Hukum Represif
Hukum Represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan tata tertib
sosial yang represif.
Hukum Otonom
Hukum otonom berorientasi mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom
merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu
hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar
hukum.
Hukum Responsif
Hukum Resfonsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang
dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti
suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”. Konsep hukum responsif melihat
suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan
integritas. Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya
untuk mencakup keadilan substantif.
Sebagai negara yang sudah merdeka selama 77 tahun, predikat negara yang terkorup hingga
hari ini masih melekat pada Indonesia. Meningkatnya angka kemiskinan di setiap tahun masih terus
membayangi, ditambah lagi dengan keburukan moral para elite politik yang kian korup dan
memprihatinkan, hingga berimplikasi pada pesimisme masyarakat terhadap supremasi hukum sebagai
garda depan sebuah bangsa.
Pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick secara garis besar mengupas tiga klasifikasi
dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum
represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi
integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respons terhadap
kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Dari ketiga klasifikasi tipe hukum itu, tipe hukum
responsiflah yang paling menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil di Indonesia.
Sehingga model pengembangannya (development model) dapat disusun ulang secara lebih fokus dan
kontekstual.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum.
Dalam tipe hukum ini, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri
khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat dalam peraturan dan kebijakan, karena pada
dasarnya teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini
berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum responsif tidak hanya berorientasi pada rules, tapi juga logika-logika yang lain.
Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tapi penegakan hukum harus diperkaya
dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses
penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari
kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni
mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu
ataupun kelompok masyarakat, dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau
kehendak dari masyarakat. Artinya, produk hukum itu bukan kehendak dari penguasa untuk
melegitimasikan kekuasaannya.
Karena selama ini, disadari atau tidak, selain tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat,
keberadaan hukum juga menjadi ancaman bagi masyarakat. Pada kondisi inilah hukum responsif
mengisyaratkan bahwa penegakan hukum tidak dapat dilakukan setengah-setengah. Menjalankan
hukum tidak hanya menjalankan undang-undang, akan tetapi harus memiliki kepekaan sosial. Sudah
waktunya untuk para aparat penegak seharusnya Hukum Responsiflah yang dijadikan sebagi landasan
menciptakan keadilan sejati dari kenyataan-kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat.