Anda di halaman 1dari 17

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA

PENYIMPANGAN SEKSUAL TERHADAP MAYAT (NECROPHILIA)


DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Oleh :
FINA FEBRIANA (B012231020)
GEBBRILLA (B012231089)
NURHIDAYAH HAMZAH (B012231043)
ULFA SRI ASTURI (B012231029)
ZALYA DWI AHZANA (B012231067)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................................2

BAB I.......................................................................................................................3

PENDAHULUAN...................................................................................................3

A. Latar Belakang................................................................................................3

B. Rumusan Masalah..........................................................................................6

C. Tujuan Penelitian............................................................................................6

D. Manfaat Penelitian..........................................................................................6

E. Landasan Teoritis............................................................................................7

BAB II...................................................................................................................11

TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................11

A. Pertanggungjawaban Pidana.......................................................................11

B. Pelaku Kejahatan..........................................................................................12

C. Necrophilia ……………………………………………………………....... 13

D. Hukum Positif...............................................................................................13

BAB III..................................................................................................................14

METODE PENELITIAN....................................................................................14

A. Tipe dan pendekatan penelitian..................................................................14

B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum...............................................................14

C. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum.........................................................15

D. Analisa Bahan Hukum.................................................................................15


DAFTAR PUSTAKA ……………………...…………………………………... 17
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hukum pada dasarnya berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap

kepentingan manusia, sehingga hukum harus dijunjung tinggi dalam rangka

menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, aman, dan damai. Hal tersebut juga

berdasar sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi pada pada Pasal 1 ayat

(3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni

menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga merupakan

kewajiban bagi negara untuk menjamin setiap warga negara sama dihadapan

hukum dengan tanpa pengecualian. Hukum sebagai norma mempunyai ciri

kekhasan khusus yaitu hendak melindungi, mengatur, dan memberikan

keseimbangan dalam menjaga kepentingan umum.1

Penyimpangan seksual terhadap mayat (Necrophilia) adalah penyakit

(kelainan) berupa tertarik secara seksual untuk menyetubuhi mayat, orang yang

berhubungan seks dengan mayat, dan rasa tertarik yang abnormal terhadap mayat.

Necrophilia biasa disebut juga dengan thanatophilia atau necrolagnia. Itu

merupakan kelainan hasrat dalam tubuh manusia karena tertarik untuk bercinta

dengan tubuh orang meninggal.2 Pertama kali, istilah itu muncul sekitar tahun

1850 dalam studi keilmuan. Menurut sejarah, yang pertama memunculkannya

adalah Joseph Guislain, seorang ahli kejiwaan asal Belgia. Penyebabnya beragam,

dan kebanyakan dialami mereka yang trauma terhadap hal tertentu. Beberapa

1
Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi (Raja Grafindo Prasada
1984), hlm. 3.
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia diakses pada 18 september 2023.
kondisi ini juga memengaruhi: takut ditolak pasangan, menginginkan pasangan

yang tak bisa menolaknya, atau kekhawatiran untuk meninggal dunia.3

Penyimpangan seksual necrophilia dibagi menjadi beberapa jenis oleh

para ahli. Misalnya, menurut Drs. Jonathan Rosman dan Phillip Resnick, yang

membagi necrophilia ke dalam tiga jenis dasar, yaitu:

1. Necrophilia Homicide. Dengan sengaja melakukan pembunuhan untuk

mendapatkan akses ke mayat yang ingin disetubuhi.

2. Regular Necrophilia. Mengambil mayat (bisa dengan menggali kuburan

atau mengakses kamar jenazah) untuk menyalurkan hasrat seksualnya.

3. Necrophilia Fantasy. Memiliki ketertarikan seksual terhadap mayat, tapi

baru terbatas pada fantasi saja.4

Terhadap pelaku kejahatan penyimpangan terhadap mayat tidak dapat

dijatuhi pemidanaan, karena belum ada aturan yang mengatur hal tersebut.

Mengingat hukum pidana masih mengacu kepada ketentuan umum hukum pidana

sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP yang didalamnya mengatur mengenai

tentang Asas legalitas (principle of legality) atau biasa dikenal dalam bahasa

Latin sebagai “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege” yang artinya

tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. 5 Sehingga

konsekuensi akan hal tersebut terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan

sesama jenis tidak dapat dikenai dengan pasal Persetubuhan dengan kekerasan

sebagaimana diatur dalam KUHP.

3
M. Farakhan Maghriby Abdullah, “Aspek Hukum Pidana Terhadap Pelaku
Persetubuhan Terhadap Mayat di Indonesia”, Jurist-Diction Vol. 5 No. 3 2022, hlm. 850.
4
https://www.logosconsulting.co.id/media/jenis-jenis-necrophilia-penyimpangan-seksual-
terhadap-mayat/ , diakses pada tanggal 18 September 2023.
5
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-tujuh (Rineka Cipta), hlm. 23.
Kata perkosaan berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri,

memaksa, merampas, atau membawa pergi. Pemerkosaan adalah sebuah tindakan

‘memaksa’ manusia lain untuk mau berhubungan seksual dengan ditandai oleh

penetrasi vagina dengan penis secara paksa atau dengan kekerasan. Dalam kamus

besar bahasa Indonesia, perkosaan berasal dari kata perkosaan yang berarti

menggagahi atau melanggar dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan

sebagai proses, cara, perbuatan perkosa atau melanggar dengan kekerasan.6

Pelaku Necrophilia memang tidak diatur jelas dalam KUHP tetapi ada

ancaman pidana terhadap orang yang melakukan mutilasi atau pemerkosaan

terhadap mayat tanpa didahului oleh perbuatan lain yang dilarang dalam KUHP.

Seperti untuk kasus mutilasi, dapat dipidana jika diawali dengan kejahatan

pembunuhan terhadap mayat atau melakukan pembongkaran kuburan mayat

sebagaimana diatur dalam Pasal 180 KUHP, Untuk kasus pemerkosaan, Pasal 286

KUHP memang menyinggung ancaman pidana jika ditujukan terhadap orang yang

tidak berdaya, namun tak secara jelas menyebut bukan terhadap orang yang sudah

meninggal. KUHP memang belum mengatur soal pemerkosaan terhadap mayat

namun dalam rumusan Pasal 290 RUU KUHP Hasil Per 28 Juni 2018 mulai

mengatur larangan mengambil barang yang ada pada jenazah, menggali,

membongkar, mengangkut atau memperlakukan jenazah secara tidak beradab

akan dikenakan pidana selama dua tahun penjara atau denda. Sehingga untuk

kasus pemerkosaan terhadap mayat dalam RUU KUHP dapat disimpulkan sebagai

memperlakukan jenazah secara tidak beradab.

6
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Gitamedia Press), hlm. 453
Seperti yang terjadi pada pemuda 19 tahun asal Mojokerto yang nekat

memerkosa mayat siswi SMP sebanyak dua kali setelah nyawanya dihabisi oleh

teman satu kelasnya. Kondisi demikianlah yang apabila dibiarkan berlarut-larut

akan berimplikasi negatif bagi moralitas umat serta meruntuhkan sendi-sendi

agama. Sangat diharapkan regulasi mengenai penyimpangan seksual kedepannya

haruslah lebih komprehensif, serta relevan dengan kepentingan masyarakat dan

tentunya dapat menjaga dan melindungi seluruh kepentingan, baik itu kepentingan

yang bersifat horizontal (Manusia dengan Manusia) maupun yang bersifat vertikal

(Manusia dengan Tuhan). Hal ini lah yang melatar belakangi, bahwa harus adanya

suatu peraturan yang jelas mengatur tentang perbuatan Necrophilia ini.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penyimpangan seksual

terhadap mayat (necrophilia) dalam hukum positif Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pelaku tindak pidana

penyimpangan seksual terhadap mayat (necrophilia) dalam hukum positif

Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi perkem

bangan ilmu hukum pidana terutama berkaitan dengan pertanggungjawaban

pelaku tindak pidana penyimpangan seksual terhadap mayat (necrophilia)

dalam hukum positif Indonesia.


2. Manfaat Praktis, penelitian ini sebagai bahan masukan pertimbangan dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan atau ketentuan lainnya yang

berkaitan dengan perkembangan hukum acara pidana terkait penyimpangan

seksual terhadap mayat (necrophilia).

E. Landasan Teoritis

1. Teori pemidanaan

Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga

golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorin),

teori relatif atau teori tujuan (doel theorin), dan teori menggabungkan

(verenignings theorin).

b. Teori Absolut atau Teori pembalasan

Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari

penjatuhan penderitaan berupa pidana pada penajahat. Negara berhak

menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan

dan perkosaan pada hak dankepentingan hukum (pribadi, masyarakat atau

negara) yang telah dilindungi. Maka oleh karenanya ia harus diberikan pidana

yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya.7

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori Relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana

adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan

7
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm. 153.
pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu

diperlukan pidana.8

c. Teori Menggabungkan

Teori gabungan merupakan kombinasi dari teori absolut dan teori relatif yang

menggabungkan asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat

menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Dengan kata lain, teori gabungan

mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata

tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi penjahat.9

2. Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan (Teori Psikogenesis)

Teori ini mengatakan bahwa perilaku kriminalitas timbul karena faktor intel

egensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, i

nternalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial dan kecende

rungan psikopatologis, artinya perilaku jahat merupakan reaksi terhadap masalah

psikis, misalnya pada keluarga yang hancur akibat perceraian atau salah asuhan

karena orangtua terlalu sibuk berkarier. Faktor lain yang menjadi penyebab terja

dinya kejahatan adalah psikologis dari seorang pelaku kejahatan, maksudnya ada

lah pelaku memberikan respons terhadap berbagai macam tekanan kepribadian y

ang mendorong mereka untuk melakukan kejahatan. Faktor ini didominasi karen

a pribadi seseorang yang tertekan dengan keadaan hidupnya yang tak kunjung m

embaik, atau frustasi.

Orang yang frustasi cenderung lebih mudah untuk mengonsumsi alkohol de

mi membantu mengurangi beban hidup yang ada dibandingkan dengan orang dal
8
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm. 157.
9
Ibid. 162.
am keadaan normal. Psikologis seseorang yang terganggu dalam interaksi sosial

akan tetap memiliki kelakuan jahat tanpa melihat situasi dan kondisi.10

Pelaku kejahatan cenderung memiliki psikologis yang sedang dalam keadaa

n tertekan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tak kunjung dapat ia lakuk

an karena tak memiliki penghasilan tetap. Kemiskinan atau faktor ekonomi ini a

dalah menjadi faktor yang memengaruhi terjadinya kejahatan, karena demi mem

enuhi kebutuhan hidupnya maka orang akan cenderung melakukan apapun itu m

eski melakukan kejahatan sekalipun. Orang-orang yang berada di kelas menenga

h ke bawah akan merasa hidupnya berbeda sekali dengan orang-orang yang mem

iliki pendapatan diatasnya, hal ini mendorong seseorang tersebut untuk melakuk

an kejahatan karena merasa iri.

Sejalan dengan pemikiran itu bahwa salah satu masalah struktural yang perl

u diperhatikan didalam analisis kejahatan di Indonesia adalah masalah kemiskina

n. Dalam kriminologi, keadaan ini sebenarnya dianggap sangat penting karena k

emiskinan merupakan bentuk kekerasan struktural dengan amat banyak korban.

Kejahatan di Indonesia salah satunya juga didorong oleh krisis ekonomi, termasu

k oleh ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan ekonomi.11 Teori sosialis men

gemukakan bahwa kejahatan timbul karena adanya tekanan ekonomi yang tidak

seimbang dalam masyarakat.Teori ini menggambarkan bahwa untuk melawan ke

jahatan itu haruslah diadakan peningkatan di bidang ekonomi. Dengan kata lain

kemakmuran, keseimbangan dan keadilan sosial akan mengurangi terjadinya kej

ahatan.
10
Indah Sri Utami, 2012, “Aliran dan Teori Dalam Kriminologi”, Thafa Media, Yogyakar
ta, hlm 48.
11
Anang Priyanto, 2012, “Kriminologi” , Penerbit Ombak, Yogyakarta, hlm 77.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertangunggjawaban pidana karena

telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban

pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum
pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak‟ suatu

perbuatan tertentu.12

Roeslan Saleh menyatakan “bahwa pertanggungjawaban pidana diartikan

sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan

secara subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya

itu”.13 Maksud celaan objektif adalah bahwa perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang memang merupakan suatu perbuatan yang dilarang. Indikatornya adalah

perbuatan tersebut melawan hukum baik dalam arti melawan hukum formil

maupun melawan hukum materiil. Sedangkan maksud celaan subjektif menunjuk

kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tadi. Sekalipun perbuatan

yang dilarang telah dilakukan oleh seseorang, namun jika orang tersebut tidak

dapat dicela karena pada dirinya tidak terdapat kesalahan, maka

pertanggungjawaban pidana tidak mungkin ada.

Khusus terkait celaan objektif dan celaan subjektif ini, Sudarto

mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan

hukum (celaan objektif). Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan

delik dalam undangundang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum

memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya

syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu

mempunyai kesalahan dan bersalah (celaan subjektif). Orang tersebut harus

12
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Perta
nggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Cet.Kedua, Jakarta, hlm. 70.
13
Roeslan Saleh dalam Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaba
n pidana Perkembangan dan Penerapan, PT Rajawali Press, Jakarta, hlm. 21.
bertanggungjawab atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya,

perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabankan kepada orang tersebut.14

B. Pelaku Kejahatan

Secara yuridis, akan disebut sebagai pelaku kejahatan apabila seseorang tel

ah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan sebagai kejahatan dalam undang-un

dang dan diancam dengan suatu sanksi. 15 Definisi penjahat ini tidak bisa dipisahka

n dengan definisi kejahatan. Definisi penjahat ini tidak bisa dipisahkan dengan def

inisi kejahatan. Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuat

an, dan tingkah laku yang seara ekonomis, politis dan sosial psikologis sangat mer

ugikan masyarakat, melanggar norma-norma Susila, dan menyerang keselamatan

warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang

belum tercantumdalam undang-undang pidana

C. Necrophilia

Necrophilia berasal dari kata necros yang berarti mayat dan phileinyang

berarti mencintai. Adalah kelainan seksual melakukan senggama dengan mayat

dan merasa puas secara seksual.16

D. Hukum Positif

Hukum positif disebut juga ius constitutum yang berarti kumpulan asas

dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara

umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadian

14
Sudarto dalam Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pid
ana Perkembangan dan Penerapan, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 22.
15
Topo Santoso dan Eva Achiani Ulfa, Kriminologi, Rajawali Pers. Depok, 2017, hlm. 14.
16
Dadang Hawari, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, PT Darma Bakti Prima
Yasa, Jogjakarta, 2006, hlm. 75.
dalam Negara Indonesia.17 Pengertian Hukum Positif dalam penjelasan yang

dilampirkan dalam dalam situs resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia,

adalah adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang ada pada saat ini

sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau

melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia.Hukum positif dapat

diklasifikasi kedalam berbagai macam pengelompokan, yaitu antara lain dilihat

dari sumbernya, bentuknya, isi materinya dan lain sebagainya.18

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe dan pendekatan penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam menjawab isu atau

permasalahan yang dibahas adalah tipe penelitian normatif (legal research)

yaitu penelitian yang menekankan pada pengkajian dan analisa subtansi

peraturan perundang-undangan atas permasalahan pokok atau isu hukum dan

konsistensinya dengan asas hukum. Adapun pendekatan yang digunakan

adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan Undang-Undang (Statute approach)

Pendekatan pada penelitian ini menggunakan dengan menelaah Undang-

undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang sedang diteliti.

17
I. Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan di Indonesia,
(Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm. 56.
18
https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/, diakses pada tanggal 19 September 2023,
pukul 13.32.
2. Pendekatan konseptual (conceptual Approach)

Pendekatan konseptual dilakukan dengan tidak beranjak dari aturan hukum

yang ada tetapi beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

yang berkembang di dalam ilmu hukum. Hal itu dikarenakan karena

memang belum ada atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang

dihadapi.

B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

1. Bahan Hukum primer

Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan

resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan

hakim.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi yang memberikan

informasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen

resmi. Bahan hukum sekunder digunakan untuk mencari landasan teori

mengenai penyimpangan seksual terhadap mayat (Necrophilia) yang

dapat ditemukan dari buku, teks, kamus hukum, tesis dan jurnal hukum

baik nasional maupun internasional.

3. Bahan Hukum tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan

petunjuk hingga penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Bahan hukum tersier meliputi kamus, eksiklopedia,


jurnal dan laporan hasil penelitian sepanjang memiliki relevansi dengan

penelitian yang dilakukan penulis.

C. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan teknik penelusuran bahan hukum dengan

studi dokumen atau bahan kepustakaan yang dilakukan dengan riset

kepustakaan, dan pusat dokumentasi serta browsing internet.

D. Analisa Bahan Hukum

Analisis bahan hukum bertujuan untuk menyederhanakan bahan

hukum ke dalam bentuk yang mudah dipahami. Metode yang digunakan

untuk menganilis dalam penelitian ini adalah penulis menggunakan metode

penelitian bersifat preskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk

mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk

mengatasi masalah yang sedang diteliti.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Astawa, I Gede Panji. 2008. Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan di


Indonesia. Bandung: PT Alumni.
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Djamali, Abdul. 2005. Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Hawari, Dadang. 2006. Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta:
PT Darma Bakti Prima Yasa.
Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana.
Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Priyanto, Anang. 2012, Krininologi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Santoso, Topo dan Eva Achiani Ulfa. 2017. Kriminologi. Depok: Rajawali Pers.
Sudarto. 2015. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan Dan
Penerapan. Jakarta: PT Rajawali Press.
Teknologi, D. A. N. 2015. Kementerian pendidikan, kebudayaan riset, dan teknol
ogi universitas jambi fakultas hukum.
Utami, Indah Sri. 2012. Aliran dan Teori Dalam Kriminologi. Yogyakarta: Thafa
Media.

Jurnal

Abdullah, M. F. M. 2022. “Aspek Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan


Terhadap Mayat di Indonesia”, Jurist-Diction, Vol. 5, No. 3.

Sumber lain

Logos Indonesia, 2023, Jenis-jenis Nekrofilia. Penyimpangan Seksual Terhadap


Mayat. https://www.logosconsulting.co.id/media/jenis-jenis-necrophilia-pen
yimpangan-seksual-terhadap-mayat/ (diakses pada tanggal 18 September 20
23)

Anda mungkin juga menyukai