Anda di halaman 1dari 23

PERBANDINGAN

HUKUM ADMINISTRASI
NEGARA

SISTEM PERADILAN
ADMINISTRATIF PERANCIS

NURUL WAQIYAH (B021181333)

DYNO THIODORES (B021181322)

RIFDA APRILIA RUSFAYANTI (B021181319)

LAODE ISWAR (B021181313)

ABDUL KADIR (B021181330)

KHUSNUL NISA (B021181323)

MUH. RESKY ANANDA DARMA (B021181345)

AZIZAH NURUL MAULANA (B021181321)

FACHRY BAREN (B021181501)

KIKY VENNA VIOLETTA (B021181318)


Kata pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sistem
Peradilan Administratif Perancis”. Kami berterima kasih pada Bapak selaku Dosen Hukum
Perbandingan Hukum Administrasi Negara Universitas Hasanuddin yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kepada kami, generasi dan masyarakat. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya dokumen yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan yang kurang
berkenan serta kami berhadap adanya partisipasi kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

Makassar, 20 Februari 2020


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..............................................................................................................................i


Daftar Isi ........................................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah ................................................................................................................2

Bab II Pembahasan
2.1 Sistem Hukum Perancis .....................................................................................................3
2.2 Sejarah Hukum Perancis ....................................................................................................5
2.3 Struktur Organisasi Peradilan Perancis ............................................................................11
2.4 Mekanisme Peradilan Administratif Perancis ..................................................................13
2.5 Status-Status Keputusan.................................................................................................. 17
2.6 Gaya Keputusan Perancis ................................................................................................19

Bab III Penutup


Simpulan ..........................................................................................................................22

Daftar Pustaka ............................................................................................................................23


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Civil Law, dalam satu pengertian, merujuk ke seluruh sistem hukum yang saat ini
diterapakan pada sebagian besar Negara Eropa Barat, Amerika Latin, negara-negara di Timur
Dekat, dan sebagian wilayah Afrika, Indonesia dan Jepang. Sistem ini diturunkan dari hukum
romawi kuno, dan yang pertama kali di terapkan di eropa berdasarkan jus civille Romawi –
hukum privat yang dapat di aplikasikan terhadap organ negara dan diantara warga negara, di
dalam batasan sebuah negara dalam kontets domestik. Negara-negara civil law berbeda dengan
negara-negara common law.
Negara-negara civil law biasanya adalah negara-negara yang memperhatikan sumber-
sumber hukumnnya (peraturan, undang-undang dan legislasi utama yang berlaku), karakteristik
mode pemikirannya berkenaan dengan masalah hukum, institusi hukumnya yang berbeda (dan
struktur yudisial, eksekutif dan legislatif) serta ideologi hukum fundamentalnya. Semua unsur ini
menentukan ‘gaya yuristik’-nya yang unik. Negara-negara common law secara umum adalah
negara-negara yang gaya yuristiknya didasarkan pada model common law inggris, yang terutama
didirikan berdasarkan pada sistem kasus atau preseden yudisial, dan dimana legislasi secara
tradisional tidak dianggap sebagai sumber hukum utama, tetapi biasanya dianggap sebagai hanya
sekedar sarana konsolidasi atau kalrifikasi dari peraturan dan prinsip hukum yang secara
esensian diturunkan dari hukum kasus dan hukum yang dibuat oleh hakim.
Bentuk kekhususan sistem peradilan tata usaha negara di Perancis adalah adanya struktur
organisasi peradilan TUN yang berdiri sendiri dan terpisah dari peradilan umum, bahkan tidak
termasuk dalam lingkungan yudikatif. Berkaitan dengan sistem peradilan di Perancis , Auby
menyatakan bahwa sistem peradilan di Prancis memiliki 2 sistem peradilan (dual system of
courts), peradilan umum (ordinary courts/the ordre judiciare) dan peradilan administrasi
(administrative courts/ordre administratif). Oleh karena itu, sistem peradilan Perancis perlu
diketahui dari masing-masing ciri mekanisme peradilannya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah, yaitu :
1. Bagaimana struktur organisasi peradilan administratif Perancis ?
2. Bagaimana mekanisme sistem peradilan administratif Perancis (Struktur peradilan hingga
proses gugatan) ?
3. Bagaimana syarat sah tidaknya gugatan/keputusan ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu :
1. Untuk menggambarkan struktur organisasi peradilan administratif Perancis.
2. Untuk memaparkan mekanisme sistem peradilan administratif Perancis dimulai dari
struktur peradilan hingga proses gugatan.
3. Untuk memaparkan syarat sah tidaknya gugatan/keputusan.

A. Sistem Hukum Prancis


Negara Prancis menganut sistem hukum eropa kontinental dimana dalam
perkembangannya biasa disebut sebagain “Civil Law”. Sebenarnya semua berasal dari kodifikasi
hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI
sebelum masehi. Peraturan-peraturan hukumnya merupakan kumpulan dari pelbagai kaidah
hukum yang ada sebelum masa Justinianus yang kemudian disebut “Corpus Juris Civilis”. Dalam
perkembangannya, prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada Corpus Juris Civilis itu dijadikan
dasar perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda,
Prancis dan Italia, juga Amerika Latin dan Asia termasuk Indonesia pada masa penjajahan
pemerintah Belanda.
Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental itu ialah ”Hukum
memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk
undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu.”
Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum manusia dalam
pergaulan hidup yang diatur dengan peraturan-peraturan hukum tertulis. Dengan tujuan hukum
itu dan berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim tidak dapat leluasa menciptakan hukum
yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi “Menetapkan dan
menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas wewenangnya”. Putusan seorang hakim
dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara saja (doktrin Res Ajudicata).
Sejalan dengan pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa yang bertitik tolak kepada
unsur kedaulatan nasional termasuk kedaulatan untuk menetapkan hukum, maka yang menjadi
sumber hukum di dalam sistem hukum Eropa Kontinental adalah “Undang-Undang”. Undang-
undang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif. Selain itu, diakui “peraturan-peraturan”
yang dibuat pemegang kekuasaan eksekutif berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh
undang-undang. Berdasarkan sumber-sumber hukum itu, maka sistem hukum Eropa Kontinental
penggolongannya ada dua yaitu penggolongan ke dalam bidang “hukum publik” dan “hukum
privat”. Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan
wewenang penguasa/negara serta hubungan antara masyarakat dan negara. Sedangkan, hukum
privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan antara individu-individu
dalam memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya.
Berdasarkan sejarahnya, pembatasan peran hakim untuk membuat hukum di negara-
negara menganut sistem civil law merupakan suatu kebijakan yang memiliki alasan dan tujuan
sosialpolitiknya. Pembahasan sejarah peran hakim atau peradilan civil law bermula dari periode
kekaisaran Romawi. Pada periode tersebut, kekaisaran Romawi enggan membentuk pengadilan
yang berisikan para ahli hukum yang menjabat sebagai hakim. Mereka dianggap dapat
menghambat dan mengganggu kekaisaran Romawi. Pada masa itu, suatu sengketa antar pribadi
diselesaikan oleh seorang yang berasal dari kelas sosial tertinggi (patrician atau iudex) tanpa
perlu memiliki pengatuhan tentang hukum. Pengadilan kemudian dibentuk pada akhir periode
kekaisaran Romawi. Pada awal pembentukannya, hakim pada pengadilan bukanlah seorang ahli
hukum dan tidak terlalu mendapat kedudukan atau status sosial. Oleh karenanya, para pendeta
atau ahli agama yang dipercayai untuk merumuskan hukum apabila terdapat suatu sengketa di
masyarakat Romawi. Beberapa orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian hukum
(juirsconsults) mempublikasikan komentar (commentaries) dan treaties terkait praktik dan
perkembangan hukum di Romawi. Atas fenomena tersebut, kaisar Justinian memerintahkan
jurisconsults untuk mengumpulkan berbagai pendapat dari beberapa jurisconsults. Kompilasi
beberapa karya hukum jurisconsults yang disetujui oleh Justinian ini dikenal sebagai Digesta
atau Pandactae yang kemudian dianggap sebagai suatu kodifikasi hukum.
Tujuan utama penyusunan kodifikasi tersebut ialah membuat suatu kitab yang berisi
gagasan hukum yang sistematis, jelas, tidak bertentangan, dan tidak repetitif. Justinian kemudian
memperkuat keberlakuan kompilasi atau kodifikasi hukum tersebut dengan berbagai aturan dan
larangan. Aturan pertama ialah kodifikasi hukum menjadi satu-satunya sumber hukum yang
dapat dirujuk. Dengan demikian, hakim dilarang merujuk pada suatu pendapat yang berasal dari
jurisconsults melainkan hanya kepada kodifikasi hukum. Kedua, Justinian melarang para
juriconsults untuk mengomentari dan mengkritisi kodifikasi hukum tersebut.
Pada masa revolusi tersebut, Perancis berhasil menyusun hukum yang dibuat sangat
lengkap, jelas, dan menggunakan bahasa sederhana. Selain itu, hukum juga dikumpulkan atau
dikodifikasi agar sistematis dan mudah dipahami oleh masyarakat umum. Upaya tersebut
merupakan salah satu cara untuk mengurangi peran pengacara (lawyer) sehingga rakyat dapat
menangani sendiri perkaranya ke pengadilan. Sedangkan di Prusia, peran pengacara masih
dibutuhkan untuk menginterpretasikan hukum terkodifikasi yang berisi 17.000 pasal. Upaya lain
yang dilakukan untuk kesuksesan revolusi adalah pembatasan peran hakim dalam membentuk
hukum. Pada masa revolusi, pemahaman pemisahan kekuasaan sedang berkembang. Pengadilan
hanya terbatas menyelesaikan perkara yang diperiksanya berdasarkan hukum yang ada dan
bukan membuat atau membentuk hukum baru. Hal tersebut dikarenakan masyarakat perancis
memiliki kepercayaan rendah terhadap pengadilan yang seringkali dikooptasi oleh raja pada era
sebelum revolusi. Penjajahan Belanda oleh Perancis membuat sistem hukum Belanda banyak
terpengaruhi oleh hukum Perancis pada zaman revolusi tersebut. Kondisi serupa juga terjadi di
Prusia sehingga 17.000 pasal yang terkodifikasi tersebut bertujuan agar hakim memiliki dasar
hukum yang lengkap dan memperkecil celah hakim membentuk hukum.
Pada perkembangannya, sengketa dan permasalahan hukum di masyarakat Perancis tidak
dapat seluruhnya diselesaikan dan dijawab oleh hukum tertulis sehingga kebutuhan untuk
interpretasi hukum semakin meningkat. Parlemen Perancis kemudian membentuk lembaga untuk
membatalkan interpretasi pengadilan yang tidak sesuai dengan maksud pembuat undang-undang
dalam hal ini yaitu parlemen. Lembaga tersebut merupakan representasi kewenangan parlemen
sehingga disebut sebagai Tribunal of Cassation. Lembaga ini kemudian dalam praktiknya juga
memberikan koreksi atas interpretasi hakim dalam putusan pengadilan sehingga berubah menjadi
lembaga yudisial dengan sebutan Court of Cassation.

B. Sejarah Hukum Perancis

Keberagaman Adat Istiadat (Pra-Revolusi)


Selama berabad-abad, Perancis memiliki adat kebiasaan yang beragam, karena terdiri
lebih dari 60 wilayah geografis yang terpisah, yang masing-masing memiliki peraturannya
sendiri-sendiri. Ketika Gaul menjadi bagian dari kekaisaran Romawi, hukum Romawi berlaku
diwilayah ini, tetapi, sepertinya seiring dengan berjalannya waktu, adat istiadat lokal tertentu
masih tetap bertahan. Diperancis jelas tidak common law pada periode awal romawi, baik yang
berhubungan dengan hukum privat secara komprehensif, maupun yang dikelola oleh kedaulatan
yang sah. Pada abad ke-14 M, yang menjadi sumber hukum Perancis adalah codes of gregorius
and hermogenius, institutes yang ditulis oleh Gaius serta perkataan-perkataan Paulus. Pada abad
ke-5 M, code of Theodosius telah dikompilasikan, tetapi pada saat ini, sebagian dari wilayah
Gaul telah dikuasai Perancis.
Meski kekaisaran Romawi barat mengalami kehancuran pada tahun 476 masehi, hukum
romawi tetap mampu bertahan (sebagai hukum bagi orang-orang dengan asal usul non-jermanik)
dinegara-negara jermanik yang berhasil mempertahankannya dan terus mempertahankannya
hingga abad ke-5 M, Khususnya dikerajaan-kerajaan bangsa Visigoth, Burgandia, dan Frank.
Faktor kunci yang berkontribusi terhadap kelangsungan eksistensi hukum Romawi adalah
pengundangan peraturan hukum Lex Romana Visigithorum, yang dikeluarkan oleh raja Visigoth,
Alaric II, yang terdiri atas ringkasan dari Leges dan jus , serta diantaranya juga terdapat
ringkasan dan ulasan yang diambil dari code of Theodisius.
Lex ini terdiri atas beberapa dokumen dan disebut sebagai constitutions yang berisi opini,
pengundangan dan keputusan yang telah diturunkan dari beberapa orang kaisar secara langsung.
Sedangkan jus terdiri atas beberapa tulisan dari para ahli hukum interpretasi mereka dan
perkembangan sumber-sumber hukum yang lebih tua, bahkan sampai yang berasal dari
pertengahan abad ke-3 M. Terminologi ini (lex dan jus) berasal dari abad ke-5 M, dan istilah ini
ada kaitannya dengan pembedaan yang dilakukan orang inggris antara undang-undang dan
common law.
Sistem Hukum Personal
Selama abad ke-16, bangsa Frank memegang kendali dan berkuasa atas seluruh negara
tersebut, tetapi bukannya menghilangkan hukum romawi dari wilayah romawi yang baru
dikuasai, mereka justru mengadopsi sistem hukum personal. Bangsa Frank, Visigoth, dan
Burgandia masing-masing menggunakan hukum mereka sendiri dan memperbolehkan hal-hal
yang berbau Romawi tetap hidup bersama mereka. Selama sekitar 500 tahun berada dalam
periode bangsa Frank ini, sumber hukum utama bagi wilayah Gaul yang ditaklukkan adalah lex
Romana Visigothorum. Sehigga dibagian selatan Perancis, hukum Romawi tetap bertahan, tidak
seperti yang terjadi dibagian utara perancis, dimana bangsa Frank memilih untuk menerapkan
hukum-hukum adat mereka sendiri yang memiliki originalitas Jermanik, yang dikemudian hari
dokonsolidasikan menjadi undang-undang.
Sistem Feodal
Pada abad ke-19, sistem hukum personal ini mulai terdisintegrasi, yang memberi
kesempatan pada lahirnya sistem feodal yang kemudian harus melalui perjuangan dalam
berhadapan dengan para hakim seignetural (tuan tanah feodal) setempat dan kemunculan
kekuasaan sentral seigneuralan. Sementara para tuan tanah eklesiastik dan mereka memiliki
jabatan digereja menikmati previlise yang amat luas, kelompok yang 'inferior' terhadap mereka
sangat menderita karena kehilangan kekuasaan dan previlise yang amat besar. Sebuah bentuk
hukum teritorialitas (Amos dan Walton 1967) kemudian mulai dikembangkan, dengan masing-
masing hukum yang berbeda untuk lokalitas berbeda, populasi dibagi kedalam beberapa kelas
masyarakat (bangsawan, kelas menengah dan budak) dengan staus hukumnya masing-masing.
kekuasaan gereja dengan apa yang disebut negara berkembang, yang terhadap hal ini Von
Mehren dan Gordley mengatakan: ''Yurisdiksi saling tumpang tindih. pengelolaan peradilan amat
sangat lamban, rumit dan mahal. Tak ada institusi yang memiliki yurisdiksi yang cukup umum
dan eksklusif yang bisa memberi kesempatan pada perkembangan kumpulan common law.
Dua zona geografis
Pada abad ke-13 inilah hukum perancis mulai menjadi hukum untuk dua zona geografis :
a) Wilayah droit ecrit (hukum tertulis) dibagian selatan; atau pays de droit ecrit.
b) Wilayah droit coutumier (hukum adat) dibagian utara; atau pays coutumes.
Di Proivinsi-provinsi bagian Selatan (Midi) adalah tempat bagi hukum tertulis di mana
peradaban dan hukum Romawi berjaya. Hukum Romawi adalah hukum yang digunakan di
negara tersebut maka, ketika Renaissance atau Kehidupan Kedua hukum Romawi berlangsung,
dan Corpus Juris dipelajari, penerimaan terhadap hukum tersebut lebih mudah diakses kemudian
diterima sebagai hukum praktis yang berlaku di wilayah tersebut. Di provinsi bagian utara,
berlaku adat-istiadat setempat yang berasal dari adat-istiadat Jermanik.
Di sejumlah provinsi di bagian utara, berlaku adat istiadat setempat yang berasal dari adat
istiadat jermanik. Wilayah ini lebih besar dari provinsi-provinsi di bagian Selatan, termasuk tiga
per lima bagian dari negara tersebut. Adat-istiadat mereka cukup beragam, ada yang diterapkan
pada seluruh provinsi atau teritori yang luas (coutume generale) yang berjumlah sekitar 60-an;
ada pula yang diterapkan hanya di sebuah kota atau desa (coutume locale) tertentu saja yang
berjumlah sekitar 300.
Tetapi, tak ada pemisahan yang sempurna karena pays de droit écrit, setidaknya pada
masa-masa sebelumnya, adalah adat-istiadat atau ke biasaan tertulis yang dipengaruhi oleh
hukum Romawi, yang mengandung unsur-unsur Jermanik. Pada akhirnya, semua adat-istiadat
lokal lainnya perlahan-lahan menghilang dan hukum romawi menjadi satu-satunya hukum yang
berlaku. Demikian juga di bagian Utara, meskipun coutume adalah common law, hukum kontrak
dan obligasi menggunakan hukum Romawi sebagai hukum suplementer apabila coutume tidak
mengatur tentang ini. Selain itu, hukum Romawi juga akan digunakan apabila custumes ternyata
ambigu atau tidak bisa mengatakan apa-apa di wilayah hukum lainnya. Dalam kedua zona
tersebut, masalah apa pun yang masuk ke dalam yurisdiksi Gereja, seperti pernikahan, diatur
oleh common law.

Periode Monarkis
Ada empat peristiwa penting yang terjadi antara periode 1500-1789. di mana dalam
kurun waktu tersebut, bahkan sampai pada akhir abad ke-15, kekuasaan kerajaan telah
dikonsolidasikan dan menjadi lebih dominan:
(a) kompilasi ejumlahi hukum adat;
(b) dikeluarkannya ordonansi kerajaan dan ordonansi agung:
(c) custom of Paris; dan
(d) Kemunculan suatu bentuk common law
Mengingat kebiasaan yang beragam, Charles VII memerintahkan untuk membuat
kompilasi dari seluruh hukum adat yang ada di dalam Ordonansinya, Montils-les Tour tahun
1453. Oleh sebab itu, pada akhir abad ke-16, sebagian besar Hukum adat Perancis telah diakui
secara resmi direduksi menjadi Hukum tertulis. Namun, keseragaman sama sekali belum
tercapai.
Selama abad ke-14 hingga 17, banyak ordonansi kerajaan yang telah dikeluarkan, yang
sebagian terkait dengan masalah administrasi atau prosedur perdata atau pidana, tetapi ini harus
dibedakan dari serangkaian ordonansi utama, seperti code of commerce (Huku Dagang) dan code
of civil procedur (Hukum Acara Perdata), yang merupakan kodifikasi dari sebuah cabang
hukum. Tetapi, ordonansi kerajaan ini pada akhirnya juga ikut mengatur hukum privat
substantif.
Figur-figur hukum utama di masa Louis XIV (1643-1715) adalah jean Babtiste Colbert
[1619-83) sang perdana menteri kerajaan, dan Guillame de Lamoignon (1617-77) yang
merupakan pemimpin Parle-n de Paris yang pertama, sebagai cabang yudisial dari pengadilan
raja. Pada 1665, atas saran Colbert, Louis membentuk sebuah komisi khusus, Conseil de Justice
yang terdiri atas para ahli hukum terkemuka dan para anggota Dewan Raja, yang meminta
memorandum dari Parlemen tingkat provinsi, dan para ahli hukum lainnya, mengusulkan
wilayah hukum yang harus diubah dan beberapa macam bentuk ganti rugi yang bisa dilakukan.
Para ahli hukum dalam komisi tersebut menyadari bahwa Lamoignon sudah membuat garis besar
untuk sebuah undang-undang.
Ordonansi tahun 1667 tentang Civil Procedur menjadi hasil kerja dari Komisi ini, yang
bertujuan untuk memberikan kodifikasi sistematik yang lengkap dan terperinci mengenai
prosedur perdata, tetapi kemudian ditemukan bahwa masih diperlukan maklumat suplementer.
Pada 1670, ordonansi lain mengenai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana pun dihasilkan
berkat kerja sama Parlemen tersebut selama masa-masa persiapan, yang banyak berhutang pada
rancangan yang dibuat oleh Lamoignon. Bukunya, vang menjabarkan sebuah skema tentang
suatu aturan tunggal yang didasarkan pada hukum adat, amat sangat berpengaruh, yang
digunakan oleh para ahli hukum pada abad ke-18 dan diandalkan oleh konselor Loius XV,
Daguwesseau [1668-1751) dalam kompilasi dan dalam mengeluarkan berbagai ordonansi
kerajaan yang benar-benar merupakan kumpulan undang-undang mini tentang donasi, wasiat dan
tanggung jawab. Ordonansi ini selanjutnya ikut dimasukkan ke dalam Civil Code.
Custom of Paris adalah sebuah kumpulan hukum yang dirumuskan oleh para hakim dari
berbagai sidang pengadilan, yang dikeluarkan oleh Parlemen de Paris yang telah menjadi
independen menjelang akhir abad ke-13. Sejumlah pengadilan provinsi (parlemen), telah
didirikan antara tahun 1443 dan 1775 yang mencakup wilayah yang luas; pengaruh ibu kota,
kelebihan-kelebihannya yang intrinsik dan kemasyuran para pengamat mereka saling berpadu
untuk memberikan hukum-hukum ini sebuah posisi yang sangat terhormat. Hukum-hukum ini
dianggap sebagai common law Perancis sejak para hakim menerapkan sejumlah besar kebiasaan
dan cenderung untuk mengembangkan peraturan-peraturan yang bersifat uniter.
Publikasi dari berbagai hukum adat tersebut membuatnya lebih mudah untuk diakses dan
menuntun ke sebuah studi yang lebih ter perinci terhadapnya. Prinsip-prinsip umum dipilah-pilah
dan diambil bagian tertentu yang dianggap sebagai siap untuk diaplikasikan seluruh Perancis.
Tetapi, Custom of Paris sungguh merupakan karya besar dari para ahli hukum seperti Dumoulin,
Coquille, Loysel d Pothier [1699-1772) sebagai orang-orang yang menjadi perancang teknis dari
undang-undang tersebut baik dalam hal materi maupun formatnya. Gaya Pothier yang elegan dan
jernih begitu mengesankan sehingga beberapa bagian dari undang-undang tersebut sungguh
hanya sekedar ringkasan dari pernyataannya.
Oleh sebab itu, terlepas dari keberagaman adat-istiadat, ordonansi kerajaan telah
menjalankan suatu upaya penyatuan dan ordonansi ordonansi ini secara umum berlaku efektif di
seluruh wilayah kerajaan Seperti yang terjadi pada hukum Inggris pada masa-masa awalnya
canon law juga memainkan peranannya dalam menyediakan sumber hukum umum dan, memang
memberi pengaruh pada cabang-cabang tertentu dari hukum Perancis, seperti cabang hukum
keluarga. Kombinasi dari semua faktor inilah yang telah menuntun kepada kemunculan hukum
Perancis dikenal secara umum, tetapi tak kalah penting- nya bagi kita untuk menyadari bahwa
'tradisi independensi lokal' tetap bisa mempertahankan kekuasaannya di provinsi (lihat Von
Mehren dan Gordley [19771, hal. 48). Setiap provinsi memandang hukum mereka sebagai
sebuah warisan yang dijamin oleh pakta yang menyatakan penggabungannya sebagia bagian dari
Perancis (Von Mehren dan Gordley [1977).
Periode revolusioner
Revolusi tahun 1789 mengakhiri rezim kuno atau periode hukum kuno, dan juga
menandai awal periode transisi yang biasanya disebut sebagai 'hukum intermedier. Reformasi
diarahkan pada bidang hukum publik dan hukum institusi politik. Struktur institusional lama
dihancurkan dan kekuatan politik dan mesin-mesin pemerintahan sekarang disentralisasikan di
mana keadaan seperti ini belum pernah terjadi di Perancis sebelumnya. Hukum-hukum feodal
dihapus, demikian juga previlise-previlise lama, semua orang Perancis dinyatakan memiliki hak
yang setara di muka hukum, usia 21 tahun dinyatakan sebagai usia kedewasaan, pernikahan
disekulerkan, perceraian diperkenankan, kebebasan individual dijamin dan perlindungan
terhadap hak kepemilikan privat dikuatkan.
Berbagai usaha kodifikasi telah dilakukan yang dimulai dengan pemungutan suara oleh
Majelis Konstituen pada 5 Juli 1790 di mana civil law akan ditinjau kembali dan diubah oleh
para legislator dan peraturan hukum-hukum umum akan dibuat sederhana, jelas dan sesuai
dengan konstitusi'. Oleh sebab itu, hasil kerja pertama dari Konstitusi tahun 1791, ditutup dengan
janji bahwa 'sebuah Code of civil law yang berlaku umum bagi seluruh kerajaan akan
ditegakkan'. Meskipun demikian, karya kodifikasi yang sesungguhnya baru dimulai melalui
Konvensi [1792-95). Sejumlah rancanganpun dirumuskan, sampai-sampai Napoleon menunjuk
sebuah komisi khusus yang terdiri dari empat orang untuk menyiapkan rumusan lainnya. Melalui
konsolidasi, moderasi dan kompromi', Napoleon, yang bekerja bersama sekelompok kecil
praktisi hukum, 'mentransformasikan hukum Revolusi menjadi sebuah sistem peraturan yang
dapat dijalankan' dan setelah melalui percekcokan politik dengan berbagai organ badan legislatif,
Civil Code tersebut akhirnya dijadikan undang-undang pada 1804.
Tugas dari Civil Code tersebut adalah 'untuk memperbaiki, dalam prespektif yang luas,
prinsip-prinsip umum dari hukum tersebut; merumuskan prinsip-prinsip yang mengandung
banyak konsekuensi dan agar tidak terjebak ke dalam rincian pertanyaan yang mungkin akan
muncul dalam masing-masing topik.
Civil Code ini menyajikan hukum dalam bahasa yang jelas, ringkas dan mudah dipahami,
yang ditujukan bagi seluruh warga negara Perancis umumnya. Ia merupakan sebuah karya baru
dalam bidang hukum substantif yang menggabungkan droitécrit dan coutumes, dan menciptakan
sebuah kesatuan hukum bagi seluruh wilayah negara tersebut. Para perancangnya menyatakan
bahwa KUH ini merupakan kumpulan peraturan civil law yang diturunkan dari hukum perancis
yang dipraktikkan di Perancis sebuah ius commune, sebuah hukum yang sudah dimodernisasikan
dari hukum Romawi. Akan tetapi, ia tidak sekedar meniru begitu saja hukum Romawi dan
sejumlah perbedaan yang jelas antara pendekatan yang terdapat dalam KUH ini dengan konsep-
konsep hukum tertentu, serta dengan berbagai interpretasi hukum Romawi sebelumnya.
Di dalam Discours Preliminairenya, Portalis menjelaskan tentang pemikiran dari
para perancang Kode ini :
(a) KUH haruslah lengkap dalam bidangnya;
(b) Ia harus dirancang dalam prinsip-prinsip yang relatif umum dan bukan dalam bentuk
peraturan-peraturan terperinci; dan
(c) Pada saat yang sama ia juga harus sesuai antara satu sama lain secara logis sebagai
keseluruhan pada pengalaman.
Namun, dalam praktiknya, belum memungkinkan untuk mentaati secara absolut semua
maksud dan tujuan ini. Pada tahun 1811, empat macam Hukum tambahan telah diberlakukan:
yaitu code of civil procedure (KUHAPer), code of commerce (Hukum Dagang), code of criminal
procedure (KUHAP), dan penal code (Hukum Pidana). Semua hukum ini secara bertahap
diamandemenkan atau diganti dengan provisi-provisi yang lebih modern dan saat ini, hanya civil
code saja yang sebagian besar isinya masih dalam kondisi yang sama seperti ketika pertama kali
diundangkan.
Tetapi, civil code ini juga telah diamandemenkan terkait dengan status, hukum keluarga,
hak kepemilikan dan masalah keamanan. Beberapa upaya telah dilakukan untuk menghasilkan
revisi yang lebih fundamental, tetapi revisi yang komprehensif belum pernah bisa terwujud.
Civil Code telah mendominasi provinsi-provinsi di Prusian Rhine selama 100 tahun, dan telah
ditiru oleh hukum-hukum yang dibuat di Belgia dan Luxemburg, sangat mempengaruhi hukum-
hukum di Italia, Spanyol, Portugis dan Belanda, demikian juga dengan Mesir, Amerika Selatan
dan Louisiana.

C. Organisasi Peradilan di Perancis


Perancis dipandang sebagai peradilan administrasi yang tepat ditinjau karena sejarahnya
yang panjang di dalam mengelaborasi peradilan tersebut serta pengalamannya di bidang praktek
peradilan melalui putusan-putusan (yurisprudensi), sehingga peradilan administrasi Perancis
sangat dikenal, dihargai dan berwibawa. Adapun dengan perjalanan panjang peradilan
administrasi ini maka terbentuk juga satu peradilan umum yang terdapat di beberapa bidang.

Di bawah ini adalah struktur organisasi peradilan administratif dan peradilan umum :
Dewan Konstitusi (Conseil Constitutioneel)
(tidak terhubung dengan aparat lainnya: hanya presiden, pemerintah dan anggota Parlemen dapat
menantang undang-undang di hadapan Dewan Konstitusi, bukan pengadilan, maupun warga
negara)
Pengadilan Sengketa (Tribunal des Conflicts)
(hanya bertugas untuk menuntaskan kasus antara Peradilan TUN dan Peradilan Umum jika
yurisdiksi diperdebatkan)
Peradilan TUN Peradilan Umum
( Jurisdictions administratives ) ( jurisdictions judiciaries )

- Dewan Negara (Conseil d’etat) - Mahkamah Agung / Pengadilan Kasasi


(Cour de Cassation)
- Pengadilan administratif permohonan - Pengadilan Permohonan Banding (Cours
banding (Courts administratives d’appel) d’appel)
- Pengadilan Sipil (Tribunaux de grande et
- Pengadilan Administratif (Tribunaux tribunal d’instance)
administratifs) - Pengadilan Komersial (tribunaux de
commerce)
- Pengadilan Tenaga Kerja (conseils de
prud’hommes) ... Dsb
Keterangan :
1. Dewan Konstitusi : Dewan Konstitusi adalah otoritas konstitusional tertinggi di Prancis.
Didirikan untuk memastikan bahwa prinsip dan aturan konstitusional ditegakkan.
2. Pengadilan Sengketa (Tribunal des Conflicts) : bertugas untuk memeriksa dan
memutuskan apabila terjadi sengketa yurisdiksi antara badan peradilan umum dan badan
Peradilan TUN.
3. Institusi Peradilan Tata Usaha Negara
 Dewan Negara (Conseil d’etat) : merupakan institusi seperti Dewan Pertimbangan
Agung di Indonesia dalam UUD 1945 (naskah asli), tetapi dengan kewenangan yang
amat luas baik di bidang administratif maupun peradilannya. Dewan Negara juga
berperan sebagai lembaga penasihat pemerintah dan sekaligus sebagai lembaga
peradilan tata usaha negara. Dan juga bertindak sebagai puncak pengadilan terhadap
sengketa di lingkungan peradilan tata usaha negara
 Pengadilan Administratif Permohonan Banding (Courts administratives d’appel) :
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (tingkat kedua)
 Pengadilan Administratif : Pengadilan tingkat pertama.
4. Institusi Peradilan Umum
 Mahkamah Agung / Pengadilan Kasasi (Cour de Cassation) : puncak pengadilan
umum (tingkat akhir ) serta sebagai puncak pengadilan terhadap sengketa di
lingkungan peradilan umum.
 Pengadilan Permohonan Banding (Cours d’appel) : Pengadilan Tinggi di lingkungan
Peradilan Umum.
 Pengadilan Sipil (Tribunaux de grande et tribunal d’instance) : Peradilan Tingkat
Pertama
 Pengadilan Komersial (tribunaux de commerce) : Peradilan Tingkat Pertama
 Pengadilan Tenaga Kerja (conseils de prud’hommes) : Peradilan Tingkat Pertama
 Dsb..

D. Mekanisme Gugatan di Pengadilan Administratif Perancis


Ranah peradilan administrasi Perancis meliputi kewenangan untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus sengketa antara warga negara dengan pemerintah oleh akibat pelaksanaan
wewenang warga negara dengan pemerintah oleh akibat pelaksanaan wewenang pemerintahan
yang didasarkan pada ketentuan hukum publik. jadi, semua sengketa administrasi dalam bidang
hukum publik antara warga negara dengan pemerintah dapat digugat oleh warga antara ke
peradilan administrasi di Perancis.
Dibawah ini struktur mekanisme peradilan adminsitratif Perancis :

recours en exces de Conseil D’etat recours en plein


pouvoir contentiuex

Banding (tingkatatan kedua)


Tribunal
Administratif
Tingkat Pertama

Illegalitas Illegalitas
ekstern intern

Sengketa Akta Administrasi bersifat


illegal

(Struktur piramida keatas)


Gambar.1

Di Perancis juga terdapat badan-badan Peradilan TUN yang bersifat khusus dengan
kompetensi/wewenang di bidang-bidang tertentu atau terbatas pada materi-materi tertentu.
Secara umum, lembaga-lembaga itu memiliki wewenang pemeriksaan di tingkat pertama dan
banding (appel) sedangkan kasasinya dilakukan kepada Conseil d’etat.

Sengketa Khusus

Badan Peradilan Tingkat Pertama dan


Khusus Banding
Conseil d’etat Kasasi

(Struktur piramida kebawah)


Gambar.2

Wewenang badan peradilan khusus tersebut misalnya menyangkut masalah-masalah :


1. Keuangan negara, yang diperiksa dan diputus oleh Cour des Comptes (semacam
Badan Pengawas Keuangan);
2. Pendidikan termasuk juga menyangkut persoalan universitas;
3. Pajak;
4. Jaminan sosial;
5. Bidang jabatan profesional seperti: dokter, advokat, arsitek, dan lain-lain.

Mekanisme Pengadilan Administratif Tingkat pertama (Tribunal Administratif)


Dimulai dengan pengajuan gugatan ke Peradilan TUN di Perancis didasari oleh akta
administratif yang bersangkutan bersifat illegal atau tidak berdasarkan hukum. Dalam sistem
Peradilan TUN di Perancis, illegalitas suatu akta administratif diklasifikasikan menjadi 2
kelompok, yaitu:
1. Illegalitas ekstern, yang penilaiannya meliputi penilaian tentang syarat formal untuk
sahnya suatu akta administratif (dari segi bentuk luarnya)
2. Illegalitas intern, yang penilaiannya meliputi penilaian tentang syarat material untuk
sahnya suatu akta administratif (dari segi substansi/isi akta administratif).
Pada intinya objek sengketa mempersoalkan tentang benar tidaknya, atau sah tidaknya
tindakan di bidang urusan pemerintahan yang didasarkan pada ketentuan hukum publik. Jika
dalam hal gugatan menyangkut pembatalan keputusan maka perlu alasan dan pertimbangan
hukumnya.
Pengadilan Administrasi Tingkat Banding (Cour d’appel)
Terkhusus untuk pengadilan administrasi tingkat banding hanya perkara-perkara yang
ditangani oleh 3 majelis hakim yang dapat diajukan banding. Perkara yang tidak dapat diajukan
banding ialah yang bersifat ringan dan yang hanya ditangani oleh hakim tunggal (ketentuan telah
diatur dalam UU yuridiksi materil pengadilan Perancis). Ciri khas dari pengadilan banding ini
memeriksa dan memutus perkaranya berdasarkan fakta dan bukti yang teerungkap di
persidangan.
Pada pengadilan sistem administrasi tingkat banding mengenal sistem kamar. Setiap kamar
ada 5 orang hakim dengan ketua kamar. Gugatan dan prosedur persidangan dilakukan secara
tertulis. Penggugat harus diwakili oleh penasehat hukum.
Gugatan pembatalan suatu keputusan (bechikking)
Adapun Sengketa yang dimohonkan banding di lembaga Conseil d’etat akan diputus yang
putusannya dibedakan atas 2 (dua) macam yaitu :
- Gugatan yang dimaksudkan untuk memohonkan pembatalan suatu keputusan tata usaha
negara (akta administratif), yang disebut sebagai gugatan pembatalan (recours en exces
de pouvoir);
- Gugatan yang disamping memohon pembatalan atas suatu produk keputusan tata usaha
negara, juga menuntut pembayaran ganti rugi kepada pemerintah atas tindakan hukum
pemerintah yang menimbulkan kerugian, yang disebut sebagai gugatan ganti rugi
(recours en plein contentiuex).
Pengadilan Conseil d’etat (tingkat terakhir)
Pengadilan administrasi Perancis berpuncak di Conseil d’etat. Pada prinsipnya
pemeriksaan terhadap sengketanya dilakukan oleh majelis hakim (terdiri 3 orang hakim).
Terhadap kasus-kasus yang urgent/ penting (memerlukan penanganan cepat karena keadaan
mendesak atau kasus-kasus tidak berat), diperiksa oleh hakim tunggal. Misalnya, untuk kasus
ringan yaitu menyangkut SIM. Untuk kasus yang memerlukan penanganan mendesak karena
dalam waktu 48 jam harus diambil keputusan yaitu kasus yang menyangkur deportasi.
Conseil d’etat ini mengadili kasus administratif publik tingkat terakhir dari segi penerapan
hukum lanjutan dari pengadilan banding atau karena beberapa kepentingan lebih darurat maka
bisa saja dari pengadilan pertama langsung diserahkan ke pengadilan terakhir. Untuk kasus-kasus
biasa maka diperlukan 3 hakim kecuali untuk kasus-kasus berat terdiri dari 13 hakim. Prosedur
beracara di Conseil d’etat dilakukan secara tertulis.

Kontrol sah tidaknya tindakan pemerintah


Syarat sah tidaknya gugatan atau pembatalan suatu keputusan yang didasarkan atas
illegalitas ekstern meliputi :
b. Tanpa kewenangan (kompetensi), yaitu akta administratif dikeluarkan oleh seorang
pejabat tata usaha negara yang tidak mempunyai kompetensi (kewenangan) sama sekali
untuk mengeluarkan akta administratif tersebut, atau kewenangan tersebut
sesungguhnya ada pada pejabat yang lain.
Kriteria tanpa kewenangan tersebut dapat dijelaskan atas 3 (tiga) bentuk yaitu :
1. Tanpa kewenangan yang bersifat materiil, seorang pejabat yang mengeluarkan suatu
akta administratif mengenai materi atau masalah yang secara substansi sebenarnya
materi atau masalah itu menjadi wewenang dari pejabat lainnya;
2. Tanpa kewenangan yang ditinjau dari segi wilayah atau tempat sehubungan dengan
wilayah yurisdiksi seharusnya akta administratif itu dapat dikeluarkan;
3. Tanpa kewenangan yang ditinjau dari segi waktu berlakunya atau dikeluarkannya
suatu akta administratif yang menyimpang dari waktu yang seharusnya diperhatikan;
c. Kekeliruan bentuk dan prosedur. Suatu akta administratif dikeluarkan secara
bertentangan dengan formalitas yang telah ditentukan sebelumnya dalam peraturan
dasarnya atau telah terjadi penyimpangan dari prosedur yang seharusnya diikuti dalam
penetapan.
Syarat sah tidaknya gugatan atau pembatalan suatu keputusan yang didasarkan atas
illegalitas intern meliputi :
1. Bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan hukum lainnya; Alasan ini
dipergunakan bila pejabat yang mengeluarkan keputusan administratif yang bersangkutan
tidak memperhatikan atau tidak bertindak sesuai dengan Undang-undang atau peraturan
hukum lainnya yang seharusnya menjadi dasar dikeluarkannya keputusan administratif
yang bersangkutan;
2. Adanya penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir).
Jika terdapat sengketa yang didasarkan pada akta administrasi yang bersifat illegal, maka
akan diperiksa dan diputus oleh lembaga Tribunal Administratif pada tingkat pertama.
Lembaga Tribunal Administratif merupakan Badan Peradilan Tata Usaha Negara di
tingkat pertama yang terdiri dari 25 Tribunal Administratif di seluruh wilayah Perancis.
Putusan-putusan di tingkat Tribunal Administratif, dapat dimohonkan banding (appel)
kepada Conseil d’etat yang berkedudukan hukum di Paris. Adapun lembaga Conseil
d’etat merupakan institusi seperti Dewan Pertimbangan Agung di Indonesia dalam UUD
1945 (naskah asli) yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi dalam struktur peradilan
TUN di Perancis. Lembaga ini memiliki kewenangan yang luas baik di bidang
administratif maupun peradilannya. Kesatuan yurisprudensi dalam Hukum Administrasi
Negara di Perancis diperoleh melalui arrest-arrest atau putusan-putusan Conseil d’etat
di bidang Peradilan TUN.

PENUTUP
Simpulan
Perancis menganut sistem civil law yang dimaknai beriorientasi pada administratif yaitu
UU atau konstitusnya. Perancis adalah penganut sistem tersebut yang dianggap paling panjang
sejarahnya dan paling banyak praktek penyelenggara peradilan administratifnya karena sistem
peradilan administratif Perancis menaungi semua kasus antara pemerintah dengan warga negara
serta hubungannya. Adapun struktur organisasi peradilan di Perancis terbagi 2 yaitu peradilan
administratif dan peradilan umum.
Peradilan admnistratif yang menjadi fokus materi inti ini dimulai dari sengketa masalah
yang aktanya dikontrol sebagai sah tidaknya keputusan yang digugat oleh pemerintah yang
kemudian penggugatan itu diadili pada tingkat pertama peradilan administratif. Dalam hal
pengontrolan sah tidaknya gugatan tersebut sangat diperlukan syarat sebagai syarat terpenuhinya
pemeriksaan kasus yang lebih detail. Salah satu pengontrolan gugatan tersebut ialah dari pihak
siapa yang memberi gugatan apakah yang telah berwenang mengeluarkan gugatan atau dari
pihak yang tidak berwenang?.
Tingkat kedua ialah peradilan banding yang dimana pada tingkatan peradilan ini hanya
kasus-kasus biasa saja yang diperiksa, tidak dapat untuk kasus ringan seperti dengan
penyelesaian 1 hakim saja. Tingkat ketiga atau puncaknya yaitu conseil d’etat dimana tingkatan
peradilan ini ketika banding tidak dapat menyelesaikan perakaranya atau meminta dewan negara
untuk membantu kasus tersebut dengan melaporkannya kepada pengadilan conseil d’etat.
Adapun di tingkatan terakhir bisa saja kasus dari tingkatan pertama langsung dibawa dan
diperiksa di tingkatan peradilan puncak dikarenakan jangka waktu tuntutan dan penyelesaian
kasus harus segera diselesaikan dan sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA
Djamali, RA. 2012. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mahkamah Agung RI. 2009. Kompetensi Peradilan Administrasi. Jakarta : Mahkamah Agung
RI.
Peter de, C. 1999. Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: Nusamedia.
Ramadhan, CR. 2018. “Konvergensi Civil Law dan Common Law di Indonesia dalam Penemuan
dan Pembentukan Hukum”. Mimbar Hukum. Vol 30, Kota Depok.

Tjandra R, W. 2013. “Perbandingan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara dan Conseil d’etat
sebagai Institusi Pengawas Tindakan Hukum Tata Usaha Negara”. Ius Quia Iustum. 30(3).
Hal 423-428. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai