Anda di halaman 1dari 13

Nama : Andhika Kusuma

NIM

: 201410110311009

Kelas : VII-A

A. Aspek Ontologi
Istilah kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut power, macht (dalam bahasa
Belanda) dan pouvoir atau puissance (dalam bahasa Perancis). Dalam Blacks
Law Dictionary, istilah kekuasaan (power) berarti: The right, ability, authority, or
faculty of doing something. . . . A power is an ability on the part of a person to
produce a change in a given legal relation by doing or not doing a given act.
Istilah kekuasaan berbeda maknanya dengan kewenangan. Dalam literatur
berbahasa Inggris istilah kewenangan atau wewenang disebut authority atau
competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau bevoegdheid.
Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum
publik atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang
berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, kekuasaan secara sosiologis adalah
kemampuan untuk
pemegang

mempengaruhi

kekuasaan,

pihak

lain

agar

mengikuti

kehendak

baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa.

Sedangkan, kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan (secara hukum) baik


terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintahan
tertentu.
Apakah hakikat kekuasaan (power) itu? Apakah kekuasaan itu identik
dengan kekuatan (force)? Dalam suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang menganut sistem negara hukum, kekuasaan sering bersumber
dari wewenang formal (formal authority) yang memberikan kekuasaan atau
wewenang kepada seseorang dalam suatu bidang tertentu. Hal ini berarti
kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu ketentuan- ketentuan hukum yang
mengatur pemberian wewenang tadi. Mengingat bahwa hukum itu memerlukan

paksaan bagi penaatan ketentuan-ketentuannya, maka dapat dikatakan bahwa


hukum memerlukan kekuasaan bagi penegakannya. Tanpa kekuasaan, hukum itu
tak lain akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka.
Hubungan hukum dan kekuasaan dalam masyarakat, oleh Mochtar
Kusumaatmadja digambarkan sebagai berikut: hukum memerlukan kekuasaan
bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya
oleh hukum. Secara populer, kesimpulan ini barangkali dapat dirupakan dalam
slogan bahwa: hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa
hukum adalah kelaliman. Secara analitik dapatlah dikatakan bahwa kekuasaan
merupakan suatu fungsi dari masyarakat yang teratur. Kekuatan fisik (force)
dan wewenang resmi (formal authority) merupakan dua sumber kekuasaan.
Persoalannya, apakah kekuasaan itu adalah wewenang dan kekuatan fisik?
Tidak, wewenang formal dan kekuatan fisik bukan satu-satunya sumber
kekuasaan. Memang dalam kenyataan, orang yang memiliki pengaruh politik atau
keagamaan dapat lebih berkuasa dari pada orang yang berwenang atau memiliki
kekuatan fisik. Kekayaan (uang) atau kekuatan ekonomi lainnya juga merupakan
sumber-sumber kekuasaan yang penting, sedangkan dalam keadaan-keadaan
tertentu kejujuran, moral yang tinggi dan pengetahuan pun tak dapat diabaikan
sebagai sumber-sumber kekuasaan. Jadi, kekuasaan adalah fenomena yang
beraneka ragam bentuknya dan banyak macam sumbernya. Hanya, pada
hakekatnya kekuasaan itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang untuk
memaksakan kehendaknya atas pihak lain.
B. Aspek Epistemologi
Menurut pengamatan sejarah, kekuasaan itu mempunyai suatu sifat yang khas,
yakni ia cenderung untuk merangsang bagi yang memilikinya untuk lebih
berkuasa lagi. Kekuasaan haus akan lebih banyak lagi kekuasan. Dalam kaitannya
dengan kekuasaan (power), Lord Acton telah memperingatkan bahwa: Power
tends to corrupt; and absolute power tends to corrupt absolutly (Semakin besar
kekuasaan, akan semakin besar pula kecenderungan untuk disalahgunakan).

Karena itu, dalam konsep negara hukum, sumber untuk memperoleh dan
menggunakan kekuasaan serta batas-batasnya harus secara jelas diatur dan
dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan. Inilah esensi
kekuasaan menurut konsep negara hukum (rule of law; rechtsstaat). Oleh karena
itu, dalam perspektif sosiologis, ide rule of law mengandung makna bahwa
otoritas harus diberi bentuk hukum dan bahwa kekuasaan harus dilaksanakan
dengan cara-cara hukum.
Secara epistemologis, baik atau buruknya kekuasaan itu sendiri sangat
tergantung dari bagaimana cara menggunakan kekuasaan. Artinya, baik
buruknya

kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk

mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan. Unsur pemegang kekuasaan


merupakan faktor penting dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya
sesuai dengan kehendak masyarakat. Karena bagi pemegang kekuasaan
diperlukan syarat antara lain kejujuran dan rasa pengabdian yang tinggi terhadap
kepentingan masyarakat.

Ia merupakan suatu

yang mutlak bagi kehidupan

masyarakat yang tertib, bahkan bagi setiap organisasi yang teratur (seperti
negara). Akan tetapi karena sifat dan hakikatnya, supaya baik dan bermanfaat
harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan batas-batasnya. Sekali ditetapkan,
hendaknya pengaturan kekuasaan dipegang teguh. Inilah inti dari pengertian
bahwa kekuasaan itu harus tunduk pada hukum.
Mengingat sifat dan hakikat kekuasaan, jelas kiranya bahwa tidak setiap
orang dengan begitu saja dapat diserahi kekuasaan, harus dipersiapkan untuk itu.
Seorang pemegang kekuasaan harus memiliki semangat mengabdi kepentingan
umum (sense of public service). Sebaliknya, mengenai sikap orang yang dikuasai,
di satu pihak ia mempunyai kewajiban tunduk pada penguasa (the duty of civil
obedience), tetapi di pihak lain ia pun harus sadar akan haknya untuk memperoleh
perlindungan hukum terhadap diri dan harta bendanya. Yang dimaksud
penguasa dalam hal ini tidak lain adalah pemerintah yang menjalankan fungsi
pemerintahan dalam suatu negara.

Adapun tugas penguasa menurut van Apeldoorn, dibagi dalam


empat

bidang perundang-undangan,

peradilan,

polisi,

dan

pemerintahan.

Tugas penguasa di bidang perundang-undangan adalah membentuk undangundang dalam arti materiil, yakni menentukan peraturan-peraturan yang umum
mengikat. Di bidang peradilan, menetapkan hukum dalam hal-hal yang konkrit.
Di bidang kepolisian, tugas penguasa adalah pengawasan dari penguasa atas
paksaan yang dilakukannya, supaya orang-orang mentaati hukum yang telah
ditetapkan. Sedang, di bidang pemerintahan, tugas penguasa adalah mencakup
semua tindakan penguasa yang tidak termasuk perundang-undangan, peradilan,
dan polisi.Istilah tugas penguasa dalam hal ini mencakup seluruh tugas negara
yang dijalankan oleh lembaga legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Pada negara yang berdasarkan atas hukum (rule of law), maka hukum
ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahannya (supremasi hukum). Dalam hal ini dianut suatu ajaran
kedaulatan hukum yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum
dijadikan

guiding

principle

bagi

segala

aktivitas

organ-organ

negara,

pemerintahan, pejabat-pejabat beserta rakyatnya. Pemerintahan yang berdasarkan


hukum merupakan pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum dan tidak
berdasarkan kepada kemauan manusianya. Sudikno Mertokusumo mengatakan
dengan sebutan the governance not by man but by law. Hal ini sejalan dengan
prinsip pembagian kekuasaan pemerintahan (distribution of power) yang dianut
oleh UUD 1945 yang dimaksudkan untuk membatasi dan mencegah
kemungkinan penumpukan maupun penyalahgunaan

kekuasaan

pada

badan/lembaga atau pejabat penyelenggara pemerintahan.


Kekuasaan lembaga-lembaga negara dalam konteks rule of law oleh
Roberto M. Unger didefinisikan lewat gagasan tentang sifat netral (neutrality),
seragam (uniformity), dan dapat diprediksikan (predictability). Penggunaan
kekuasaan pemerintah harus berlangsung di dalam batasan-batasan peraturan yang
berlaku bagi cukup banyak kategori orang dan tindakan. Segenap peraturan ini,

apapun bentuknya, harus diberlakukan secara seragam. Kehendak pembuat


undang-undang (lawgiver) harus diwujudkan lewat peraturan- peraturan umum.
Pembuat undang-undang (legislator) tidak dapat menghukum ataupun
memihak individu-individu tertentu secara langsung, sehingga terhindar pula dari
melakukan kontrol personal secara langsung. Pelaksana undang-undang
(administrator) berurusan dengan individu hanya sebatas aturan-aturan yang
ditentukan, dan aturan-aturan ini bukan dia yang membuatnya. Maka, berdasarkan
pemikiran ini, pelaksana undang-undang terhindar dari upaya

penggunaan

kekuasaan publik untuk mencapai tujuan pribadi. Sebab, untuk bertindak


dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang harus ada orang lain
dengan kewenangan terakhir untuk menentukan makna hukum, dan dalam
pelaksanaannya membutuhkan metode yang berbeda dengan metode administratif.
Pejabat ini adalah hakim (judge).
Jika pelaksana hukum juga merangkap sebagai hakim, maka mungkin saja
makna aturan-aturan hukum yang wajib dilaksanakannya malah dipelintir
sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan-tujuan pribadinya. Selain itu, bisa pula
timbul kekacauan dalam metode administratif dan metode peradilan, sebab
masing-masing metode memiliki keutamaan sendiri dan tidak bisa diabaikan demi
penyelenggaraan negara dengan sebaik- baiknya.
Perhatian pelaksana hukum terpusat pada sarana terefektif untuk
mewujudkan tujuan- tujuan kebijakan yang sudah ditentukan di dalam batasanbatasan hukum. Baginya, rule of law adalah kerangka tempat pengambilan
keputusan dilaksanakan. Sebaliknya, bagi hakim, hukum disahkan dari batas luar
ke pusat perhatian. Hukum adalah bidang kajian utama bagi aktivitasnya.
Ajudikasi membutuhkan jenis perdebatan tersendiri; integritasnya menuntut
institusi dan personel khusus.
Supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang dapat mengarah pada
tindakan penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga
disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power),

di samping peradilan yang bebas, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia


dan supremasi hukum.
Pada abad ke-17 dan 18, pandangan John Locke mengenai hak-hak asasi
manusia dan asas pemisahan kekuasaan semakin diperkuat oleh pemikiran
Montesquieu yang menghendaki pemisahan kekuasaan negara secara tegas ke
dalam organ legislatif, eksekutif dan yudisial, serta pemikiran J.J. Rousseau
tentang paham

kedaulatan rakyat. Asas pemisahan kekuasaan dan paham

kedaulatan rakyat dari ketiga ahli pikir tersebut boleh dikatakan sangat besar
pengaruhnya terhadap berdirinya negara-negara modern di Eropa Kontinental dan
Anglo-Saxon pada abad ke-17 sampai ke-19, tentu saja perjuangan politik yang
panjang dan revolusi kerakyatan berdasarkan paham kedaulatan rakyat dan
kedaulatan hukum yang kemudian dituangkan dalam konstitusi negara-negara
hasil dari revolusi tersebut.
Terkait dengan teori pemisahan kekuasaan, baik John Locke maupun
Montesquieu sama-sama membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang, tetapi
ada perbedaannya. John Locke mengatakan bahwa kegiatan negara bersumber
dari tiga kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power),
kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative
power). Sedang Montesquieu melalui ajaran Trias Politica membelah seluruh
kekuasaan negara secara terpisah-pisah (separation of power; separation du
pouvoir) dalam tiga bidang (tritochomy), yakni bidang legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Ajaran Trias Politika didasarkan pada pemikiran bahwa kekuasaan
negara harus dipisahkan (separation of powers) dan tidak boleh berada dalam satu
tangan (concentration of powers).
Berbeda dengan Montesquieu, Hans Kelsen membagi segenap unsur power
dalam negara itu dalam dua bidang pokok, yakni: legislatio yang meliputi law
creating function; dan legis executio, yang meliputi:
1) legislative power; dan
2) judicial power.

Tugas legis executio menurut Kelsen bersifat luas, yakni melaksanakan


the constitution beserta seluruh undang-undang yang ditetapkan oleh kekuasaan
legislatif. Dengan demikian, ia mencakup selain kekuasaan administratif juga
seluruh judicial power. Selanjutnya Kelsen membagi kekuasaan administratif
itu dalam dua bidang, yaitu:
a) political function yang disebutnya government dan meliputi tugas
kepolisian; serta
b) administrative function (Verwaltung; Bestuur). Pembagian kekuasaan
negara dalam dua bidang ini disebutnya dichotomy.
Demikian juga pendirian Hans Nawiasky. Menurut pendapatnya, seluruh
kegiatan negara juga dibagi menjadi dua bidang, yakni: (1) Normgebung dan
Normvollziehung. Yang dimaksud normgebung adalah: der Schaffung von
Rechtsnormen (pembentukan norma-norma hukum) dan termasuk juga
pengundangannya (der Erlasz von Gesetzen), yang

sifatnya

bebas

dalam

memilih obyeknya menurut keperluan (inhaltlich frei).


Sedangkan, Normvollziehung merupakan fungsi

pelaksanaan undang-

undang (eksekutif) yang terikat pada norma-norma atau undang-undang yang


harus dijalankannya (inhaltlich gebunden). Selanjutnya, Nawiasky membagi
fungsi Normvollziehung ke dalam dua bagian, yaitu: (1) Verwaltung atau
pemerintahan (pangreh); dan (2) Rechtsplege atau peradilan. Dengan demikian,
pendirian ini sangat dekat dengan teori dichotomy-nya Kelsen.
Adanya pemisahan kekuasaan itu dimaksudkan untuk lebih menjamin hakhak kebebasan warga masyarakat dalam kehidupan bernegara. Kendatipun
demikian, dalam prakteknya
dijalankan

secara

ajaran

pemisahan

kekuasaan

tidak

dapat

konsekuen. Pemisahan kekuasaan secara absolut yang

meniadakan sistem pengawasan atau keseimbangan (checks and balance) antara


cabang kekuasaan yang satu dengan cabang kekuasaan yang lain dapat
menimbulkan kesewenang-wenangan dalam lingkungan masing- masing cabang
kekuasaan itu.

Negara Indonesia tidak menganut ajaran Trias Politika sebagaimana


dikemukakan oleh Montesquieu yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan
(separation of power). Berdasarkan UUD 1945, Negara Indonesia hanya mengenal
sistem pembagian kekuasaan (division of powers) yang menekankan adanya
pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, bukan pada pemisahan organ-organnya.
Adapun UUD 1945 menggunakan istilah-istilah yang berasal dari ajaran Trias
Politika dari Montesquieu seperti legislative power, executive power dan judicial
power, hal itu tidak boleh diartikan bahwa UUD 1945 menganut ajaran tersebut.
Penggunaan peristilahan itu sekedar memberikan penjelasan dan perbandingan
semata mengenai sistem ketatanegaraan yang sesungguhnya diikuti oleh UUD
1945.
Meskipun Montesquieu hanya membagi dalam tiga cabang kekuasaan,
tetapi dalam praktek ada negara-negara tertentu yang mempunyai lebih dari tiga
cabang kekuasaan yang dimaksud. Diantaranya adalah Indonesia yang ternyata
mempunyai 6 (enam), bahkan lebih, cabang kekuasaan negara yang tercermin
dalam lembaga-lembaga negara yang ada (MPR, DPR, BPK, MA, Mahkamah
Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Presiden). Di samping
itu, dalam amandemen UUD 1945 juga dikenal lembaga Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dan Komisi Yudisial (KY).
C. Aspek Aksiologi
Pandangan tentang hubungan hukum dan kekuasaan itu sebenarnya tidaklah
tunggal. Antara kaum idealis yang berorientasi pada das sollen dan kaum empiris
yang lebih melihat hukum sebagai das sein, memberikan pandangan yang
berbeda. Namun, kedua pandangan itu sama-sama sependapat bahwa dalam
konteks rechtsstaat atau rule of law (negara hukum) seharusnya hukum itu
supreme atas kekuasaan. Ketika kita melihat teori yang ditawarkan oleh Roscue
Pound, bahwa law as a tool as social engineering, maka kita akan melihat
bahwa hukum harus mempengaruhi kehidupan masyarakat. Tetapi, manakala kita
mengacu ajaran Von Savigny, yang mengatakan bahwa hukum berubah jika

masyarakatnya berubah, maka hukum semestinya harus mampu mengikuti


perkembangan dan memenuhi tuntutan masyarakat.
Kenyataan-kenyataan di lapangan secara empirik menunjukkan juga
betapa hukum seringkali tidak memiliki otonomi yang kuat, karena energinya
lebih lemah dari pada energi sub-sistem politik, sehingga dapat dilihat bukan
hanya materi hukum itu yang sarat dengan cerminan konfigurasi kekuasaan,
melainkan juga penegakannya kerapkali dintervensi oleh kekuasaan, sehingga
hukum sebagai penunjuk atau rel menjadi terabaikan. Dari kenyataan empirik
yang seperti itulah kemudian muncul teori tentang hukum sebagai produk
politik, yang menurut Mahfud MD materi hukum itu tidak lain merupakan
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan yang kemudian
dimenangkan oleh pemegang kekuasaan politik yang dominan atau kompromi
politik antar faksi-faksi yang bersaing.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka bagi orang yang
melakukan telaah tentang hukum akan menemukan minimal dua model yang
dapat digunakan untuk menilai hubungan hukum dan kekuasaan, yaitu: pertama,
hukum menentukan dan mempengaruhi kekuasaan (politik) yang menyertai
wawasan negara hukum yang das sollen; di sini hukum, terutama hukum dasar
(konstitusi) menjadi pemberi batas yang tegas atas lingkup kekuasaan agar
tidak

terjadi

kesewenang-wenangan.

Kedua,

hukum

ditentukan, bahkan diintervensi oleh politik (kekuasaan) seperti

dipengaruhi,
yang sering

terlihat di dalam kenyataan empirik (das sein); di sini hukum lebih dijadikan
sebagai alat justifikasi (pembenar) atas kehendak-kehendak pemegang kekuasaan
politik yang dominan, sehingga hukum tidak dapat memainkan perannya sebagai
alat kontrol dan penjaga batas kekuasaan.
Dalam kajian ini, tidak perlu dipertentangkan mana yang benar di antara
kedua model ini. Sebab, yang namanya teori biasanya hanya memotret apa yang
ada dan terjadi secara ajeg. Dalam konteks inilah dua model atau pandangan
mengenai hubungan hukum dan kekuasaan dapat diberi tempat. Sehingga
kebenarannya menjadi benar menurut model dan asumsi yang dipergunakan oleh

sang analisis; tinggal model mana yang akan dipergunakan. Idealnya, memang
hukum dan kekuasaan, paling tidak, saling melengkapi. Dalam arti, hukum harus
ditegakkan dengan kekuasaan, agar daya paksanya bisa efektif. Sebaliknya,
kekuasaan harus dijalankan di atas prinsip-prinsip hukum, agar tidak sewenangwenang. Dalam konteks inilah bisa dipahami pernyataan, bahwa hukum tanpa
kekuasaan ibarat burung tanpa sayap (artinya tak bisa bergerak), sedang
kekuasaan tanpa hukum ibarat buldozer tanpa rem (artinya liar dan tanpa
kendali). Tetapi, apa yang ideal itu kerapkali tidak realistik, sehingga kerapkali
pula terlihat bahwa kekuasaan menjadi supreme atas hukum. Dalam kenyataan
justru sangat banyak kasus di mana hukum sangat bergantung dan ditentukan oleh
kekuasaan, sehingga timbul berbagai kondisi yang lebih realistik sejak zaman
dulu yang melihat hukum sebagai wujud dari keinginan penguasa belaka.
Keinginan ini menurut John Austin dinyatakan secara rasional oleh penguasa,
yang bagi pihak lain merupakan hal yang harus dilakukan atau dihindari (a wish . .
. by rational being, that another . . . shall do or forbear).
Apeldoorn mencatat, paling tidak, ada empat pengikut paham empirik
yang mengatakan bahwa hukum identik dengan kekuasaan itu sendiri. Pertama,
kaum Sophist di Yunani mengatakan bahwa keadilan itu tidak lain dari apa yang
berfaedah bagi orang yang lebih kuat. Kedua, Lasalle mengatakan bahwa
konstitusi suatu negara bukanlah undang- undang dasar tertulis yang sebenarnya
hanya merupakan secarik kertas, melainkan merupakan hubungan kekuasaan
yang nyata; orang kecil bisa menjadi bagian dari konstitusi hanya kekecualian
dan dalam keadaan yang luar biasa, yaitu pada waktu revolusi. Ketiga,
Gumplowics mengatakan bahwa hukum itu berdasar penaklukan yang lemah oleh
yang kuat, ia merupakan susunan definisi yang dibentuk pihak yang kuat untuk
mempertahankan kekuasaannya. Keempat, bahkan sebagian dari pengikut
aliran positivisme berpendapat bahwa kepatuhan kepada hukum tidak lain dari
tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga
hukum itu merupakan hak orang yang terkuat.

Dari aspek aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak sematamata karena diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui
kekuatan fisik, melainkan sebagaimana yang diajarkan oleh Spinoza terletak
dalam kekuasaan terhadap suara hati manusia. Hukum dapat timbul dari
kekuasaan, termasuk kekuatan fisik, asal saja ia berkembang menjadi kekuasaan
susila (kekuatan moral), yakni kekuasaan yang berkuasa atas suara hati orang.
Kekuasaan susila tersebut membentuk hukum, karena ia bercita- citakan keadilan,
artinya bercita-cita memberi pada tiap-tiap orang apa yang menjadi bagiannya.
Mengapa dikatakan bercita-citakan, karena keadilan yang sungguh-sungguh tak
dapat dicapai oleh hukum, karena pertama, hukum terpaksa mengorbankan
keadilan sekedarnya untuk mencapai tujuannya (bersifat kompromi), dan kedua,
hukum itu dibuat manusia yang tidak dikaruniai Tuhan untuk mengetahui apa
yang adil dan tidak adil secara mutlak. Keadilan, menurut falsafah bangsa
Romawi, adalah kehendak yang tetap dan yang tak ada akhirnya, untuk memberi
pada tiap-tiap orang apa yang menjadi haknya (Justitia est constans et perpetua
voluntas ius suum cuique tribuere).
D. Kesimpulan
Kajian tentang kekuasaan dalam konteks negara hukum secara filosofis dapat
dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek ontologis, epistemologis dan filosofis. Dari
aspek ontologis, pada hakekatnya kekuasaan itu adalah kemampuan seseorang
untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Dalam konteks negara hukum,
sumber dan batas-batas kekuasaan ditentukan oleh hukum dan harus dipergunakan
dalam koridor hukum. Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya,
sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum.
Dari aspek epistemologis, supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan
yang dapat mengarah pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam
konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian
kekuasaan. Legislator tidak dapat menghukum individu-individu secara langsung.
Administrator atau pejabat eksekutif berurusan dengan individu hanya sebatas
aturan-aturan yang ditentukan, supaya ia terhindar dari upaya penggunaan

kekuasaan publik untuk mencapai tujuan pribadi. Untuk bertindak dalam batasbatas

yang ditentukan oleh undang-undang, harus ada pejabat lain dengan

kewenangan

terakhir

untuk

menentukan

makna

hukum,

yang

dalam

pelaksanaannya membutuhkan metode yang berbeda dengan metode administratif.


Pejabat ini adalah hakim, yang memiliki kekuasaan mengadili menurut (prosedur)
hukum.
Secara aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak sematamata karena diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui
kekuatan fisik, melainkan terletak dalam kekuasaan terhadap suara hati nurani
manusia. Hukum dapat timbul dari kekuasaan, termasuk kekuatan fisik, asal saja
ia berkembang menjadi kekuasaan susila (kekuatan moral), yakni kekuasaan yang
berkuasa atas suara hati orang. Kekuasaan susila tersebut membentuk hukum,
karena ia bercita-citakan keadilan. Meskipun, keadilan yang sungguh-sungguh tak
dapat dicapai oleh hukum, karena hukum itu dibuat manusia yang tidak dikaruniai
Tuhan untuk mengetahui apa yang adil dan tidak adil secara mutlak. Dalam
perspektif ini, hukum tidak bebas nilai, karena terkait dengan hati nurani (moral),
termasuk di dalamnya nilai-nilai keadilan.

REFERENSI:
1. KEKUASAAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM (Kajian
Filosofis dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi)
(Dipublikasikan dalam Jurnal Yustika Media Hukum dan Keadilan,
Universitas Surabaya ISSN: 1410-7724, Vol. 12 No. 2, Desember 2009, h.
183-192)
Oleh: Abdul Rokhim

Anda mungkin juga menyukai