Anda di halaman 1dari 16

KORUPSI DARI PERSPEKTIF ETIMOLOGINYA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Politik Hukum Program
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Islam.

Dosen : Ariyanto Ardiansya,S.IP,M.Si.


Nip : 198903282020121007
Mata Kuliah : Politik Hukum

OLEH :

JIHAN PUTRI RAMADANI SAKKA

742352020140

HTN 6

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulilah, puji syukur kehadirat Allah swt.  karena atas
berkat,hidayah,dan karunianya sehingga makalah tentang “KORUPSI DARI
PESPEKTIF ETIMOLOGINYA” dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat
serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabiullah Muhammad SAW.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Politik Hukum. Dalam penulisan makalah ini
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak dosen pengampu mata
kuliah Politik Hukum dan kepada pihak-pihak yang memberikan motivasi dalam
upaya penyelesaian makalah ini. Namun demikian,dalam penyusunan makalah ini
penulis menyadari bahwa tidak menutup kemungkinan dalam makalah ini masih
terdapat kekurangan-kekuranganya, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan
saran bagi pihak-pihak yang mempelajari makalah ini demi keberhasilan yang lebih
baik lagi untuk waktu yang akan datang. Karena penulis menyadari bahwa segala
kekurangan itu datangnya dari kita sendiri sebagai manusia biasa yang tak luput dari
kesalahan dan jika terdapat kelebihan, semua itu tentu karena kehendak Allah SWT.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua khususnya
penulis. Aamiin.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bone, 22 Oktober 2021
Penulis,

JIHAN PUTRI RAMADANI


NIM 742352020140

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul................................................................................... i

Kata Pengantar...................................................................................... ii

Daftar Isi................................................................................................iii

BAB I Pendahuluan............................................................................. 1

A. Latar Belakang............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah........................................................................ 2

C. Tujuan.......................................................................................... 2

BAB II Pembahasan.............................................................................. 3

A. Politik mengenai perspektif hukum?............................................. 3

B. Peranan politik dalam pembentukan hukum?................................ 4

C. Politik hukum dengan menganalisis dari perspektif etimologi?.... 6

BAB III Penutup....................................................................................12

A. Kesimpulan...................................................................................12

B. Saran.............................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum bekerja dalam sebuah
situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hukum sebagai
perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang dan nilai-nilai yang dimaksud adalah
keadilan. Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan
adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri
mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka
hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat.
Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa
negara adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks
dan kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut
dijalankan. Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu
pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati
atau dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan
sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang
disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan
politik. Keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan
produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri.
Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara
independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari
pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga
harus mengandung prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan.
Dalam konteks Indonesia, cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan
masih belum dapat bertemu. Harapan akan adanya instrument dan pengadilan yang
fair dan berkadilan sangat bertentangan dengan maraknya mafia-mafia peradilan dan

1
praktek-praktek hukum yang menyimpang. Pada tingkatan tertentu Indonesia bahkan
dapat dikatakan berada pada situasi lawlessness, misalnya, sekelompok orang
bersenjata dapat bergerak bebas dan melakukan tindak kekerasan tanpa mendapat
tindakan apa pun dari aparat kepolisian, massa dapat mengadili pencuri kelas teri dan
membakarnya, sementara pengadilan membebaskan koruptor kelas kakap. Dunia
hukum Indonesia berada dalam kuasa “demoralisasi, disorientasi, dehumanisasi dan
dekadensi”. Hukum adalah perintah dari penguasa, dalam arti perintah dari mereka
yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John
Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi. Perdebatan mengenai hubungan hukum
dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan
penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari
produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda dzatang dari
kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika
hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang
ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada
penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang
hidup.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan politik mengenai perspektif hukum?
2. Jelaskan peranan politik dalam pembentukan hukum?
3. Jelaskan kasus tentang politik hukum dengan menganalisis dari perspektif
etimologi?

C. Tujuan penulis

Tujuan penulisan Makalah ini ditulis oleh pemakalah dengan tujuan


menjawab permasalahn- permasalan yang terangkum dalam latar belakang penulisan

2
maupun yang ada dalam rumasan masalah. Dan selanjutnya pemakalah memiliki
tujuan ingin Memberikan pemahaman lebih kepada mahasiswa .

BAB I

PEMBAHASAN

A. POLOTIK MENURIT PERSPEKTIF HUKUM

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan


dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan
pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana
korupsi. Pasal pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang
bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana
korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kerugian keuangan negara

2. Suap-menyuap

3. Penggelapan dalam jabatan

4. Pemerasan

5. Perbuatan curang

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

7. Gratifikasi

Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas, masih
adatindak pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang
tertuang pada UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Jenis tindak pidana
yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah:

3
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi.
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka.
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan
palsu.
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
memberikan keterangan palsu.
6. Saksi yang membuka identitas pelapor Pasal-pasal berikut dibawah ini
dapat dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang
dan jasa pemerintah.

B. Peran politik dalam pembentukan hukum

Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah
konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu
merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada
keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial,
dan seterusnya (Daniel S. Lev, 1990 : xii). Walaupun kemudian proses hukum yang
dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum,
namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum
mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang
berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk
hukum.

Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana
pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam
masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi
hukumnya sendiri. Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya
memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur

4
kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga
(institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam
kenyataan (Mieke Komar et.al, 2002 : 91). Indonesia masa kini, banyak masyarakat
yang tidak percaya terhadap lembaga dan penegakan hukum karena di sebabkan
persoalan-persoalan hukum yang tidak kunjung efektif dalam penanganannya.3
Ketidak percayaan pada sistem hukum di Indonesia, yang makin hari mangkin
memperhatinkan. Kecenderungan itu tidak saja terjadi di lembaga-lembaga peradilan
tetapi juga di seluruh lapisan sosial.4 Leibniz berkata, bahwa kebaikan hidup itu
hanya terjamin, kalau orangorang memiliki sikap keadilan. Dengan kata lain: prinsip
dasar hukum alam, yang menjamin pembangunan manusia dalam segala
hubungannya, ialah keadilan keadilan yang dimaksud disini memiliki arti luas. Dari
kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses
politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum.
Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang
pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata
“institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai
produk politik. Pengaruh itu akan semakin Nampak pada produk peraturan
perundang-undangan oleh suatu institusi politik yang sangat dpengarhi oleh kekuata-
kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini,
Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun
akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan (M.Kusnadi, SH., 2000 : 118).
Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan
politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi
politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah
institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena
itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik.
Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang
dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin

5
dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari
infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum adalah
lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang
diberikan otoritas untuk itu. Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa
teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi
kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini
dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum
yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan
tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181).

C. KASUS POLITIK HUKUM

Hukum determinan atas politik dalam artian bahwa kegiatan politik diatur
oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum kemudian ketika politik determinan
atas hukum, hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendakkehendak politik
yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Tetapi, suatu sistem yang ideal
yang posisi keduanya berada pada posisi determinan yang seimbang maka dapat
membentuk sebuah keteraturan. Meskipun hukum merupakan produk keputusan
politik, namun begitu hukum berlaku, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada
hukum. Pelaku politik hukum adalah alat pemerintahan dalam arti luas, yakni alat
pemerintahan dalam bidang legislatif, alat pemerintahan dalam bidang yudikatif, yang
dimaksud dengan alat pemerintahan dalam bidang legislatif adalah alat pemerintahan
yang bertugas menetapkan ketentuan hukum yang belum berlaku umum. Berdasarkan
undang-undang dasar 1945 (lama) yang termasuk alat pemerintahan dalam bidang
legislatif adalah MPR dalam menetapkan UUD dan garis-garis besar haluan Negara
Untuk memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di Indonesia,
perlu dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana

6
kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga negara dan bagaimana
meknaisme pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga negara itu dilakukan. Inilah
dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang terkait dengan pembentukan
hukum.

Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan
uraian ini adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip
konstitusional serta prinsip demokrasi. yang nyata terjadi atau potensi konflik yang
mungkin terjadi yang hendak diatur dengan aturan-aturan yang akan dikaji tersebut.

Prof. Hikmahanto Juwana menyatakan untuk mengatasi ketimpangan antara


hukum dan politik diperlukan hal-hal sebagai berikut:

1. pertama, perlunya pendekatan multi disiplin terhadap hukum. Problem


penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia harus diakui dan diterima
oleh komunitas hukum sebagai problem yang tidak secara eksklusif dapat
diselesaikan dengan pendekatan ilmu hukum penegakan hukum harus
memiliki pengetahuan lain selain hukum, khususnya ilmu sosial.
2. Kedua, pembentukan hukum harus mengedepankan kesejahteraan.
Kesejahteraan aparat penegak hukum harus mendapat perhatian yang
khusus kesejahteraan dimaksudkan untuk dua tujuan. Pertama, agar
pengaruh uang dalam penegakan hukum dapat diperkecil. Kedua, untuk
menarik minat lulusan fakultas hukum yang berkualitas dan berintegritas
dari berbagai universitas ternama dalam Penegakan hukum di sektor
publik.
3. Ketiga, perlunya menjaga konsistensi dalam pembentukan dan penegakan
hukum. Sebagaimana telah diuraikan dalam problem penegakan hukum,
penegakan hukum di Indonesia sangat diwarnai oleh uang, perlakuan yang
diskriminatif dan perasaan sungkan dari para aparat penegak hukum.

7
4. Keempat, perlunya pembersihan internal institusi hukum. Upaya
pembersihan internal dalam institusi hukum harus dilakukan dan perlu
terus mendapat dukungan. Dalam konteks ini, para pengambil kebijakan
harus memahami bahwa mentalitas aparat penegak hukum di Indonesia
masih seperti layaknya masyarakat di Indonesia.
5. Kelima, perlunya pendekatan manusiawi dan cara-cara antisipatif terhadap
perlawanan. Manusia yang menjadi obyek pembenahan pun tidak terbatas
pada individu yang ada dalam institusi hukum, tetapi juga manusia yang
berada di sekeliling individu tersebut, termasuk keluarga. Pembenahan
terhadap manusia hukum harus dilakukan secara manusiawi.
6. Terakhir, perlunya partsipasi publik. Dalam pembenahan penegakan
hukum, penting untuk disadarkan dan diintensifkan partisipasi publik.
Partisipasi publik tidak sekedar melibatkan lembaga swadaya masyarakat,
tetapi para individu yang ada dalam masyarakat. Semua pihak mempunyai
peran dalam pembenahan penegakan hukum di Indonesia.

Contoh Kasus politik hukum di ndonesia

Korupsi di bidang politik terjadi sangat kompleks dan telah berlangsung lama.
Berbagai modus yang diupayakan untuk melakukan korupsi di bidang politik juga
melibatkan orang yang terhormat, memiliki status sosial yang tinggi dan bertujuan
untuk memenangkan suatu partai politik dan orang-orang yang akan duduk di kursi
legislatif. Kondisi ini disebabkan oleh biaya politik yang tinggi sedangkan partai
politik tersebut hanya memiliki sumber-sumber pendanaan yang minim. Salah satu
biaya politik tersebut adalah pendanaan untuk kampanye dalam rangka
memperkenalkan dan menanamkan kepercayaan kepada masyarakat bahwa partai
politik atau calon legislatif tersebut peduli dan memperjuangkan hak-hak masyarakat
di daerah pemilihannya. Kampanye yang melibatkan maasyarakat banyak maupun
kampanye dengan menggunakan media massa dan media elektronik juga
membutuhkan biaya yang besar.

8
korupsi politik terjadi kapan saja seorang truster dan seorang koruptor
berkerjasama dengan orang lainnya dengan bantuan fiduciary. Jika satu dari aktor ini
tidak ada praktek yang dievaluasi tidak akan dipertimbangkan menjadi korupsi
politik.

Adapun kasus yang pernah terjadi diindonesia:

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan


(OTT) kepada tersangka Wahyu Setiawan yang tidak lain adalah seorang Komisioner
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 8 Januari 2020 yang lalu. Kasus ini bermula
ketika anggota DPR terpilih dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
yaitu Nazarudin Kiemas, meninggal dunia pada Maret 2019.

Berdasarkan Pasal 426 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 7


Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa penggantian calon terpilih anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon
terpilih yang bersangkutan meninggal dunia. Untuk pengganti diatur juga dalam pasal
yang sama ayat (3) yang menyatakan calon terpilih anggota DPR yang meninggal
dunia diganti oleh KPU dengan calon dari daftar calon tetap (DCT) Partai Politik
Peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara
calon terbanyak berikutnya (beritasatu.com, 11/1).

Dengan dasar peraturan perundang-undangan tersebut, maka KPU


menetapkan Riezky Aprilia sebagai anggota DPR terpilih dari dapil Sumsel 1 pada
Rapat Pleno Penetapan Kursi dan Calon anggota DPR Terpilih di Kantor KPU,
Jakarta pada 31 Agustus 2019. Aprilia menggantikan peraih suara terbanyak
Nazaruddin Kiemas yang telah meninggal dunia (beritasatu.com, 11/1).

Namun salah satu pengurus DPP PDIP mengajukan gugatan ke Mahkamah


Agung (MA) untuk dapat menentukan sendiri secara bebas siapa kadernya yang akan
menempati kursi DPR menggantikan Nazarudin. Gayung pun bersambut, MA
mengabulkan gugatan tersebut. Penetapan MA itu kemudian menjadi dasar PDIP

9
bersurat ke KPU untuk menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti Nazarudin di
DPR. Namun KPU melalui rapat pleno menetapkan Riezky sebagai pengganti
Nazarudin. Di sinilah diduga terjadi ‘main mata’ yang bermuara pada praktik suap-
menyuap. KPK kemudian melakukan OTT pada 8 Januari 2020. Dalam OTT itu,
KPK menetapkan empat tersangka, yaitu Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina,
Harun Masiku, dan Saeful (detik.com, 22/1).

Melihat adanya nama-nama pejabat dan politisi yang terseret dalam ini, maka
dapat kita pahami bahwa kekuasaan memiliki potensi besar untuk disalahgunakan.
Sebagaimana pendapat pakar antikorupsi asal Amerika Serikat, Robert Klitgaard
(2000) yang menyatakan bahwa korupsi bisa berarti menggunakan jabatan untuk
keuntungan pribadi.

Penyalahgunaan kekuasaan dalam kasus ini menggambarkan untuk kesekian


kalinya seorang pejabat publik dan aktor politik terlibat dalam persengkongkolan
korupsi politik. Definisi korupsi politik sendiri secara sederhana, diartikan sebagai
korupsi yang dilakukan oleh orang atau pihak yang memilki posisi politik (Alkostar,
2007). Bentuknya dapat berupa untuk melanggengkan dinasti politik,
memperdagangkan jabatan, sogok-menyogok dan lainnya (mediaindonesia.com
23/01/17). Dalam kasus tersangka Wahyu Setiawan, korupsi politik dilakukan dengan
bentuk penyuapan.

Penyuapan didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan


dengan imbalan keuntungan pribadi. Penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu,  pertama, penyalahgunaan kekuasaan dan
wewenang untuk mempercepat prosedur yang sesuai dengan
hukum. Kedua, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk mempercepat
prosedur yang bertentangan dengan hukum (Aktan, 2015). Dampak dari korupsi
politik dalam kasus ini, pertama, jelas akan semakin menurunkan tingkat
kepercayaan publik terhadap partai politik dan Lembaga Penyelenggara

10
Pemilu. Kedua, akan merusak demokrasi di Indonesia karena saat ini praktik korupsi
dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan di dalam sistem
demokrasi. Ketiga, menurunkan kualitas lembaga tinggi Negara dalam hal ini KPU
dalam menjalankan peranannya. Kemudian yang keempat, menurunkan kepatuhan
hukum di mata masyarakat. Melihat persoalan yang terjadi dalam kasus korupsi yang
melibatkan pimpinan maupun pejabat lembaga tinggi negara, diperlukan kebijakan
anti korupsi guna mengatasi korupsi yang semakin sistemik di negeri ini. Oleh karena
itu, pertama, diperlukan revisi terhadap UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan
atas UU. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Revisi
ditujukan untuk memberikan efek jera terhadap para pelaku tindak pidana korupsi.
Misalnya dengan menambah masa hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Kedua, mendorong partai politik untuk memperkuat komitmennya dalam
pemberantasan korupsi. Hal ini dapat dilakukan dengan memecat anggota maupun
pengurus yang terjerat kasus korupsi.  Ketiga, bagi pejabat publik melakukan
pelaporan dan publikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN),
secara berkala. LHKPN diharapkan ke depan, tidak hanya dilaporkan pada saat
pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pensiun. Tapi, LKHPN juga dilaporkan
secara berkala setiap tahunnya selama masa jabatanya.

Suap tersebut diberikan agar Wahyu dapat mengupayakan KPU menyetujui


permohonan pergantian antarwaktu anggota DPR Daerah Pemilihan Sumatera Selatan
I yakni Riezky Aprilia kepada Harun Masiku. Selain itu, JPU KPK juga menilai
Wahyu terbukti menerima uang sebesar Rp 500 juta dari Sekretaris KPU Daerah
(KPUD) Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo terkait proses seleksi calon
anggota KPU daerah (KPUD) Provinsi Papua Barat periode tahun 2020-2025. Atas
perbuatannya, Wahyu dinilai melanggar Pasal 12 a UU Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat
(1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP dan Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

11
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Korupsi politik dalam perspektif institusional merupakan tindakan yang


menyimpang dari tugastugas peran publik yang formal untuk memperoleh uang atau
kekayaan pribadi (perseroangan, keluarga dekat, dan kelompok pribadi) dengan cara
yang melanggar peraturan dari orang-orang dalam jabatan tertentu yang dapat
mempengaruhi. Hal ini dapat dikategorikan ke dalam tindakan penyuapan untuk
menyesatkan penilaian seseorang, nepotisme dengan alasan hubungan kekerabatan
dan ketidakpatutan memperoleh sumber daya public untuk kepentingan pribadi,
Ruang lingkup korupsi politik dari perspektif perilaku mencakup: patronage,
pembelian suara, pork barreling, penyuapan, penyogokan, konflik kepentingan,
nepotisme, penjualan pengaruh, dan pendanaan kampanye. Bentuk-bentuk korupsi
politik terdiri dari penyuapan terhadap panjangnya prosedur dan antrian untuk
mendapatkan pelayanan publik, pengawasan oleh birokrasi publik, dan meningkatkan
pejabat public kepada orang yang membuat keputusan untuk menjamin pelaksanaan
pertukaran korupsi dari orang yang memberi suap, pembelian suara untuk
mempertahankan kekuasaan partai politik, nepotisme atau patronage untuk membantu

12
kerabat dan orang yang satu kelompok atau satu gagasan ditunjuk pada pekerjaan
tertentu, dan korupsi pembiayaan partai politik.

B. Saran

Diharapkan Makalah ini dapat menambah wawasan kepada pembacanya.

DAFTAR PUSTAKA

https://nasional.kompas.com/read/2020/08/03/16161201/mantan-komisioner-kpu-
wahyu-setiawan-dituntut-8-tahun-penjara

https://nasional.kompas.com/read/2015/12/30/10242151/5.Kegaduhan.Politik.dan.Hu
kum.Sepanjang.2015?
amp=1&page=2&jxconn=1*1xiu54a*other_jxampid*NmxRbFNfS3YwUVdYYXRw
MGJYZGdNbkY1VHFrUFFfVDBnWmNzdEZ1TndIUEJibHpaeGc1dUtyekZ2WlRI
cWRtUA

https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/256/pdf

https://media.neliti.com/media/publications/57805-ID-pengaruh-politik-dalam-
pembentukan-hukum.pdf

13

Anda mungkin juga menyukai