Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan zaman yang semakin modern menuntut masyarakat
memiliki gaya hidup yang tinggi akan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
yang terus meningkat. Baik itu kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan
kebutuhan tersier, hal itu pada dasarnya dilakukan karena mereka ingin hidup
layak dan selalu berkecukupan. Hal ini mendorong masyarakat untuk memiliki
banyak keinginan yang lebih atas penghasilan yang didapat ketika bekerja yang
kemudian banyak terjadi praktik perjanjian pinjam-meminjam untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut. Pada dasarnya perjanjian
pinjam-meminjam tersebut dapat diartikan sebagai salah satu bentuk perjanjian
antara kedua subjek hukum yaitu pihak yang memberikan pinjaman (kreditur) dan
pihak yang menerima pinjaman (debitur). Kedua belah pihak ini mengadakan
sebuah perjanjian atau kesepakatan pinjam meminjam uang yang disertai dengan
beberapa ketentuan yang sudah ditentukan oleh kreditur pada saat dimulainya
suatu perjanjian. Dalam kondisi demikian, terkadang perjanjian yang dilakukan
oleh kedua belah pihak menjadikan tidak seimbang dalam posisi tawarnya, sebab
debitur dalam kondisi terdesak dan sangat membutuhkan uang sementara kreditur
memiliki uang (keunggulan secara ekonomi) untuk dipinjamkan.
Kegiatan pinjam-meminjam sudah dilakukan sejak lama dalam kehidupan
bermasyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat utama dalam pembayaran.
Dapat diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan
pinjam-meminjam uang ini sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk
mendukung perkembangan kegiatan ekonominya dan untuk meningkatkan taraf
kehidupannya. 1 Dalam hubungan keluarga biasanya juga terjadi perjanjian
pinjam-meminjam yang terjadi dalam suatu keluarga yang melakukan perjanjian
yang dituangkan dalam perjajian tertulis maupun tidak tertulis. Kedudukan pihak
yang satu sebagai pihak yang memberikan pinjaman, sedang pihak yang lain

1
M Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persero, 2007). hlm. 1.

1
2

menerima pinjaman. Dalam kaitannya dengan objek jaminan yang


dipinjam itu akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang
diperjanjikan.
Dalam kegiatan pinjam-meminjam uang, setiap pemberi pinjaman yang
meminjamkan uang kepada debitur harus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
memberikan pinjaman. Dalam hal ini pemberi pinjaman memberikan syarat
kepada peminjam ketika melakukan perjanjian pinjam-meminjam. Salah satu
syarat yang penting adalah peminjam diwajibkan menyerahkan jaminan utang atas
pinjaman uang yang telah dilakukan.
Perjanjian pinjam-meminjam ini dalam bab ke tiga belas buku ketiga
KUH Perdata, Pasal 1754 KUH Perdata menyebutkan bahwa
“Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang
yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam
keadaan yang sama seperti semula.”2

Berdasarkan Pasal 1754 KUH Perdata bahwa objek perjanjian


pinjam-meminjam berupa barang-barang yang dapat habis karena pemakaiannya.
Maka dari itu pihak yang meminjam akan mengembalikan barang yang dipinjam
dengan ukuran dan nilai yang sama, begitu juga dengan rumah yang dijadikan
objek jaminan harus dikembalikan dengan bentuk yang sama pada saat
diperjanjikan. Di dalam perjanjian pinjam meminjam terdapat dua pihak yang
melakukan perjanjian, yaitu pihak yang memberi pinjaman dan pihak yang
menerima pinjaman. Istilah yang sering digunakan dalam perjanjian tersebut,
untuk pihak yang memberikan pinjaman adalah pihak yang berpiutang atau
kreditur, sedang pihak yang menerima pinjaman disebut pihak yang berutang atau
debitur.3
Berdasarkan pengertian di atas maka orang yang menerima pinjaman
menjadi pemilik mutlak barang pinjaman itu dan bila barang itu musnah maka
yang bertanggung jawab adalah peminjam itu sendiri. Dalam hal ini Mariam
Darus Badrulzaman berpendapat bahwa:

2
Gatot Supramono, Perjanjian Pinjam Meminjam (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup),
2013, hlm. 9.
3
Ibid., hlm. 10.
3

“Apabila dua pihak telah mufakat mengenai semua unsur dalam


perjanjian pinjam-meminjam uang maka tidak berarti bahwa perjanjian
tentang pinjam uang itu telah terjadi. Yang baru terjadi adalah perjanjian
untuk megadakan perjanjian pinjam uang. Apabila uang yang diserahkan
kepada pihak peminjam maka lahirlah perjanjian pinjam-meminjam uang
dalam pengertian menurut bab XIII buku ketiga KUH Perdata.4”

Dalam hal pinjam-meminjam, yang paling mudah untuk menetapkan


seorang melakukan wanprestasi ialah dalam perjanjian yang bertujuan untuk tidak
melakukan suatu perbuatan. Apabila orang itu melakukannya berarti ia melanggar
perjanjian. Ia melakukan wanprestasi. 5 Akibat yang sangat penting dari tidak
dipenuhinya perikatan ialah bahwa kreditur dapat minta ganti rugi atas ongkos,
rugi dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur
maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan
berada dalam keadaan lalai (ingebrekestelling). Ini merupakan upaya hukum
untuk sampai pada suatu fase, debitur dinyatakan ingkar janji (wanprestasi). 6 Hal
ini dapat dibaca dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang mengatakan : Jadi, maksud
“berada dalam keadaan lalai” ialah peringatan atau pernyataan dari kreditur
tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi.
Apabila dalam perjanjian ini debitur tidak melakukan prestasi yang harus
dilakukannya maka debitur dapat dikategorikan melakukan perbuatan yang ingkar
janji (wanprestasi). Dalam perjanjian pinjam meminjam ada tiga bentuk
wanprestasi, yaitu:
1. Utang tidak dikembalikan sama sekali. Itu dapat diartikan bahwa debitur
tidak mempunyai itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian. Tidak
dibayarnya utang, memang perlu dicari penyebabnya, jika karena
usahanya bangkrut lantaran ada bencana alam seperti tsunami atau gempa
bumi sampai tidak mempunyai harta benda, maka yang demikian ini
debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena berhubung di
luar kesalahannya. 7

4Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 24.
5
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 1979), hlm. 46.
6
Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti. 2010), hlm.
19.
7
Gatot Supramono, Perjanjian ... op.cit., hlm. 31.
4

2. Mengembalikan utang hanya sebagian pengembalian utang, dalam hal ini


dapat berupa pengembalian sebagian kecil atau sebagian besar, yang jelas
masih ada sisa utang. Juga dapat berupa, yang dikembalikan hanya utang
pokoknya saja, sedang bunganya belum pernah dibayar, atau sebaliknya
yang baru dibayar bunganya saja sedangkan utang pokoknya belum
dibayar.8
3. Mengembalikan utang tetapi terlambat waktunya. Seperti yang kita
ketahui bahwa macam-macam wanprestasi yang ketiga yaitu
mengembalikan utang tetapi terlambat waktunya, ada dua macam yaitu
waktunya sebentar misalnya dalam hitungan hari, atau bulan dan waktu
yang tergolong lama, misalnya tahunan. Jika waktu lama hingga tahunan,
biasanya memberatkan debitur, karena beban bunga makin menumpuk,
bahkan nilainya dapat melebihi utang pokoknya. Jika ada pembayaran
yang terlambat pada dasarnya debitur masih mempunyai niat baik, akan
tetapi karena sesuatu hal seperti usahanya sedang sepi, sehingga debitur
perlu sekali menunda pembayaran utangnya dan sebenarnya tidak ada niat
untuk merugikan kreditur.9
Dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat empat syarat untuk
menentukan sahnya suatu perjanjian, yaitu: kata sepakat, kecakapan, hal tertentu,
dan sebab yang halal. Apabila dari salah satu syarat diatas tidak disanggupi oleh
salah satu pihak dalam suatu perjanjian yang disepakatinya maka akan merusak
perjanjian yang telah dibuat, dengan kata lain akan ada salah satu pihak dalam
perjanjian tersebut akan mengalami kerugian, sehingga pihak yang merasa tidak
terpenuhi haknya dapat menuntut ganti rugi kepada pihak lawan. Ganti rugi sering
diperinci dalam tiga unsur: biaya, rugi, dan bunga. Dalam soal penuntutan ganti
rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan tentang apa yang dapat
dimasukkan dalam ganti rugi tersebut.
Boleh dikatakan, ketentuan-ketentuan itu merupakan pembatasan dari apa
yang boleh dituntut sebagai ganti rugi. Dengan demikian, seorang debitur yang
lalai atau alpa, masih juga dilindungi oleh undang-undang terhadap
kesewenang-wenangan yang dilakukan kepada kreditur. Seperti juga ia sudah
8
Ibid., hlm. 32.
9
Ibid., hlm. 34.
5

pernah dilindungi oleh undang-undang (Pasal 1338) dalam soal


pelaksanaan perjanjian. 10 Dalam Pasal 1338 KUH Perdata disebutkan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”11

Perjanjian atau persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.


Kejujuran pada waktu mulainya suatu perhubungan hukum diartikan sebagai
sesuatu yang berkaitan dengan hati nurani yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat
yang diperlukan bagi mulai berlakunya perhubungan hukum itu sudah dipenuhi
semua, sedangkan ternyata ada syarat yang tidak terpenuhi. Dalam hal yang
demikian itu, bagi pihak yang jujur dianggap seolah-olah syarat-syarat tersebut
terpenuhi semua, atau dengan kata lain yang jujur tidak boleh dirugikan.
Kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian harus dibedakan dari kejujuran pada
waktu mulai berlakunya perhubungan hukum dan kejujuran dalam pelaksanaan
perjanjian.
Kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian terletak pada keadaan jiwa
manusia, akan tetapi titik berat dari kejujuran ini terletak pada tindakan yang
dilakukan kedua belah pihak dalam hal melaksanakan janji. Kejujuran harus
didasari oleh keadaan hati nurani seorang manusia, berupa selalu mengingat
bahwa manusia itu sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat menipu pihak
lain dalam pembuatan isi perjanjian dengan keadaan yang hanya menguntungkan
dirinya sendiri tetapi tidak mempedulikan keadaan dari pihak lain yang ikut
membuat suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini
dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri
sendiri.
Konsep ini sebagai landasan untuk mengatur transaksi yang berat sebelah
yang telah ditentukan sebelumnya oleh pihak yang dominan kepada pihak yang
lemah. Penyalahgunaan keadaan terjadi ketika pihak yang melakukan suatu
perbuatan atau membuat perjanjian dengan cara dibawah paksaan atau pengaruh
teror yang ekstrim atau ancaman. Ada pihak yang menyatakan bahwa
10
Subekti, Hukum ... op.cit., hlm. 47.
11
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
6

penyalahgunaan keadaan adalah setiap pemaksaan yang tidak patut atau salah,
akal bulus, atau bujukan dalam keadaan yang mendesak, kehendak seseorang
tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan yang tidak beritikad baik. Secara
umum terdapat dua macam penyalahgunaan keadaan yaitu :
1. Ketika seseorang menggunakan posisi psikologis dominannya yang
digunakan secara tidak adil untuk menekan pihak yang lemah supaya mereka
menyetujui sebuah perjanjian ketika pihak yang lemah sebenarnya mereka
tidak ingin menyetujuinya.
2. Ketika seseorang menggunakan wewenang, kedudukan, dan
kepercayaannya yang digunakan secara tidak adil untuk membujuk pihak lain
melakukan suatu perjanjian atau transaksi.
Pada saat sudah dilakukan peringatan atau sudah dengan tegas ditagih
janjinya oleh kreditur, tetapi debitur tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada
dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap debitur dapat diberlakukan
sanksi-sanksi sebagaimana disebutkan yaitu ganti rugi, pembatalan perjanjian atau
peralihan risiko. Terlebih apabila debitur tidak memiliki itikad baik untuk
melakukan prestasinya.12
Dalam perjanjian pinjam-meminjam antar subjek hukum individu dengan
subjek hukum individu lainnya, sering terjadi kelalaian atau kealpaan oleh salah
satu pihak yang dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi. Terlebih apabila
perjanjian yang dibuat menggunakan akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan
atau onderhands acte adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantaraan
seseorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para
pihak yang mengadakan perjanjian, misalnya perjanjian jual beli atau perjanjian
sewa menyewa. Dengan pengertian tersebut dapat diperkirakan bahwa masyarakat
lebih memilih untuk menggunakan akta di bawah tangan dibanding dengan akta
otentik, karena dalam proses pembuatannya akta di bawah tangan memiliki
beberapa kemudahan, antara lain tidak membutuhkan pejabat khusus dalam
pembuatannya, lebih efisien, cepat, dan hemat.13

12
Subekti, Hukum ... op.cit., hlm. 49.
13
Soeroso, Perjanjian Di Bawah Tangan : Peristilahan Yang Berhubungan Dengan
Perjanjian (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 7.
7

Perjanjian merupakan salah satu sumber dari adanya sebuah perikatan


yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang saling mengikatkan diri untuk berbuat
sesuatu, memberikan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. akan ada salah satu pihak
yang dirugikan. Adapun salah satu kasus dalam pembahasan ini berdasarkan
Putusan Nomor 01/Pdt/G/2017/Pn.Grt menjelaskan mengenai perjanjian
pinjam-meminjam antara anak dengan orang tua. Namun, pada kasus di Kota
Garut terjadi fenomena yang jarang terjadi dikalangan masyarakat. Perjanjian
pinjam-meminjam berupa peminjaman uang dalam suatu keluarga yaitu seorang
anak menuntut ibu kandungnya akibat perjanjian pinjam-meminjam yang terjadi
di masa lalu. Dalam peminjaman tersebut, tidak ada bunga yang disepakati oleh
kedua belah pihak, akan tetapi pelunasan harus dilakukan dalam kurun waktu
yang sudah disepakati. Kasus mengenai permasalahan orang tua dengan anak
kandungnya perlu diadakan pembahasan lebih mendalam, guna diberikan
pemahaman mengenai hak alimentasi yaitu kewajiban timbal-balik antara kedua
orang tua atau para keluarga sedarah dalam garis ke atas dan anak-anak beserta
keturunan mereka untuk saling memberi nafkah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis dalam penulisan skripsi ini
tertarik untuk meneliti lebih lanjut dengan menggunakan teori-teori hukum
perjanjian dan hukum perjanjian pinjam-meminjam dalam pembahasannya dan
menuangkannya dalam penulisan skripsi penulis dengan judul “TINJAUAN
YURIDIS TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM ANTARA ANAK
DAN ORANG TUA DIHUBUNGKAN DENGAN KETENTUAN KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA PADA PUTUSAN NOMOR
01/PDT/G/2017/PN.GRT”

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis dalam hal ini
mengidentifikasikan masalah-masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi
ini sebagai berikut:
1. Apakah perjanjian pinjam meminjam antara anak dengan orang tua
pada Putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor 01/Pdt/G/2017/Pn.Grt
dapat dihubungkan dengan KUHPerdata ?
8

2. Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari perjanjian pinjam


meminjam antara anak dengan orang tua berdasarkan Putusan
Pengadilan Negeri Garut Nomor 01/Pdt/G/2017/Pn.Grt ?
3. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan berkaitan dengan
perjanjian pinjam meminjam antara anak dengan orang tua
berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor
01/Pdt/G/2017/Pn.Grt jika dihubungkan dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis berdasarkan uraian
identifikasi masalah di atas diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perjanjian pinjam meminjam antara anak dengan
orang tua pada Putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor
01/Pdt/G/2017/Pn.Grt dapat dihubungkan dengan KUHPerdata.
2. Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari perjanjian
pinjam meminjam antara anak dengan orang tua berdasarkan Putusan
Pengadilan Negeri Garut Nomor 01/Pdt/G/2017/Pn.Grt.
3. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan berkaitan
dengan perjanjian pinjam meminjam antara anak dengan orang tua
berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor
01/Pdt/G/2017/Pn.Grt jika dihubungkan dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.

D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang ingin dicapai oleh penulis melalui penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Hasil kajian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian
kepustakaan untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentang tindakan
wanprestasi dalam perjanjian pinjam meminjam dengan objek jaminan
pada umumnya.
9

2. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran
bagi pihak-pihak yang berkaitan dan khususnya untuk hakim dalam
memutus perkara yang ditimbukan dari perjanjian pinjam meminjam
antara anak dengan orang tuanya.

E. Kerangka Pemikiran
Untuk menganalisis permasalahan yang ditimbulkan dalam kasus
perjanjian pinjam meminjam uang antara anak dengan orang tua ini, penulis akan
mengaitkannya dengan teori hukum perjanjian untuk dapat menyelesaikan
permasalahan yang muncul dalam permasalahan yang akan diteliti oleh penulis.
Menurut Utrecht dalam Djindang , mengatakan bahwa
“Hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan yang
mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran
petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah
atas penguasa masyarakat itu”.14

Sedangkan menurut Van Apeldoorn dalam Djindang,


“Tujuan hukum itu mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil
dan menurut filsuf bangsa Yunani kuno hukum mempunyai tugas yang
suci yaitu memberi kepada setiap orang apa ia berhak menerima”.15

Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan


oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di Negara
Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang
terdapat dalam Pancasila, merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas
manusia dan masyarakat Indonesia, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta memperhatikan perkembangan globalisasi yang moderen.
Perjanjian sudah menjadi bagian yang penting di dalam kehidupan
manusia, termasuk dalam kekeluargaan. Terkadang keluarga melakukan
perjanjian biasanya dituangkan dalam suatu perjanjian. Perjanjian di dalam
kekeluargaan lazimnya dilakukan secara tertulis. Perjanjian pada hakikatnya

14
E Utrecht dalam Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta:
Ichtiar Baru, 1983), hlm. 3.
15
Ibid., hlm. 11.
10

sering terjadi di dalam kelompok masyarakat bahkan sudah menjadi suatu


kebiasaan. Perjanjiaan itu menimbulkan suatu hubungan hukum yang biasa
disebut dengan perikatan. Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum mengenai
harta benda antara dua pihak, di mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji
untuk melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji
tersebut.
Perjanjian diatur dalam buku ke tiga KUHPerdata, sedangkan pengertian
perjanjian secara khusus diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata Berdasarkan Pasal
1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Perjanjian adalah:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Mengenai isi Pasal 1313 KUHPerdata tersebut Subekti menyebutkan


“Suatu perjanjian adalah peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu
hal .”16

Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung


pengertian
“Suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau
lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan
prestasinya”17

Perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata memiliki sifat terbuka (open baar system) dan berfungsi sebagai hukum
pelengkap (optional law) sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Memiliki sifat terbuka yang berarti bahwa
setiap orang bebas untuk membuat perjanjian atau bersepakat tentang segala hal,
dalam bentuk apa pun juga, dengan siapa saja, mengenai suatu benda tertentu
selama dan sepanjang perjanjian tersebut berada dalam lapangan bidang hukum
yang dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban umum. Sedangkan ketentuan hukum perjanjian berfungsi sebagai
hukum pelengkap yang berarti bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam Buku III

16 R.Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 1989), hlm.1.


17 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 6.
11

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dikesampingkan berdasarkan


kesepakatan para pihak.
Perjanjian tidak terlepas dari syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal. 18
Syarat yang pertama dan syarat yang kedua merupakan syarat subjektif,
artinya jika suatu perjanjian tidak memenuhi salah satu syarat atau kedua syarat
subjektif tersebut, maka perjanjian dapat dibatalkan oleh para pihak, sepanjang
perjanjian belum dibatalkan para pihak, perjanjian dapat terus berlangsung,
sementara itu syarat yang ketiga dan keempat adalah syarat objektif, yang mana
jika suatu perjanjian tidak memenuhi salah satu atau kedua syarat objektif tersebut
maka perjanjian batal demi hukum.
Apabila suatu perjanjian telah memenuhi ke-empat syarat berdasarkan
Pasal 1320 KUHPerdata, maka Pasal 1338 KUHPerdata menetapkan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya; Suatu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu;
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Konsekuensi dari Pasal di atas yaitu:


1. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya;
2. Pengakhiran suatu perjanjian hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan atau karena undang-undang menyatakan berakhir;
3. Perjanjian harus ditaati oleh para pembuatnya (Pacta Sunt
Servanda).19
Perjanjian pinjam meminjam baru dapat dikatakan sah dan meningkat
serta mempunyai kekuatan hukum, apabila telah memenuhi unsur sebagaimana

18
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan (Bandung: Bina Cipta, 2007), hlm. 49
19
Ibid, hlm. 50.
12

yang telah ditegaskan dalam pasal 1320 KUHPerdata. Mengenai pinjaman uang
dengan bunga Pasal 1765 KUHPerdata menyebutkan bahwa “diperbolehkan
memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau lain barang yang telah
menghabiskan karena pemakaian”.
Suatu perjanjian hakikatnya adalah suatu persetujuan antara para pihak
yang membuat pejanjian tersebut, yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak
untuk memberikan, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu. Pengertian
perjanjian yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa untuk lahirnya suatu
perjanjian haruslah tercapainya kata sepakatnya hubungan hukum antara para
pihak yang membuat perjanjian tersebut dan masing-masing pihak terikat satu
sama lainnya. Terhadap hal ini, Subekti mengatakan bahwa dengan sepakat atau
yang dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan
perjanjian itu harus sepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian
yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak kreditur juga dikehendaki
oleh pihak debitur, mereka menghendaki sesuatu yang sama. Debitur
menginginkan sejumlah uang sedangkan kreditur meminjamkan sejumlah uang
kepada debitur.20
Dengan kata sepakat untuk mengadakan suatu perjanjian, maka kedua
pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri bentuk perjanjian. Hal ini
sesuai dengan sistem terbuka yang dianut dalam KUHPerdata. Dalam buku ketiga
para pihak dapat menyingkirkan pasal-pasal hukum perjanjian jika mereka
menghendakinya. Umumnya, suatu perjanjian dibuat dalam bentuk tulisan
sehingga dapat diketahui dengan jelas apa yang mereka sepakati. Disamping itu
juga berguna untuk pembuktian jika suatu saat terjadi perselisihan antara mereka
yang membuat perjanjian. Namun, dalam KUHPerdata tidak jelaskan apakah
perjanjian itu harus tertulis atau tidak tertulis selama perjanjian tersebut
memenuhi syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata maka perjanjian
itu dinyatakan sah. Mengenai perjanjian pinjam-meminjam pengaturannya
terdapat dalam buku ke III bab XIII KUHPerdata. Pasal 1754 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa:

20
Ibid, hlm. 14.
13

“Pinjam-meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu


memberikan kepada pihak yang lain sesuatu jumlah tentang
barang-barang atau uang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan
syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan dengan
jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Subjek dalam perjanjian pinjam-meminjam uang adalah pemberi


pinjaman (kreditur) dan penerima pinjaman (debitur). Kreditur adalah orang yang
memberikan pinjaman uang kepada debitur, sedangkan debitur adalah orang yang
menerima pinjaman dari kreditur. Kedudukan kedua pihak disini tidak kaku
sebagai kreditur dan debitur, karena pada awal perjanjian pemberi pinjaman juga
didudukkan sebagai debitur karena debitur berkewajiban menyerahkan sejumlah
uang yang diminta peminjam.
Ketentuan Pasal 1754 KUHPerdata tersebut menunjukkan bahwa
seseorang yang meminjamkan sejumlah uang atau barang tertentu kepada pihak
lain, ia akan memberi kembali sejumlah uang yang sama sesuai dengan perjanjian
yang disepakati. Dari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa unsur yang
terkandung dalam suatu perjanjian pinjam meminjam diantaranya:
1. Adanya para pihak
Pihak pertama memberikan prestasi kepada pihak lain suatu jumlah
tertentu barang-barang dengan syarat bahwa pihak kedua ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama
pula.
2. Adanya persetujuan
Pihak pertama dan kedua membuat perjanjian bersama yang menyangkut
dengan waktu, ha-hak dan kewajiban masing-masing yang diperjanjikan.
3. Adanya sejumlah barang tertentu
Barang tersebut dipercayakan dari pihak pertama kepada pihak kedua.
4. Adanya pengembalian Pinjaman
Bahwa pihak kedua akan menyerahkan sejumlah tertentu atau
barang-barang kepada pihak yang pertama. 21

21
Notaris dan PPAT, hukum perjanjian dan asas perjanjian pinjam meminjam
https://www.notarisdanppat.com/hukum-perjanjian-dan-asas-perjanjian-pinjam-meminjam/,
diakses pada 15 April 2019.
14

Selanjutnya dalam Pasal 1714 KUHPerdata dinyatakan bahwa, pihak


yang meminjamkan tetap menjadi pemilik barang yang dipinjamkan. 22
Perjanjian pinjam-meminjam hanya terdiri dari benda yang habis dalam
pemakaian, dalam hal ini uang dapat menjadi objek dalam perjanjian
pinjam-meminjam karena uang merupakan perjanjian kosensual dan riil juga
benda yang dapat habis dalam pemakaian. Perjanjian pinjam-meminjam ini
memiliki beberapa asas yang terdapat didalamnya, yaitu:
1. Asas Kebebasan Berkontrak;
2. Asas Konsensualisme;
3. Asas Pacta Sunt Servanda/ Kekuatan Mengikat;
4. Asas Kepribadian;
5. Asas Moral;
6. Asas Itikad Baik; dan
7. Asas Kepercayaan.23
Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup
bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu
ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama
dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga. 24 Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Keluarga adalah ibu dan bapak
beserta anak-anaknya yang menempati seisi rumah secara bersama-sama.25
Hak Alimentasi adalah hak timbal balik kedudukan untuk melaksanakan
hak dan kewajiban bagi anak dan orang tua. Setelah anak dibesarkan sedemikian
rupa dengan penuh kasih sayang oleh orang tua hingga dapat tumbuh menjadi
sosok orang dewasa baik secara hukum dan umur, anak berkewajiban memelihara
menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila
mereka itu memerlukan bantuannya. 26

22 R. Subekti. Loc.Cit. Hlm 448.


23 Endang Mintorowati, Hukum Perjanjian, (Surakarta: UNS Press. 1996), hlm.6.
24
Muchlisin Riadi, definisi, fungsi dan bentuk keluarga,
https://www.kajianpustaka.com/2012/11/definisi-fungsi-dan-bentuk-keluarga.html, diakses pada
20 juni 2019.
25https://kbbi.web.id/keluarga, diakses pada 20 Juni 2019
26
Nadia Nurhadanti, “HAK ALIMENTASI BAGI ORANG TUA LANJUT USIA TERLANTAR
(Studi Kasus di Panti Werdha Majapahit Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto)”, Jurnal
Hukum (2015), hlm. 6.
15

F. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian
yang dibagi dalam beberapa tahap sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian merupakan sifat dari penelitian yang akan
dilakukan, dapat berupa penelitian deskriptif (descriptive research)
suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan
fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini atau saat
yang lampau, penelitian eksploratif (explorative research) yaitu jenis
penelitian sosial yang tujuannya untuk memberikan sedikit definisi
atau penjelasan mengenai konsep atau pola yang digunakan dalam
penelitian dan penelitian eksplanatoris (explanatory research) yaitu
penelitian yang bertujuan untuk menguji suatu teori atau hipotesis
guna memperkuat atau bahkan menolak teori atau hipotesis hasil
penelitian yang sudah ada sebelumnya. Spesifikasi penelitian yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif analitis 27 ,
dalam arti bahwa dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk
menggambarkan dan melaporkan secara sistematis, faktual baik
peraturan perundang-undangan maupun teori hukum yang relevan
menyangkut masalah tanggung jawab para pihak dalam perjanjian
pinjam meminjam.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum terdiri dari penelitian yuridis normatif 28
(yuridis dogmatis) yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan atau kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif. dan yuridis empiris (yuridis sosiologis), atau dapat disebut
dengan penelitian lapangan, yaitu mengkaji ketentuan hukum yang

27Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press,2007), hlm 10.


28
Ronni Hanjito Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2001), hlm. 34.
16

berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya di masyarakat.29


namun jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah penelitian yuridis normatif, Dalam hal ini menguji dan
mengkaji ketentuan hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab
para pihak yang terlibat dalam perjanjian pinjam meminjam.
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
diantaranya Putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor:
01/Pdt/G/2017/Pn.Grt dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer
diantaranya, buku-buku literatur, karya ilmiah dari para sarjana,
artikel ilmiah baik dari koran dan dokumen resmi yang berkaitan
dengan pokok permasalahan yang diteliti.
c. Bahan hukum tersier
Bahan-bahan hukum tersier yaitu, bahan yang memberikan
petunjuk dari penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, diantaranya kamus umum, kamus istilah, dan
sebagainya.
3. Metode Pendekatan
Penelitian hukum mengenal beberapa pendekatan yang digunakan
untuk mengkaji setiap permasalahan, Dalam penelitian ini penulis
mengunakan metode pendekatan kasus (case approach) , pendekatan
ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi, kasus-kasus yang
ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan
berkekuatan tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut
adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan
sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecah isu
29
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm.
15.
17

hukum yang di hadapi. pada penulisan skripsi ini putusan pengadilan


yang di telaah adalah putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor
01/Pdt/G/2017/Pn.Grt mengenai perjanjian pinjam meminjam uang
antara anak dengan orang tua.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang
dilakukan untuk mengumpulkan data, yang dilakukan dalam
penulisan skripsi ini dengan cara studi dokumen (study of document)
terhadap data sekunder, yang berupa bahan kepustakaan yang
berkaitan dengan objek penelitian dan juga sumber-sumber yang
didapatkan melalui internet
5. Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian disusun menggunakan metode
kualitatif yaitu data yang telah diperoleh kemudian disusun secara
sitematis selanjutnya dianalisis sehingga tidak menggunakan
angka-angka atau rumus-rumus, statistik tetapi berupa uraian
pembahasan sehingga menghasilkan informasi baru mengenai
permasalahan yang telah dikaji untuk kemudian disimpulkan.

Anda mungkin juga menyukai