Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENEMUAN HUKUM
(RECHTVINDING)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Hukum


Dosen Pengampu :
Dr. Alwi Jaya, S.H., M.H.

Oleh :
NAMA : AHMAD JUMADIL, S.H.
STAMBUK : 05. MH. 20. 0003

PROGRAM PASCA SARJANA ( S2 ) ILMU HUKUM


SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM ( STIH )
PENGAYOMAN WATAMPONE
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih kami panjatkan
kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, makalah ini dapat hadir
dihadapan pembaca. Adalah hanya dari pertolongan dan izin Allah,

Disamping itu Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W.
beserta keluarganya dan para shahabatnya yang dengan penuh kesetiaan telah mengobarkan
syi’ar Islam yang manfaatnya masih terasa hingga saat ini.

Makalah yang berada dihadapan pembaca ini membahas tentang “PENEMUAN


HUKUM” Dan kami berharap, semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi para
pembacanya dan bernilai ibadah bagi penulisnya.

Adalah sebagai konsekwensi logis bahwa bila nantinya disana-sini akan didapati
beberapa cacat, kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini, kami selaku penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Akhirnya, dengan segala kerendahan segala bentuk saran maupun kritik dari pihak
manapun. Juga tak lupa penulis sampaikan beribu-ribu terima kasih kepada pihak-pihak yang
turut membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Paling terakhir, hanya kepada Allah penulis panjatkan rasa syukur dan hanya kepada-
Nya pula urusan penulis kembalikan.

Mudah-mudahan makalah ini dapat memenuhi keperluan pembaca dan semoga


berguna sesuai tujuan untuk kepentingan Agama, Bangsa, dan Umat Islam pada umumnya.
Dan sekali lagi kami berharap supaya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya dan
amal ibadah bagi penulisnya.Amin…..Ya Rabbal ‘Alamiin.

Watampone , 20 November 2020

Penulis

14
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1

C. Tujuan ................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 3

A. Pembentukan Hukum Oleh Hakim ..................................................................... 3

B. Penafsiran Hukum .............................................................................................. 5

C. Pengisian Kekosongan Hukum ......................................................................... 9

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 12

A. Kesimpulan ........................................................................................................ 12

B. Saran ................................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 14

14
BAB  I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pelajaran tentang sumber-sumber hukum telah dijelaskan, bahwa


berdasarkan pasal 21 Algemene Bepalingen van Watgeving voor Indonesia, keputusan hakim
juga diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian oleh peraturan perundangan
telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentuk hukum.

Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan


manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan
agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat
berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran
hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan.
Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum
ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan : kepastian hukum (Rechtssicherheit),
kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan
dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi
peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat
mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh
kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena dengan
adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan
manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan
bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum harus adil.

Tetapi dalam usaha menyelesaikan suatu perkara adakalanya hakim menghadapi


masalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk
menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah
digunakan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pembentukan Hukum Oleh Hakim

14
2. Apa itu Penafsiran Hukum
3. Bagaimana cara untuk melakukan Pengisian Kekosongan Hukum

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami Pembentukan Hukum Oleh Hakim
2. Mengerti dan mengetahui tentang Penafsiran Hukum
3. Mengetahui cara untuk melakukan Pengisian Kekosongan Hukum

14
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembentukan Hukum Oleh Hakim

Sebelum kita masuk pada pembahasab mengenai judul di atas, terlebih dahulu kita
harus mengetahui apa itu “Penemuan Hukum”. Penemuan Hukum, pada hakekatnya
mewujudkan pengembangan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum
sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam
peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen),
konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada
pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian
penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain
diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan
hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum
harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-
penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.

Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua
bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum
pajak. Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan
profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan hukum,
berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah hukum
dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum
utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan
perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi dimana
peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu
seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum. Dalam situasi
seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk
menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam
menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum,
walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.

14
Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan
dengan pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan
keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas
atau fungsi utama, diantaranya yaitu :

1. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit


(perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan
selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang
hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan
oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak
selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat.
Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
2. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan,
atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan
perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab
adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan
perkembangan didalam masyarakat.

 Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum
lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das sollen)
yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu, jadi dalam
penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya
untuk peristiwa konkrit.

Dalam pelajaran tentang sumber-sumber hukum telah dijelaskan, bahwa


berdasarkan pasal 21 Algemene Bepalingen van Watgeving voor Indonesia, keputusan hakim
juga diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian oleh peraturan perundangan
telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentuk hukum.

Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan
perundangan tidak menyebutkan suatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang
terjadi. Dengan perkataan lain dapatlah dikatakan bahwa hakim harus menyesuaikan undang-
undang dengan hal yang konkrit, oleh karena peraturan- peraturan tidak dapat mencakup
segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena Hakim turut serta turut

14
serta menentukan mana yang merupakan hukum dan yang tidak, maka Prof. Mr Paul Scholten
mengatakan bahwa hakim itu menjalankan “rechtsvinding” (turut serta menemukan hukum).

Akan tetapi walaupun hakim ikut menentukan hukum, menciptakan peraturan-


perundangan, namun kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kakuasaan legilatif
(Badan pembentuk perundang-undangan), yaitu Dewan perwakilan Rakyat, oleh karena
keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum.
Keputusan hakim berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hal tersebut ditegaskan
dalam pasal 21 A.B., bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku sebagai
peraturan umum. Lebih jauh ditegaskan dalam kitab undang-undang Hukum Sipil pasal 1917
ayat 1, bahwa kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang
diputuskan dalam keputusan itu.

Selain itu apabila suatu undang-indang isinya tidak jelas, maka Hakim
berkewajiban untuk menfsirkannya sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-
sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai kepastian hukum.Namun
demikian, menafsirkan atau menambah isi dan pengertian peraturan-perundangan tidak dapat
diadakan secara sewenang-wenang.

B. Penafsiran Hukum

            Dengan adanya kodifikasi, hukum itu menjadi beku, statis, sukar berubah. Adapun
yang selalu melaksanakan kodifikasi hukum ialah Hakim, karena dialah yang berkewajiban
menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat. Walaupun kodofikasi telah diatur
selengkap-lengkapnya, namun tetap juga kurang sempurna dan masih banyak terdapat banyak
kekurangan-kekurangannya, hingga menyulita pelaksanaannya. Hal ini disebabkan karena
pada waktu kodifikasi ini dibuat, ada hal-hal atau benda-benda yang belum ada atau belum
dikenal, misalnya listrik.

                Aliran listrik juga sekarang telah dianggap benda, sehingga barang siapa yang
dengan  sengaja menyambung aliran listrik tanpa izin yang berwajib, termasuk perbuatan
yang melanggar hukum, yaitu tindak pidana pencurian. Oleh karena hukum bersifat dinamis,
maka Hakim sebagai penegak hukum hanya memandang kodifikasi sebagai suatu pedoman
agar ada kepastian hukum, sedangkan di dalam memberi putusan Hakim harus juga
mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

14
Ada beberapa macam penafsiran,antara lain :

1. Penafsiran Interprestasi  Tata Bahasa (grammatikal)

Yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan


berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-
kalimat yang dipakai oleh undang-undang ; yang dianut oleh semata-mata arti perkataa
menurut tatabahasa atau menurut kebiasaab, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Kata-
kata itu harus singkat, jelas dan tepat. Untuk mempergunakan kata-kata tidak mudah. Oleh
karenanya hakim apabila hakim ingin mengetahui apa yang dimaksud Undang-undang atau
apa yang dikehendaki oleh pembuat Undang-undang, hakim harus menafsirkan kata-kata
dalam Undang-undang tersebut.Sebagai contoh dapat dikemukakan hal sebagai berikut :

Suatu peraturan perundangan melarang orang memparkirkan kendaraannya pada


suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan
istilah “kendaraan” itu. Orang bertanya-tanya, apakah yang dimaksud dengan perkataan
“kendaraan” itu, hanyalah kendaraan bermotorkah atau termasuk juga sepeda dan bendi.

Contoh lain dalam Jurisprudensi Negara Belanda adalah sebagai berikut :

 Pasal 1140 KUHS memberika hak mendahului (privilege) kepada seorang yang
menyewakan rumah terhadap segala barang perabot rumah yang terdapat di dalam
rumah sewaan itu. Hal ini berarti, jika si penyewa menunggak uang sewa, dan pada
suatu waktu dilakukan penyitaan atas barang-barang perabot rumah tersebut, maka si
pemilik rumah harus dibayar terlebih dahulu daripada penagih-penagih hutang lainnya
dari uang pendapatan lelangan barang-barang tersebut untuk melunasi uang sewa yang
belum dibayar. Dalam kalimat terakhir dari pasal 1140 ditegaskan : “tidak peduli
apakah barang-barang perabot rumah tersebut kepunyaan si penyewa rumah itu
sendiri atau bukan”

2. Penafsiran Interprestasi  Sosiologis/ teleologis

Adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Pentingnya


penafsiran sosiologis adalah sewaktu Undang-undang itu dibuat keadaan sosial masyarakat
sudah lain daripada sewaktu Undang-undang diterapkan, karena hukum itu gejala sosial yang
senantiasa berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Penafsiran sosiologis memang

14
penting sekali bagi hakim terutama kalau diingat banyak Undang-undang yang dibuat jauh
daripada waktu dipergunakan. Khususnya Indonesia banyak memakai Undang-undang zaman
penjajahan, sehingga tidak cocok dengan keadaan sosial masyarakat pada waktu sekarang.

Kita ambil sebagai contoh pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan
hukum.Sebelum putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dapat dihukum akibat perbuatan
melawan hukum yaitu apabila perbuatan itu melanggar Undang-undang, Namun berdasarkan
perkembangan masyarakat, setelah putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dikatakan
perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar UU, kesusilaan, kepatutan dan
ketertiban moral.

3. Penafsiran Interprestasi Sistematis (dogmatis)

Penafsiran sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu


dengan pasal yang lain dalam suatu Perundang-undangan yang bersangkutan atau pada
Perundang-undangan hukum lainnya atau membaca penjelasan suatu Perundang-undangan,
sehingga mengerti maksudnya. Kita harus membaca UU dalam keseluruhannya, tidak boleh
mengeluarkan suatu ketentuan lepas dari keseluruhannya, tetapi kita harus meninjaunya
dalam hubungannya dengan ketentuan sejenis. Antara banyak peraturan terdapat hubungan,
yang satu timbul dari yang lain. Seluruhnya merupakan satu sistem besar.

 Misalnya, “asas monogami” tersebut di pasal 27 KUHS menjadi dasar pasal-pasal 34,
60, 64, 86, KUHS dan 279 KUHS.
 Contoh lain, Pasal 1330 KUHP perdata mengemukakan tidak cakap untuk membuat
perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa. Apakah yang dimaksud orang
yang belum dewasa ?. Dalam hal ini kita melakukan penafsiran sistematis dengan
melihat Pasal 330 KUHP perdata yang memberikan batas belum berumur 21 tahun.

4. Penafsiran Interprestasi Historis 

Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah dari Undang-undang yang bersangkutan.
Tiap ketentuan Perundang-undangan tentu mempunyai sejarah dan dari sejarah perundang-
undangan ini hakim mengetahui maksud dari pembuatnya.Ada dua macam penafsiran
historis, yaitu penafsiran menurut sejarah Undang-undang dan penafsiran menurut sejarah
hukum.

14
Dengan penafsiran menurut sejarah Undang-undang hendak dicari maksud  seperti
yang dilihat oleh pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya. Pikiran yang
mendasari metode ini ialah bahwa Undang-undang adalah kehendak pembentuk Undang-
undang yang tercantum dalam teks Undang-undang. Metode interprestasi yang hendak
memahami Undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut interprestasi
menurut sejarah hukum. Interprestasi ini menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari suatu
sistem hukum yang dahulu pernah berlaku atau dari sIstem hukum lain yang sekarang masih
berlaku di negara lain.

 misalnya KUHP perdata yang berasal dari B.W negeri Belanda. B.W berasal dari
Code Civil Perancis atau Code Napoleon.

5. Penafsiran Interprestasi Perbandingan

Penafsiran perbandingan ialah penafsiran dengan membandingkan antara hukum


lama dengan hukum positif, antara hukum nasional dengan hukum internasional dengan
hukum asing.

 Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini mungkin hukum lama cocok
untuk diterapkan lagi pada masa sekarang ini. Misalnya, beberapa asas hukum adat
yang menggambarkan unsur kekeluargaan dapat diambil untuk dijadikan hukum
nasional.
 Hukum nasional dengan hukum asing. Hukum nasional tentu ada kekurangan. Apabila
ada keinginan untuk mengambil alih hukum asing apakah hukum itu cocok dan sesuai
dengan kepentingan nasional, misalnya: Hak kekayaan Intelektual.

6. Penafsiran Nasional

Ialah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku misalnya hak
milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia
(Pancasila).

7. Penafsiran ekstensif

Yaitu memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu
sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukannya seperti “aliran listrik” terasuk juga “benda”.

14
8. Penafsiran Restriktif

Ialah penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan


itu, misalnya  “kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak berwujud” seperti sakit,
cacad,dan sebagainya.

9. Penafsiran Analogis

Yaitu memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada
kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya
tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya
“menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.

10. Penafsiran a contrario (menurut peringkaran)

Ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan


pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal
yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain beada di luar
pasal tersebut.

 Contoh : Pasal 34 KUHS menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan


menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu
diputuskan.Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah dengan halnya laki-laki?
Apakah laki-laki juga harus menunggu lampaunya 300 hari? Jawaban atas pertanyaan
tersebut adalah “TIDAK” karena pasal 34 KUHS tidak menyebutkan apa-apa tentang
laki-laki dan khusus ditujukan kepada perempuan.

C. Pengisian Kekosongan Hukum

Dalam pelajaran yang lalu telah dijelaskan, bahwa Badan Legislatif menetapkan
peraturan perundangan yang berlaku sebagai peraturan umum, sedangkan pertimbangan
dalam pelaksanaan hal-hal yang konkrit diserahkan kepada Hakim, sebagai pemegang
kekuasaan hukum.

Penyusunan suatu undang-undang menurut kenyataannya memerlukan waktu yang


lama sekali, sehingga pada waktu undang-undang itu dinyatakan berlaku, hal-hal atau

14
keadaan yang hendak diatur oleh undang-undang itu sudah berubah; terbentuknya suatu
peraturan-perundangan senantiasa terbelakang dibanding dengan kejadian-kejadian dalam
perkembangan masyarakat. Berhubungan dengan itulah (peraturan perundangan yang statis
dan masyarakat yang dinamis), maka Hakim harus sering memperbaiki undang-undang itu,
agar sesuai dengan kenyataan hidup dalam masyarakat.

Dalam bagian Pengisian Kekosongan Hukum ini,terbagi menjadi dua :

1. Hakim memenuhi kekosongan hukum

Dalam hubungan ini, apabila Hakim menambah peraturan-perundangan, maka hal


ini berarti bahwa Hakim memenuhi ruangan kosong (leemten) dalam sistem hukum formal
dari Tata Hukum yang berlaku.Adapun pendapat bahwa dalam sistem formal dari hukum ada
ruangan kosong (ada kekosongan) yang dapat diisi oleh Hakim, belumlah lama dianut
orang. Hakim mengisi kekosongan hukum apabila perkara yang diajukan kepadanya tidak ada
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan meskipun sudah
ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis.

Sejak ahkir abad ke-19,banyak para sarjana hukum berpendapat bahwa hukum itu
adalah merupakan suatu kesatuan utuh yang tertutup. Di luar undang-undang tidak ada
hukum yang berlaku dan Hakim tidak boleh mejalankan hukum yang tidak disebutkan dalam
peraturan-perundangan.

Namun demikian, ada sebagian para sarjana hukum yang tidak dengan pendapat
tersebut. Menurut Prof. Mr Paul Scholten bahwa hukum itu merupakan suatu sistem yang
terbuka (open system). Pendapat ini lahir berdasarkan kenyataan, bahwa hukum itu bersifat
dinamis, yaitu mengikuti proses perkembangan  masyarakat.

Berdasarkan dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa hakim dapat dan
bahkan harus memenuhi kekosongan hukum, tetapi dengan catatan  perubahan yang Hakim
buat tidak membawa kerugian dan dampak buruk terhadap sistem hukum yang berlaku.

2. Kontruksi Hukum

Konstruksi hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara yang dimajukan kepada
hakim, tetapi tidak ada ketentuan yang dapat dijalankan untuk menyelesaikan perkara

14
tersebut, meskipun telah dilakukan penafsiran hukum. Begitu juga setelah dicari dalam
hukum kebiasaan atau hukum adat, namun tidak ada peraturan yang dapat membawa
penyelesaian terhadap kasus tersebut. Dalam hal demikian hakim harus memeriksa lagi sistim
hukum yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan. Apabila dalam beberapa
ketentuan ada mengandung kesamaan, maka hakim membuat suatu pengertian hukum
(rechtsbegrip) sesuai dengan pendapatnya.

Mencari asas hukum yang menjadi dasar peraturan hukum yang bersangkutan.
Misalnya, perbuatan menjual, perbuatan memberi, menghadiahkan, perbuatan
menukar dan mewariskan secara legat(legateren, membuat testament) mengandung
kesamaan-kesamaan.Kesamaan itu adalah perbuatan yang bermaksud mengasingkan
(vervreemden) atau mengalihkan. Berdasarkan kesamaan tersebut, maka hakim membuat
pengertian hukum yang disebutnya pengasingan. Pengasingan itu meliputi penjualan,
pemberian, penukaran dan pewarisan. Pengasingan adalah suatu perbuatan hukum oleh yang
melakukannya diarahkan ke penyerahan (pemindahan) suatu benda. Elemen yang terdapat
dalam baik penjualan, pemberian, penukaran maupun pewarisan secara legat. Tindakan
hakim yang demikian ini adalah dikenal sebagai perbuatan melakukan konstruksi hukum.

 Sebagai contoh  pengisian kekosongan hukum dapat disebutkan dalam pasal 1576
KUHS (Kitab Undang-undang hukum sipil) mengatakan bahwa penjualan(jual-beli)
tidak dapat memutuskan perjanjian sebelum jangka waktu sewa-menyewa tersebut
berakhir.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan dalam makalah ini yang telah
diuraikan secara rinci di atas, dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut:

1. Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum
lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa
hukum konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum
(das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein)
tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan
atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit. Dengan demikian oleh peraturan
perundangan telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentuk
hukum.
2. Ada 10 Penafsiran hukum yaitu :
o Penfsiran Interprestasi Tata Bahasa (grammatikal)
o Penafsiran Interprestasi Sosiologis/ teleologis
o Penafsiran Interprestasi Sistematis (dogmatis)
o Penafsiran Interprestasi Historis
o Penafsiran Interprestasi Perbandingan
o Penafsiran Nasional
o Penafsiran ekstensif
o Penafsiran Restriktif
o Penafsiran Analogis
o Penafsiran a contrario (menurut peringkaran)
3. Dalam Pengisian Kekosongan Hukum, ada dua cara :
o Hakim Memenuhi Kekosongan Hukum
o Kontruksi Hukum

14
B. Saran

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan
kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan
tentang Penemuan Hukum.

Kami  hanya  manusia  biasa  yang  tidak  terlepas  dari  kekurangan, maka  dari 
itu  kami  mohon  maaf  apabila  ada  kesalahan  dalam  penulisan  maupun  yang  lain.

14
DAFTAR PUSTAKA

 1985. Pengantar Hukum Indonesia.Bandung. Penerbit: CV. Armico

 1992.  Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Penerbit: Sinar Grafika

 Sudikno,Mertokusumo.1992. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Yogyakarta.

Penerbit: PT.Citra Aditya Bakti

 http://hennyolgarebekka.wordpress.com/2011/05/23/pengisian-kekosongan-hukum/

 Kansil,C.S.T,S.H. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Cetakan

ketujuh: Balai Pustaka. 1986

14
 

14

Anda mungkin juga menyukai