Anda di halaman 1dari 11

UAS

PENGANTAR FILSAFAT HUKUM

Dosen : Made Sugi Hartono, S.H, M.H

OLEH:

NAMA : PUTU ANGGA PRAMUDIA PUTRA

NIM : 2014101067

KELAS : 3C

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAN

FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2021
HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEADILAN

1. Latar Belakang

Hukum dan keadilan sangatlah erat dalam kaitan hubungan, sebab keadilan
diciptakan karena adanya hukum. Indonesa sejak berdiri tahun 1945 adalah negara yang
berasaskan pada hukum. Dengan dasar Pancasila, hukum dikembangkan sesuai
kepribadian bangsa. Dalam hal ini Undang- Undang Dasar sebagai tempat bermuaranya
segala aturan hukum di Indonesia. Dalam berbagai penanganan kasus hukum yang terjadi
di tanah air, tidak jarang ditemukan putusan-putusan hukum yang dirasa janggal dan
dianggap mengabaikan nilai-nilai keadilan yang semestinya dirasakan oleh masyarakat dan
terima oleh pencari keadilan. Tidak mengherankan dalam praktek penegakan hukum yang
terjadi acap kali dijumpai ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat dan para pencari
keadilan terhadap kinerja peradilan yang dianggap tidak objektif, kurang menjaga
integritas, dan bahkan kurang profesional. Peradilan yang berupa putusan hakim sering
dianggap kontroversial, cenderung tidak dapat diterima oleh kalangan luas hukum serta
tidak sejalan dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hukum
diharapkan dapat memberikan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya, namun keadilan
seolah menjadi “barang mahal” yang jauh dari jangkauan masyarakat.

Hukum dan keadilan laksana dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, karena
sejatinya di mana ada hukum di situlah diharapkan muncul keadilan. Sebaliknya pula jika
keadilan sudah dirasakan di tengah-tengah kehidupan masyarakat maka sama maknanya
hukum sudah ditegakkan. Akan tetapi kenyataan di lapangan kadangkala berbicara lain,
sebab acapkali hukum tidak berpihak kepada keadilan bahkan menyalahi keadilan dan tak
jarang sesuatu yang dinyatakan telah sesuai dengan hukum (baca: peraturan perundang-
undangan) ternyata masih dirasakan melukai rasa keadilan masyarakat tempat di mana
hukum tersebut di berlakukan. Secara bahasa (menurut KBBI), hukum mengandung makna
yang beragam, di antaranya; (1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat,
yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; (2) undang-undang, peraturan dan
sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan)
mengenai peristiwa (alam dsb) yang tertentu; (4) keputusan (pertimbangan) yang
ditetapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis. Dalam istilah hukum itu sendiri, secara
sederhana di kalangan umum hukum dimaknai sebagai seperangkat aturan atau norma yang
berlaku pada suatu masyarakat yang bersifat mengatur, mengikat dan memaksa yang dibuat
oleh otoritas yang berkuasa sesuai sistem yang berlaku dengan tujuan untuk mencapai
keadilan dan kesejahteraan orang banyak dengan hak dan kedudukan yang setara tanpa ada
perbedaan status. Singkatnya, hukum adalah alat yang digunakan untuk mencapai
keadilan.

Keadilan berasal dari kata adil yang menurut KKBI bermakna sama berat, tidak
berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran,
sepatutnya dan tidak sewenang-wenang. Jadi keadilan dipahami sebagai perilaku atau
perbuatan yang dalam pelaksanaannya memberikan kepada pihak lain sesuatu yang
semestinya harus diterima oleh pihak lain. Jadi, dalam pengertian adil termasuk di
dalamnya tidak terdapat kesewenang-wenangan, lalu orang yang bertindak sewenang-
wenang berarti bertindak tidak adil. Frans Magnis Suseno dalam bukunya Etika Politik
menyatakan bahwa keadilan sebagai suatu keadaan di mana orang dalam situasi yang sama
diperlakukan secara sama. Bagi sebagaian orang keadilan terkadang tidak adil, Bukankah
adanya pemidanaan idealnya untuk memenuhi unsur penghukuman (detterence), tebusan
(retribution) dan kemaslahatan (education).

Di Indonesia sudah teranjur menerapkan hukuman penjara, sesingkat dan selama


apapun itu hanya akan menghabiskan anggaran negara semata yang kadangkala tidak
membekaskan ketiga unsur tersebut. Lalu untuk Indonesia yang sudah terlanjur
memberlakukan hukum dan sistem hukum yang tidak adil seperti ini, maka diperlukan
adanya para penegak hukum (baca: polisi, jaksa, pengacara dan hakim) yang bukan hanya
menjadi corong undang-undang semata, melainkan juga punya keberanian untuk dapat
menerobos belenggu undang-undang tersebut sepanjang sesuai dengan nurani dan nilai
keadilan yang diyakininya serta citarasa keadilan dalam masyarakat. Dengan cara seperti
ini paling tidak dapat menutupi kelemahan sistem hukum yang telah ada manakala terpaksa
berbenturan kasus yang katakanlah luar biasa dan menarik perhatian masyarakat.
Selanjutnya untuk Indonesia yang sudah terlanjur memberlakukan hukum dan sistem
hukum yang tidak adil seperti ini, maka diperlukan adanya para penegak hukum (baca:
polisi, jaksa, pengacara dan hakim) yang bukan hanya menjadi corong undang-undang
semata, melainkan juga punya keberanian untuk dapat menerobos belenggu undang-
undang tersebut sepanjang sesuai dengan nurani dan nilai keadilan yang diyakininya serta
citarasa keadilan dalam masyarakat.

Dengan cara seperti ini paling tidak dapat menutupi kelemahan sistem hukum yang
telah ada manakala terpaksa berbenturan kasus yang katakanlah luar biasa dan menarik
perhatian masyarakat. Selain itu, kiranya sudah saatnya sistem dan materi hukum pidana
yang ada saat ini ditinjau ulang mengingat sepertinya sistem ini nyaris tidak mempunyai
perbedaan yang menyolok jika dibandingkan dengan apa yang berlaku di zaman Kolonial
Belanda dahulu, padahal Indonesia sudah 67 merdeka. Untuk melakukan upaya tersebut
perlu langkah berani dan cerdas dengan memperhatikan aspirasi dari setiap komponen
masyarakat yang ada dan bukan hanya menyesuaikan dengan selera segolongan orang yang
berkuasa semata. Dengan demikian barulah Indonesia dapat dikatakan merdeka.

2. Rumusan Masalah
a) Seberapa penting moralitas aparat, bagi terciptanya hukum yang baik dalam
mencapai keadilan?
b) Apakah solusi yang dapat digunakan dalam penegakan keadilan di lingkup aparat
hukum?
c) Seberapa penting penanaman moralitas aparat hukum dalam lingkup keadilan
hukum?
d) Bagaimana peran keadilan hukum dalam peningkatan superioritas hukum?
3. Tujuan Penelitian
a) Untuk mengetahui Seberapa penting moralitas aparat, bagi terciptanya hukum
yang baik dalam mencapai keadilan
b) Agar mengetahui solusi yang dapat digunakan dalam penegakan keadilan di
lingkup aparat hokum
c) Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum
PEMBAHASAN

I. Pentingnya Moralitas Aparat, Bagi Terciptanya Hukum Yang Baik Dalam


Mencapai Keadilan

Pentingnya moralitas aparat, bagi terciptanya hukum yang baik dalam mencapai
keadilan di Kehidupan sosial masyarakat tidak akan pernah terlepas dari relasi satu sama
lain. Di sinilah sistem hukum bekerja. Sistem hukum, bertanggung jawab menjamin
dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang timbul dalam kehidupan sosial. Dalam
hal ini masyarakat “minimal” menjalankan apa yang diperintahkan oleh hukum dan
meninggalkan larangan-larangan hukum. Inilah yang penulis maksud dari hukum sebagai
jaring terluar. Sebenarnya, kalau kita dapat memenuhi standar minimal ini saja, keadilan
sudah bisa tercipta. Namun yang terjadi tidak demikian. Jaring terluar ini sering dilanggar
dengan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum, yang menimbulkan
“kekacauan” dalam sistem sosial yang ada. Lebih parah lagi, para pelanggar hukum sering
berlindung dibalik teks-teks hukum dengan “mengutak-atik” dan mencari celah dalam
aturan hokum. Dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum
kita telah berkembang menjadi begitu kompleks. Keadilan menjadi sesuatu yang langka
dan sulit ditemukan. Kalaulah ada, harus dibeli dengan harga yang cukup mahal. Maka
tidak heran yang dapat menikmati keadilan di negara hukum ini hanyalah segelintir orang,
yaitu orang-orang yang mempunyai cukup uang untuk membelinya. Hukum sebagai
perangkat untuk menciptakan keadilan hanya berdasarkan fakta yang tampak dan dapat
dibuktikan secara empiris. Adapun hal yang tidak dapat dilihat dan tidak empiris maka
tidak menjadi obyek dan perangkat untuk mengukur keadilan dalam hukum.

Masalah-masalah hukum dan keadilan di negara kita hanya sekedar masalah teknis-
prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan
peraturan perundang-undangan. Apabila suatu tindakan yang secara empiris dapat
dibuktikan tidak melanggar hukum, maka ia akan dinyatakan tidak melanggar hukum dan
terbebas dari hukuman, meskipun tindakan itu tidak benar, apalagi baik. Dan sebaliknya,
apabila ada seseorang melakukan tindakan yang secara empiris dapat dibuktikan bahwa
tindakan tersebut melanggar hukum maka ia harus dihukum, meskipun tindakan itu baik
dan benar. Hal ini dapat dimengerti, karena hukum memang hanya menjadi sarana atau
perangkat untuk mewujudkan keadilan. Sebuah perangkat memang harus jelas dan dapat
dinilai serta berlandaskan fakta empiris. Sebagai konsekuensinya, produk-produk yang
dihasilkan oleh proses hukum adalah sesuatu yang jelas pula. Ukuran kebenaran yang
menjadi landasan hukum sebagai perangkat formal juga hanya berdasarkan hal-hal yang
empiris pula. Jadi keadilan yang dapat diwujudkan oleh hukum hanyalah keadilan, atau
bahkan hanya kebenaran legal formal yang jauh dari nilai-nilai keadilan. Keadilan legal
formal tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan ideal moral yang pada
dasarnya “keadilan tertinggi” yang dikehendaki oleh masyarakat; keadilan yang sesuai
dengan hati nurani. Berdasarkan pemaparan di atas, tampaknya keadilan ini tidak dapat
tercipta hanya mengandalkan sistem kerja perangkat legal formal hukum semata. Oleh
kerena itu unsur moral harus benar-benar diterapkan dalam proses hukum kita, agar
keadilan yang dikehendaki oleh nurani masyarakat benar-benar terwujud.

Merujuk pada filsuf Yunani, Aristoteles, yang cenderung menggunakan etika untuk
menunjukkan filsafat moral, menjelaskan bahwa fakta moral tentang nilai dan norma
moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati (Kanter 2001). Moral mengacu pada
baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia
hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Jadi manusia dituntut untuk
bertindak berdasarkan pada suara hati nuraninya. Berangkat dari pemaparan di atas, para
penegak hukum hendaknya menjalankan fungsinya berdasarkan pada dua hal; pertama,
berlandaskan pada “aturan main” yang telah berlaku. Pada dasarnya apabila ini sudah
terpenuhi setidaknya rasa keadilan dapat terwujud, meskipun mungkin tidak maksimal,
karena peraturan dapat dipelintir dan direkayasa. Kedua, berpegang teguh pada suara hati
nurani. Aturan-aturan hukum yang ada harus dikawal dengan moral yang bersumber dari
hati nurani. Apabila unsur moral ini dapat terpenuhi maka rasa keadilan yang hakiki akan
dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat. Karena hati nurani tidak akan pernah
berdusta, apalagi berhianat.

II. Solusi Yang Dapat Digunakan Dalam Penegakan Keadilan Di Lingkup Aparat
Hukum
Kondisi penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia saat ini sedang
mengalami krisis dan “sakit”. Fenomena ini terjadi karena aparat penegak hukum yang
merupakan elemen penting dalam proses penegakkan hukum sering kali terlibat dalam
berbagai macam kasus pidana, terutama kasus korupsi. Implikasi nyata dari kondisi ini
adalah hukum kehilangan ruhnya yakni keadilan.
Oleh karenanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini hukum ibarat sebuah
pisau yang sangat tajam jika digunakan ke bawah namun sangat tumpul jika digunakan ke
atas. Syafi’i ma’arif menyatakan, jika fenomena ini tidak segera diatasi dan disembuhkan
maka dalam jangka panjang akan mengakibatkan lumpuhnya penegakkan hukum di
Indonesia.Fenomena tersebut belum banyak direspon secara khusus oleh institusi
pendidikan hukum di Indonesia. Oleh karenanya sebagai upaya menyehatkan proses
penegakkan hukum, Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII
mengadakan Focus Group Discusion (FGD) pada hari Sabtu 28 Januari 2012 yang
dimoderatori oleh Prof. Jawahir Thontowi. SH., Ph.D, di Ruang Audio Visual Kampus FH
UII Taman siswa Yogyakarta. Dalam acara tersebut, CLDS FH UII menghadirkan 2
pembicara, dari kalangan akademisi hukum (Dr. Mudzakkir, SH., MH) dan praktisi hukum
(Wirawan Adnan. SH) yang telah mengemukakan beberapa gagasannya terkait penyehatan
penegakkan hukum di Indonesia demi mewujudkan keadilan.Dr. Mudzakkir, SH., MH
selaku pembicara pertama mengemukakan dalam perjalanannya dari masa ke masa, hukum
tidak diorientasikan pada upaya mewujudkan keadilan.
Hukum cenderung digunakan sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan-
kepentingan oleh penguasa negara. Pada masa kolonialisme, hukum dijadikan alat untuk
menjajah warga pribumi. Pada masa Presiden Soekarno hukum dijadikan alat revolusi.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto hukum dijadikan alat pembangunan. Adapun
pada masa reformasi sampai sekarang hukum dijadikan alat kekuasaan (politik). Hal ini
yang menjadi salah satu faktor penyabab “sakitnya” penegakkan hukum di Indonesia.
Hukum tidak diorientasikan sebagaimana seharusnya yakni mewujudkan keadilan, namun
dijadikan alat untuk mencapai tujuan oleh para penguasa Negara.Wirawan Adnan SH
(praktisi hukum) selaku pembicara kedua mengemukakan ada beberapa penyakit dalam
penegakan hukum yang menyebabkan sakitnya penegakkan hukum di Indonesia. Pertama,
penegak hukum menegakkan hukum sesuai dengan hukum namun tidak mewujudkan
keadilan. Hal ini sering terjadi dalam suatu persidangan yang menangani kasus pidana.
Contoh dari penyakit ini adalah kasus pencurian sandal jepit yang terjadi beberapa waktu
yang lalu. Kedua, penegak hukum menegakkan keadilan tanpa melandasinya dengan suatu
hukum. Hukum dan keadilan seharusnya berjalan seiringan. Penegak hukum perlu
menegakkan hukum namun juga penting memperhatikan sisi keadilan. Demikian juga
penegak hukum perlu menegakkan keadilan namun juga harus mendasarkannya pada suatu
aturan hukum.
III. Penting Penanaman Moralitas Aparat Hukum Dalam Lingkup Keadilan Hukum
Hukum dan keadilan adalah hal yang seharusnya tidak boleh terpisahkan, dimana
Dalam banyak literatur dikemukakan bahwa tujuan hukum atau cita hukum tidak lain
daripada keadilan. Gustav Radbruch, di antaranya menyatakan bahwa cita hukum tidak
lain daripada keadilan. Selanjutnya ia menyatakan “Est autem jus a justitia, sicut a matre
sua ergo prius fuit justitia quam jus”, yang diterjemahkan: “Akan tetapi hukum berasal dari
keadilan seperti lahir dari kandungan ibunya, oleh karena itu keadilan telah ada sebelum
adanya hukum.” Menurut Ulpianus, Justitia est perpetua et constans voluntas jus suum
cuique tribuendi, yang diterjemahkan secara bebas, keadilan adalah suatu keinginan yang
terus-menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya.
Menurut Thomas Aquianas, hukum terutama berkaitan dengan kewajiban yang
diletakkan oleh nalar. Hukum meliputi kekuasaan, dan kekuasaan inilah yang memberikan
kewajiban. Akan tetapi di belakang kekuasaan inilah berdiri nalar. Penguasa melalui
hukum positif dapat memberi perintah yang bukan-bukan atau memaksa orang melakukan
perbuatan yang tidak benar, tetapi hukum positif tersebut bekerja tidak sesuai dengan
hakikat alamiah hukum. Hukum alam ditentukan oleh nalar manusia. Mengingat Allah
menciptakan segala sesuatu, hakikat alamiah manusia dan hukum alam paling tepat
dipahami sebagai produk kebijaksanaan atau pikiran Allah.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas adalah pandangan
Lon L. Fuller. Oleh Fuller dikatakan bahwa masalah moralitas merupakan bagian dari
hukum alam. Hanya saja aturan-aturan itu tetap membumi. Memang kata moral sering
dikaitkan dengan keadaan batin seseorang, seperti budi pekerta luhur, keramahtamahan,
atau ketaatan dalam menjalankan kewajiban agama dan semu sikap yang mempunyai
kemaslahatan semua orang dan diri sendiri. Tidak berzina, tidak suka memfitnah, tidak
berkata-kata dusta, suka memberi, bermurah hati dan suka menolong dalam kesesakan
adalah tindakan-tindakan moral. Akan tetapi sikap semacam itu adalah ideal. Hukum tidak
mampu menjangkau hal-hal semacam itu. Hukum bukan suatu lembaga untuk membuat
seseorang menjadi bersifat malaikat. Namun hukum dapat menjaga kehidupan masyarakat
dari gangguan tindakan manusia yang berhati setan. Hukum diciptakan untuk menjaga
fungsi eksistensial kehidupan bermasyarakat dari tindakan manusia atau sekelompok
manusia lain yang berusaha merusak eksistensi itu. Oleh karena itulah moral dalam hal ini
merupakan sesuatu yang bersifat operasional.
IV. Peran Keadilan Hukum Dalam Peningkatan Superioritas Hukum
Peran keadilan hukum dalam peningkatan superioritas hukum sangat besar
pengaruhnya, dimana hukum cita hukum itu sendiri merupakan keadilan, seperti yang
sudah dijelaskan pada " pentingnya penanaman moralitas dalam lingkup keadilan hukum,
jika penerapan hukum telah sejalan dengan baik dengan keadilan, maka secara tidak
langsung akan meningkatkan superioritas suatu hukum, diamana superioritas hukum
merupakan: Superioritas hukum adalah keunggulan, atau kelebihan dari hukum (Jhon M.
Echols dan Hassan Shadily, 1976: 569) . Hukum mesti menunjukkan superioritas atau
keunggulan dalam menegakkan setiap kasus hukum, sehingga memunculkan pengakuan
umum oleh masyarakat bahwa hukum memang sungguh-sungguh kredibel (dapat
dipercaya) dan melindungi kepentingan semua pihak. Hukum hadir sebagai pengayom
kepentingan dan juga rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh karena itu, hukum tidak bisa
diskriminatif sebab hal itu akan melemahkan hukum dan menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat.
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian panjang lebar pada bagian analisis hasil penelitian, penulis dapat
menyimpulkan beberapa hal yang menjadi poin penting dari tesis tersebut, yakni sebagai berikut:

1) Moralitas aparat penegak hukum sangat urgen dibutuhkan dalam penegakan hukum
sebagai upaya mencapai keadilan, sebab hukum akan menjadi semakin baik kalau
dijalankan oleh aparat yang bermoral tinggi. Hukum pada hakekatnya tidak dapat
dipisahkan dari aspek moralitas, sebab aspek moralitas membuat hukum semakin superior
dan kredibel sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan hukum termasuk mencapai
keadilan. Memisahkan moral dari hukum berarti memisahkan kendaraan dari pengemudi.
Hukum tidak mungkin dapat berjalan tanpa sang pengemudi yang baik yang mampu
menjalankan kendaraan (baca: hukum) tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan yang
dikehendaki oleh semua pihak. Oleh karena itu, hukum secara substansial mesti
mengandung keadilan dan moralitas, selain karena kandungan isi hukumnya yang bermoral
juga karena aparat yang menjalankan hukum tersebut memiliki integritas moral yang tinggi
dan otentik.
2) Untuk memperbaiki atau memulihkan moralitas aparat penegak hukum dibutuhkan
pelatihan-pelatihan yang sifatnya meningkatkan profesionalitas aparat penegak hukum.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah kegiatan-kegiatan rohani dengan menghadirkan
pemimpin-pemimpin agama sebagai pemberi wejangan atau ceramah kerohanian yang
bersifat menegaskan dan mengingatkan

SARAN

Berdasarkan pergumulan penulis dalam merangkai analisis tesis ini, maka penulis
merekomendasikan beberapa hal berikut:

1) Bagi lembaga pendidikan hukum, agar dapat mendidik para mahasiswa hukum dengan
sikap yang baik karena keteladanan merupakan salah satu cara untuk menanamkan
moralitas yang baik.
2) Sistem rekrutmen untuk menjadi aparat penegak hukum harus dilakukan dengan objektif
dan sungguh-sungguh tanpa ada suap-menyuap. Sistem rekrutmen yang baik, akan
melahirkan aparat penegak hukum yang kredibel dan memiliki integritas kepribadian serta
moral yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.jambi-independent.co.id/read/2021/11/12/17691/hubungan-hukum-dengan-
keadilan

https://fis.uii.ac.id/blog/2007/08/03/mengawal-penegakan-hukum-dengan-moral/

https://law.uii.ac.id/blog/2012/02/28/mencari-solusi-atas-krisis-penegakan-hukum-
indonesia-dg-penyehatan-penegakan-hukum-berkeadilan/

https://www.researchgate.net/project/Hubungan-Hukum-dan-Moral

Anda mungkin juga menyukai