Anda di halaman 1dari 2

Hukum Indonesia Ditinjau dari Prespektif Teori Hukum Represif, Hukum Otonom dan

Hukum Responsif Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick


(S.H.S Ulil Albab)

Hukum Represif
Hukum Represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan tata tertib
sosial yang represif. 

Ciri-ciri umum dari hukum represif :


a. Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan
negara dan tunduk kepada raison de’tat.
b. Perspektif resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan
kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
c. Badan-badan pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.

Hukum Otonom
Hukum otonom berorientasi mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom
merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu
hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar
hukum. 

Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah : 


a. hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta agar keadilan tidak
dapat dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonom.
b. Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik. 

Hukum Responsif
Hukum Resfonsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang
dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti
suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”. Konsep hukum responsif melihat
suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan
integritas. Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya
untuk mencakup keadilan substantif. 

Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah;


(a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan 
(b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.

Realitas Hukum di Indonesia


Hukum yang ada hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku, terlalu
menekankan pada aspek the legal system, tanpa melihat kaitan antara hukum dengan persoalan-
persoalan masyarakat yang harus ditangani. Di satu sisi, hukum identik dengan ketertiban sebagai
cermin pengaturan dari penguasa, tapi di sisi lain terdapat pemahaman hukum yang menekankan
aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal hukum semestinya tidak buta terhadap
konsekuensi sosial-politik yang ada dan tidak kebal terhadap berbagai pengaruh kepentingan.

Sebagai negara yang sudah merdeka selama 77 tahun, predikat negara yang terkorup hingga
hari ini masih melekat pada Indonesia. Meningkatnya angka kemiskinan di setiap tahun masih terus
membayangi, ditambah lagi dengan keburukan moral para elite politik yang kian korup dan
memprihatinkan, hingga berimplikasi pada pesimisme masyarakat terhadap supremasi hukum sebagai
garda depan sebuah bangsa.

Pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick secara garis besar mengupas tiga klasifikasi
dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum
represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi
integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respons terhadap
kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Dari ketiga klasifikasi tipe hukum itu, tipe hukum
responsiflah yang paling menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil di Indonesia.
Sehingga model pengembangannya (development model) dapat disusun ulang secara lebih fokus dan
kontekstual.

Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum.
Dalam tipe hukum ini, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri
khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat dalam peraturan dan kebijakan, karena pada
dasarnya teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini
berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.

Hukum responsif tidak hanya berorientasi pada rules, tapi juga logika-logika yang lain.
Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tapi penegakan hukum harus diperkaya
dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses
penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari
kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis.

Produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni
mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu
ataupun kelompok masyarakat, dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau
kehendak dari masyarakat. Artinya, produk hukum itu bukan kehendak dari penguasa untuk
melegitimasikan kekuasaannya.

Dalam model pengembangannya (developmental model), hukum responsif berupaya


memecahkan persoalan mendasar dalam membangun sistem politik-hukum, di mana tanpa adanya
sistem politik-hukum ini mustahil bagi perkembangan hukum dan politik untuk bergerak ke arah yang
lebih baik. Penerapan hukum responsif tidak terlepas dari integrasi yang dekat antara hukum dan
politik. Wujud dari integrasi yang sangat dekat ini adalah adanya subordinasi langsung dari institusi-
institusi hukum terhadap elite-elite yang berkuasa, baik di sektor publik maupun swasta.

Karena selama ini, disadari atau tidak, selain tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat,
keberadaan hukum juga menjadi ancaman bagi masyarakat. Pada kondisi inilah hukum responsif
mengisyaratkan bahwa penegakan hukum tidak dapat dilakukan setengah-setengah. Menjalankan
hukum tidak hanya menjalankan undang-undang, akan tetapi harus memiliki kepekaan sosial. Sudah
waktunya untuk para aparat penegak seharusnya Hukum Responsiflah yang dijadikan sebagi landasan
menciptakan keadilan sejati dari kenyataan-kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai