NIM
: 201410110311009
Kelas : VII-A
A. Aspek Ontologi
Istilah kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut power, macht (dalam bahasa
Belanda) dan pouvoir atau puissance (dalam bahasa Perancis). Dalam Blacks
Law Dictionary, istilah kekuasaan (power) berarti: The right, ability, authority, or
faculty of doing something. . . . A power is an ability on the part of a person to
produce a change in a given legal relation by doing or not doing a given act.
Istilah kekuasaan berbeda maknanya dengan kewenangan. Dalam literatur
berbahasa Inggris istilah kewenangan atau wewenang disebut authority atau
competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau bevoegdheid.
Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum
publik atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang
berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, kekuasaan secara sosiologis adalah
kemampuan untuk
pemegang
mempengaruhi
kekuasaan,
pihak
lain
agar
mengikuti
kehendak
Karena itu, dalam konsep negara hukum, sumber untuk memperoleh dan
menggunakan kekuasaan serta batas-batasnya harus secara jelas diatur dan
dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan. Inilah esensi
kekuasaan menurut konsep negara hukum (rule of law; rechtsstaat). Oleh karena
itu, dalam perspektif sosiologis, ide rule of law mengandung makna bahwa
otoritas harus diberi bentuk hukum dan bahwa kekuasaan harus dilaksanakan
dengan cara-cara hukum.
Secara epistemologis, baik atau buruknya kekuasaan itu sendiri sangat
tergantung dari bagaimana cara menggunakan kekuasaan. Artinya, baik
buruknya
Ia merupakan suatu
masyarakat yang tertib, bahkan bagi setiap organisasi yang teratur (seperti
negara). Akan tetapi karena sifat dan hakikatnya, supaya baik dan bermanfaat
harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan batas-batasnya. Sekali ditetapkan,
hendaknya pengaturan kekuasaan dipegang teguh. Inilah inti dari pengertian
bahwa kekuasaan itu harus tunduk pada hukum.
Mengingat sifat dan hakikat kekuasaan, jelas kiranya bahwa tidak setiap
orang dengan begitu saja dapat diserahi kekuasaan, harus dipersiapkan untuk itu.
Seorang pemegang kekuasaan harus memiliki semangat mengabdi kepentingan
umum (sense of public service). Sebaliknya, mengenai sikap orang yang dikuasai,
di satu pihak ia mempunyai kewajiban tunduk pada penguasa (the duty of civil
obedience), tetapi di pihak lain ia pun harus sadar akan haknya untuk memperoleh
perlindungan hukum terhadap diri dan harta bendanya. Yang dimaksud
penguasa dalam hal ini tidak lain adalah pemerintah yang menjalankan fungsi
pemerintahan dalam suatu negara.
bidang perundang-undangan,
peradilan,
polisi,
dan
pemerintahan.
Tugas penguasa di bidang perundang-undangan adalah membentuk undangundang dalam arti materiil, yakni menentukan peraturan-peraturan yang umum
mengikat. Di bidang peradilan, menetapkan hukum dalam hal-hal yang konkrit.
Di bidang kepolisian, tugas penguasa adalah pengawasan dari penguasa atas
paksaan yang dilakukannya, supaya orang-orang mentaati hukum yang telah
ditetapkan. Sedang, di bidang pemerintahan, tugas penguasa adalah mencakup
semua tindakan penguasa yang tidak termasuk perundang-undangan, peradilan,
dan polisi.Istilah tugas penguasa dalam hal ini mencakup seluruh tugas negara
yang dijalankan oleh lembaga legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Pada negara yang berdasarkan atas hukum (rule of law), maka hukum
ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahannya (supremasi hukum). Dalam hal ini dianut suatu ajaran
kedaulatan hukum yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum
dijadikan
guiding
principle
bagi
segala
aktivitas
organ-organ
negara,
kekuasaan
pada
penggunaan
kedaulatan rakyat dari ketiga ahli pikir tersebut boleh dikatakan sangat besar
pengaruhnya terhadap berdirinya negara-negara modern di Eropa Kontinental dan
Anglo-Saxon pada abad ke-17 sampai ke-19, tentu saja perjuangan politik yang
panjang dan revolusi kerakyatan berdasarkan paham kedaulatan rakyat dan
kedaulatan hukum yang kemudian dituangkan dalam konstitusi negara-negara
hasil dari revolusi tersebut.
Terkait dengan teori pemisahan kekuasaan, baik John Locke maupun
Montesquieu sama-sama membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang, tetapi
ada perbedaannya. John Locke mengatakan bahwa kegiatan negara bersumber
dari tiga kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power),
kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative
power). Sedang Montesquieu melalui ajaran Trias Politica membelah seluruh
kekuasaan negara secara terpisah-pisah (separation of power; separation du
pouvoir) dalam tiga bidang (tritochomy), yakni bidang legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Ajaran Trias Politika didasarkan pada pemikiran bahwa kekuasaan
negara harus dipisahkan (separation of powers) dan tidak boleh berada dalam satu
tangan (concentration of powers).
Berbeda dengan Montesquieu, Hans Kelsen membagi segenap unsur power
dalam negara itu dalam dua bidang pokok, yakni: legislatio yang meliputi law
creating function; dan legis executio, yang meliputi:
1) legislative power; dan
2) judicial power.
sifatnya
bebas
dalam
pelaksanaan undang-
secara
ajaran
pemisahan
kekuasaan
tidak
dapat
terjadi
kesewenang-wenangan.
Kedua,
hukum
dipengaruhi,
yang sering
terlihat di dalam kenyataan empirik (das sein); di sini hukum lebih dijadikan
sebagai alat justifikasi (pembenar) atas kehendak-kehendak pemegang kekuasaan
politik yang dominan, sehingga hukum tidak dapat memainkan perannya sebagai
alat kontrol dan penjaga batas kekuasaan.
Dalam kajian ini, tidak perlu dipertentangkan mana yang benar di antara
kedua model ini. Sebab, yang namanya teori biasanya hanya memotret apa yang
ada dan terjadi secara ajeg. Dalam konteks inilah dua model atau pandangan
mengenai hubungan hukum dan kekuasaan dapat diberi tempat. Sehingga
kebenarannya menjadi benar menurut model dan asumsi yang dipergunakan oleh
sang analisis; tinggal model mana yang akan dipergunakan. Idealnya, memang
hukum dan kekuasaan, paling tidak, saling melengkapi. Dalam arti, hukum harus
ditegakkan dengan kekuasaan, agar daya paksanya bisa efektif. Sebaliknya,
kekuasaan harus dijalankan di atas prinsip-prinsip hukum, agar tidak sewenangwenang. Dalam konteks inilah bisa dipahami pernyataan, bahwa hukum tanpa
kekuasaan ibarat burung tanpa sayap (artinya tak bisa bergerak), sedang
kekuasaan tanpa hukum ibarat buldozer tanpa rem (artinya liar dan tanpa
kendali). Tetapi, apa yang ideal itu kerapkali tidak realistik, sehingga kerapkali
pula terlihat bahwa kekuasaan menjadi supreme atas hukum. Dalam kenyataan
justru sangat banyak kasus di mana hukum sangat bergantung dan ditentukan oleh
kekuasaan, sehingga timbul berbagai kondisi yang lebih realistik sejak zaman
dulu yang melihat hukum sebagai wujud dari keinginan penguasa belaka.
Keinginan ini menurut John Austin dinyatakan secara rasional oleh penguasa,
yang bagi pihak lain merupakan hal yang harus dilakukan atau dihindari (a wish . .
. by rational being, that another . . . shall do or forbear).
Apeldoorn mencatat, paling tidak, ada empat pengikut paham empirik
yang mengatakan bahwa hukum identik dengan kekuasaan itu sendiri. Pertama,
kaum Sophist di Yunani mengatakan bahwa keadilan itu tidak lain dari apa yang
berfaedah bagi orang yang lebih kuat. Kedua, Lasalle mengatakan bahwa
konstitusi suatu negara bukanlah undang- undang dasar tertulis yang sebenarnya
hanya merupakan secarik kertas, melainkan merupakan hubungan kekuasaan
yang nyata; orang kecil bisa menjadi bagian dari konstitusi hanya kekecualian
dan dalam keadaan yang luar biasa, yaitu pada waktu revolusi. Ketiga,
Gumplowics mengatakan bahwa hukum itu berdasar penaklukan yang lemah oleh
yang kuat, ia merupakan susunan definisi yang dibentuk pihak yang kuat untuk
mempertahankan kekuasaannya. Keempat, bahkan sebagian dari pengikut
aliran positivisme berpendapat bahwa kepatuhan kepada hukum tidak lain dari
tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga
hukum itu merupakan hak orang yang terkuat.
Dari aspek aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak sematamata karena diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui
kekuatan fisik, melainkan sebagaimana yang diajarkan oleh Spinoza terletak
dalam kekuasaan terhadap suara hati manusia. Hukum dapat timbul dari
kekuasaan, termasuk kekuatan fisik, asal saja ia berkembang menjadi kekuasaan
susila (kekuatan moral), yakni kekuasaan yang berkuasa atas suara hati orang.
Kekuasaan susila tersebut membentuk hukum, karena ia bercita- citakan keadilan,
artinya bercita-cita memberi pada tiap-tiap orang apa yang menjadi bagiannya.
Mengapa dikatakan bercita-citakan, karena keadilan yang sungguh-sungguh tak
dapat dicapai oleh hukum, karena pertama, hukum terpaksa mengorbankan
keadilan sekedarnya untuk mencapai tujuannya (bersifat kompromi), dan kedua,
hukum itu dibuat manusia yang tidak dikaruniai Tuhan untuk mengetahui apa
yang adil dan tidak adil secara mutlak. Keadilan, menurut falsafah bangsa
Romawi, adalah kehendak yang tetap dan yang tak ada akhirnya, untuk memberi
pada tiap-tiap orang apa yang menjadi haknya (Justitia est constans et perpetua
voluntas ius suum cuique tribuere).
D. Kesimpulan
Kajian tentang kekuasaan dalam konteks negara hukum secara filosofis dapat
dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek ontologis, epistemologis dan filosofis. Dari
aspek ontologis, pada hakekatnya kekuasaan itu adalah kemampuan seseorang
untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Dalam konteks negara hukum,
sumber dan batas-batas kekuasaan ditentukan oleh hukum dan harus dipergunakan
dalam koridor hukum. Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya,
sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum.
Dari aspek epistemologis, supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan
yang dapat mengarah pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam
konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian
kekuasaan. Legislator tidak dapat menghukum individu-individu secara langsung.
Administrator atau pejabat eksekutif berurusan dengan individu hanya sebatas
aturan-aturan yang ditentukan, supaya ia terhindar dari upaya penggunaan
kekuasaan publik untuk mencapai tujuan pribadi. Untuk bertindak dalam batasbatas
kewenangan
terakhir
untuk
menentukan
makna
hukum,
yang
dalam
REFERENSI:
1. KEKUASAAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM (Kajian
Filosofis dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi)
(Dipublikasikan dalam Jurnal Yustika Media Hukum dan Keadilan,
Universitas Surabaya ISSN: 1410-7724, Vol. 12 No. 2, Desember 2009, h.
183-192)
Oleh: Abdul Rokhim