TANTANGAN ZAMAN
Disusun oleh:
NPM : 10040012161
2020
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
S.A.W ini dapat terselesaikan dengan baik guna memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Negara. Makalah ini merupakan kumpulan materi yang bersumber dari buku
dan internet dengan harapan makalah ini dapat memberikan pemahaman kepada
Semoga makalah ini dapat menambah ilmu bukan hanya untuk mahasiswa
saja namun juga kepada pelajar dan masyarakat umum.
membangun untuk penyajian dan isinya agar kedepannya kami dapat menyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................6
C. Tujuan...................................................................................................................7
BAB II..................................................................................................................................8
PEMBAHASAN....................................................................................................................8
A. Kesetaraan Gender dalam Pembaharuan Hukum Pidana............................8
B. Kebijakan Hukum Sebagai Fondasi Pembaharuan.........................................12
C. Tahapan Kebijakan............................................................................................19
1. Kebijakan Formulasi.....................................................................................19
2. Kebijakan Aplikasi.........................................................................................20
3. Kebijakan Eksekusi........................................................................................21
BAB III...............................................................................................................................23
PENUTUP..........................................................................................................................23
A. KESIMPULAN...................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................26
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
keadilan masyarakat dapat dilihat dari berbagai aspek, salah satunya adalah aspek
keadilan gender. Rasa keadilan sering kali dikaitkan dengan status gender seorang
elemen masyarakat yang dipandang paling lemah dan paling rentan untuk menjadi
korban suatu tindak pidana. Di sisi lain, perempuan juga dipandang lebih sulit
untuk mengakses keadilan jika kasus yang menimpanya berkaitan dengan tindak
Misalnya kasus tindak pidana perkosaan yang sering kali pelakunya lolos
dari jerat hukum karena kurangnya alat bukti dan tidak adanya saksi, ancaman
diharapkan, banyak dari perempuan yang malah kembali menjadi korban akibat
sistem hukum yang tidak berpihak pada perempuan korban, dan aparat penegak
4
Sebagai negara hukum, Indonesia melalui aparat penegak hukum memang
dilakukan oleh semua pihak di negara ini harus berdasarkan atas hukum. Hukum
nilainilai keadilan yang didasarkan pada aspek kesetaraan gender. Hukum yang
dibuat di awal abad ke-19 dan sering kali bertentangan dengan kondisi sosial
bangsa Indonesia di masa kontemporer saat ini. Hal ini tentu membutuhkan upaya
No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana hingga saat ini, tidak
umum (general principle) hukum pidana dan pemidanaan yang ada dalam KUHP
5
Pembaharuan hukum tidak lepas dari konsep tentang reformasi hukum yang
hukum secara keseluruhan, yaitu reformasi substansi hukum, struktur hukum, dan
agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan kondisi terkini dari
penggalian nilai ini bersumber pada hukum pidana positif, hukum adat, hukum
mengenai materi hukum pidana. Hukum agama, terutama yang dianut secara
mayoritas, yakni Islam, perlu menjadi sumber bagi pembaharuan hukum modern
perkembangan masyarakat.
umumnya. Tulisan ini juga membahas politik hukum pidana sebagai bagian dari
6
B. Rumusan Masalah
Beberapa hal yang menjadi rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini
antara lain:
C. Tujuan
7
BAB II
PEMBAHASAN
hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan karena posisi
kaum laki-laki, bahkan tidak mempunyai hak mengambil keputusan. Hal ini
secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki. Begitu juga jika seorang
merasa sulit untuk membela dirinya sendiri jika kasus yang menimpanya
pidana yang dapat menyerap aspirasi nilai-nilai baru dalam masyarakat untuk
8
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan suatu upaya
dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum
pidana Indonesia di masa depan sesuai dengan kondisi terkini dari sosio-politik
ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif, hukum agama, hukum
hukum pidana.
Hukum pidana adalah bagian dari sistem hukum atau sistem norma. Sebagai
suatu sistem, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu sistem, yaitu
pokok dari sistem hukum, yaitu: 1) aspek filosofis, yakni adanya nilai yang
Keempat aspek dasar ini tersusun dalam suatu rangkaian satu kesatuan yang
9
Esensi pembaruan hukum adalah bagaimana memperbaharui hukum dalam
suatu sistem hukum agar keempat aspek pokok di atas berada dalam satu kesatuan
agar keempat aspek tersebut menjadi satu untuk keseluruhan atau menyeluruh
sebab itu, pembaharuan hukum yang tidak mengubah makna substantif hanya
memiliki pengaruh yang sangat terbatas karena pembaruan yang demikian ini
dikatakan hanya mengganti rumusan kata-kata yang lama dengan rumusan kata-
kata yang baru. Sebaliknya, apabila pembaharuan itu sampai pada mengubah atau
mengganti aspek substantif dari sistem hukum yang lama, maka pembaharuan
norma yang hidup dalam masyarakat, yang di dalamnya ada norma-norma baru
hukum berikutnya harus dapat menyentuh aspek hukum yang konkret dan khusus,
bersumber pada nilai-nilai moral yang bersifat abstrak ke dalam peristiwa konkret,
dalam suatu tempat dan waktu yang rentan hanya karena dia seorang perempuan.
10
perhatian dan pertimbangan hukum. Dengan demikian, pembaharuan hukum
pidana juga dapat dilakukan oleh hakim dalam menyelesaikan suatu kasus pidana
wilayah otoritas hakim, bahkan pada wilayah ini tidak seorang pun dapat
pantas dijatuhkan kepada terdakwa. Tidak heran jika dalam suatu pemidanaan
hakim tidak akan sama, karena wilayah hati nurani merupakan wilayah paling
terhadap setiap kasus tertentu pada akhirnya hanya akan menghambat upaya
tindak pidana kekerasan seksual lainnya yang korbannya lebih sering perempuan.
gender.
di mana pidana penjara dan institusi penjara diberi makna baru, yaitu
11
pengayoman tersebut telah memberikan perspektif baru dalam hukum pidana dan
memberikan rasa aman kepada semua orang yang berkepentingan dengan hukum,
terutama terhadap golongan masyarakat yang rentan dan lemah dalam mengakses
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat maka hukum tersebut perlu
membawa kita pada diskusi dan perdebatan tentang teori-teori hukum yang sangat
beragam, namun jika dikaitkan dengan keadilan gender tentu ada satu teori hukum
yang disebut teori hukum feminis. Teori Hukum Feminis atau Feminist Legal
Tulisan ini tidak akan membahas Teori Hukum Feminis secara luas, namun
ide dan tujuan dari pembaharuan hukum yang berperspektif gender tentu didasari
oleh teori tersebut. Teori hukum feminis adalah pandangan yang melihat bahwa
12
gender. Setidaknya terdapat lima hal yang dapat digaris-bawahi dari teori hukum
feminis, yaitu antara lain: pengalaman perempuan, adanya bias gender secara
diskursus hukum kemudian melupakan suara dari pihak yang terpinggirkan, yang
dalam konteks ini adalah perempuan. Oleh karena itu, pengkajian hukum menurut
yakni norma yang harus selalu dipenuhi agar suatu tindakan dapat disebut sebagai
tindak pidana, dan norma yang berkenaan dengan ancaman pidana yang harus
dikenakan bagi pelaku dari suatu tindak pidana. Secara terinci undang-undang
tersebut;
13
Konsep bahwa tindak pidana adalah melanggar kepentingan negara sebagai
yang melanggar peraturan. Hal ini diperkuat oleh pengklasifikasian ilmu hukum
di mana hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang tidak membolehkan
dari politik kriminal. Dengan kata lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka
umum. Hal ini terlihat dari praktik perundang-undangan selama ini yang
atau politik hukum yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap
sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak lagi
seksual yang korbannya adalah perempuan justru susah dibuktikan dan bahkan
14
aparat cenderung menyalahkan korbannya, misalnya dengan menyalahkan cara
hukum pidana atau social defence planning yang merupakan bagian integral dari
Tujuan akhir dari kebijakan hukum pidana ialah “perlindungan masyarakat” untuk
“kesetaraan” (equality).
yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum
reform), sebagaimana reformasi hukum secara umum, tidak hanya terbatas pada
juga pembaharuan etika hukum dan ilmu/pendidikan hukum (legal ethic and legal
science/education reform).
15
Dari ketiga aspek pembaharuan hukum tersebut, menurut Barda Nawawi
Arief, aspek pembaharuan budaya hukum (legal culture reform) harus diutamakan
hukum bukan terletak pada aspek formal dan lahiriah (seperti terbentuknya
melainkan justru terletak pada aspek imaterial berupa budaya dan nilai-nilai
kejiwaan dari hukum. Dalam hal ini penulis sependapat dengan Barda Nawawi
gender harus lebih ditekankan pada aspek budaya hukum (legal culture) yang
sistem peradilan dapat dilihat dari ketiga aspek tersebut: substansi hukum (legal
substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture).
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana, sesuai dengan makna dan ruang
16
Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung makna
baik vertikal maupun horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang
tentang terjadinya tindak pidana. Process adalah sebagai tindakan yang diambil
diperoleh. Hasil inilah yang kemudian memerlukan evaluasi atau kontrol dari
dari nilai-nilai keadilan dalam masyarakat di mana aspek keadilan gender sudah
Dalam kasus Baiq Nuril sebagaimana disebut di atas, ada pandangan kritis
atas putusan kasasi dari MA yang justru menghukum korban tindak pidana
situasi perlakuan tak setara yang berhadapan dengan hukum. Putusan atas Baiq
17
Nuril, dan juga kasus-kasus pelecehan seksual lainnya, secara filosofis
dan pertimbangan yang ada dalam putusan hukum itu, yaitu aspek kondisi
kerentanan perempuan sehingga dia dengan mudah menjadi korban suatu tindak
penegakan hukum yang dalam beberapa hal justru menyebabkan kaburnya aspek
hukum dianggap sebagai sistem yang tertutup dan otonom dari berbagai persoalan
keadilan, selama hukum itu masih berlaku, maka hukum tersebut tetap harus
dipatuhi. Bagi para penganut positivisme hukum, kepastian hukum akan tercapai
karena hukum dibentuk oleh lembaga yang berwenang dengan mengikuti sistem
suatu syarat yang harus dipenuhi, yaitu adanya kerja sama di antara sub-sistem.
Apabila salah satu subsistem tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu
akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Karena itu, keempat sub-sistem itu
18
hukum pidana yang berkeadilan gender, yang meliputi kebijakan formulasi,
kebijakan aplikasi, dan kebijakan eksekusi. Ketiga tahap penegakan hukum pidana
tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan
untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai
aktivitas yang tidak terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada
C. Tahapan Kebijakan
1. Kebijakan Formulasi
formulasi ini disebut juga dengan tahap penegakan hukum in abstracto oleh
19
bersifat khusus (lex specialis), artinya peraturan hukum pidana tersebut hanya
pelakunya. Peraturan hukum pidana yang bersifat khusus ini juga harus
pidana umum (delik umum), maka hukum acaranya juga bersifat umum. Padahal salah
ketimpangan gender adalah proses beracara kasus kekerasan seksual yang disandarkan
pada prosedur beracara umum (lex generalis). Norma hukum acara pidana juga masih
Hukum Acara Pidana (KUHAP), sama sekali tidak ada disinggung mengenai hak
korban, tetapi hak tersangka dan terdakwa ada, yaitu hak didampingi penasihat
hukum, dan sebagainya. Sedangkan hak korban sama sekali tidak diatur dalam
KUHAP.
2. Kebijakan Aplikasi
kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum
20
Mekanisme penegakan hukum oleh aparat penegak hukum harus
dalam rangka suatu sistem tertib sosial. Dengan demikian, eksistensi hukum
belum menjadi wacana yang umum diketahui oleh aparat penegak hukum,
3. Kebijakan Eksekusi
Tahap ketiga dari kebijakan hukum pidana adalah tahap eksekusi, yaitu
21
pidana, disebut juga tahap kebijakan eksekutif atau administratif. Tahapan
yang menjadi pelaku tindak pidana maupun korban tindak pidana harus
didasarkan pada keadilan gender, sehingga wanita dapat bebas dari segala
perempuan, namun tentu pelaku tindak pidana juga dapat dari kalangan
22
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
mempertimbangkan bukan hanya aspek filosofis dan ideologis, tetapi juga aspirasi
yang tumbuh dalam masyarakat modern untuk memenuhi tuntutan ideal dan
gender). Oleh karena itu strategi pembaharuan hukum pidana nasional harus
23
Penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual dapat dilakukan dengan
yaitu tahap aplikasi dan eksekusi. Dengan kata lain, kesalahan dalam membuat
tindak pidana kekerasan seksual, baik dari aspek hukum materiil maupun hukum
dilakukan oleh aparatur hukum dan dapat bekerja sama dengan masyarakat, yang
harus memiliki komitmen bersama dalam melawan segala bentuk tindak pidana
pemerintah dituntut untuk tegas dan tanpa ada sikap diskriminatif berdasarkan
24
berkembang dalam masyarakat kontemporer, yaitu nilai keadilan dan kesetaraan
gender.
sebagai bagian dari kebijakan kriminal, kebijakan hukum pidana bertujuan untuk
keterkaitan antara tiaptiap kebijakan tersebut maka tujuan maupun landasan yang
sosial itu sendiri. Karena itu, dalam melakukan pembaruan kebijakan hukum
tersebut dapat tercermin dalam kontrol sosial atas putusan pengadilan, yang salah
25
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
Semarang, 2009.
26
Bakhri, Syaiful, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika: Suatu Pendekatan
Friedman, Lawrence M., Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, cet. 7, terj. M.
Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, edisi ke-2,
Maula, Bani Syarif, Sosiologi Hukum Islam di Indonesia: Studi tentang Realitas
Jakarta, 2001.
Jakarta, 2001.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, cet. 4.
27
Savitri, Niken, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP,
1983.
28