes of autonomous law may be summarized as follows:


1. Law is separated from politics. Characteristically, the system proclaims the

independence of the judiciary and draws a sharp line between legislative

and judicial functions.

2. The legal order espouses the “model of rules”. A focus on rules helps

enforce a measure of official accountability; at the same time, it limits both

the creativity of legal institutions and the risk of their intrusion into the

political domain.

3. “Procedure is the heart of law”. Regularity and fairness, not substantive

justice, are the first ands and the main competence of the legal order.

4. “Fidelity to law” is understood as strict obedience to the rules of positive

law. Criticism of existing law must be channeled through the political

process

Pertama, karakteristik hukum otonom yang mencirikan model rule of

lawadalah terciptanya pola kemandirian antara dimensi hukum dan politik.

Keduabidang yang sangat dominan dalam negara tersebut harus dipisahkan

secarafungsional. Tradisi hukum secara murni dan penegakkan hukum positif

harusterbebas dari kontroversi maupun intervensi politik. Mekanisme

tersebutdiekspektasikan agar otoritas untuk menafsirkan hukum terlindungi dari

kontrolkekuasaan dan arus kepentingan politik. Pada kenyataannya proses

tersebutmencapai titik batas penerimaan, dan bergeser pada ranah kompromi.

Hasilnyaadalah peran – peran penting dimainkan secara berantai dan saling

membatasi.Institusi – institusi hukum memegang kendali otonomi prosedural,

dengankewenangan penuh membuat putusan – putusan hukum dan terbebas dari

intervensipolitik. Tetapi pada dimensi lain lembaga hukum harus membebaskan diri

dariruang kebijakan publik. Kompromi interinstitusional menghasilkan


kedudukanhukum berada diatas politik, legitimasi diperoleh karena semata – mata

bersifathukum dan tidak bersifat politik.

Kedua, perspektif formalisme hukum dan model peraturan menjadi menjadiciri

utama hukum otonom. Hakim sebagai pusat pengendalian hukum terikat

padaperaturan, karena peraturan adalah sumber yang potensial untuk

melegitimasikekuasaan. Pada perspektif ini kekuasaan peradilan menjadi terproteksi

karenafungsi pembentukan aturan beradapada eksekutif dan legislatif. Melalui

instrumenfungsional yang merupakan hasil kompromistis tersebut sistem hukum

yangbersifat otonom mendapat tekanan pembatasan yang nyata dari produk

legislasi.

Ketiga, Hukum otonom menempatkan Prosedur sebagai jantung

hukum.Penjinakkan represi dimulai dengan tumbuhnya komitmen untuk

memerintahberdasarkan peraturan; pada gilirannya, prosedur merupakan jaminan

paling nyatadari suatu penerapan secara adil. Otoritas yang berpotensi represif

dikendalikanoleh prinsip rule of law, yakni due process of law. Hukum dan prosedur

memiliki hubungan yang sangat dekat, baik dilihat dari aspek historis maupun

praktis. Secarahistoris, prosedur merupakan pilihan fungsi dari kekuasaan hukum

yudicial power,oleh karenanya prosedur merupakan senjata utama peradilan.

Jerome Frankmenyebutkan bahwa Keputusan yudisial dicapai setelah adanya

pengalamanemosional dimana prinsip – prinsip dan logika memainkan peranan

sekunder. Dalam konteks memahami alur tersebut dapat disimpulkan bahwa hak

utama dari lembaga hukum adalah menjamin terwujudnya keadilan prosedural.

Sedangkan kekuasaan untuk menciptakan kebijakan keadilan substansial

diserahkan kepada lembaga lain.


Keempat, parameter penting dalam mengidentifikasi hukum otonom adalah

otoritas dan kesetiaan yang kuat pada hukum atau ketaatan. Penerapan hukum

hanya dapat efektif bila otoritas yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan hukum

berbarengan dengan kesadaran, penerimaan dan ketaatan hukum yang

terimplementasi dalam tindakan – tindakan warga. Pada aspek inilah hukum otonom

memberikan perhatian penting terhadap nilai – niliai otoritas hukum dan tingkat

ketaatan. Rendahnya otoritas dan ketaatan merupakan ancaman serius bagi

keberlangsungan kekuasaan hukum. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka

dimensi hukum otonom tidak dapat dipisahkan dengan ketertiban.

Hukum otonom, merupakan bentuk pengembangan yang lebih persuasifdari

tipe represif. Tipe hukum ini menolak adanya keterbukaan secara serampangan.

Perhatian utamanya adalah menjaga integritas institusional. Karakterhukum otonom

memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan, antara lain menganut prinsip – prinsip

kemandirian hukum, tetapi pada sisi lain tidak punya kekuasaan kebijakan publik.

Mengedepankan integritas institusi sebagai tujuan utamanya,tetapi pada aspek lain

hukum menjadi terisolasi, mempersempit tanggung jawabnya dan menerima

formalisme buta. Keberadaan hukum otonom di era ini masih relevan dalam

beberapa hal, meskipun dalam aspek lainnya sudah usang. Misalnya dalam aspek

sistem, konsep hukum ini meletakkan hukum sebagai asas yang fundamental dan

tidak terletak pada personal sebagaimana rule of law, hukum terpisah dari politik dan

memiliki akar penerapan secara mandiri. Dalam kondisi –kondisi negara tertentu

gagasan mengenai hukum sabagai sarana kontrol sosial masih relevan.

Pencarian formulasi hukum yang dicita – citakan tidak terhenti pada

penemuan hukum otonom yang cenderung memperkuat posisi institusional.

Kelanjutan penelusuran potensi hukum yang secara tipologis mencerminkan


keadilan yang lebih luas, terus dihembuskan dan pada akhirnya memunculkan

tipologi hukum yang ketiga yakni hukum responsif. Pengembaraan mencari hukum

responsif adalah kegiatan teori hukum modern yang terus berkelanjutan.

Perkembangan Hukum responsif merupakan hasil dari evolusi pengembaraan teori

hukum dalam berupaya menawarkan jalan keluar efektif bagi keteraturan dan

ketercapaian tujuan hukum itu sendiri. Corak dan motif dari tipe hukum ini sangat

berbeda dengan tipe hukum otonom terlebih lagi hukum represif. Sifat

akomodatifnya menunjukan kesungguhan untuk memenuhi ekspektasi sosial.

Penerapan hukum responsif dalam suatu negara akan sangat mempengaruhi

bagaimana karakter yang ditunjukan dalam mengorganisasi lembaga – lembaga

hukum, materi hukum dan budaya hukum. Tradisi pengembangan tipe hukum ini

telah mengambil jalan berbeda dan lebih konstruktif untuk mencapai kesejatian

hukum sebagai instrumen pengelolaan negara. Berikut ini ada beberapa karakter

khas dari hukum responsif, yakni :

1. Berkarakter terbuka dan adaptif. Corak ini menunjukan suatu kapasitas

beradaptasi yang bertanggung jawab, dan dengan demikian adaptasi yang

selektif dan tidak serampangan.

2. Secara institusional memiliki arah untuk mempertahankan secara kuat hal –

hal yang esensial bagi integritasnya sembari tetap

memperhatikan,keberadaan kekuatan – kekuatan baru di dalam

lingkungannya.

3. Lembaga responsif menganggap tekanan – tekanan sosial sebagai

sumberpengetahuan dan kesempatan untuk melakukan koreksi diri.


Tipologi hukum responsif adalah hasil dari evolusi hukum sebelumnya,dimana

hukum ini siap mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama.

Artinya hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri,melainkan dia

harus mampu berinteraksi dengan entitas lain, engan tujuan pokok mengadopsi

kepentingan – kepentingan yang ada di masyarakat. Tipologi hukum responsif

memiliki ruang idealitas jika dibandingkan dengan tipe hukum otonom maupun

represif, namun demikian bukan berarti tanpa kelemahan. Prinsip – prinsip

keterbukaan dan kebebasan dapat membuka ruang publik baru yang dapat

berpotensi menciptakan arogansi sosial. Pada sisi lain kewibawaan kekuasaan

dapat melemah secara fungsional, sehingga tujuan yang diekspektasikan sulit

dicapai.Secara indisipliner hukum, tekstual hukum tidak lagi menjadi rujukan utama

tetapi pada moralitas hukum. Secara teoritik memang menarik, tetapi secara praktis

moralitas hukum bersifat kontekstual, artinya moralitas sebuah putusan hukum

sangat dipengaruhi oleh moralitas personality. Dalam kalkulasi komprehensif, pada

prinsipnya hukum responsif akan mencapai idealitas hukum yang dicita – citakan jika

dapat bersintesa positif secara fungsional dan proporsional dengan tipe –tipe hukum

sebelumnya.

Penggunaan Aplikasi Berbasis teknologi Informasi pada angkutan umum

merupakan salah satu bentuk peralihan masyarakat pada tahap yang lebih

modern. Saat ini Pemerintah telah membuat Peraturan Menteri Perhubungan RI

Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan angkutan orang dengan

kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.

Berdasarkan analisis, pelayanan Angkutan Umum dengan Aplikasi Berbasis

Teknologi Informasi, dalam Permen Perhub No. 32 Tahun 2016 telah


mengakomodasi penyelenggaraan angkutan umum dengan aplikasi berbasis

teknologi informasi. Lebih jelas di sebutkan dalam Pasal 40 (1):

Untuk meningkatkan kemudahan pemesanan pelayanan jasa angkutan orang

tidak dalam trayek, perusahaan angkutan umum dapat menggunakan aplikasi

berbasis teknologi informasi.

(2) Untuk meningkatkan kemudahan pembayaran pelayanan jasa angkutan orang

tidak dalam trayek, perusahaan angkutan umum dapat melakukan pembayaran

secara tunai atau menggunakan aplikasi berbasis teknologi informasi.

Pasal 40 mengatur mengenai tata cara penggunaan aplikasi berbasis teknologi

informasi dalam meningkatkan kemudahan operasional kegiatan pengangkutan

oleh perusahaan angkutan umum.

Lebih lanjut Pasal 41 dijelaskan bahwa,

(1) Perusahaan / Lembaga penyedia aplikasi berbasis Teknologi Informasi yang

memfasilitasi dalam pemberian pelayanan angkutan orang wajib bekerjasama

dengan perusahaan angkutan umum yang telah memiliki izin penyelenggaraan

angkutan.

(2) Perusahaan / Lembaga penyedia aplikasi berbasis Teknologi Informasi yang

memfasilitasi dalam pemberian pelayanan angkutan orang sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak boleh bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum.

(3)Tindakan sebagai penyelenggara angkutan umum sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) meliputi kegiatan:

a. Menetapkan tarif dan memungut bayaran

b. Merekrut pengemudi

c. Menentukan besaran penghasilan pengemudi


(4)Perusahaan atau Lembaga penyedia aplikasi berbasis Teknologi Informasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan kepada Direktur Jendral

meliputi:

a.Profil perusahaan penyedia jasa aplikasi berbasis internet

b.Memberikan akses monitoring operasional pelayanan

c.Data seluruh perusahaan angkutan umum yang bekerjasama

d.Data seluruh kendaraan dan pengemudi

Pasal tersebut diatas mengatur mengenai hubungan hukum antara

perusahaan teknologi informasi dengan perusahaan angkutan umum dalam

kegiatan pengangkutan dengan menggunakan aplikasi teknologi informasi. Pasal

42 berbunyi, Dalam hal perusa-haan/Lembaga penyedia aplikasi berbasis

Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 melakukan usaha di

bidang penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum

tidak dalam trayek, wajib mengikuti ketentuan di bidang pengusahaan angkutan

umum sebagaimana dalam Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23.

Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk

mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa

bertubrukan satu sama lain. Hukum berusaha untuk melindungi kepentingan

seseorang dengan cara mengalokasikankekuasaan kepadanya untuk bertindak

dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan

secara terukur dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya

Dalam membuat peraturan hukum dalam hal ini Peraturan Menteri

Perhubungan RI Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan angkutan orang

dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek pemerintah berusaha

untuk melayani kebutuhan masyarakat. Pemerintah dalam Pembuatan hukum dan


penerapan hukum tidak lagi berdasarkan tujuannya sendiri, melainkan arti

pentingya merupakan akibat dari tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya

yaitu masyarakat. Prinsip pemerintah Indonesia dalam membuat aturan hukum

sesuai dengan teori hukum responsif yang dikemukakan oleh Nonet-Selznick.

Anda mungkin juga menyukai