Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KELOMPOK 1

KEDUDUKAN HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM


SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Hukum Pidana
Positif dan Pidana Islam

Dosen Pengampu: Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag. dan Asmui M.H.

Disusun Oleh:

Sulyan Andika Pratamar (11190454000008)

Muhammad Syafiq Asnawi (11190454000017)

Anissa Djuarni Siti Ningrum (11190454000043)

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Selawat serta salam tidak
lupa kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah
mengantarkan kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti saat
ini.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah Perbandingan
Hukum Pidana Positif dan Pidana Islam yang kami hormati, Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag.
dan Asmui M.A. yang telah memberikan ilmu serta turut membantu dalam penyusunan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul, “Kedudukan Hukum Pidana
Positif dan Hukum Pidana Islam Dalam Sistem Hukum di Indonesia”.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka
dari itu kami sangat mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk
membuat makalah ini menjadi lebih baik.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk para pembaca dan dapat dijadian
referensi ataupun materi pembelajaran untuk kita semua. Demikian kami sampaikan, Terima
kasih.

Bekasi, 06 September 2021

Penyusun Makalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................3
C. Tujuan Penelitian............................................................................................................4
D. Landasan Teori................................................................................................................4
E. Metodologi Penelitian.....................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
A. Sistem Hukum di Indonesia............................................................................................6
a. Substansi Hukum di Indonesia....................................................................................6
b. Struktur Hukum di Indonesia......................................................................................8
c. Budaya Hukum di Indonesia.......................................................................................9
B. Sistem Hukum Islam di Aceh.......................................................................................10
a. Substansi Hukum di Aceh.........................................................................................11
b. Struktur Hukum di Aceh...........................................................................................12
c. Budaya Hukum di Aceh............................................................................................13
C. Kedudukan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana di Indonesia.............................14
a. Pengertian Hukum Pidana Islam dan Positif.............................................................14
b. Kedudukan Hukum Pidana Positif di Indonesia........................................................15
c. Kedudukan Hukum Pidana Islam di Indonesia.........................................................15
BAB III.....................................................................................................................................17
PENUTUP................................................................................................................................17
A. Kesimpulan...................................................................................................................17
B. Saran..............................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan yang diakibatkan dari perkembangan zaman tidak dapat di elakkan, baik
perubahan dari dalam diri maupun perubahan yang terjadi pada setiap lapisan
masyarakat. Hukum pada hakikatnya merupakan suatu norma yang lahir dan
berkembang dalam masyarakat sebagai perwujudan daripada fungsi suatu hukum
yaitu untuk mengatur setiap tindakan antar manusia demi menjaga ketertiban dan
keteraturan. Seperti yang dikatakan oleh Marcus Tullius Cicero, Ubi Societas Ibi Ius
artinya dimana ada masyarakat pasti disitu ada hukum yang mengatur.

Indonesia merupakan salah satu negara multikultural yang memiliki beragam suku,
adat, ras, dan agama yang dinilai cukup berhasil untuk menyatukan kemajemukan
masyarakat di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika. Selain keberagaman ras dan
budaya, Indonesia merupakan negara yang sebagian besar penduduknya beragama
Islam. Dikutip dari databoks.katadata.co.id, berdasarkan data Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, jumlah
penduduk Indonesia adalah 272,23 juta jiwa dan dari jumlah tersebut sebanyak,
236,53 juta jiwa atau sekitar (86,88%) penduduk beragama Islam saat terakhir
dihitung pada Juni 2021.

Dilihat dari data yang ada mayoritas penduduk Indonesia merupakan muslim
tentunya tidak mengherankan jika Indonesia dijuluki dengan “Negeri Seribu
Masjid”. Namun, hal ini justru menimbulkan berbagai macam pertanyaan terkait
sistem hukum yang mengatur di dalamnya. Secara logika, tidak salah jika timbul
pernyataan bahwa Indonesia dapat memakai sistem hukum Islam dikarenakan
dengan jumlah mayoritas penduduknya pemeluk agama Islam. Pada kenyataannya
hingga sampai saat ini Indonesia masih banyak menggunakan hukum Barat,
terkhusus dalam bidang hukum pidana di Indonesia masih memakai Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (Wetboek van Stafrech atau lebih dikenal KUHP) yang
merupakan salah satu warisan pada masa kolonial Belanda.

Hukum yang baik adalah hukum yang bersifat dinamis yaitu mampu mengikuti

1
perkembangan yang terdapat dalam masyarakat. KUHP yang berlaku saat ini
dianggap sudah terlalu tertinggal bahkan tidak sedikit masyarakat menilai bahwa
pasal-pasal yang berlaku sudah tidak relevan dengan keadaan yang ada pada saat ini.
Akibat warisan pada masa kolonial maka beberapa pasal dinilai sangat tidak
mementingkan hak asasi manusia.

Seperti yang dikutip dalam mediaindonesia.com, salah satu contoh kasus pidana
yang telah menimpa nenek Minah divonis 1 bulan 15 dengan masa percobaan 3
bulan karena melakukan pencurian 3 buah kakao di salah satu kebun milik
perusahaan. Kasus serupa yang lain terjadi oleh seorang pelajar pencuri sandal jepit
seharga Rp. 30.000 yang hampir terancam hukuman 5 tahun penjara karena jumlah
barang yang dicuri melebihi ukuran pidana ringan yaitu senilai Rp. 25 dalam KUHP
dimana undang-undang ini masih mengacu kepada hukum lama yang usianya sudah
lebih dari 100 tahun.

Melihat dari beberapa kasus diatas hukum pidana di Indonesia masih cukup buruk
dalam hal penjatuhan hukuman karena acuannya masih KUHP yang merupakan
warisan kolonial yang dinilai sangat tidak relevan dan cenderung ketinggalan jaman.
Berbanding terbalik dengan KUHP, hukum pidana Islam atau biasa disebut dengan
(Fiqh Jinayah) dianggap lebih tegas, hati-hati dan lebih adil dalam menerapkan
hukuman pidana. Dalam Hukum Pidana Islam terdapat beberapa asas yang harus
diperhatikan bagi para penegak hukum Islam, salah satu dari asasnya adalah asas
keharusan membatalkan hukuman akibat adanya unsur keraguan.

Menilik dari kedua kasus yang telah disebutkan sebelumnya apabila dikaji
menggunakan hukum pidana Islam, seorang hakim atau al-qadi’ juga harus
mempertimbangkan adanya unsur keraguan atau dalam Islam dinamakan dengan
syubhat. Ada tidaknya syubhat di dalam suatu kasus pidana menjadi penentu
terlaksana atau tidaknya suatu hukuman pidana Islam (Uqubah). Untuk itu meskipun
hukum Islam di anggap oleh kalangan masyarakat sebagai hukum yang kejam, akan
tetapi dalam proses pelaksanaannya Islam sangatlah berhati-hati dalam penjatuhan
hukuman.

Berbicara mengenai pemberlakuan hukum pidana Islam, Provinsi Nangroe Aceh


Darussalam menjadi salah satu daerah di Indonesia yang menerapkan hukum pidana
Islam. Semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang

2
pemberian hak keistimewaan kepada Aceh meliputi penyelenggaraan kehidupan
beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah
sebagai awal mula lahirnya perda khusus yang kini dikenal dengan nama Qanun.
Aceh sendiri kini telah memiliki Qanun khusus untuk menanggulangi tindak pidana
yang ada di wilayahnya yaitu dengan diberlakukannya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun
2014 tentang Hukum Jinayat. Berbeda dengan KUHP Indonesia yang diadaptasi dari
hukum Barat Eropa, Qanun Jinayat Aceh berisi hukum yang diambil dari nilai nilai
Islam yang sudah menjadi adat dan budaya bagi masyarakat Aceh.

Dikutip dari idntimes.com, Kepolisian Resor Kota Banda Aceh merilis data
kriminalitas yang terjadi di wilayah Aceh selama Januari-Desember 2020. Kepala
kepolisian Resor Kota Banda Aceh, Trisno Riyanto mengatakan kasus kriminal
mengalami penurunan 10.08 persen kasus dari tahun 2019 ke tahun 2020. Sedangkan
dikutip dari berita kompas.com, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas
Polri Kombes (Pol) Ahmad Ramadhan dalam video telekonferensi mengatakan
bahwa angka kriminalitas di Indonesia mengalami kenaikan pada tahun 2020 peka
ke-22 yaitu naik 442 kasus atau sebesar 16.16 persen.

Berdasarkan data dan fakta yang diperoleh sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai perbedaan
pemberlakuan sistem hukum positif dan sistem hukum Islam yang berlaku di
Indonesia serta masing-masing kedudukan hukum pidana baik hukum pidana positif
maupun hukum pidana Islam dalam sistem hukum di Indonesia. Disini penulis akan
mencoba membandingkan kedua konsep hukum pidana, baik hukum pidana positif
maupun hukum pidana Islam dan mencoba mengkaji kira-kira sistem hukum mana
yang sesuai di jalankan dalam sistem hukum di Indonesia. Mengenai hal-hal tersebut
akan dijelaskan lebih lanjut dalam makalah penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti merumuskan
masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem hukum Positif yang berlaku di Indonesia dilihat dari aspek
substansi, struktur serta budaya hukumnya?
2. Bagaimana sistem hukum Islam di Indonesia dilihat dari aspek substansi,
struktur serta budaya hukumnya?

3
3. Bagaimana kedudukan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam di
Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis serta memahami sistem hukum di Indonesia dilihat dari aspek
substansi, struktur, serta budaya hukumnya.
2. Menganalisis serta memahami sistem hukum Islam yang berlaku di Indonesia
dilihat dari aspek substansi, struktur, serta budaya hukumnya.
3. Menganalisis serta memahami kedudukan hukum pidana positif dan hukum
pidana Islam di Indonesia.

D. Landasan Teori
Dalam makalah penelitian ini penulis coba mengkaji permasalahan menggunakan
teori sistem hukum Lawrence M. Friedman. Friedman mengatakan berhasil tidaknya
penegakan hukum tergantung dari tiga unsur sistem hukum dalam suatu negara yaitu:
1. Substansi Hukum (Legal substance)
Substansi Hukum maksudnya nilai-nilai atau norma-norma hukum yang
mengatur kehidupan masyarakat. Dalam hal ini adalah “Produk Hukum” yang
dirancang dan disahkan oleh lembaga yang berwenang serta diterima dan
dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Produk hukum
yang dimaksud disini jika dilihat dari hukum positif di Indonesia berupa
peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam hukum Islam dikenal
dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Qanun Jinayat di Aceh.

2. Struktur Hukum (Legal structure)


Struktur Hukum atau Pranata hukum yang dimaksud adalah mengenai alat
negara atau kelembagaan yang berfungsi sebagai pembentuk dan penegak
dari susbtansi hukum. Dalam bidang hukum pidana dikenal dengan sistem
peradilan pidana dinamakan suatu sistem karena di dalamnya harus ada kerja
sama yang saling bersinergi antar lembaga satu dengan yang lainnya. Dimulai
dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai kepada lembaga
pemasyarakatan.

3. Budaya Hukum (Legal culture)

4
Budaya hukum atau kultur hukum menurut Lawrence M. Friedman
merupakan keseluruhan dari sikap-sikap masyarakat yang bersifat umum dan
nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat sebagai penentu pendapat
tentang hukum (Ismawati, 2011) Dari nilai-nilai yang berkembang tersebut
terbentuk suatu pola atau ciri dalam masyarakat, dari pola inilah dapat
diketahui jenis hukum apa yang cocok untuk diterapkan agar sesuai dapat
diterima dan dijalankan oleh masyarakat.

Berdasarkan teori yang telah dijabarkan diatas, penulis akan mencoba untuk
menggali maslaah penelitian ini berdasarkan acuan dari teori sistem hukum.

E. Metodologi Penelitian
Pendekatan pada penelitian ini ialah menggunakan pendekatan yuridis normatif.
Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk mengkaji kaidah-kaidah hukum yang
berkaitan dengan permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini. Penggunaan
penelitian yuridis normatif dilakukan karena kajian dalam penelitian ini adalah
kajian ilmu hukum oleh karena itu harus dikaji dari aspek hukumnya. Penelitian
yuridis normatif disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Aktivitas yang
dilakukan dalam pendekatan yuridis normatif meliputi:

1. Melakukan penafsiran hukum (gramatikal, sistematik, otentik);


2. Filsafat Hukum (Aliran Positivisme Hukum);
3. Sejarah Hukum; dan
4. Perbandingan Hukum.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sistem Hukum di Indonesia


Indonesia merupakan Negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (Civil
Law System), akan tetapi didalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia, berlaku juga sistem hukum adat dan juga sistem hukum Islam di
Indonesia (Raharjo, 2018, pp. 36-37).
Sistem hukum Eropa Kontinental ada karena Indonesia dijajah Belanda sangat lama
yakni selama tiga setengah abad, dari sebelum Indoensia merdeka, Belanda sudah
memaksakan masyarakat untuk menggunakan sistem hukum Belanda (sekalipun
terdapat penggolakan hukum di nusantara), namun beberapa ketentuan Undang-
Undang peninggalan Belanda itu ada yang akhirnya dirubah menjadi KUHPerdata dan
pidana, dan lainnya sekalipun substansinya masih sedikit banyak menggunakan sistem
hukum Belanda. Sistem hukum adat adalah bagian dari sistem hukum yang lebih lama
yakni dari masa awal sejarah tatanan kehidupan yang dibentuk hingga selama sistem
hukum itu masih diakui dan dikembangkan.
Sistem hukum adat adalah sistem hukum terlama di Indonesia bahkan jauh sebelum
Indonesia merdeka, dia tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum yang
dibuat, dihormati, dijaga dan dijadikan sebagai wewenang tertinggi. Ketika seseorang
melakukan kesalahan maka hukum yang hidup dimasyarakatlah yang akan
menghukumnya.
Sistem hukum Islam adalah salah satu sistem hukum yang mempunyai ciri khusus
karena berasal dari ajaran Islam yang bersumber dari Allah dan Sunnah Rasul dan
Ra`yu atau akal (Abra, 2016). Dan sistem hukum islam adalah salah satu sistem
hukum yang diakui bidang keilmuan, sehingga oleh para pemikir barat kemudian
dimaksukkan dalam salah satu keluaga sistem hukum dunia yang bertahan lama, yang
juga digunakan dibelahan dunia (Abra, 2016, p. 8).

F. Substansi Hukum di Indonesia


Substansi ialah suatu hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum, yang mana
hasil nyatanya dapat berbentuk hukum atau kaedah-kaedah hukum umum. Kaedah

6
hukum umum ialah ketentuan aturan yang tercantum dalam pasal- pasal Undang-
Undang. Ada 3 komponen atau bagian dari sistem hukum Indonesia, yaitu :
1. Hukum yang dibuat oleh lembaga Negara yang berwenang (peraturan
perundang-undangan atau hukum tertulis).
2. Hukum yang terbentuk melalui putusan pengadilan atau hakim
(yurisprudensi).
3. Hukum yang terbentuk melalui kebiasaan yang terjadi di masyarakat (hukum
adat atau hukum kebiasaan).

Ketiga komponen ini saling memperngaruhi, contoh : “Hakim dalam memutuskan


suatu perkara (yurisprudensi), harus berdasar hukum, biak hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis. Oleh karena itu hakim dalam memutus suatu perkara harus
berdasar hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, maka hukum tertulis dan tidak
tertulis itu mempengaruhi putusan pengadilan (yurisprudensi). Demikian pula,
hukum adat dapat mempengaruhi peraturan perundang-undangan (hukum nasional
yaitu hukum yang dibuat oleh bangsa Indonesia sendiri), karena hukum nasional
itu harus berdasar pada hukum adat. Oleh karena hukum nasional berdasar pada
hukum adat, maka hukum adat ini pun mempengaruhi hukum nasional (peraturan
perundang-undangan) (Bakri, 2013, pp. 22-24)

Hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang adalah berbentuk hukum tertulis
yang dikenal dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-
undangan di Indonesia merujuk pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi:

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan di atas sesuai dengan hierarki


tersebut dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, jenis peraturan
perundang-undangan selain yang dimaksud di atas mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh lembaga berwenang dibawah ini yaitu:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);


2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4. Mahkamah Agung;
5. Mahkamah Konstitusi (MK);
6. Badan Pemeriksa Keuangan;
7. Komisi Yudisial;
8. Bank Indonesia;
9. Menteri;
10. Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang (UU) atau pemerintah atas perintah UU;
11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD
kabupaten/kota;
12. Gubernur, bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat.

G. Struktur Hukum di Indonesia


Menurut Lawrence M Friedman, struktur ialah : bangunan dari sebuah sistem
adalah kerangkanya, hal tersebut adalah bentuk permanen, badan kelembagaan
sistem tersebut, tulang yang kuar yang mempertahankan proses yang belangsung
dalam ikatan. Kita menjelaskan struktur dari sistem peradilan ketika kita berbicara
dengan jumlah hakim, wilayah kekuasaan mengadili pengadilan”.

Dengan kata lain struktur ialah bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak
dalam suatu mekanisme. Contoh : “lembaga pembuat Undang-Undang,

8
pengadilan, dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan
menegakkan hukum seperti polisi, jaksa (Bakri, 2013, p. 21).

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana


(yang disebut dengan istilah KUHAP) sebagai landasan perkara peradilan pidana
di Indonesia ada beberapa komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui,
terdiri atas sub-kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga pemasyarakatan.

H. Budaya Hukum di Indonesia


Budaya hukum sangat berkaitan dengan sikap terhadap hukum. Sikap ini berkaitan
dengan sikap terhadap hukum. Sikap ini berkaitan dengan budaya pada umumnya,
oleh karena itu, hal-hal yang menyangut seperti : keyakinan, nilai, cita, dan
harapan-harapan. Budaya hukum juga dapat dikatakan sebagai sikap tindak warga
masyarakat beserta nilai-nilai yang dianutnya. Atau bisa juga dikatakan bahwa
budaya hukum ialah keseluruhan jalinan yang mempengaruhi hukum. Contoh :
“Adanya rasa malu dan rasa salah apabila melanggar hukum”.

Menurut Lawrence M Friedman : “Budaya hukum mengacu pada bagian-bagian


adaat budaya yang umum, pendapat, cara melakukan berfikir yang membelokkan
kekuatan social menuju bahkan jauh dari hukum hukum dalam cara-cara tertentu
(Bakri, 2013, p. 22).

Jika berbicara mengenai budaya hukum di Indonesia, pasti akan berbicara masalah
sejarah yang lalu. Dimana budaya hukum di Indonesia selalu berubah setiap jaman
dikarenakan banyak terjadinya pembaharuan hukum. Mulai dari Indonesia saat
masih dikenal dengan Nusantara, saat berdirinya kerajaan hindu-buddha tidak
lama setelah kerajaan tersebut runtuh digantikan dengan kerajaan Islam berdiri di
Nusantara. Setelah masa kerajaan ini berakhir, nusantara mulai kedatangan
pedagang asing dari Belanda yang tadinya bertujuan untuk berdagang tetapi justru
malah masuk dan menjajah sebagian daerah nusantara. Pada masa inilah Indonesia
mulai mengenal adanya pengkodifikasian hukum serta berdiri beberapa
pengadilan khusus untuk menangani kasus pidana maupun perdata. Tidak hanya
Belanda, Perancis, Inggris hingga Jepang juga pernah menjajah Indonesia. Pada
masa penjajahan jepang disini peraturan dan tata cara peradilan di Indonesia mulai
dibenahi. Melihat dari perjalanan budaya hukum Indonesia yang sangat Panjang
dan memiliki berbagai macam corak, mempengaruhi substansi dari hukum

9
Indonesia yang selama ini diadopsi. Meskipun begitu, hukum di Indonesia
sebagian besar mengadopsi sistem dari Eropa.

B. Sistem Hukum Islam di Aceh


Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki sistem hukum
pluralisme yaitu daerah yang mengadopsi lebih dari satu sistem hukum. Provinsi Aceh
dipandang sebagai provinsi yang memiliki status otonomi khusus bercorak
multikultural, karena kemajemukan sistem hukum dalam masyarakatnya. Dasar
berlakunya pluralisme hukum di Aceh adalah terdapat dalam ketentuan Pasal 18b ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang” kemudian diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Undang-undang ini menegaskan, bahwa status keistimewaan Aceh
terletak pada, “Kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama,
adat, pendidikan, dan ulama dalam penetapan kebijakan daerah”. Pemerintah pusat
mengesahkan undang-undang ini sebagai bagian dari akomodasi terhadap tuntuntan
masyarakat Aceh yang merasa diperlakukan tidak adil pada masa rezim sebelumnya
(Ridha Maulana, 2019).

Lalu pada tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid kembali memperkuat


kedudukan keistimewaan Aceh dengan “otonomi khusus” melalui pengesahan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Melalui Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 inilah Aceh diperkenankan menerapkan Syariah Islam
sebagai sistem hukum formal, membentuk pengadilan Syariah, dan mengartikulasikan
aturan-aturan ke dalam bentuk qanun. Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 dengan gamblang menyatakan, “Qanun Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di
wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan
otonomi khusus.” Kemudian undang-undang ini diganti dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, karena dianggap sudah tidak lagi
menampung aspirasi dan kesepakatan yang lahir dari Perjanjian Helsinki yang
mengakhiri konflik di Aceh pada tahun 2005. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
mengatur secara lebih komprehensif tentang keistimewaan atau kekhususan Aceh,

10
layaknya seperti konstitusi sebuah negara. Materi dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 banyak dipengaruhi oleh isi Perjanjian Helsinki antara Pemerintah
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang lebih jauh memberikan
penguatan terhadap status keistimewaan Aceh, serta kekhususan dan otonomi seluas-
luasnya bagi Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Ridha
Maulana, 2019).
Ketentuan Pasal 18b ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian diperkuat
dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Aceh, dan akhirnya lahirnya Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menjadikan dalam perbelakukan
sistem hukum, selain berlakunya sistem hukum negara (state law), secara de facto di
Aceh juga berlaku sistem hukum adat (adat law), dan hukum agama/hukum Islam
(religious law/ Islamic law) (Ridha Maulana, 2019).

a. Substansi Hukum di Aceh


Menurut Lawrence M Friedman “substansi itu terdiri atas peraturan hukum
substantif dan peraturan hukum tentang bagaimana seharusnya lembaga-lembaga
itu berlaku atau bertindak” (Bakri, 2013). Singkatnya substansi hukum disini
diartikan sebagai produk keluaran hukum atau hasil yang diciptakan dan
disepakati untuk dipakai serta diberlakukan sebagai acuan dalam kehidupan.

Ada beberapa substansi hukum yang diterapkan di Aceh:

1. Peraturan Daerah (qanun)


Menurut Pasal 21 dan 22 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
menyatakan bahwa, Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis
peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat Aceh.

Qanun dapat dibagi menjadi dua katagori yaitu Qanun Umum dan Qanun
Khusus berdasarkan perbedaan isi yang terdapat dalam materi qanun tersebut.

(1) Qanun Umum, yaitu Qanun yang berisi aturan aturan tentang
penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Isi Qanun umum ini
mempunyai persamaan dan perbedaan dengan ketentuan atau isi perda
daerah lainnya. Persamaannya, isinya berisi tentang ketentuan-
ketentuan umum dalam hal penyelenggaraan pemerintahan seperti di

11
bidang pajak, retribusi, APBD, RUTR, dan semua urusan yang
diberikan pusat kepada daerah diluar urusan atau kewenangan pusat.
Adapun perbedaannya dengan peraturan daerah lainnya yaitu setiap isi
Qanun tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam.
(2) Qanun Khusus, yaitu Qanun yang berisi aturan-aturan tentang
penyelenggaraan kekhususan pemerintahan daerah NAD. Kriteria
Qanun khusus yaitu:
1) kehidupan beragama di NAD harus dilandasi oleh ajaran
Islam.
2) kehidupan hukum adat haruslah berlandaskan ajaran Islam.
3) penyelenggaraan pendidikan haruslah berdasarkan ajaran
Islam.
4) Peran Ulama sangat penting sebagai pemuka agama, karena
itu Ulama harus di ikut sertakan dalam pembuatan Qanun,
agar kebijakan yang dibuat tidak bertentangan dengan ajaran
Islam yang telah menjadi Volksgeist atau jiwa bangsa dari
masyarakat Aceh (Anggriani, 2011).
Salah satu contoh qanun kriteria khusus ini adalah qanun jinayat dan
qanun acara jinayat di Aceh.

2. Peraturan Gubernur Aceh


Seperti peraturan gubernur lainnya, peraturan gubernur aceh merupakan
peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur yang ditetapkan oleh
Gubernur Aceh untuk menjalankan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi yaitu, qanun atau dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintah
daerah.
3. Keputusan Gubernur Aceh dan Keputusan Sekretaris Daerah Aceh
Keputusan disini sifatnya berupa surat khusus, individual dan final untuk
menjalankan perintah peraturan perundang-undangan diatasnya sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.

b. Struktur Hukum di Aceh


Untuk mendukung kelangsungan pemberlakuan syariat Islam di Aceh, maka
Pemerintah Aceh telah membentuk lembaga-lembaga penegak syariat Islam di
daerah tersebut seperti, Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syar’iyah, Wilayatul

12
Hisbah, Majelis Adat Aceh dan lembaga-lemabga pendukung lainnya (Berutu,
2019). Namun, Mahkamah Syar’iyah dan Wilayatul Hisbah merupakan dua
lembaga yang sangat penting di Aceh dalam penegakkan hukum Islam.

1. Mahkamah Syar’iyah
Mahkamah Syar’iyah di Aceh merupakan lembaga peradilan khusus
dalam lingkungan peradilan agama, sesuai dengan ketentuan pasal 15 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menjelaskan bahwa, peradilan syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
merupakan peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang
menyangkut wewenang peradilan agama dan merupakan peradilan khusus
dalam lingkup peradilan umum sepanjang menyangkut peradilan umum
(Berutu, 2019).
Mahkamah Syar’iyah di Aceh memiliki wewenang yang lebih luas bila
dibandingkan dengan peradilan agama pada umumnya di Indonesia, hal ini
dikarenakan mahkamah syar’iyah juga memiliki sebagian dari wewenang
peradilan umum. Tapi walaupun demikian mahkamah syar’iyah tetap
merupakan bagian dari sistem peradilan nasional, sebagaimana dijelaskan
dalam UUPA pasal 128 ayat (1) Peradilan syariat Islam di Aceh adalah bagian
dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang
dilakukan oleh mahkamah syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun
(Berutu, 2019).
2. Wilayatul Hisbah
Wilayatul Hisbah adalah lembaga atau badan yang berwewenang
memberitahukan kepada masyarakat tentang peraturan yang sudah berlaku dan
menyadarkan anggota masyarakat agar mematuhi aturan tersebut supaya tidak
dikenakan sanksi atau denda (law enforcement) (Berutu, 2019).
Menurut Qanun No. 11 Tahun 2004, wilayatul hisbah adalah lembaga
pembantu tugas kepolisian yang membantu membina, melakukan advokasi
dan mengawasi pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dan dapat berfungsi
sebagai polisi khusus (polsus) dan PPNS.

c. Budaya Hukum di Aceh


Dari sudut sosio–budaya, masyarakat Aceh pada dasarnya menampilkan adat dan
Islam sebagai unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak masyarakat.

13
Agama Islam telah membentuk identitas masyarakat Aceh sejak masa awal
penyebarannya keluar jazirah Arab. Nilai-nilai hukum dan norma adat yang telah
menyatu dengan Islam merupakan pandagan hidup (way of life) bagi masyarakat
Aceh (Berutu, 2016).

Pengaruh hukum Islam terhadap hukum adat telah meliputi semua bidang hukum,
sehingga dapat dikatakan bahwa hukum Islam dan hukum adat telah melebur
menjadi satu hukum. Untuk melihat bagaimana sebenarnya budaya orang Aceh,
dapat dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi kebudayaan itu sendiri. Dalam
kenyataannya budaya Aceh telah beratus-ratus tahun dipengaruhi oleh ajaran
agama Islam, pengaruh ini telah masuk kedalam semua sendi kehidupan
masyarakat Aceh, mulai dari siasat peperangan, kesenian, pergaulan masyarakat,
pendidikan dan pengajaran sampai kepada kehidupan sosial–masyarakat lainnya
(Berutu, 2016).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kebudayaan masyarakat Aceh sangat


identik dengan Islam, walaupun sekarang dunia telah memasuki abad ilmu
pengetahuan dan demokrasi, tetapi masyarakat Aceh tetap mengakui ajaran agama
Islam sebagai bagian dari kehidupannya (Berutu, 2016).

C. Kedudukan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana di Indonesia


a. Pengertian Hukum Pidana Islam dan Positif
Hukum pidana positif kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini
berlaku dan mengikat secara umum atau secara khusus ditegakkan oleh atau
melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia. Hukum pidana
menjadi penjaga agar masyarakat terhindar dari kejahatan. Hukum pidana menjadi
penjaga agar masyarakat terhindar dari kejahatan. Kalau Makamah Konstitusi
sering disebut sebagai The Guardian of Constution, maka hukum pidana dalam
hubungannya dengan kejahatan layak disebut sebagai The Guardian of Security
yang berusaha menberikan jaminan agar masyarakat tidak menjadi korban
kejahatan. Cakupan melanggar hukum di dalam hukum positif hanya terbatas
kepada perbuatan yang salah atau melawan hukum terhadap bidang-bidang hukum
tertentu seperti bidang hukum pidana, perdata, tata usaha Negara, hukum
pertanahan dan sebagainya.

14
Hukum pidana Islam (fiqh jinayah) merupakan syariat Allah SWT yang mengatur
ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan
oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil
dari pemahaman atas dalildalil hukum yang terperinci dari Al Qur'an dan Hadist.
Di dalam hukum Islam, terhadap hal-hal yang dianggap salah atau melanggar
hukum adalah sesuatu yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum syariat, yang
dasar hukumnya dapat ditemui di dalam Al Qur'an, Hadist, maupun Ijtihad para
ulama. Ketentuan-ketentuan syariat ini tidak hanya berkaitan dengan hubungan
muamalah saja, tetapi juga menyangkut ibadah, yang pada dasarnya pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut semuanya akan mendapatkan hukuman, meskipun
hukuman terhadap perbuatan tersebut ada yang diterima di dunia maupun ada
hukuman yang akan diberikan di akhirat kelak. Konsep jinayah atau dalam istilah
Indonesia disebut pidana, membicarakan tentang masalah larangan, karena setiap
perbuatan yang dilakukan berkaitan dengan larangan selalu terangkum dalam
konsep jinayah yang merupakan perbuatan tersebut dilarang oleh syara'.

b. Kedudukan Hukum Pidana Positif di Indonesia


Hukum positif di indonesia kaidah hukum tertulis yang pada saat ini berlaku dan
mengikat secara umum atau secara khusus ditegakkan oleh atau melalui
pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia. Hukum pidana positif di
Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8
tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP). (KUHP) yang saat ini
digunakan oleh Indonesia berasal dari i Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch-Indie bikinan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Penegakan
Hukum dalam proses hukum pidana yang dilakukan di Indonesia (Hukum Positif)
saat ini ialah menggunakan yang Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang notabena merupakan hasil pemikiran dari Negara Penjajah Indonesia yaitu
Negara Belanda.

Dasar hukum dalam Pasal II dari Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia telah ditetapkan, bahwa segala Badan-Badan Negara dan
Peraturan-Peraturan yang ada, masih berlaku sebelumnya diadakan peraturan baru.
Intinya kedudukan hukum pidana sebagai kuhuk positif masih eksis digunakan
dalam sistem kukum di indonesia, dan indonesia mengadopsi kuhap dari hindia

15
belanda indonesia sampe sekarang masih pakai itu karena belum ada pengganti
peraturan baru, berdasarkan UUD 1945 pasal II aturan peralihan.

c. Kedudukan Hukum Pidana Islam di Indonesia


Kedudukan hukum Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
terlepas pengaruhnya masuknya Islam ke nusantara pada abad ke 12 dan ke 13
masehi di mana pada masa itu para penyebar agama Islam di nusantara menganut
mazhab syafi’i. Perjalanan sejarah transformasi Hukurn Islam sarat dengan
berbagai dimensi historis, filosofis, politik, sosiologis dan yuridis. Hukum Islam
di Indonesia terlihat dari dua sisi. Pertama, hukum Islam berlaku secara yuridis
formal atau dikodifikasikan dalam struktur hukum nasional. Kedua, hukum Islam
berlaku secara normatif yakni diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi
masyarakat muslim.

Hukum pidana islam lebih memberikan suatu proses hukuman yang lebih baik
sehingga tidak akan munculnya suatu stigma yang mengatakan suatu kejahatan
bisa bebas begitu saja setelah menjalani hukuman tetapi lebih mengena dan lebih
memberikan efek jera yang lebih baik, baik itu kepada si pelaku kejahatan maupun
kepada masyarakat. Pemberlakuan hukum pidana islam sepertinya mampu
menjawab semua persoalan yang di alami oleh negara ini dan lebih memliki suatu
tingkat keadilan dan kemanfaatn serta lebih adanya suatu kepastian hukum sebab
di dalam hukum islam terlah terdapat suatu hukuman yang langsung meberikan
suatu penghapusan dosa dan pertanggungungjawaban pidana.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, dapat disimpulkan beberapa poin penting
sebagai berikut:

1. Sistem Hukum Positif di Indonesia menggunakan sistem hukum Eropa


Kontinental (Civil Law). Salah satunya substansi hukum yang sampai saat ini
masih digunakan dalam penerapan hukum di Indonesia adalah masih berlakunya
KUHP dan KUHPer yang merupakan peninggalan produk penjajah. Selain itu,
sebagai negara hukum Indonesia sudah pasti menerapkan criminal justice system
dalam pengaturan sistem peradilannya. Budaya hukum yang berlaku di Indonesia
jika melihat dari sejarah, telah dipengaruhi oleh banyak faktor. Mulai dari jaman
kerajaan hindu-buddha, kerajaan Islam, lalu datanglah penjajah mulai dari
Belanda, Portugis hingga Inggris. Hal ini yang memperngaruhi perkembangan
budaya hukum di Indonesia dari masa ke masa.
2. Sistem Hukum Islam satu-satunya diberlakukan di Indonesia pada Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak Pemerintahan Aceh diberi wewenang otoritas
khusus menjalankan pemerintahannya sendiri sesuai dengan adat dan budaya
yang menjungjung tinggi nilai Islam. Semenjak itulah Provinsi Aceh menjadi
satu-satunya daerah yang menjalankan Hukum Islam (Syariat) dalam kebijakan
pemerintahannya. Substansi hukum yang terkenal di daerah Aceh adalah
pemberlakuan Qanun Aceh yang mana posisi qanun ini setara dengan peraturan
daerah. Bedanya dengan perda biasa, qanun dibentuk harus berlandaskan syariat
Islam. Dalam bidang peradilan sendiri Aceh memiliki pengadilan khusus untuk
menangani perkara-perkara pidana dan perdata yang diatur dalam qanun yaitu,
Mahkamah Syar’iyah dan Lembaga penegakan syariat Islam yang dikenal dengan
Polisi syariah atau Wilayah Hisbah. Budaya hukum di Aceh tidak terlepas dari
pengaruh sejarah adat yang mana Hukum Islam dengan adat dan budaya di Aceh
telah melebur jadi satu kesatuan mengingat kerajaan Islam pertama didirikan di
Aceh.

17
3. Kedudukan hukum pidana positif di Indonesia jelas akan lebih mendominasi
karena pemberlakuan hukumnya dalam skala nasional. Sedangkan untuk
kedudukan hukum pidana Islam di Aceh dalam hal ini adalah qanun jinayat,
dalam sistem hukum di Indonesia qanun merupakan salah satu bagian dari
peraturan perundang-undangan yang dibentuk khusus untuk mengatur hukum
pidana di wilayah Aceh. Maka, cakupannya hanyalah sebatas daerah provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Meskipun begitu, Indonesia juga telah beberapa
mengeluarkan produk hukum berlandaskan syariat Islam, salah satunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Walaupun KHI tidak masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-
undangan, keberlakuan KHI sampai saat ini masih digunakan oleh para hakim
untuk menyelesaikan permasalahan menyangkut hukum Islam.

B. Saran
Dalam menerapkan suatu sistem hukum dalam suatu negara atau wilayah jangan
hanya melihat dari satu sisi. Indonesia merupakan negara yang penduduknya
mayoritasnya Islam, hal ini bukan berarti bahwa Indonesia harus menganut sistem
hukum Islam juga karena sedari awal Indonesia bukanlah negara Islam.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abra, E. H. (2016). Konstruksi Sistem Hukum Indonesia, 5-6.

Ali Yafie, A. S. (2008). Ensiklopedia Hukum Pidana Islam.

Anggriani, J. (2011). Kedudukan Qanun dalam Sistem Pemerintahan Daerah dan Mekanisme
Pengawasannya. Jurnal Hukum, 320-335.

Bakri, M. (2013). Prof., Dr., SH., MS. Malang: Unviersitas Brawijaya Press (UB Press).

Berutu, A. G. (2019). Mahkamah Syar'iyyah dan Wilayatul Hisbah Sebagai Garda Terdepan
Dalam Penegakkan Qanun Jinayat di Aceh. al-Maslahah, 98-112.

Efendi, E. (2011). Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. Bandung.

Ismawati, A. (2011). Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Pembangunan Hukum di Indonesia.


Pranata Hukum, 57.

Lysa, A. (2015). Hukum Pidana Dalam Perspektif Islam dan Perbandingannya Dengan
Hukum Pidana di Indonesia. Hukum Islam, 105.

Raharjo, H. (2018). S. H., M. H. Yogyakarta: Media Pressindo.

Ridha Maulana, O. K. (2019). Sistem Hukum Di Aceh dan Kaitannya dengan Pluralisme
Hukum. Jurnal Geuthee: Penelitian Multidisplin, 323-331.

A Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, Dan Akan Datang, Jakarta : Prenada
Media, 2017

Emy Hajar Abra, Konstruksi Sistem Hukum Indonesia, Batam : Universitas Riau Kepulauan
Batam, Jurnal Dimensi, 2016.

Fajar Nurhardianto, Sistem Hukum Dan Posisi Hukum Indonesia, Jurnal TAPIs Vol.11 No.1
Januari-Juni 2015.

Hendri raharjo, Sistem Hukum Indonesia : Ketentuan-Ketentuan Hukum Indonesia Dan


Hubungannya Dengan Hukum Internasional, Yogyakarta : Media Pressindo, 2018.

M Bakri, Pengantar Hukum Indonesia Jilid 1 : Sistem hukum Indonesia pada era reformasi,
malang : universitas brawijaya, 2013.

19
M Iqbal Abdurrahman, Skripsi, Hukum Islam Tentang Tentang Pengumpulan Infak Masjid
Dengan Sistem Lelang, Lampung : Universitas Islam Negeri Raden Intan, 2020.

20

Anda mungkin juga menyukai