Anda di halaman 1dari 14

PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM PIDANA DAN SISTEM

HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas


Mata Kuliah Politik Hukum Pidana

Dosen Pengajar :

Oleh :
DZAKY

2022

Kelas : MIH Bekasi

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM PASCA SARJANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
2023

i
DAFTAR ISI

COVER..........................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................ii

A. Pendahuluan......................................................................................................1
B. Metode Penulisan..............................................................................................1
C. Hasil Penelitian..................................................................................................2
D. Analisa................................................................................................................3
E. Kesimpulan........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................12

ii
A. Pendahuluan
Pada 5 Juni 2015, Presiden akhirnya menerbitkan Surat Presiden untuk memulai
pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) antara
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU-KUHP ini diyakini akan
mengganti KUHP yang saat ini berlaku dan dianggap sebagai peninggalan rezim kolonial.
Setidaknya ada tiga dogma dasar yang dianut pemerintah mengenai perlunya penggantian
KUHP dengan KUHP baru, yaitu prinsip dekolonisasi, deharmonisasi, dan demokratisasi
hukum pidana Indonesia. Ketiga prinsip ini yang kemudiandiimplementasikan dalam
RUU-KUHP yang diserahkan oleh pemerintah kepada DPR.
Persoalannya, RUU-KUHP ternyata memiliki ketentuan-ketentuan yang luar biasa
banyaknya dimana pemerintah dan DPR juga belum memiliki pengalaman yang cukup
untuk membahas suatu rancangan legislasi. Di samping itu,jumlah pasalnya juga banyak
(sejumlah 768 pasal). Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi khusus dalam pembahasan
RUU-KUHP tersebut.
Kondisi tersebut tentunya memerlukan pembahasan lebih lanjut, dimana peneliti
akan membahas mengenai kondisi dari permasalahan tersebut dalam karya tulis yang
berjudul, “PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM PIDANA DAN SISTEM
HUKUM PIDANA DI INDONESIA TERKAIT PEMBENTUKAN RUU-KUHP”

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian hukum yang
meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud
adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan,
perjanjian serta doktrin (ajaran).1 Bentuk penelitian ini menggunakan deskriptif analitis yaitu
penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan
menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan bentuk perkembangan
politik hukum di bidang pengadaan perumahan di Indonesia. Kemudian teknik pengumpulan
bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (library research) dan
penelitian langsung di lapangan. Studi kepustakaan adalah suatu teknik (prosedur)
pengumpulan atau penggalian data kepustakaan. Data kepustakaan adalah data yang sudah
didokumentasikan sehingga penggalian data kepustakaan tidak perlu dilakukan secara
langsung ke masyarakat (lapangan).2
1 Mukti Fajar ND, Dualisme Penelitian Hukum, Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2013. hlm. 23
2Ibid., hlm. 43.

1
C. Hasil Penelitian
Dalam perkembangannya diketahui, menjelang RUU-KUHP tersebut disahkan oleh
Presiden dan DPR, RUU-KUHP tersebut mendapatkan sejumlah protes dari berbagai
macam kalangan karena terdapat beberapa pasal yang dianggap kontroversial dalam
penerapannya di masyarakat. Salah satunya adalah mengenai bagian ke enam dari RUU-
KUHP yang mengatur mengenai Tindak Pidana Penghasutan, Kecerobohan Pemeliharaan
dan Penganiayaan Hewan.
Adapun ketentuan tindak pidana tersebut di atur pada ketentuan Pasal 340 dan pada
bagian keenam RUU-KUHP yang mengatur mengenai delik Tindak pidana kecerobohan
yang membahayakan umum, dimana delik tersebut mengatur mengenai
1. Membiarkan di jalan umum hewan dengan tidak melakukan penjagaan atau
pengawasan sehingga dapat menimbulkan kerugian;
2. Membiarkan ternak yang di bawah penjagaannya terlepas berkeliaran di jalan
umum.
3. Berburu dan memasng perangkap hewan tanpa izin.
4. Serta tindak pidana kesusilaan (Pasal 341 RUU-KUHP) juga mencakup berbagai
perilaku menyimpang yaitu Melakukan Penganiayaan, menyakiti dan melakukan
sesuatu yang menyebabkan cacat pada Hewan, bahkan hingga hewan tersebut
mati dengan alasan yang tidak wajar.
Adapun ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP tersebut menyatakan, “Dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,
Setiap Orang yang:
a. Menghasut hewan sehingga membahayakan orang;
b. Menghasut hewan yang sedang ditunggangi atau hewan yang sedang menarik
kereta, gerobak, atau yang dibebani Barang;
c. Tidak mencegah hewan yang ada dalam penjagaannya yang menyerang orang
atau hewan;
d. Tidak menjaga secara patut hewan buas yang ada dalam penjagaannya; atau
e. Memelihara hewan buas yang berbahaya tidak melaporkan kepada Pejabat yang
berwenang.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 341 RUU-KUHP juga disebutkan bahwa,
1. Dipidana karena melakukan penganiayaan hewan dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang
yang:
2
a. Menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan
melampaui batas atau tanpa tujuan yang patut; atau
b. Melakukan hubungan seksual dengan hewan.
2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hewan sakit
lebih dari 1 (satu) minggu, cacat, Luka Berat, atau mati dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak kategori III.
3. Dalam hal hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) milik pelaku Tindak
Pidana, hewan tersebut dapat dirampas dan ditempatkan ke tempat yang layak
bagi hewan.
Adanya ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP sendiri menimbulkan pro dan kontra
dikalangan masyarakat, dimana banyak kalangan maupun segelintir pihak yang merasa
khawatir, bahwa apabila ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP disahkan tentunya akan
menimbulkan potensi terjadinya kriminalisasi, dan menyebabkan perpecahan di
lingkungan masyarakat khususnya dikalangan pemelihara hewan, baik unggas maupun
hewan ternak lainnya.

D. Analisa

Dalam sejarahnya, sistem tata hukum yang digunakan sebelum 17 Agustus 1945 antara
lain sistem hukum hindia Belanda berupa sistem hukum barat (civil law) dan sistem hukum
asli (hukum adat). Dimana sebelum Indonesia di jajah Belanda sistem hukum yang
dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa di Masyarakat adalah hukum adat.3
Sejarah hukum pidana Indonesia secara umum tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia yang terbagi dalam banyak kerajaan,
masyarakat Indonesia di bawah jajahan Belanda dan masyarakat Indonesia setelah masa
kemerdekaan. Hukum pidana modern Indonesia dimulai pada masa masuknya bangsa
Belanda di Indonesia, adapun hukum yang ada dan berkembang sebelum itu atau setelahnya,
yang hidup dimasyarakat tanpa pengakuan pemeritah Belanda dikenal dengan hukum adat.
Pada masa penjajahan Belanda pemerintah Belanda berusaha melakukan kodifikasi hukum di
Indonesia, dimulai tahun 1830 dan berakhir pada tahun 1840, namun kodifikasi hukum ini
tidak termasuk dalam lapangan hukum pidana. Akibat perlawanan bangsa Indonesia,
perdagangan rempah-rempah yang dimonopoli oleh VOC menjadi menurun sehingga
3 Rocky Marbun, Topo Santoso dan Hotma P Sibuea, Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana Di
Indonesia, Jakarta, Setara Pers, 2019. hlm. 8

3
berakibat VOC jatuh bangkrut. Jatuhnya citra VOC di Eropa merupakan salah satu
pertimbangan bagi pemerintah Belanda untuk mengambil alih kekuasaan VOC dengan
membentuk pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Pada waktu pengambilalihan
kekuasaan tersebut, negeri Belanda baru saja mendapatkan kedaulatan kembali dari tangan
Perancis, yang pada masa berkuasanya diberlakukan Code Penal Perancis. Tahun 1870
Belanda menyusun rancangan KUHP baru. KUHP tersebut diberlakukan tanggal 1 September
1886 untuk menggantikan Code Penal Perancis. Berdasarkan asas konkordansi, KUHP
Belanda itu diberlakukan pula untuk Hindia Belanda bagi orang Eropa yang berada di sana
dengan berbagai perubahan disesuaikan dengan keadaan senyatanya di Hindia Belanda.4
Tetapi dengan Koninklijk Besluit tanggal 12 April 1898 dalam Staatblad 1898 Nomor
30, oleh panitia De Pauly disusun KUHP baru yang khusus hendak diberlakukan terhadap
bangsa Eropa yang berada di Indonesia hingga kini. Pembentukan KUHP yang hendak
diperuntukkan bagi bangsa Eropa ditunda pelaksanaannya sampai rancangan KUHP bagi
penduduk asli selesai, karena pemerintah Belanda bermaksud untuk memberlakukan kedua
KUHP tersebut sekaligus pada waktu yang bersamaan. Sementara itu, rencana KUHP untuk
penduduk asli dari Slingenberg telah selesai disusun, tetapi selanjutnya harus dihentikan dan
tak dapat diberlakukan karena menteri daerah jajahan Idenberg berpendapat bahwa dualisme
hukum pidana harus dihapuskan. Untuk maksud itu dibentuk suatu komisi untuk mengatasi
hal yang dapat menyelesaikan tugasnya pada tahun 1913. Rancangan itu kemudian disahkan
menjadi undang-undang, namun demikian KUHP itu baru mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 1918 untuk semua golongan penduduk.5
Pada masa itu di Hindia Belanda masih ada beberapa macam peradilan untuk macam-
macam golongan penduduk. Macam-macam peradilan tersebut adalah Peradilan Gubernemen
untuk seluruh Hindia Belanda, Peradilan Asli untuk daerah-daerah di mana rakyat dibiarkan
menyelenggarakan peradilannya sendiri, Peradilan Swapraja, Peradilan Agama, dan Peradilan
desa. Masing-masing peradilan tersebut tunduk pada hukum yang berbeda, termasuk dalam
lapangan hukum pidana. Hal tersebut menciptakan keadaan yang menyebabkan tidak dapat
diadakannya unifi kasi hukum. Untuk peradilan Guberneman berlaku KUHP, untuk Peradilan
Swapraja sesuai dengan Selfb estuurregelen 1938 dan Ordonansi Inheems 18 Februari 1932
berlaku hukum adat. Sehingga ini pulalah yang menjadi dasar hukum berlaku dan tetap

4 Hanafi Amrani, Politik Pembaharuan Hukum Pidana, UII Press, Yogyakarta, 2020. hlm.20
5 Ibid., hlm. 21

4
terpeliharanya hukum adat, termasuk hukum pidana adat. Jadi ada dua sistem hukum pidana
yang berlaku secara legal di Hindia Belanda.6
Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya sengaja mengadakan beberapa tatanan
peradilan dengan motivasi penghematan keuangan negara, mengingat daerah Hindia Belanda
yang sangat luas. Selain itu daerah-daerah yang dibiarkan hidup peradilan lain selain
Peradilan Gubernemen adalah daerah yang secara ekonomi tidak begitu penting. Keadaan
seperti ini terus bertahan sampai berakhirnya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di
Indonesia sebagai akibat datangnya balatentara Jepang yang semula dipandang bangsa
Indonesia sebagai ‘saudara tua’ yang akan melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan,
termasuk penjajahan di bidang hukum. Dualisme hukum pidana di Hindia Belanda masih
tetap bertahan.7
Dalam hukum pidana kemudian diberlakukan interimaire strafbepalingen. Pasal 1
ketentuan ini menentukan hukum pidana yang sudah ada sebelum tahun 1848 tetap berlaku
dan mengalami sedikit perubahan dalam sistem hukumnya. Walaupun sudah ada interimaire
strafbepalingen, pemerintah Belanda tetap berusaha menciptakan kodifikasi dan unifikasi
dalam lapangan hukum pidana, usaha ini akhirnya membuahkan hasil dengan
diundangkannya koninklijk besluitn 10 Februari 1866. wetboek van strafrech voor
nederlansch indie (wetboek voor de europeanen) dikonkordinasikan dengan Code Penal
Perancis yang sedang berlaku di Belanda. Inilah yang kemudian menjadi Wetboek van
Strafrecht atau dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku
sampai saat ini dengan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Republik
Indonesia.
Zaman Indonesia merdeka untuk menghindari kekosongan hukum berdasarkan Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 semua perundang-undangan yang ada masih berlaku selama
belum diadakan yang baru. Untuk mengisi kekosongan hukum pada masa tersebut maka
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang berlakunya hukum pidana
yang berlaku di Jawa dan Madura (berdasarkan Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1946
diberlakukan juga untuk daerah Sumatra) dan dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 untuk diberlakukan untuk seluruh daerah Indonesia untuk menghapus dualsme
hukum pidana Indonesia. Dengan demikian hukum pidana yang berlaku di Indonesia
sekarang ialah KUHP sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 beserta perubahan-perubahannya antara lain

6 Ibid., hlm. 21-22


7 Ibid., hlm. 23

5
dalam Undang-Undang 1 Tahun 1960 tentang perubahan KUHP, Undang-Undang Nomor 16
Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 18 Prp.
Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Maksimum Pidana Denda Dalam KUHP, Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Penambahan Ketentuan-Ketentuan Mengenai
Pembajakan Udara pada Bab XXIX Buku ke II KUHP.
Jika melihat struktur dan jumlah pasal yang ada dalam Buku I RKUHP terkesan
terdapat perbedaan yang cukup besar antara RKUHP dengan KUHP. Namun, jika ditelisik
lebih dalam sebenarnya tidak demikian. RKUHP hanya mengubah tata letak ketentuan-
ketentuan yang ada pada KUHP yang berlaku saat ini, dengan sedikit penambahan dan
pengurangan materi di beberapa bagian. Bab I RKUHP tentang Ruang Lingkup Berlakunya
Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pidana dapat dijadikan contoh untuk melihat
bahwa materi yang diatur di dalam RKUHP mengambil sebagian besar pengaturan Bab I
KUHP. Bab yang terdiri dari 11 pasal dengan sejumlah ayat ini pada dasarnya mengambil
Bab I Buku I KUHP tentang Batas-Batas Berlakunya Aturan Pidana Dalam Undang-Undang.
Diketahui berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya terdapat beberapa pasal
dalam RUU-KUHP yang viral dan dikritik publik. Sebelum lebih jauh, penulis sampaikan
dulu bahwa RUU KUHP terdiri atas dua buku, yakni buku satu tentang ketentuan umum ada
187 Pasal dan buku dua tentang tindak pidana ada 627 Pasal. Jadi ada 814 pasal dalam RUU
KUHP.
Adapun dalam pembahasan pada karya tulis ini, diketahui bahwa Pasal yang dirpotes
adalah mengenai ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP yang menyatakan, “Dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II
(denda maksimal Rp 10 juta-red), setiap orang yang tidak mencegah hewan yang ada dalam
penjagaannya yang menyerang orang atau hewan.
Selain hal di atas, pemilik hewan juga akan dikenai 6 bulan penjara, apabila:
1. Menghasut hewan sehingga membahayakan orang;
2. Menghasut hewan yang sedang ditunggangi atau hewan yang sedang menarik
kereta atau gerobak atau yang dibebani barang;
3. Tidak menjaga secara patut hewan buas yang ada dalam penjagaannya; atau
4. Memelihara hewan buas yang berbahaya tidak melaporkan kepada Pejabat yang
berwenang.
Bahkan di pasal 341 mengatur warga yang memperkosa hewan ternak atau
berhubungan seksual dengan hewan juga bisa dipidana., dimana ketentuan pasal 341 RUU-
KUHP menyebutkan,

6
1. Dipidana karena melakukan penganiayaan hewan dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, setiap orang
yang:
a. Menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan
melampaui batas atau tanpa tujuan yang patut.
b. Melakukan hubungan seksual dengan hewan.
2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hewan sakit
lebih dari 1 (satu) minggu, cacat, Luka Berat, atau mati dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
Kategori III (Rp50 juta).
3. Dalam hal hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) milik pelaku tindak pidana,
hewan tersebut dapat dirampas dan ditempatkan ke tempat yang layak bagi hewan.
Ketentuan Pasal Unggas tersebut di RUU KUHP menjadi viral karena dinilai terlalu
mengada-ada. Pasal itu juga sudah ada dalam KUHP yang berlaku saat ini. Dalam KUHP
yang berlaku saat ini, 'Pasal Unggas Jalan-jalan' tertuang dalam Pasal 548, 549, 550. Dalam
RUU KUHP, menjadi Pasal 278, Pasal 279 dan Pasal 280. Adapun ketentuan Pasal 278
RUU-KUHP menyebutkan “Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya
berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana
dengan pidana denda paling banyak Kategori II (maksimal Rp 10 juta).”
Kemudian Pasal 279 RUU-KUHP menyebutkan, “1. Setiap Orang yang membiarkan
Ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman,
atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda
paling banyak Kategori II. 2. Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dirampas
untuk negara.”
Selanjutnya ketentuan Pasal 280 RUU-KUHP menyebutkan, “Dipidana dengan pidana
denda paling banyak Kategori II, Setiap Orang yang:
a. Berjalan atau berkendaraan di atas tanah pembenihan, penanaman, atau yang
disiapkan untuk itu yang merupakan milik orang lain; atau
b. Tanpa hak berjalan atau berkendaraan di atas tanah yang oleh pemiliknya dilarang
Masuk atau sudah diberi larangan Masuk dengan jelas.
Pada kenyataannya diketahui masalah pengaturan tersebut ternyata bukan mengada-
ada, namun hal demikian kerap kali terjadi pada ruang lingkup masyarakat yang hidup
diwilayah pertanian maupun perkebunan, dimana hal tersebut dapat dilihat dalam berkas
putusan Mahkamah Agung (MA). Salah satunya di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara,

7
Dalam kasus ini segerombolan lembu milik Toro Irwandi memasuki lokasi areal perkebunan
milik suatu perusahaan pada 15 November 2014. Lembu itu memakan daun serta batang bibit
tanaman karet yang baru ditanam.8
Akibat lembu makan bibit tanaman itu, perusahaan merugi. Tentu perusahaan tidak
terima dengan hal tersebut dan melaporkan Toro ke Polsek Prapat Janji. Toro selaku pemilik
kena Pasal 549 ayat 1 KUHP. Pasal ini berbunyi: Barangsiapa tanpa wewenang membiarkan
ternaknya berjalan di kebun, di padang rumput, atau di ladang rumput atau di padang rumput
kering, baik di tanah yang telah ditaburi, ditugali atau ditanami ataupun yang sudah siap
untuk ditaburi, ditugali atau ditanami atau yang hasilnya belum diambil, ataupun di tanah
kepunyaan orang lain, yang oleh yang berhak dilarang dimasuki dan sudah diberi tanda
larangan yang jelas bagi pelanggar, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus
tujuh puluh lima rupiah (dikonfersi dengan kurs hari ini Rp 375 ribu).9
Setelah dibuktikan di pengadilan, hakim menyatakan Toro bersalah karena membiarkan
hewannya berjalan di kebun, oleh orang yang berhak melarang dimasuki dengan sudah diberi
tanda larangan yang nyata bagi si pelanggar. "Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh
karena itu dengan pidana denda sejumlah Rp 300 ribu, dengan ketentuan apabila denda tidak
dibayar oleh terdakwa diganti dengan pidana kurungan selama 3 hari," ujar hakim tunggal
Lusiana Amping pada 28 November 2014.10
Dalam pertimbangannya hakim mengatakan bahwa perbuatan Terdakwa yang tidak
mengawasi penggembalaan lembu miliknya itu menyebabkan kerugian bagi saksi korban.
Adapun penyebab pengaturan Pasal mengenai unggas dan hewan ternak ini masih diatur
dalam RUU-KUHP karena diwilayah Indonesia masih banyak desa, masyarakat pun masih
banyak yang agraris yang petani, masyarakat yang membuatkan sawah, serta tidak jarang ada
saja pihak yang beritikad tidak baik, terkait adanya kegiatan masyarakat dalam mengelola
persawahan dan perkebunan sehingga terkadang menaruh beberapa jenis binatang yang dapat
menjadi hama bagi tumbuhan pertanian dan perkebunan.
Sejatinya penyebab terjadinya penolakan dan pertentangan dari masyarakat atas
berlakunya pasal-pasal yang dianggap kontroversial dalam RUU-KUHP, termasuk mengenai
berlakunya ketentuan mengenai kelalaian dalam pemeliharaan hewan, diketahui karena
adanya beberapa permasalahan sebagai berikut :

8 Supriyadi Widodo Eddyono, Miko S. Ginting , dan Anggara, Mengawal Pembahasan RUU-KUHP : dari
Evaluasi ke Rekomendasi, Jakarta : ICJR, 2019. hlm. 79
9 Ibid., hlm. 80
10 Ibid., hlm. 81

8
1. Kurangnya pengkajian pemerintah mengenai pemberian keterangan dalam pasal-
pasal yang dianggap cukup kontroversial, seperti dalam Pasal 340 RUU-KUHP,
dimana pemberian keterangan dari ketentuan Pasal 340 RUU KUHP tersebut hanya
memberikan keterangan sebagai berikut :
“Huruf a : Yang dimaksud dengan “menghasut hewan” adalah membuat hewan
bereaksi panik sehingga menyebabkan hewan tersebut agresif, menimbulkan
kegelisahan, ketakutan pada hewan yang dapat membahayakan manusia, hewan,
dan barang.
Huruf b : Cukup jelas.
Huruf c : Cukup jelas.
Huruf d : Cukup jelas.
Pemberian keterangan terhadap unsur-unsur yang terkandung dalam suatu pasal
tentunya amat sangat penting, khususnya penjelasan mengenai situasi, kondisi, dan
kualifikasi dari pasal yang dimaksud, sehingga pasal tersebut dalam penerapannya
tidak mengalami kekeliruan yang diakibatkan multi tafsir, maupun kesalahan
penafsiran. Penjelasan tersebut juga tentunya amat sangat penting bagi masyarakat,
karena adanya penjelasan mengenai situasi, kondisi, dan kualifikasi, serta akibat
hukum dari penerapan suatu pasal, tentunya dapat menghilangkan kekhawatiran di
masyarakat.
2. Kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah kepada masyarakat dalam memberikan
pemahaman kepada masyarakat mengenai produk perundang-undangan yang
hendak dikeluarkan dan disahkan oleh pemerintah, dimana pemerintah tentunya
perlu memberikan penjelasan dan pemahaman terhadap masyarakat mengenai
setiap peraturan yang hendak dibuat, dirancang, disusun, dan disahkan oleh
pemerintah, sehingga adanya peraturan akan membuat ketenangan di masyarakat,
dan menghilangkan munculnya itikad tidak baik dari beberapa pihak yang hendak
melakukan pelanggaran atau kejahatan atas suatu hal yang diatur dalam peraturan
yang dibuat pemerintah, dan bukan berefek sebaliknya, seperti munculnya
kekhawatiran akan rasa takut terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat.
Disinilah pemerintah seharusnya memberikan sosialisasi pada masyarakat, bahwa
penerapan dalam Pasal RUU-KUHP khususnya terhadap Pasal 340 RUU-KUHP,
tidak dapat sembarangan diterapkan, karena tentunya terdapat beberapa asas hukum
yang membatasi berlakunya ketentuan Pasal 340 tersebut, dimana asas-asas hukum
tersebut berlaku sebagai syarat berlakunya seluruh pasal yang terdapat dalam RUU-

9
KUHP, termasuk dalam Penerapan Pasal 340 RUU-KUHP. Selain itu untuk
terjadinya kriminalisasi tentunya dapat diminimalisir, karena proses pembuktian
terhadap delik yang ada dalam RUU-KUHP, tentunya harus melalui beragam
prosedur, seperti prosedur, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan,
sehingga tidak semua perbuatan dapat diterapkan delik pidana. Pemerintah pun
perlu juga seharusnya memberikan informasi, mengenai upaya-upaya hukum non
litigasi yang dapat ditempuh masyarakat, terutama terhadap delik-delik seperti
dalam Pasal 340 RUU-KUHP, dimana terhadap delik ini, tidak hanya upaya
pemidanaan yang dapat diterapkan, namun juga sebelum terjadinya pemidanaan,
para pihak dapat melakukan upaya non litigasi sebagai alternatif penyelesaian
sengketa, sehingga apabila meskipun terjadi pelanggaran terhadap delik dalam
RUU-KUHP, namun upaya pemidanaan merupakan solusi akhir, bukan solusi awal
maupun solusi penentu, dalam menegakan hukum dan sebagai upaya menjaga
ketertiban dan keamanan dimasyarakat.
3. Munculnya pihak-pihak berkepentingan yang hendak memanfaatkan situasi dan
kondisi dari kurang jelasnya suatu peraturan, seperti dalam RUU-KUHP, diduga
terdapat beberapa pihak yang hendak memanfaatkan kurang jelasnya pengaturan
dari RUU-KUHP dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai RUU-KUHP
akibat kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Hal ini tentunya tidak luput dari
adanya beberapa pihak yang hendak memanfaatkan situasi dan kondisi dari
lemahnya RUU-KUHP yang dibuat, dimana dalam setiap protes yang mengemuka,
tidak jarang diketemukan adanya oknum-oknum yang hendak memanfaatkan suatu
pergerakan masyarakat dan ketidaktahuan dari masyarakat, untuk kepentingan
pribadi maupun kelompoknya.
4. Adanya perspektif dimasyarakat bahwa ketentuan Pasal dalam RUU-KUHP
khususnya mengenai ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP terkesan mengada-ada.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui penyebab terjadinya penolakan dari
disahkannya RUU-KUHP khususnya mengenai ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP yang
mendapatkan pertentangan dari masyarakat, dikarenakan kurangnya pengkajian pemerintah
mengenai pemberian keterangan dalam pasal-pasal yang dianggap cukup kontroversial,
seperti dalam Pasal 340 RUU-KUHP, serta kurangnya sosialisasi dari pemerintah dalam
menginformasikan kepada masyarakat mengenai prosedur berlakunya RUU-KUHP, sehingga
menimbulkan keresahan dimasyarakat mengenai potensi terjadinya kriminalisasi terhadap

10
masyarakat yang memiliki hewan peliharaan seperti unggas, hewan peliharaan rumahan, dan
hewan ternak, serta adanya kesan, bahwa Pasal 340 RUU-KUHP tersebut mengada-ada.
E. Kesimpulan
1. Urgensi dalam pembentukan dan perancangan Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, dimana Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang ada saat ini masih belum cukup mengakomodir setiap delik
yang kini sudah berkembang pesat mengikuti perkembangan zaman, selain itu Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang ada saat ini masih berasal dari zaman belanda
dan masih merupakan terjemahan yang belum resmi sehingga dikhawatirkan terjadi
multi tafsir dalam penerapannya di masyarakat maupun dikalangan penegak hukum.
2. Penyebab terjadinya penolakan dari disahkannya RUU-KUHP khususnya mengenai
ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP yang mendapatkan pertentangan dari masyarakat,
dikarenakan kurangnya pengkajian pemerintah mengenai pemberian keterangan
dalam pasal-pasal yang dianggap cukup kontroversial, seperti dalam Pasal 340
RUU-KUHP, serta kurangnya sosialisasi dari pemerintah dalam menginformasikan
kepada masyarakat mengenai prosedur berlakunya RUU-KUHP, sehingga
menimbulkan keresahan dimasyarakat mengenai potensi terjadinya kriminalisasi
terhadap masyarakat yang memiliki hewan peliharaan seperti unggas, hewan
peliharaan rumahan, dan hewan ternak, serta adanya kesan, bahwa Pasal 340 RUU-
KUHP tersebut mengada-ada.

11
DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
B. Buku-Buku
Anugerah Rizki Akbari, et. all., Membedah Konstruksi RUU KUHP, Jakarta : Sekolah
Tinggi Hukum Indonesia Jentera, 2019.

Hanafi Amrani, Politik Pembaharuan Hukum Pidana, UII Press, Yogyakarta, 2020.

Mukti Fajar ND, Dualisme Penelitian Hukum, Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2013.

Supriyadi Widodo Eddyono, Miko S. Ginting , dan Anggara, Mengawal Pembahasan


RUU-KUHP : dari Evaluasi ke Rekomendasi, Jakarta : ICJR, 2019.

Rocky Marbun, Topo Santoso dan Hotma P Sibuea, Politik Hukum Pidana dan Sistem
Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta, Setara Pers, 2019.

12

Anda mungkin juga menyukai