Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

CACAT YURIDIS PUTUSAN HAKIM BERSIFAT


NON EXECUTORIAL DALAM PERKARA KORUPSI

DOSEN PEMBIMBING :
LUTFIATUN LATIFAH, S.Pd, M.Pd

DISUSUN OLEH :
MUCH. AFFIN HILZA ZAIDAN ALIF

KELAS: H

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN


FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM 2021/2022

i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT, sehingga saya dapat menyusun
makalah tentang “ Beberapa Masalah Kasus Cacat Hukum yang terjadi di Indonesia”
seperti judul makalah yang sudah saya terterakan diatas yakni, “ Cacat Yuridis
Putusan Hakim Bersifat Non Executorial Dalam Perkara Korupsi” sebagai salah satu
bentuk kasus tersebut . Makalah ini disusun berdasarkan tugas mata kuliah Bahasa
Indonesia yang dimana para mahasiswanya dari Dosen Pengampu mata kuliah
Bahasa Indonesia ini mengharuskan mahasiswanya untuk bisa menyusun sebuah
makalah yang baik dan benar. Meskipun banyak hambatan yang penyusun alami
dalam proses pengerjaannya , namun akhirnya penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun agar para pembaca dapat mengetahui  Hak Asasi
Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana dan tentunya agar para pembaca bisa
mengambil suatu pelajaran intelektual agar suatu elemen masyarakat tahu akan ilmu-
ilmu hukum yang dimana pada saat ini minimnya literatur akan meleknya hukum di
Indonesia. Penyusun juga akan menjelaskan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem
Peradilan Pidana,  Model Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Model Sistem
Peradilan Korupsi , Asas Good Governance: Kaitannya dengan Sistem Peradilan
Korupsi ,dan Tipologi Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. yang akan
penyusun sajikan dari berbagai sumber-sumber kredibel dan akurat.
Penyusun menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, untuk itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini. Penyusun berharap semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi penyusun ini sendiri dan bagi para pembaca yang
membaca makalah ini.

ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
I. Pendahuluan.................................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah.......................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................3

II. Pembahasan................................................................................................4

2.1 Asas Good Governance: Kaitannya dengan Sistem Peradilan


Korupsi.....................................................................................................................4
2.2 Tipologi Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.....................8
2.3 Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana..............12
2.4 Model Penyidikan Tindak Pidana Korupsi.......................................14
2.4 Model Sistem Peradilan Korupsi.......................................................17

III.PENUTUP.................................................................................................22

3.1 KESIMPULAN....................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................24

iii
I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah


Indonesia adalah negara yang berbentuk republik dan berlandaskan hukum,
yang dimana semua penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan serta
kemasyarakatannya berdasarkan atas hukum, bukan didasarkan atas kekuasaan
belaka. Indonesia di idealkan dan di cita-citakan sebagai suatu Negara Hukum
Pancasila yang berlandaskan demokrasi, yang dimana demokrasi itu dari rakyat,oleh
rakyat,dan untuk rakyat. Yang dimana ide negara hukum itu, selama ini belum pernah
dirumuskan secara komprehensif, yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang
bersifat sektoral. Pembangunan-pembangunan di bidang hukum itu tidak sedikit
menuai kontroversi dari lemahnya bentuk hukum di Indonesia dan kurangnya orang
yang melek akann permasalahan hukum itu sendiri, contohnya aja dapat kita ambil
dari masalah korupsi yang dimana masalah korupsi ini masih menjadi bayang-bayang
maupun momok tersendiri bagi presiden untuk bisa memberantas korupsi dengan
tegas dan tuntas dan agar tidak menjadi budaya tidak sehat yang sudah mewabah
selama beberapa puluhan tahun ini.
Dalam konteks kepentingan penegakan hukum tentang tindak pidana korupsi,
maka perkara korupsi sering menjadi komoditas politik dari penguasa sepanjang
generasi dan era. Penegakan hukum dan keadilan dalam tindak pidana korupsi, telah
menjadi hak prerogatif dari penguasa untuk membuat aturan sekaligus implementasi
penegakannya. Keikutsertaan masyarakat yang berwujud dalam penggunaan peran
sertanya, dipandang oleh penguasa sebagai sebuah fenomena sosial yang sering
menjadi alasan dan simbol ‘merongrong’ kewibawaan penguasa. Sementara peran
serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, sebenarnya menjadi
dan merupakan tanggung jawab hukum sebagai warga negara.
Upaya penegakan hukum materiil tentang korupsi yang menggunakan model
peradilan konvensional, sering justru menjadi faktor kriminogen terjadinya kejahatan
korupsi ikutan. Banyak kasus korupsi justru tidak selesai dan dihentikan begitu saja
proses penyidikannya dengan alasan yang tidak berdasar oleh hakim. Polemik

1
kewenangan antara hakim tentang penyidikan tindak pidana korupsi, lebih menjadi
persoalan yang penting daripada harus menegakkan hukum dan keadilan terhadap
tindak pidana korupsi itu sendiri.
Perspektif penguasa dan masyarakat secara umum, masih belum bisa
menerima dan mengerti bahwa asas good governance, dapat dan seharusnya menjadi
salah satu media dan sarana dalam mengakomodasi peran serta masyarakat dalam
ikut serta memberantas korupsi. Penguasa dan masyarakat mempunyai pandangan
bahwa asas good governance hanya tepat jika diterapkan dalam sistem pemerintahan
dalam bidang eksekutif, padahal sistem pemerintahan yang baik dan benar adalah
sistem pemerintahan yang mampu menjalankan hukum dan menegakkan keadilan
dengan benar dalam lingkup kepemerintahan, yakni meliputi lingkup kekuasaan
legislatif (proses pembuatan peraturan perundang-undangan), eksekutif (proses
pelaksanaan peraturan perundangundangan) dan yudikatif (proses penegakan
peraturan perundang-undangan). Justru peluang yang paling mungkin untuk
mengakomodasi peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi adalah dengan
menerapkan asas good governance dalam setiap tahapan penegakan hukum tentang
tindak pidana korupsi.
Negara yang kuat adalah apabila penguasa kuat, rakyat juga kuat, sehingga
prinsip keseimbangan harus selalu terjadi dalam setiap gerak langkah aktivitas
penguasa dan rakyat. Pengaturan secara memadai tentang hal tersebut seharusnya
menjadi kebutuhan yang mendesak dalam rangka mewujudkan ide dan cita-cita
reformasi dalam membentuk civil society, khususnya dalam bidang pemberantasan
tindak pidana korupsi.

2
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Asas Good Governance: Kaitannya dengan Sistem Peradilan
Korupsi
1.2.2 Tipologi Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
1.2.3 Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana
1.2.4 Model Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
1.2.5 Model Sistem Peradilan Korupsi

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Mengetahui Asas Good Governance: Kaitannya dengan Sistem
Peradilan Korupsi.
1.3.2 Mengetahui Tipologi Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
1.3.3 Mengetahui Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana
1.3.4 Mengetahui Model Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
1.3.5 Mengetahui Model Sistem Peradilan Korupsi

3
II. Pembahasan

2.1 Asas Good Governance: Kaitannya dengan Sistem Peradilan Korupsi


Sebuah Negara pastinya ingin mempunyai suatu bentuk pemerintahan yang
baik pula,tak terkecuali di Indonesia, konsep dasar pemikiran bahwa negara perlu
adanya struktur pemerintahan yang baik agar terciptanya suatu hubungan yang
harmonis antara orang pemerintahan dengan rakyatnya tak terbantahkan lagi
adanya,meskipun masih banyaknya ide-ide abstrak yang tak terealisasikan sesuai
denga napa yang disepakati bersama di dalam sebuah semangat angan-angan dan
ideologi liberalisme demi mencapai sebuah kata demokrasi untuk rakyat. Paham-
paham maupun asas-asas revolusioner pun semakin tertuang nyata adanya setelah
dikemukakan oleh para ahli terdahulu, guna untuk membangun sebuah negara dengan
berlandaskan pemerintahan yang baik dan kesejahteraan humanisme yang merata
bagi rakyat yang mendiami negara tersebut. Asas-asas ini sering bermunculan guna
menjadi sebuah tolak ukur apabila suatu kepala pemerintahan di negara tersebut
kehilangan arah untuk menjalankan suatu sistem pemerintahan yang baik dan
memulai menyusun ulang rencananya untuk pembangunan kesejahteraan yang
merata. Salah satu bentuk asas yang sering menjadi suatu tolak ukur di setiap negara
yang berlandaskan demokrasi-desentralisasi ialah asas Good Governance, yang dapat
diartikan sebagai asas cara membangun bentuk pemerintahan yang baik dan benar
dalam pengelolaan Administrasi Publik. Mengapa asas ini sering menjadi tolak ukur
dari setiap negara yang mempunyai arah bentuk pemerintahan yang sama dengan cara
bekerja asas tersebut ialah karena asas ini lahir dari rahim ideologi liberalisme yang
dimana dijelaskan di dalamnya bagaimana caranya pemerintah ini dikurangi tugas
dan fungsinya yang sudah bisa dikatakan overload di dalam sebuah kapasitas mereka
sebagai lembaga perwakilan hati nurani rakyat.
Hal inilah yang menjadi sebuah acuan mengapa asas Good Governance sangat
berpengaruh bagi negara yang ingin maju dan menginginkan pula sebuah sistem
parlementer yang baik, ,yang dimana kedua aspek tersebut dalam menyusun
pengelolaan Administrasi Publik yang baik dan benar menyusup secara halus di

4
dalam tatakelola sistem pemerintahan di Indonesia,yang bisa dikatakan sejalan akan
buah ide di negara yang berbentuk demokrasi ini,dimana suara rakyat akan lebih
didengar dan diperhatikan. Tentunya pembangunan-pembangunan dari berbagai
bidang dan aspek dari berbagai arah saat ini lebih dibutuhkan dalam membentuk
sebuah negara yang teredukasi akan hukum dan merealisasikan sebuah ide
pembangunan-pembangunan itu dengan cara menaati dan menjalankan sebuah
kewajiban kita sebagai warga negara yang baik dengan cara tidak melanggar
ketentuan-ketentuan hukum yang sudah atau akan dibuat.
Tuntutan ini tidak saja berasal dari masyarakat Indonesia melainkan juga dari
masyarakat internasional. Beberapa pihak telah mengartikan governance dalam
beberapa perspektif “the exercise of political economic, and administrative authority
to manage a nation’s affair at all levels” dengan demikian governance memiliki tiga
pilar yang berkaitan yaitu economic, political, dan administrative. Economic
governance meliputi prosesproses pembuatan keputusan yang memfasilitasi aktivitas
ekonomi di suatu Negara dan interaksi diantara pelaku ekonomi. Political governance
berkaitan dengan proses-proses memformulasikan kebijakan. Sedangkan
administrative governance berkaitan dengan sistem implementasi kebijakan.
Berdasarkan pemahaman governance ini maka terdapat tiga domain institusi
governance yang saling berinteraksi yaitu Negara atau pemerintahan (state); dunia
usaha (private sector) dan masyarakat (society). Ketiga institusi ini harus saling
berkaitan dan bekerja dengan prinsipprinsip kesetaraan, tanpa ada upaya untuk
mendominasi satu pihak terhadap pihak yang lain.
Korupsi saat ini merupakan permasalahan bukan hanya bagi Indonesia namun
juga bagi masyarakat internasional. bagi masyarakat internasional perang terhadap
masalah korupsi ini antara lain terlihat dari ketentuan OECD, mengenai Convention
in International Business transaction, yang bertujuan untuk mencegah dan
memberantas penyuapan terhadap pejabat publik asing dalam hubungannya dengan
bisnis internasional. Demikian pula setiap tahun Political and Economic Risk
Consultancy (PERC), selalu mengumumkan hasil surveinya mengenai peringkat
korupsi negaranegara di dunia, dimana sama-sama kita ketahui bahwa Indonesia

5
merupakan salah satu negara yang masuk dalam pemeringkatan tingkat korupsinya.
Bagi Indonesia, dalam masa reformasi ini maka masalah korupsi (baca KKN)
merupakan masalah yang sangat menonjol, yang tercermin antara lain dari rendahnya
kualitas pelayanan publik, rendahnya kualitas sarana dan prasarana yang dibangun
pemerintah, makin meningkatnya beban masyarakat akibat adanya ketidak-efektifan.
Dan ketidak-efektifan pengelolaan badan usaha yang mengelola kebutuhan
publik seperti telekomunikasi, bahan bakar minyak, listrik dan sebagainya. Sementara
itu, di lain pihak makin terjadi kesenjangan, dimana pihak konglomerat dan beberapa
pejabat secara demonstratif memamerkan kekayaannya. Oleh karena itu, bagi
sebagian besar masyarakat Indonesia, korupsi dianggap sebagai salah satu musuh
utama, namun demikian harapan masyarakat untuk membasminya, rupanya bukanlah
suatu hal yang mudah. Seringkali muncul sikap-sikap skeptisme terhadap persoalan
pencegahan dan pemberantasan korupsi ini, antara lain tercermin dari beberapa
pernyataan semisal “Indonesia tergolong sebagai suatu negara yang paling besar
korupsinya, namun tidak satupun koruptor yang terjerat“; ataupun seringkali kita
mendengar ungkapan terjadinya “panggung sandiwara hukum“, ataupun istilah “maju
tak gentar membela yang bayar“ ketika digelarnya kasus-kasus berindikasi tindak
pidana korupsi. Selain sikap skeptisme, boleh jadi korupsi ini disebabkan oleh adanya
sikap permisif terhadap tindak korupsi. Sikapsikap permisif terhadap korupsi secara
lugas dikemukakan oleh Robert Klitgart dengan sebutan “upaya penegakan hukum
seperempat hati“. Menurut Klitgart, terdapat tujuh sikap permisif yang menyertai
keengganan dalam melawan korupsi, yaitu: (1) Korupsi toh ada di mana-mana, ada di
Jepang, ada di Belanda, ada di Amerika Serikat. Tidak ada sesuatupun yang dapat
Anda lakukan terhadap “epidemi“ yang namanya korupsi; (2) Korupsi akan selalu
ada. Serupa dengan dosa, korupsi adalah bagian dan sifat manusia. Anda tidak akan
mampu melakukan apapun terhadapnya; (3) Konsep tentang korupsi adalah samar-
samar dan hanya ditetapkan secara kultural. Di dalam beberapa kultur, perilaku yang
mengusik Anda bukanlah korupsi; (4) Membersihkan masyarakat dari korupsi akan
membutuhkan suatu perubahan besar-besaran terhadap sikap dan nilai-nilai. Upaya
seperti itu harus hanya mungkin terwujud melalui upaya keras terus menerus selama

6
ratusan tahun; (5) Di banyak negara, korupsi tidaklah secara keseluruhan
membahayakan. Korupsi malah menggemuki roda perekonomian, dan merekatkan
sistem politik; (6) Tidak ada sesuatupun yang dapat dibuat jika para pria dan wanita
yang berada di puncak kekuasaan yang korup, atau jika korupsi yang berlangsung
sudah sangat sistematik; (7) Risau dengan korupsi adalah berlebihlebihan. Dengan
pasar bebas dan demokrasi multi partai, korupsi secara gradual akan menghilang
sendiri. Demokrasi dan pasar mempertinggi kompetisi dan akuntabilitas, dengan
demikian menurunkan korupsi. Ketujuh sikap keliru di atas boleh jadi merupakan
prinsip-prinsip yang digunakan oleh para petinggi negara, petinggi hukum, pakar
maupun pihak-pihak lainnya yang merupakan salah satu hambatan dalam penegakan
pemberantasan korupsi di Indonesia. Selain sikap skeptisme dan permisif terhadap
korupsi ini, berdasarkan kajian dan penelitian terhadap korupsi ini banyak yang
menyimpulkan bahwa rendahnya gaji pegawai negeri sipil merupakan penyebab
utama terjadinya korupsi, sehingga seringkali timbul sikap toleransi yang negatif
antar pegawai dan masyarakat dalam menyuburkan iklim korupsi dan kolusi. Namun
kita menyadari bahwa kondisi buruknya sistem penggajian ini bukanlah satu-satunya
penyebab korupsi. Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan
peraturan perundangan; rendahnya integritas dan profesionalisme; kondisi lingkungan
kerja, tugas jabatan dan lingkungan masyarakat yang merangsang timbulnya korupsi;
lemahnya keimanan, kejujuran dan rasa malu, adalah beberapa hal yang berpengaruh
terhadap suburnya iklim korupsi dan kolusi. Dengan demikian bilamana masalah
korupsi dan kolusi ini tidak mendapatkan porsi yang memadai dalam upaya
pencegahan dan penindakannya, maka sudah dapat dipastikan bahwa upaya untuk
mewujudkan good governance akan menjadi sulit.
Berdasarkan pemahaman mengenai good governance dan permasalahan di
sekitar korupsi dan nepotisme sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, maka
dikaitkan dengan permasalahan korupsi dan nepotisme yang merupakan
permasalahan besar, haruslah ditangani secara proporsional. Good governance yang
secara umum bertujuan untuk membantu terselenggara dan tercapainya tujuan
nasional merupakan salah satu fondasi dasar yang harus segera diterapkan. Haruslah

7
diyakini bahwa penerapan good governance akan dapat membantu upaya-upaya
dalam pemberantasan dan pencegahan korupsi maupun nepotisme. Merujuk pada
beberapa karakteristik good governance, seyogyanya bilamana penegakan hukum,
equity (keadilan) dapat ditegakkan maka, praktik-praktik penyalahgunaan
kewenangan dapatlah diminimalisir. Prinsip transparansi, konsensus, partipasi,
responsivitas dan strategic vision haruslah pula ditegakkan dalam setiap tingkatan,
sehingga terjadi keseimbangan bagi institusiinstitusi penyelenggara negara (pihak
negara, masyarakat bisnis, dan msyarakat sipil). Praktek-praktik penyalahgunaan
kewenangan, berdasarkan kenyataan yang ada menimbulkan kecenderungan
terjadinya praktik-praktik korupsi. Kita tentunya sepakat bahwa korupsi akan
menyebabkan penyalahgunaan sumberdaya nasional yang sangat terbatas. Demikian
pula bilamana kita salah mengelola sumberdaya, maka sudah dapat dipastikan bahwa
tujuan yang hendak dicapai akan sirna atau dengan kata lain terjadi ketidakefektifan.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bilamana salah satu karakteristik Good
Governance diwujudkan maka masalah korupsi dapat diminimalisasikan.

2.2 Tipologi Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia


Dalam realitas ruang lingkup prototype atau bentuk  dan jenis korupsi begitu
luas sehingga tidak mudah dihadapi sarana hukum semata. Menurut Prof Dr Syed
Husein Alatas, guru besar Universitas Singapurayang banyak menulis dan pakar
perihal korupsi menyebutkan terdapat 7 (tujuh) tipologi atau bentuk dan jenis korupsi
yaitu :
1.     Korupsi Transaktif (transactive corruption), jenis korupsi yang
menunjuk adannya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak
penerima demi keuntungan kepda kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan
tercapainya keuntungan kepada kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan
tercapainya keuntungan yang biasnnya melibatkan  dunia usaha atau bisnis dengan
pemerintah.

8
2.     Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption)yang menyangkut
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk berbagai keuntungan bagi teman
atau sanak saudara dan kroni-kroninya.
3.     Korupsi yang memeras (extortive corruption) adalah korupsi yang
dipaksakan kepada suatu pihak yang biasannya disertai ancaman, terror, penekanan
(pressure) terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal yang dimilikinya.
4.     Korupsi Investif (investive corruption), adalah memberikan suatu jasa
atau barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan dimasa depan.
5.     Korupsi defensive (devensive corruption), adalah pihak yang akan
dirugikan terpaksa ikut terlibat didalamnya atau bentuk ini membuat terjebak bahkan
menjadi korban perbuatan korupsi.
6.     Korupsi Otegenik (outogenic corruption),  adalah korupsi yang
dilakukan seorang diri (single fighter), tidak ada orang lain atau pihak lain yang
terlibat.
7.     Korupsi Suportif (supportive corruption), adalah korupsi dukungan
(support) dan tak ada orang atau pihak lain yang terlibat.

Jenis Praktik bisnis pada korupsi transaktif yaitu :


a.     Korupsi epidemic (epidemic corruption). Jenis korupsi konvensional
yang lebih popular dengan korupsi public (public corruption) dan dengan cepat
mewabah atau “epidemic” yang pelaku biasanya masyarakat  atau berbagai tingkat
bawah dengan pungutan “tidak resmi” atau pungutan liar, suap menyuap untuk
urusan administrasi, surat ijin atau lisensi, layanan dari pemerintah masih ada
tambahan biaya petugas pajak yang curang, tagihan rekening listrik, telepon yang
merugikan masyarakat, jadi benar-benar merupakan bentuk korupsi yang hamper
sehari-hari terjadi pada masyarakat.
b.     Korupsi endemic (endemic corruption),  merupakan bentuk korupsi
antara kalangan bisnis, pelaku bisnis dengan tindakan kolusi pada birokrat  artinya
karakter suap antara kontraktor dengan aparat birokrat, sehingga jatah proyek pada
yang tidak berhak, komisi untuk pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah daerah,

9
melakukan ruislag tukar guling dengan keputusan dipengaruhi unsur
korupsi,  menyalahgunakan APBN dan berbagai bentuk penyelewengan keuangan
Negara dalam pengelolaan keuangan  dengan alasan kepentingan tugas padahal
relative dan meragukan tapi menguntungkan diri sendiri atau korupsi ditempuh
dengan cara sistematis dengan memanfaatkan peluang transaksi dalam dunia bisnis
mulai proses perencanan atau korupsi berencana, selanjutnya sejak awal kontraktor
berusaha memperoleh proyek melalui piminan proyek (pimpro) dan bekerja sama
dengan rekanan pemborong atau kontraktor, kerja sama dengan rekanan pemborong
atau kontraktor, kerjasama  dapat terjadi mulai menyusun Rancangan Rencana
Kerja  dan Anggaran (RENJA),  Rencana Kerja  Anggaran Kementerian Lembaga
(RKA-KL) menjadi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Biaya (RAB) suatu proyek
pembnagunan dan perencanan yang lain bahkan ikut menyusun memperjuangkan
proyek tersebut agar terbit DIPA, sedangkan rencana tentang pembagian keuntungan
atau komisi telah disusun rapi sejak awal. Modus korupsi sistematik melalui
perencanaan  sering membuat biaya operasional proyek menjadi kecil misalnya pajak
PPn PPh 12,5%, Cost fee pemborong 10%, komisi pimpro 10%, beban servis pejabat
2,5%, rendawals 4%, cadangan sussut/hangus sampai 6% sisanya antara 55% sampai
60 % dan kualitas proyek menjadi buruk diluar spektek, bestek sehingga menjadi
bermasalah.
c.      Korupsi transnasional (transnasional corruption), adalah bentuk
korupsi dilakukan oleh pelaku bisnis atau para elite birokrat dengan cara professional
dengan memanfaatkan hi-tech dan bentuk kejahatan dimensi baru (new dimention
crime) bahkan melibatkan investor asing, kontraktor asing dan oleh badan-badan
usaha besar yang berbentuk multi nasional corporation yang melakukan korupsi, serta
lebih popular disebut konglomerat hitam karena korupsi jenis ini langsung
berpengaruh kepada besar kecilnya APBN. Praktik jenis korupsi transnasional
misalnya dalam bentuk mark-up proyek pertambanagn emas, tembaga, minyak,
eksplorasi uap, batu bara dan lain-lain, manipulasi pengelolaan hutan disertai illegal
loging, komisi dalam jumlah besar pada proyek-proyek pemerintah, manipulasi

10
perpajakan dan manipulasi proyek-proyek pembangunan lainnya serta kerugian yang
ditimbulkan mencapai miliaran dolar atau triliun rupiah.
Jenis dan tipologi korupsi menurut bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang
dibuat dalam pasal-pasal UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan Undang-
undang nomor 20 tahun 2001 sebagai berikut :
1.     Tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain atau
suatu korporasi (pasal 2)
2.     Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, sarana jabatan atau kedudukan (pasal 3)
3.     Tindak pidana korupsi Suap dengan memberikan atau menjanjikan
sesuatu (pasal 5)
4.     Tindak pidana korupsi dengan suap pada hakim dan advokad (pasal 6)
5.     Tindak pidana korupsi dalam  hal membuat bangunan dan menjual bahan
bangunan dan korupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI  dan KNRI (pasal
7)
6.     Tindak pidana korupsi oleh Pegawai negeri mengelapkan uang dan surat
berharga (pasal 8)
7.     Tindak pidana korupsi  pegawai negeri memalsu buku-buku dan daftar-
daftar (pasal 9)
8.     Tindak pidana korupsi Pegawai negeri merusakan barang, akta, surat atau
daftar (pasal 10)
9.     Tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri menerima hadiah atau janji
yang berhubungan dengan kewenangan jabatan (pasal 11)
10. Tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
atau hakim dan advokat menerima hadiah atau janji; pegawai negeri memaksa
membayar, memotong pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan tanah Negara
dan turut serta dalam pemborongan (pasal 12)
11. Tindak pidana korupsi Suap Pegawai Negeri menerima gratifikasi (pasal
12b)

11
12. Tindak pidana korupsi suap  pada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan jabatan (pasal13)
13. Tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan hukum acara
pemberantasan korupsi
14. Tindak pidana pelanggaran terhadap pasal 220, 231, 421, 429 dan 430
KUHP (pasal 23).

2.3 Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana


Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh
subyek dalam arti yang terbatas dan sempit.Dalam arti luas, proses penegakan hukum
itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia
menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya
itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum
tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan
sebagaimana seharusnya.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dan sudut obyeknya,
yaitu dari segi hukumnya.Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang
luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilainilai
keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat.Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum
itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,
penterjemahan perkataan law enforcement ke dalam bahasa Indonesia dalam
menggunakan perkataan penegakan hukum dalam arti luas dan dapat pula digunakan
istilah penegakan peraturan dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan
hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan

12
juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah the rule of
law versus the rule of just law atau dalam istilah the rule of law and not of man versus
istilah the rule by law. Yang berarti the rule of man by law. Dalam istilah the rule of
law terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang
formal, melainkan mencakup pula nilali-nilai keadilan yang terkandung
didalamnya.Karena itu, digunakan istilah the rule of just law.Dalam istilah the rule of
law and not of man dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya
pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh
orang. Istilah sebaliknya adalah the rule by law yang dimaksudkan sebagai
pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan
belaka. Dewasa ini konsep Hak Asasi Manusia seringkali disepelekan dan
disalahgunakan untuk mengilhami hal-hal yang tidak senonoh dan selayaknya untuk
dilakukan dan diperbuat oleh manusia dan karena telah rusaknya konsep-konsep
dasar untuk mengokohkan nilai esensi yang terkandung di dalam pasal perihal
perlindungan Hak Asasi Manusia, isu pelanggaran demi pelanggaran tentang pasal ini
pun menjadi semakin ramai diperbincangkan dan mengemuka yang dimana menjadi
isu atau topik utama yang segera dibahas di peta konstelasi sosial-politik Indonesia.
Di dalam kerangka penegakan HAM, proses yuridis untuk menjerat para
pelaku pelanggaran HAM menjadi sangat essential dimajukan untuk membangun
kembali kepercayaan masyarakat terhadap penghormatan martabat manusia oleh
negara.Namun, di dalam praktek, harapan adanya hukuman terhadap pelanggaran
HAM masih banyak menghadapi berbagai kendala, baik politik maupun
teknis.Tulisan ini mencoba melacak dan mendapatkan hasil penelitian yang masih
menjadi kendala yang dihadapi di dalam penegakan HAM.
Hak asasi manusia yang secara universal diartikan sebagai ”Those which are
inherent in our nature and without we cannot live as human being” para realitasnya,
oleh masyarakat internasional telah diperjuangkan sejak lama. Setidaknya, di dalam
dokumen historis, banyak ahli di bidang HAM yang menyepakati bahwa Magna
Charta 1215 di Inggris sebagai ujung tombak kesadaran arti penting perlindungan
HAM. Proses ini berkembang dengan diwarnai berbagai peristiwa kekejaman

13
terhadap martabat kemanusiaan yang pada akhirnya, sesuai Perang Dunia Ke II,
melahirkan komitmen internasional internasional untuk menghormati HAM.
Komitmen ini dituangkan melalui Deklarasi Universal HAM PBB pada tahun 1948.
Sejak kelahiran deklarasi HAM PBB (Universal Declaration of Human Rights)
maka telah banyak berbagai perjanjian internasional, model perjanjian (treaty),
pedoman (gidelines) yang dibuat untuk menegakkan HAM. Adapun perjanjian
internasional yang menjadi standar sumber terdiri dari dua konvonen dalam satu
protocol yaitu international convenant on economic, social and cultural rights,
international convenant on civil and political rights and optional protocol to the
international covenant on civil and political rights.
Oleh karena itu kaitan relasinya dengan contoh masalah kasus korupsi di
Indonesia sangat rekat dengan pembelaan HAM atas tuduhan-tuduhan yang bisa jadi
atau memungkinkan tidak mempunyai bukti-bukti kredibel yang sudah terbukti
penelusurannya,dan apabila orang tersebut mengatakan bahwa bukti tersebut masih
belum sah dan layak untuk dijadikan barang bukti maka orang tersebut bisa
mengeluarkan asas praduga tidak bersalahnya sesuai denga napa yang telah
diperjuangkan nilai esensi kemanusiaan di dalam salah satu unsur di batang tubuh
Hak Asasi Manusia (HAM)

2.4 Model Penyidikan Tindak Pidana Korupsi


Seperti halnya pengungkapan kasus tindak pidana pada umumnya,
sebelum sampai pada tahap penuntutan dan pemeriksaan di persidangan,
pengungkapan kasus tindak pidana korupsi juga melalui serangkain proses untuk
pencarian tersangka dan pengumpulan barang bukti. Menurut ketentuan dalam hukum
acara pidana, hal tersebut lazim disebut sebagai tindakan penyelidikan dan
penyidikan. Dalam Pasal 1 angka (5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
yang dimaksud dengan penyelidikan adalah : serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menenumukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini. Sedangkan dalam angka (3) pasal yang sama disebutkan

14
bahwa penyidikan adalah : serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Apabila hanya mendasarkan pada ketentuan yang terdapat
dalam angka (3) dan (4) pasal 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka yang dapat bertindak sebagai penyidik
dan penyelidik adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Akan tetapi apabila mencermati penjelasan pasal 284 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang menyebutkan adanya pengecualian terhadap
pemberlakuan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu
terhadap pelaksanaan Undang-Undang No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dalam tindak pidana khusus korupsi,
selain polisi, jaksa juga berhak untuk bertindak sebagai penyelidik dan penyidik.
Selain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kewenangan polisi
sebagai penyelidik dan penyidik untuk menungkap tindak pidana, ditegaskan kembali
dalam Pasal 1 Pasal 1 angka 8 dan 9, dan Pasal 14 ayat (1) huruf g UndangUndang
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan :
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewenangan polisi
sebagai penyelidik dan penyidik tersebut adalah sebagai bentuk perwujudan terhadap
tugas pokok kepolisian sebagai yang tercantum dalam Pasal 13 UndangUndang No. 2
Tahun 2002, yaitu untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Sedangkan kewenangan jaksa untuk melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan bahwa dibidang pidana jaksa mempunyai
tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang. Menurut penjelasan umum dan Pasal 30 Undang-

15
Undang No. 16 Tahun 2004, pengertian tindak pidana tertentu dalam Pasal 30
tersebut adalah dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undangundang
yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan,
misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun
2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam perkembangan selanjutnya, penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi tidak hanya ditangani oleh Analisa & Evaluasi Hukum
Penyidikan & Penyelidikan Korupsi-BPHN 36 kepolisian dan kejaksaan saja. Pada
saat ini, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk dengan
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 juga mempunyai tugas untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, sebagaimana yang tersebut dalam
Pasal 6 huruf c UndangUndang No. 30 Tahun 2002. Hanya saja terdapat pembatasan
terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal penyelidikan dan
penyidikan.
Pembatasan tersebut tercantum dalam Pasal 11 yang menyatakan : Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang : a. melibatkan aparat penegak hukum,
penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b.
mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. menyangkut kerugian
negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Walaupun Komisi
Pemberantasan Korupsi dianggap sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi,
akan tetapi dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 11 tersebut, terlihat
masih ada kewenangan bagi kejaksaan dan kepolisian untuk melakukan penyelidikan
terhadap kasus-kasus tindak pidana Analisa & Evaluasi Hukum Penyidikan &
Penyelidikan Korupsi-BPHN 37 korupsi. Hanya saja apabila kinerja kejaksaan dan
kepolisian tersebut dianggap tidak maksimal dalam melaksanakan tugasnya sebagai

16
penyidik korupsi, maka berdasar ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 30
Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengambil alih penyidikan
korupsi dari kepolisian dan kejaksaan.
Menurut Pasal 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, pengangambilalihan
penyidikan korupsi dari kepolisian dan kejaksaan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi dilakukan dengan alasan : a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana
korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara
berlarutlarut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c.
penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana
korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan
kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan
secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain ketiga institusi tersebut, saat ini
terdapat tim gabungan yang keanggotaannya berasal dari kejaksaan, kepolisian dan
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga berwenang untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Tim yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan
Korupsi (Tastipikor) ini bertugas untuk : a. melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus
dan/atau indikasi tindak pidana korupsi; dan b. mencari dan menangkap para pelaku
yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan
mengamankan seluruh aset-asetnya dalam rangka pengembalian keuangan negara
secara optimal.
2.4 Model Sistem Peradilan Korupsi
Di dalam sebuah kasus hukum tentunya pasti setiap hakim akan memutuskan
sebuah hasil perkara dengan sangat bijaksana dan adil tidak memandang baik itu dari
si pemegang kekuasaan ataupun sang proletar. Hukum harus adil agar rakyatnya bisa
hidup sejahtera tanpa adanya berselisih pendapat bahwasannya hukum hanya
membela si pemegang kekuasaan dan main hakim sendiri terhadap orang yang tidak

17
punya apa-apa, tak terkecuali terjadi di kasus korupsi yang mana semakin hari
semakin melunjak populitas kasusnya dan semakin hari semakin membela orang yang
melalukan korupsi dengan dalih atas nama kemanusiaan , contohnya saja yang terjadi
terhadap Menteri Juliari Batubara yang dimana masa tahanan nya dialihkan lebih
pendek dari terdakwa korupsi lainnya dengan dalih penekanan mental atas apa yang
dilakukan oleh masyarakagt Indonesia kepada Menteri Juliari Batubara tersebut.
Berkaca dari pengalaman tersebut maka sistem internal model sistem peradilan
korupsi harus ditegakkan dan ditegaskan teruntuk siapa saja yang akan maupun sudah
melakukan sebuah Tindakan kriminal yang paling tinggi tingkatannya di Indonesia
ini,yaitu korupsi.
Secara sederhana sistem peradilan pidana adalah proses yang dilakukan oleh
negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Proses itu dimulai dari
kepolisian, kejaksaan dan akhirnya pengadilan. Sebagaimana yang diungkapkan
Cavadino dan Dignan bahwa sistem peradilan pidana adalah ”A term covering all
those institution which respond officially to the commission of offences, notably
the police, prosecution authorities and the court”. Dengan kata lain, sistem
peradilan pidana ini tidak hanya mencakup satu institusi tetapi berkaitan erat dengan
beberapa institusi negara yang menurut Feeney pekerjaan aparat penegak hukum
yang satu akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat penegak hukum
yang lain. Secara tegas dikatakan oleh Feeney “ …..what once criminal justice
agency does likely to affect and be affected by other agencies and …..a detailed
knowledge of the kinds of interactions that are likely to take is essential for
undertaking system improvement”.
Hebert L. Packer menyatakan bahwa para penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana adalah integrated criminal justice system yang tidak dapat
dipisahpisahkan. Artinya, antara tugas penegak hukum yang satu dengan lainnya
saling berkaitan. Packer selanjutnya memperkenalkan dua model dalam sistem
peradilan pidana yaitu crime control model dan due process model. Crime control
model memiliki karakteristik efisiensi, mengutamakan kecepatan dan presumption of
guilt sehingga tingkah laku kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan

18
sampai ia sendiri yang melakukan perlawanan. Sedangkan due process model
memiliki karakteristik menolak efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of
innocent sehingga peranan penasehat hukum amat penting sekali dengan tujuan
jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah. Model ini diibaratkan seperti
orang yang sedang melakukan lari gawang. Kedua model tersebut ada nilai-nilai yang
bersaing tetapi tidak berlawanan.Ajaran Packer kemudian dilengkapi oleh King yang
mengemukakan beberapa model dalam sistem peradilan pidana.
Selain crime control model dan due porocess model, King menambahkan
empat model lainnya yaitu medical model, bureaucratic model, status pasage model
dan power model. Dalam medical model proses acara pidana diibaratkan seperti
mengobati orang sakit. Sebagaimana yang diungkapkan oleh King, “ …..the
restoration of the defendant to a state of mental and social health whereby s/he will
be able to cope with the demands society makes oh him/her and refrain from the
conduct which causes further intervention to be necessary ”. Bureaucratic model
memandang sistem peradilan pidana sebagai konflik antara negara dan terdakwa.
Hukum acara pidana dinilai diskriminatif terhadap individu atau kelompok tertentu.
Dikatakan demikian karena dengan aturan yang terbatas dalam beracara dan
pembuktian, negara bebas memilih untuk membuat putusan kendatipun terkadang
meniadakan kejadian yang sesunggunya. King berpendapat bahwa bureaucratic
model dan due process model mempunyai hubungan yang jelas namun didasarkan
pada aspek yang berbeda. Due process model mengutamakan perlindungan terhadap
individu dari kesewenang-wenangan kekuasaan negara sedangkan bureaucratic
model mengutamakan proses terhadap terdakwa berdasarkan standar prosedur. Akan
tetapi, baik due process model maupun bureaucratic model didasarkan pada aturan
yang baku dalam sistem peradilan pidana.
Selanjutnya adalah status passage model. Model ini memandang sistem
peradilan pidana sebagai suatu proses penerimaan status bagi si terpidana oleh
masyarakat yang diwakili pengadilan. Terhadap status passage model, King
berpendapat, “ ….. this perspective stresses the function of the criminal court as
institutions for denouncing the defendant, reducing his social status and promoting

19
solidarity within the community . The reduction of social status in the offender results
…..not only in the stigmatization of the defendant as a person with a tarnished moral
character , but also in the enhancement of social cohesiveness among law – abiding
members of the community by setting the defendant apart from the community and by
emphasizing the difference between him and law abiding citizens ” .Model yang
terakhir dari King adalah power model.
Berdasarkan power model, sistem peradilan pidana adalah instrumen dari
(ruling class) golongan yang berkuasa yang melakukan diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok tertentu termasuk di dalamnya kelompok etnis minoritas. Sistem
peradilan pidana adalah untuk melindungi golongan yang berkuasa kendatipun
terdapat perbedaan antara das sollen dan das sein. Hal ini disebabkan golongan yang
berkuasa dapat mengontrol dan menginterpretasi aturan dengan diskriminasi dan
represif. Model yang dikemukakan Packer dan King selanjutnya oleh King dibagi ke
dalam dua pendekatan, yakni participant approaches dan social approaches.
Participant approaches adalah sistem peradilan dilihat dari sudut pandang aparat
penegak hukum yang meliputi 3 model, yakni crime control model, due process
model dan medical model. Sedangkan social approaches adalah sistem peradilan
pidana dilihat dari sudut pandang masyarakat yang mencakup bureaucratic model,
status passage model dan power model.
Menurut King, dalam participant approach, ketiga model pertama tersebut
telah mengidentifikasi berbagai nilai dalam proses acara pidana dan aparat penegak
hukum diberi kebebasan untuk memilih mana yang akan digunakan. Ketiga model
tersebut tidak ada satu model pun mengungguli yang lain, semuanya memiliki
keunggulan masing-masing. Oleh sebab itu, para penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana biasanya tidak menerapkan satu model secara tegas tetapi tergantung
pada individu atau kasus yang dihadapi. Sementara, dalam social approaches, ketiga
model yang terakhir didasarkan pada analisis teori sosial mengenai hubungan antara
institusi penegak hukum sebagai struktur tersendiri dengan struktur lainnya dalam
masyarakat. Para penegak hukum mencoba menjelaskan proses beracara secara
keseluruhan kepada masyarakat dengan tujuan-tujuan tertentu mengapa terjadi

20
kesenjangan antara retorika dan kenyataan hukum. Dalam peraturan hukum kongkrit,
sistem peradilan pidana biasanya dituangkan dalam hukum acara pidana.
Oleh Enschede, hukum acara pidana adalah hukum yang riskan sebagai
instrumen penegak hukum yang pelaksanaaannya dengan pengawasan yang rumit.
Secara tegas Enschede menyatakan, ”Strafprocesrecht is riskant recht : De
strafrechtspleging, instrumen voor handhaving van het recht, vertoont nu in dit
opzicht een eigenaardigheid....”. Pernyataan tersebut tidaklah berlebihan dengan
mengingat hukum acara pidana pada dasarnya adalah hak subjektif negara – biasa
disebut jus puniendi – untuk menegak hukum pidana. Oleh Vos, jus puniendi
didefinisikan : ”..... subjectieve recht van de overhied om te straffen, omvattend dus
het recht om straf te bedreigen, starf op te legen en straf te voltreken”. Dalam konteks
hukum acara pidana di Indonesia, bila dikaitkan dengan sistem peradilan pidana
seperti yang telah diungkapkan di atas maka dapat dikemukakan hal- hal sebagai
berikut:
PERTAMA, perihal integrated criminal justuce system yang diungkapkan
baik oleh Packer maupun King, pada kenyataannya tidak dianut sepenuhnya dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia. Sebab, dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia dikenal asas diferensiasi fungsional. Artinya, masing-masing aparat
penegak hukum mempunyai tugas sendiri-sendiri dan terpisah antara satu dengan
yang lain. KEDUA, perihal model dalam beracara baik yang dikemukakan oleh
Packer, maupun King, sistem peradilan pidana di Indonesia tidak menganut secara
ketat satu model tertentu. Kendatipun kecenderungannya pada crime control model,
namun realitanya dikombinasikan dengan model yang lain. Sebagai contoh, asas
presumption of innocent tetap menjadi landasan legal normatif bagi aparat penegak
hukum ketika mengadakan pemeriksaan terhadap tersangka. Artinya, si tersangka
diberlakukan seperti orang yang tidak bersalah. Namun di sisi lain, secara formal
KUHAP kita menyatakan dalam Pasal 17 nya bahwa penangkapan dan penahanan
dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan suatu tindak pidana .Hal
ini berarti berdasrkan diskiptif faktual, polisi dan jaksa harus yakin bahwa terhadap

21
orang yang sedang disidik atau didakwa, dia adalah pelaku kejahatan yang
sesungguhnya.

22
III.PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Putusan hakim merupakan salah satu dasar dari upaya secara simultan untuk
memperbaiki sistem peradilan yang efektif dan efisien, oleh karenanya setiap hakim
wajib mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologis, psikologis, dalam setiap
putusannya dengan tetap bersandar pada ketentuan hukum formal dan nilai
kesusilaan, nilai kultural, nilai kesopanan, religius yang ada di masyarakat.
Penegakan hukum dan keadilan oleh hakim dalam kasus korupsi harus menjadi entry
point dalam upaya jaminan hak dan akses terhadap keadilan bagi masyarakat dari
terhambatnya pencapaian hidup sejahtera lahir dan batin, dan bukan menjadi entry
point bagi berkembangnya tindak pidana korupsi secara organized. Putusan hakim
adalah putusan Tuhan, namun faktanya putusan hakim tersebut adalah belum
mencerminkan nilai dan sifat Ketuhanan yang maha adil. Berdasarkan peristiwa
kongkrit, fakta hukum, pertimbangan hukum, konstruksi hukum, dan putusan hakim
yang terdeskripsikan pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa putusan
majelis hakim dalam perkara Nomor 696/Pid.B/2005/PN.Sda, majelis hakim pada
hari Kamis, tanggal 2 Pebruari 2006, dalam rapat permusyawaratan majelis hakim
Pengadilan Negeri Sidoarjo, dapat disimpulkan bahwa rumusan putusan perlu
dikonkretkan kembali. Menilik putusan ini, wajar jika ada kecenderungan anggapan
yang menyatakan hakim kelihatannya mendapatkan tekanan dari kekuatan politik
lokal maupun nasional, mengingat para terpidana adalah elit parpol yang berkuasa di
tingkat lokal dan/atau nasional. Ada baiknya apabila hakim menggunakan kerangka
berpikir sistematis dan logis agar putusannya memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum. Untuk itu putusan hakim tidak hanya kepentingan dari
kekuatan politik dan ekonomi, sosial baik tingkat lokal dan nasional. Dalam tataran
praktis penegakan hukum, putusan hakim tersebut justru menjadi jaminan dari para
terpidana untuk tidak lagi dapat diusik dan disentuh oleh penegak hukum khususnya
terkait dengan kasus korupsi yang sudah diputus hakim. Dengan demikian putusan
hakim tersebut semakin meneguhkan prinsip despotis dalam sistem peradilan dan

23
menegasikan prinsip kemandirian hakim dalam mengemban misi suci penegakan
hukum dan keadilan. Jika hal ini terus terjadi, maka yang hadir di masyarakat adalah
putusan-putusan hakim yang hakikatnya bernilai non-executorial dan tidak memiliki
kontribusi bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia

24
DAFTAR PUSTAKA
https://parismanalush.blogspot.com/2014/09/tipologi-korupsi.html
file:///C:/Users/Drs.%20KOHAR/Downloads/24866-56814-1-SM.pd
Achmad, Santoso. 2003. Good Governance. Makalah
Tipologi Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. DPP-UMM.
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/2864/1635
https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Eddy%2520OS%2520Hiariej-
https://jurnalhukumdanperadilan.org/index.php/jurnalhukumperadilan/
article/download/127/138
https://www.bphn.go.id/data/documents/
penyidikan_dan_penyelidikan_korupsi.pdf
https://jurnal-perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/304/pdf_383
https://journal.unita.ac.id/index.php/yustitia/article/download/155/146

25

Anda mungkin juga menyukai