Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Hukum Pidana
Positif dan Pidana Islam
Disusun Oleh:
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Selawat serta salam tidak
lupa kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah
mengantarkan kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti saat
ini.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah Perbandingan
Hukum Pidana Positif dan Pidana Islam yang kami hormati, Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag.
dan Asmui M.A. yang telah memberikan ilmu serta turut membantu dalam penyusunan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul, “Kedudukan Hukum Pidana
Positif dan Hukum Pidana Islam Dalam Sistem Hukum di Indonesia”.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka
dari itu kami sangat mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk
membuat makalah ini menjadi lebih baik.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk para pembaca dan dapat dijadian
referensi ataupun materi pembelajaran untuk kita semua. Demikian kami sampaikan, Terima
kasih.
Penyusun Makalah
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................3
C. Tujuan Penelitian............................................................................................................4
D. Landasan Teori................................................................................................................4
E. Metodologi Penelitian.....................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
A. Sistem Hukum di Indonesia............................................................................................6
a. Substansi Hukum di Indonesia....................................................................................6
b. Struktur Hukum di Indonesia......................................................................................8
c. Budaya Hukum di Indonesia.......................................................................................9
B. Sistem Hukum Islam di Aceh.......................................................................................10
a. Substansi Hukum di Aceh.........................................................................................11
b. Struktur Hukum di Aceh...........................................................................................12
c. Budaya Hukum di Aceh............................................................................................13
C. Kedudukan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana di Indonesia.............................14
a. Pengertian Hukum Pidana Islam dan Positif.............................................................14
b. Kedudukan Hukum Pidana Positif di Indonesia........................................................15
c. Kedudukan Hukum Pidana Islam di Indonesia.........................................................15
BAB III.....................................................................................................................................17
PENUTUP................................................................................................................................17
A. Kesimpulan...................................................................................................................17
B. Saran..............................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan yang diakibatkan dari perkembangan zaman tidak dapat di elakkan, baik
perubahan dari dalam diri maupun perubahan yang terjadi pada setiap lapisan
masyarakat. Hukum pada hakikatnya merupakan suatu norma yang lahir dan
berkembang dalam masyarakat sebagai perwujudan daripada fungsi suatu hukum
yaitu untuk mengatur setiap tindakan antar manusia demi menjaga ketertiban dan
keteraturan. Seperti yang dikatakan oleh Marcus Tullius Cicero, Ubi Societas Ibi Ius
artinya dimana ada masyarakat pasti disitu ada hukum yang mengatur.
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural yang memiliki beragam suku,
adat, ras, dan agama yang dinilai cukup berhasil untuk menyatukan kemajemukan
masyarakat di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika. Selain keberagaman ras dan
budaya, Indonesia merupakan negara yang sebagian besar penduduknya beragama
Islam. Dikutip dari databoks.katadata.co.id, berdasarkan data Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, jumlah
penduduk Indonesia adalah 272,23 juta jiwa dan dari jumlah tersebut sebanyak,
236,53 juta jiwa atau sekitar (86,88%) penduduk beragama Islam saat terakhir
dihitung pada Juni 2021.
Dilihat dari data yang ada mayoritas penduduk Indonesia merupakan muslim
tentunya tidak mengherankan jika Indonesia dijuluki dengan “Negeri Seribu
Masjid”. Namun, hal ini justru menimbulkan berbagai macam pertanyaan terkait
sistem hukum yang mengatur di dalamnya. Secara logika, tidak salah jika timbul
pernyataan bahwa Indonesia dapat memakai sistem hukum Islam dikarenakan
dengan jumlah mayoritas penduduknya pemeluk agama Islam. Pada kenyataannya
hingga sampai saat ini Indonesia masih banyak menggunakan hukum Barat,
terkhusus dalam bidang hukum pidana di Indonesia masih memakai Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (Wetboek van Stafrech atau lebih dikenal KUHP) yang
merupakan salah satu warisan pada masa kolonial Belanda.
Hukum yang baik adalah hukum yang bersifat dinamis yaitu mampu mengikuti
1
perkembangan yang terdapat dalam masyarakat. KUHP yang berlaku saat ini
dianggap sudah terlalu tertinggal bahkan tidak sedikit masyarakat menilai bahwa
pasal-pasal yang berlaku sudah tidak relevan dengan keadaan yang ada pada saat ini.
Akibat warisan pada masa kolonial maka beberapa pasal dinilai sangat tidak
mementingkan hak asasi manusia.
Seperti yang dikutip dalam mediaindonesia.com, salah satu contoh kasus pidana
yang telah menimpa nenek Minah divonis 1 bulan 15 dengan masa percobaan 3
bulan karena melakukan pencurian 3 buah kakao di salah satu kebun milik
perusahaan. Kasus serupa yang lain terjadi oleh seorang pelajar pencuri sandal jepit
seharga Rp. 30.000 yang hampir terancam hukuman 5 tahun penjara karena jumlah
barang yang dicuri melebihi ukuran pidana ringan yaitu senilai Rp. 25 dalam KUHP
dimana undang-undang ini masih mengacu kepada hukum lama yang usianya sudah
lebih dari 100 tahun.
Melihat dari beberapa kasus diatas hukum pidana di Indonesia masih cukup buruk
dalam hal penjatuhan hukuman karena acuannya masih KUHP yang merupakan
warisan kolonial yang dinilai sangat tidak relevan dan cenderung ketinggalan jaman.
Berbanding terbalik dengan KUHP, hukum pidana Islam atau biasa disebut dengan
(Fiqh Jinayah) dianggap lebih tegas, hati-hati dan lebih adil dalam menerapkan
hukuman pidana. Dalam Hukum Pidana Islam terdapat beberapa asas yang harus
diperhatikan bagi para penegak hukum Islam, salah satu dari asasnya adalah asas
keharusan membatalkan hukuman akibat adanya unsur keraguan.
Menilik dari kedua kasus yang telah disebutkan sebelumnya apabila dikaji
menggunakan hukum pidana Islam, seorang hakim atau al-qadi’ juga harus
mempertimbangkan adanya unsur keraguan atau dalam Islam dinamakan dengan
syubhat. Ada tidaknya syubhat di dalam suatu kasus pidana menjadi penentu
terlaksana atau tidaknya suatu hukuman pidana Islam (Uqubah). Untuk itu meskipun
hukum Islam di anggap oleh kalangan masyarakat sebagai hukum yang kejam, akan
tetapi dalam proses pelaksanaannya Islam sangatlah berhati-hati dalam penjatuhan
hukuman.
2
pemberian hak keistimewaan kepada Aceh meliputi penyelenggaraan kehidupan
beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah
sebagai awal mula lahirnya perda khusus yang kini dikenal dengan nama Qanun.
Aceh sendiri kini telah memiliki Qanun khusus untuk menanggulangi tindak pidana
yang ada di wilayahnya yaitu dengan diberlakukannya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun
2014 tentang Hukum Jinayat. Berbeda dengan KUHP Indonesia yang diadaptasi dari
hukum Barat Eropa, Qanun Jinayat Aceh berisi hukum yang diambil dari nilai nilai
Islam yang sudah menjadi adat dan budaya bagi masyarakat Aceh.
Dikutip dari idntimes.com, Kepolisian Resor Kota Banda Aceh merilis data
kriminalitas yang terjadi di wilayah Aceh selama Januari-Desember 2020. Kepala
kepolisian Resor Kota Banda Aceh, Trisno Riyanto mengatakan kasus kriminal
mengalami penurunan 10.08 persen kasus dari tahun 2019 ke tahun 2020. Sedangkan
dikutip dari berita kompas.com, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas
Polri Kombes (Pol) Ahmad Ramadhan dalam video telekonferensi mengatakan
bahwa angka kriminalitas di Indonesia mengalami kenaikan pada tahun 2020 peka
ke-22 yaitu naik 442 kasus atau sebesar 16.16 persen.
Berdasarkan data dan fakta yang diperoleh sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai perbedaan
pemberlakuan sistem hukum positif dan sistem hukum Islam yang berlaku di
Indonesia serta masing-masing kedudukan hukum pidana baik hukum pidana positif
maupun hukum pidana Islam dalam sistem hukum di Indonesia. Disini penulis akan
mencoba membandingkan kedua konsep hukum pidana, baik hukum pidana positif
maupun hukum pidana Islam dan mencoba mengkaji kira-kira sistem hukum mana
yang sesuai di jalankan dalam sistem hukum di Indonesia. Mengenai hal-hal tersebut
akan dijelaskan lebih lanjut dalam makalah penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem hukum Positif yang berlaku di Indonesia dilihat dari aspek
substansi, struktur serta budaya hukumnya?
2. Bagaimana sistem hukum Islam di Indonesia dilihat dari aspek substansi,
struktur serta budaya hukumnya?
3
3. Bagaimana kedudukan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam di
Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis serta memahami sistem hukum di Indonesia dilihat dari aspek
substansi, struktur, serta budaya hukumnya.
2. Menganalisis serta memahami sistem hukum Islam yang berlaku di Indonesia
dilihat dari aspek substansi, struktur, serta budaya hukumnya.
3. Menganalisis serta memahami kedudukan hukum pidana positif dan hukum
pidana Islam di Indonesia.
D. Landasan Teori
Dalam makalah penelitian ini penulis coba mengkaji permasalahan menggunakan
teori sistem hukum Lawrence M. Friedman. Friedman mengatakan berhasil tidaknya
penegakan hukum tergantung dari tiga unsur sistem hukum dalam suatu negara yaitu:
1. Substansi Hukum (Legal substance)
Substansi Hukum maksudnya nilai-nilai atau norma-norma hukum yang
mengatur kehidupan masyarakat. Dalam hal ini adalah “Produk Hukum” yang
dirancang dan disahkan oleh lembaga yang berwenang serta diterima dan
dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Produk hukum
yang dimaksud disini jika dilihat dari hukum positif di Indonesia berupa
peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam hukum Islam dikenal
dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Qanun Jinayat di Aceh.
4
Budaya hukum atau kultur hukum menurut Lawrence M. Friedman
merupakan keseluruhan dari sikap-sikap masyarakat yang bersifat umum dan
nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat sebagai penentu pendapat
tentang hukum (Ismawati, 2011) Dari nilai-nilai yang berkembang tersebut
terbentuk suatu pola atau ciri dalam masyarakat, dari pola inilah dapat
diketahui jenis hukum apa yang cocok untuk diterapkan agar sesuai dapat
diterima dan dijalankan oleh masyarakat.
Berdasarkan teori yang telah dijabarkan diatas, penulis akan mencoba untuk
menggali maslaah penelitian ini berdasarkan acuan dari teori sistem hukum.
E. Metodologi Penelitian
Pendekatan pada penelitian ini ialah menggunakan pendekatan yuridis normatif.
Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk mengkaji kaidah-kaidah hukum yang
berkaitan dengan permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini. Penggunaan
penelitian yuridis normatif dilakukan karena kajian dalam penelitian ini adalah
kajian ilmu hukum oleh karena itu harus dikaji dari aspek hukumnya. Penelitian
yuridis normatif disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Aktivitas yang
dilakukan dalam pendekatan yuridis normatif meliputi:
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
hukum umum ialah ketentuan aturan yang tercantum dalam pasal- pasal Undang-
Undang. Ada 3 komponen atau bagian dari sistem hukum Indonesia, yaitu :
1. Hukum yang dibuat oleh lembaga Negara yang berwenang (peraturan
perundang-undangan atau hukum tertulis).
2. Hukum yang terbentuk melalui putusan pengadilan atau hakim
(yurisprudensi).
3. Hukum yang terbentuk melalui kebiasaan yang terjadi di masyarakat (hukum
adat atau hukum kebiasaan).
Hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang adalah berbentuk hukum tertulis
yang dikenal dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-
undangan di Indonesia merujuk pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi:
7
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, jenis peraturan
perundang-undangan selain yang dimaksud di atas mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh lembaga berwenang dibawah ini yaitu:
Dengan kata lain struktur ialah bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak
dalam suatu mekanisme. Contoh : “lembaga pembuat Undang-Undang,
8
pengadilan, dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan
menegakkan hukum seperti polisi, jaksa (Bakri, 2013, p. 21).
Jika berbicara mengenai budaya hukum di Indonesia, pasti akan berbicara masalah
sejarah yang lalu. Dimana budaya hukum di Indonesia selalu berubah setiap jaman
dikarenakan banyak terjadinya pembaharuan hukum. Mulai dari Indonesia saat
masih dikenal dengan Nusantara, saat berdirinya kerajaan hindu-buddha tidak
lama setelah kerajaan tersebut runtuh digantikan dengan kerajaan Islam berdiri di
Nusantara. Setelah masa kerajaan ini berakhir, nusantara mulai kedatangan
pedagang asing dari Belanda yang tadinya bertujuan untuk berdagang tetapi justru
malah masuk dan menjajah sebagian daerah nusantara. Pada masa inilah Indonesia
mulai mengenal adanya pengkodifikasian hukum serta berdiri beberapa
pengadilan khusus untuk menangani kasus pidana maupun perdata. Tidak hanya
Belanda, Perancis, Inggris hingga Jepang juga pernah menjajah Indonesia. Pada
masa penjajahan jepang disini peraturan dan tata cara peradilan di Indonesia mulai
dibenahi. Melihat dari perjalanan budaya hukum Indonesia yang sangat Panjang
dan memiliki berbagai macam corak, mempengaruhi substansi dari hukum
9
Indonesia yang selama ini diadopsi. Meskipun begitu, hukum di Indonesia
sebagian besar mengadopsi sistem dari Eropa.
10
layaknya seperti konstitusi sebuah negara. Materi dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 banyak dipengaruhi oleh isi Perjanjian Helsinki antara Pemerintah
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang lebih jauh memberikan
penguatan terhadap status keistimewaan Aceh, serta kekhususan dan otonomi seluas-
luasnya bagi Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Ridha
Maulana, 2019).
Ketentuan Pasal 18b ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian diperkuat
dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Aceh, dan akhirnya lahirnya Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menjadikan dalam perbelakukan
sistem hukum, selain berlakunya sistem hukum negara (state law), secara de facto di
Aceh juga berlaku sistem hukum adat (adat law), dan hukum agama/hukum Islam
(religious law/ Islamic law) (Ridha Maulana, 2019).
Qanun dapat dibagi menjadi dua katagori yaitu Qanun Umum dan Qanun
Khusus berdasarkan perbedaan isi yang terdapat dalam materi qanun tersebut.
(1) Qanun Umum, yaitu Qanun yang berisi aturan aturan tentang
penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Isi Qanun umum ini
mempunyai persamaan dan perbedaan dengan ketentuan atau isi perda
daerah lainnya. Persamaannya, isinya berisi tentang ketentuan-
ketentuan umum dalam hal penyelenggaraan pemerintahan seperti di
11
bidang pajak, retribusi, APBD, RUTR, dan semua urusan yang
diberikan pusat kepada daerah diluar urusan atau kewenangan pusat.
Adapun perbedaannya dengan peraturan daerah lainnya yaitu setiap isi
Qanun tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam.
(2) Qanun Khusus, yaitu Qanun yang berisi aturan-aturan tentang
penyelenggaraan kekhususan pemerintahan daerah NAD. Kriteria
Qanun khusus yaitu:
1) kehidupan beragama di NAD harus dilandasi oleh ajaran
Islam.
2) kehidupan hukum adat haruslah berlandaskan ajaran Islam.
3) penyelenggaraan pendidikan haruslah berdasarkan ajaran
Islam.
4) Peran Ulama sangat penting sebagai pemuka agama, karena
itu Ulama harus di ikut sertakan dalam pembuatan Qanun,
agar kebijakan yang dibuat tidak bertentangan dengan ajaran
Islam yang telah menjadi Volksgeist atau jiwa bangsa dari
masyarakat Aceh (Anggriani, 2011).
Salah satu contoh qanun kriteria khusus ini adalah qanun jinayat dan
qanun acara jinayat di Aceh.
12
Hisbah, Majelis Adat Aceh dan lembaga-lemabga pendukung lainnya (Berutu,
2019). Namun, Mahkamah Syar’iyah dan Wilayatul Hisbah merupakan dua
lembaga yang sangat penting di Aceh dalam penegakkan hukum Islam.
1. Mahkamah Syar’iyah
Mahkamah Syar’iyah di Aceh merupakan lembaga peradilan khusus
dalam lingkungan peradilan agama, sesuai dengan ketentuan pasal 15 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menjelaskan bahwa, peradilan syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
merupakan peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang
menyangkut wewenang peradilan agama dan merupakan peradilan khusus
dalam lingkup peradilan umum sepanjang menyangkut peradilan umum
(Berutu, 2019).
Mahkamah Syar’iyah di Aceh memiliki wewenang yang lebih luas bila
dibandingkan dengan peradilan agama pada umumnya di Indonesia, hal ini
dikarenakan mahkamah syar’iyah juga memiliki sebagian dari wewenang
peradilan umum. Tapi walaupun demikian mahkamah syar’iyah tetap
merupakan bagian dari sistem peradilan nasional, sebagaimana dijelaskan
dalam UUPA pasal 128 ayat (1) Peradilan syariat Islam di Aceh adalah bagian
dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang
dilakukan oleh mahkamah syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun
(Berutu, 2019).
2. Wilayatul Hisbah
Wilayatul Hisbah adalah lembaga atau badan yang berwewenang
memberitahukan kepada masyarakat tentang peraturan yang sudah berlaku dan
menyadarkan anggota masyarakat agar mematuhi aturan tersebut supaya tidak
dikenakan sanksi atau denda (law enforcement) (Berutu, 2019).
Menurut Qanun No. 11 Tahun 2004, wilayatul hisbah adalah lembaga
pembantu tugas kepolisian yang membantu membina, melakukan advokasi
dan mengawasi pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dan dapat berfungsi
sebagai polisi khusus (polsus) dan PPNS.
13
Agama Islam telah membentuk identitas masyarakat Aceh sejak masa awal
penyebarannya keluar jazirah Arab. Nilai-nilai hukum dan norma adat yang telah
menyatu dengan Islam merupakan pandagan hidup (way of life) bagi masyarakat
Aceh (Berutu, 2016).
Pengaruh hukum Islam terhadap hukum adat telah meliputi semua bidang hukum,
sehingga dapat dikatakan bahwa hukum Islam dan hukum adat telah melebur
menjadi satu hukum. Untuk melihat bagaimana sebenarnya budaya orang Aceh,
dapat dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi kebudayaan itu sendiri. Dalam
kenyataannya budaya Aceh telah beratus-ratus tahun dipengaruhi oleh ajaran
agama Islam, pengaruh ini telah masuk kedalam semua sendi kehidupan
masyarakat Aceh, mulai dari siasat peperangan, kesenian, pergaulan masyarakat,
pendidikan dan pengajaran sampai kepada kehidupan sosial–masyarakat lainnya
(Berutu, 2016).
14
Hukum pidana Islam (fiqh jinayah) merupakan syariat Allah SWT yang mengatur
ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan
oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil
dari pemahaman atas dalildalil hukum yang terperinci dari Al Qur'an dan Hadist.
Di dalam hukum Islam, terhadap hal-hal yang dianggap salah atau melanggar
hukum adalah sesuatu yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum syariat, yang
dasar hukumnya dapat ditemui di dalam Al Qur'an, Hadist, maupun Ijtihad para
ulama. Ketentuan-ketentuan syariat ini tidak hanya berkaitan dengan hubungan
muamalah saja, tetapi juga menyangkut ibadah, yang pada dasarnya pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut semuanya akan mendapatkan hukuman, meskipun
hukuman terhadap perbuatan tersebut ada yang diterima di dunia maupun ada
hukuman yang akan diberikan di akhirat kelak. Konsep jinayah atau dalam istilah
Indonesia disebut pidana, membicarakan tentang masalah larangan, karena setiap
perbuatan yang dilakukan berkaitan dengan larangan selalu terangkum dalam
konsep jinayah yang merupakan perbuatan tersebut dilarang oleh syara'.
Dasar hukum dalam Pasal II dari Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia telah ditetapkan, bahwa segala Badan-Badan Negara dan
Peraturan-Peraturan yang ada, masih berlaku sebelumnya diadakan peraturan baru.
Intinya kedudukan hukum pidana sebagai kuhuk positif masih eksis digunakan
dalam sistem kukum di indonesia, dan indonesia mengadopsi kuhap dari hindia
15
belanda indonesia sampe sekarang masih pakai itu karena belum ada pengganti
peraturan baru, berdasarkan UUD 1945 pasal II aturan peralihan.
Hukum pidana islam lebih memberikan suatu proses hukuman yang lebih baik
sehingga tidak akan munculnya suatu stigma yang mengatakan suatu kejahatan
bisa bebas begitu saja setelah menjalani hukuman tetapi lebih mengena dan lebih
memberikan efek jera yang lebih baik, baik itu kepada si pelaku kejahatan maupun
kepada masyarakat. Pemberlakuan hukum pidana islam sepertinya mampu
menjawab semua persoalan yang di alami oleh negara ini dan lebih memliki suatu
tingkat keadilan dan kemanfaatn serta lebih adanya suatu kepastian hukum sebab
di dalam hukum islam terlah terdapat suatu hukuman yang langsung meberikan
suatu penghapusan dosa dan pertanggungungjawaban pidana.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, dapat disimpulkan beberapa poin penting
sebagai berikut:
17
3. Kedudukan hukum pidana positif di Indonesia jelas akan lebih mendominasi
karena pemberlakuan hukumnya dalam skala nasional. Sedangkan untuk
kedudukan hukum pidana Islam di Aceh dalam hal ini adalah qanun jinayat,
dalam sistem hukum di Indonesia qanun merupakan salah satu bagian dari
peraturan perundang-undangan yang dibentuk khusus untuk mengatur hukum
pidana di wilayah Aceh. Maka, cakupannya hanyalah sebatas daerah provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Meskipun begitu, Indonesia juga telah beberapa
mengeluarkan produk hukum berlandaskan syariat Islam, salah satunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Walaupun KHI tidak masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-
undangan, keberlakuan KHI sampai saat ini masih digunakan oleh para hakim
untuk menyelesaikan permasalahan menyangkut hukum Islam.
B. Saran
Dalam menerapkan suatu sistem hukum dalam suatu negara atau wilayah jangan
hanya melihat dari satu sisi. Indonesia merupakan negara yang penduduknya
mayoritasnya Islam, hal ini bukan berarti bahwa Indonesia harus menganut sistem
hukum Islam juga karena sedari awal Indonesia bukanlah negara Islam.
18
DAFTAR PUSTAKA
Anggriani, J. (2011). Kedudukan Qanun dalam Sistem Pemerintahan Daerah dan Mekanisme
Pengawasannya. Jurnal Hukum, 320-335.
Bakri, M. (2013). Prof., Dr., SH., MS. Malang: Unviersitas Brawijaya Press (UB Press).
Berutu, A. G. (2019). Mahkamah Syar'iyyah dan Wilayatul Hisbah Sebagai Garda Terdepan
Dalam Penegakkan Qanun Jinayat di Aceh. al-Maslahah, 98-112.
Lysa, A. (2015). Hukum Pidana Dalam Perspektif Islam dan Perbandingannya Dengan
Hukum Pidana di Indonesia. Hukum Islam, 105.
Ridha Maulana, O. K. (2019). Sistem Hukum Di Aceh dan Kaitannya dengan Pluralisme
Hukum. Jurnal Geuthee: Penelitian Multidisplin, 323-331.
A Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, Dan Akan Datang, Jakarta : Prenada
Media, 2017
Emy Hajar Abra, Konstruksi Sistem Hukum Indonesia, Batam : Universitas Riau Kepulauan
Batam, Jurnal Dimensi, 2016.
Fajar Nurhardianto, Sistem Hukum Dan Posisi Hukum Indonesia, Jurnal TAPIs Vol.11 No.1
Januari-Juni 2015.
M Bakri, Pengantar Hukum Indonesia Jilid 1 : Sistem hukum Indonesia pada era reformasi,
malang : universitas brawijaya, 2013.
19
M Iqbal Abdurrahman, Skripsi, Hukum Islam Tentang Tentang Pengumpulan Infak Masjid
Dengan Sistem Lelang, Lampung : Universitas Islam Negeri Raden Intan, 2020.
20