Anda di halaman 1dari 7

Nama: Kisin Riyanda Hendrik

Nim: 11190321000011
Kelas: SAA 5B

A. Pengertian dan Macam-Macam Sila


Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang artinya “sifat” atau “adat kebiasaan”.
Menurut KBBI etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk tentang hak dan
kewajiban moral. Pelaksanaan sila dalam agama Buddha adalah merupakan suatu kebijakan
moral, etika atau tata tertib dalam menjalani kehidupan kita sebagai manusia sehingga mampu
bertingkah laku secara baik dan benar bagi diri sendiri, orang lain, bahkan seluruh alam semesta
beserta isinya.
Sila dalam buku-buku agama Buddha sering diterjemahkan sebagai “moral, kebajikan,
atau perbuatan baik”. Ajaran Buddha tentang sila adalah etika Buddhis, petunjuk dan latihan
moral yang membentuk perilaku baik. Menurut kosa kata bahasa Pali, “sila” dalam pengertian
luas padanannya adalah “etika” dan dalam pengertian sempit padananya adalah “moral”.
Sehingga umat Buddha dianjurkan untuk melaksanakan semua sila. Buddhaghosa dalam
kitab Visuddhimagga menafsirkan sila sebagai berikut: pertama, sila menunjukkan sikap batin
atau kehendak (cetana). Kedua, menunjukkan penghindaran (virata) yang merupakan unsur batin
(cetasika). Ketiga, menunjukan pegendalian diri (samvara) dan keempat menunjukkan tiada
pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan (avitikhama).
Macam-macam sila:
1) Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih
melindungi kehidupan.
2) Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih
hanya mengambil apa yang diberikan pada saya tanpa pamrih.
3) Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih
menjaga hubungan dan menghindari perilaku seksual yang keliru.
4) Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih
berbicara baik dan jujur.
5) Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih
melindungi kejernihan pikiran dengan menghindari hal-hal yang membuat kecanduan

Selain itu dalam Buddhisme Mahayana juga menjabarkan lebih lanjut dalam Sad Paramita
yaitu Sila Paramitadengan hal-hal yang pantang dilakukan sebagai 10 (sepuluh) perbuatan buruk
sebagai mana tercatat dalamDasabhumika Sutra, Satasaharrika Prajnaparamita dan Maha
Vyutpatti yaitu:
1) Pantangan Membunuh
Pantangan membunuh ini dapat dijabarkan dengan tidak membunuh ataupun menyiksa
tubuh atau badan yang mengandung kehidupan, yang besar atau yang kecil, yang berdosa
atau tidak berdosa, selama makhluk itu masih hidup. Sila ini mengajarkan agar kita selalu
memiliki sifat cinta kasih dan kasih saying terhadap semua makhluk hidup.
2) Pantangan Mencuri
Pantangan mencuri dapat diartikan bahwa kita tidak boleh mengambil atau memiliki
sesuatu apakah berharga ataupun tidak berharga apabila tidak diijinkan oleh pemiliknya.
Pelaksanaan ini akan mengkibarkan kita selalu merasa puas terhadap apa yang telah kita
miliki.
3) Pantangan Melakukan Perbuatan Perzinahan
Pantangan melakukan perbuatan perzinahan dapat diartikan tidak melakukan
persetubuhan dengan pasangan yang bukan merupakan suami atau istri sendiri. Sila ini
mengajarkan agar kita tidak terjerumus dalam hahwa nafsu birahi yang rendah.
4) Perbuatan Yang Pantang Untuk dilakukan Oleh Ucapan
Yaitu suatu pantangan perbuatan yang dilakukan melalui ucapan. Tetrdapat 4 (empat)
perbuatan yang pantang dilakukan yaitu pantang berdusta, pantang menyebarkan isu yang
tidak benar, pantang mengucapkan kata-kata kotor dan pantang melakukan pembicaraan
yang sia-sia.
5) Pantang Berdusta
Pantang berdusta berarti kita harus berbicara secara jujur, dimana dengan kekuatan
kejujuran tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk menghadapi segala rintangan. Sila ini
mengajarkan agar kita senantiasa berterus terang dan bersifat konsekuen terhadap segala
sesuatu yang telah diucapkan.
6) Pantang Menyebarkan Isu Yang Tidak Benar
Hal ini berarti kita tidak boleh menyebarkan berita-berita yang tidak benar (palsu)
dengan tujuan merugikan orang lain, menimbulkan pertentangan dan perpecahan
kelompok/masyarakat.
7) Pantangan Mengucapkan Kata-kata Kotor
Pantangan ini dapat diartikan agar kita tidak mencaci maki dengan kata-kata kasar, kotor,
tajam, penuh penghinaan ataupun yang dapat menyinggung perasaan seseorang. Sila ini
mengajarkan agar kita dapat bersifat sopan santun, sabar, dan penuh kewibawaan serta
kebijaksanaan.
8) Pantangan Melakukan Pembicaraan Sia-sia
Artinya segala pembicaraan yang kita lakukan haruslah dipikirkan terlebih dahulu dan
tidak melakukan suatu pembicaraan yang tidak berguna.
9) Pantangan Memikirkan Nafsu Serakah
Pantangan ini dapat diartikan bahwa kita janganlah memikirkan sesuatu untuk memenuhi
keinginan dalam memiliki sesuatu yang tidak baik atau sesuatu yang bukan milik atau
hak kita.
10) Pantangan Berniat Jahat
Pantangan berniat jahat dapat diartikan bahwa kita janganlah mempunyai pikiran untuk
berbuat jahat sehingga tidak terperangkap dalam niat jahat tersebut yang dapat
mendorong kita untuk melakukan perbuatan jahat tanpa kita sadari.
11) Pantangan Berpandangan Sesat
Hal ini dapat diartikan bahwa kita janganlah berpandangan yang keliru terhadap segala
sesuatu.
Jadi jelaslah bila kita menjalankan sila dengan baik maka kita akan mendapat kebahagiaan,
dan apabila jika berbuat jahat maka akan menderita. Adapun manfaat/faedah dari sila, Sang
Buddha bersabda dalam kitab suci MAHA PARI NIBHANA SUTTA sebagai berikut:
a. Sila menyebabkan seseorang banyak harta.
b. Nama dan kemsyhuran akan tersebar luas.
c. Menjadikan seseorang tenang (tanpa ketakutan, tanpa keraguan, dan tidak takut di
cela orang dimanapun dia berada).
d. Menjadikan seseorang tenang di saat menghadapi ajalnya sekalipun.
e. Akan terlahir di alam bahagia.
f. Menjadi orang yang dicintai oleh makhluk-makhluk lain.
Perlunya etika timbul dari kenyataan bahwa manusia tidak sempurna; ia harus melatih dirinya
untuk menjadibaik. Jadi moralitas menjadi aspek paling penting dalam kehidupan. Etika umat
Buddha bukanlah patokanasal-asaloan yang ditemukan orang untuk tujuan manfaatnya
sendiri.Etika umat Buddha tidak berlandaskan pada adat social yang berubah tetapi pada hukum
alam yang tidakberubah. Nilai-nilai etika umat Buddha pada hakikatnya adalah bagian dari alam
dan hukum tetap sebabmakibat moral (kamma). Sila pertama kali diajarkan oleh Sang Buddha
kepada lima petapa yang bernama Assajji, Vappa, Bhadiya,kondanna, dan Mahanama sewaktu
menjabarkan Empat Kesunyataan Mulia (Cattaro Ariyasaccani) yangkemudian disebut
Dhammacakkapavattana Sutta.
B. Catur Mara
Mara ialah sifat-sifat setan yang ada pada diri manusia. sifat-sifat itu ialah sifat yang
mengundang kejahatan dankegelisahan hati seperti, marah, dendam, curiga, dan lain-lain.
Sedangkan catur mara artinya empat sifat Setan/jahat.

 Dosa: ialah kebencian yang menjadi akar dari perbuatan jahat (akusala-kamma) dan akan
lenyap bila dikembangkannya metta. Dosa ini secara etika (ajaran tentang keluhuran budi
dan peraturan kesopanan) berarti kebencian. Tetapi secara psikologi (kejiwaan) berarti
pukulan yang berat dari pikiran terhadap objek yang bertentangan. Mengenai ini terdapat
dua macam nama yaitu:
1. Patigha= Jijik atau tidak senang.
2. Vyapada= Kemauan Jahat.

 Lobha: Ialah serakah yang menjadi akar dari perbuatan jahat (akusalakamma) dan akan
lenyap bila dikembangkannya karuna. Lobha ini secara etika berarti
keserakahan/ketamakan.
 Issa: Ialah iri hati yaitu perasaan tidak senang melihat makhluk lain berbahagia yang
menjadi akar dari perbuatan jahat dan akan lenyap bila dikembangkannya mudita.
 Moha: Ialah kegelisahan batin sebagai akibat dari perbuatan dosa, lobha dan Issa, akan
lenyap bila dikembangkanya upekkha. Moha berarti kebodohan dan kurangnya
pengertian. Selain daripada itu Moha juga disebut Avijja= Katidak-tahuan. Atau
Annaha= tidaak berpengetahuan, atau Adassana= Tidak Melihat.
Catur Paramitha
Catur Paramitha ialah sifat-sifat ketuhanan yang ada pada diri manusia. Sedangkan Catur
Paramitha ialah empatsifat ketuhanan:
1) Metta: Ialah cinta kasih universal yang menjadi akar dari perbuatan baik (Kusala-
Kamma). Bila ini berkembang dosa akan tertekan.
2) Karuna: Ialah kasih sayng universal karena melihat suatu kesengsaraan yang menjadi
akar dari pebuatan baik. Bila ini berkembang lobha akan tertekan.
3) Mudhita: Ialah perasaan bahagia universal karena melihat makhluk lain bergembira
yang menjadi akar dari perbuatan baik. Bila ini berkembang issa akan tertekan.
4) Upekha: Ialah keseimbangan batin universal sebagai hasil dari melaksanakan metta,
karuna, mudhita dan upekha juga merupakan akar dari perbuatan baik. Bila ini telah
berkembang moha akan tertekan. Bahkan akan lenyap.
C. Hubungan sila dengan catur paramitha

Sila bertujuan untuk memperoleh suatu penghidupan yang bahagia dan harmonis bagi orang itu
sendiri dan juga untuk orang-orang disekelilingnya. Sila dapat dilaksanakan dengan baik apabila
pikiran penuh dengan catur paramitha.
Pelaksanaan aturan moralitas Buddhis bagi umat awan bertujuan untuk memperoleh kedamaian
dan ketenangan bagi diri sendiri maupun orang lain. Sila adalah langkah terpenting dalam
menjalani kehidupan untuk mencapai peningkatan batin yang luhur.
Untuk memperoleh kesempurnaan ada 2 macam sifat luhur yang harus dikembangkan bersamaan
yaitu : metta / karuna (cinta kasih), panna( kebijaksanaan) Dari matta/ karuna dan panna dapat
dilihat bahwa cinta kasih dan kebijaksanaan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
D. Mencapai Brahmavihara Dhamma

Dalam Agama Buddha terdapat empat sifat luhur yang harus dikembangkan yaitu Metta, Karuna,
Mudita Upekkha. Sifat-sifat luhur tersebut sering disebut dengan Brahmavihara.
 Metta atau Cinta Kasih
Metta adalah cinta kasih yang Universal.Tidak memandang siapapun, cinta kasih yang tanpa
pamrih dan ikhlas. Layaknya cinta seorang Ibu kepada anaknya. Misalnya, menyayangi orang
tua, adik dan kakak, teman, bahkan semua mahkluk. Dengan praktik cinta kasih, seseorang akan
bergembira dalam kebaikan sehingga kemanapun melangkah ia tidak akan memiliki musuh.
 Karuna atau Kasih Sayang
Kasih sayang atau welas asih adalah sesuatu yang dapat menggetarkan hati kita kearah rasa
kasihan bila mengetahui orang lain sedang menderita. Sesungguhnya, unsur kasih sayang-lah
yang mendorong seseorang menolong orang lain dengan ketulusan hati. Orang yang memiliki
kasih sayang yang murni tidak hidup untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain, bahkan
semua makhluk. Misalnya, merawat ayah/ibu kita jika sedang sakit,memberi makan kucing yang
kelaparan, menolong teman yang jatuh, meminjamkan pensil kepada teman kita yang
membutuhkan, dan lain sebagainya. Dengan terus melakukan praktik kasih sayang seseorang
akan selalu berbahagia karena menanam kebajikan dengan membantu orang atau mahluk yang
sedang menderita atau membutuhkan pertolongan.
 Mudita atau Simpati
Simpati yaitu perasaan turut berbahagia atas kebahagiaan yang dirasakan orang atau makhluk
lain. Misalnya mengucapkan selamat ulang tahun kepada teman kita yang sedang ulang
tahun,memberi ucapan selamat hari raya kepada saudara kita,teman kita, guru kita, yang sedang
merayakan hari raya, memberi ucapan selamat kepada teman yang mendapat juara dan masih
banyak lagi. Dengan terus melakukan praktik simpati seseorang akan selalu berbahagia karena
menanam kebajikan dengan memancarkan sukacita kepada semua makhluk.
 Upekkha atau Batin Seimbang
Batin seimbang merupakan kondisi batin yang tenang dan tak tergoyahkan, baik oleh hal-hal
yang membuat kita berbahagia maupun membawa penderitaan. Keseimbangan batin penting
sekali bagi umat awam yang hidup dalam dunia yang tidak menentu. Misalnya tetap tenang dan
selalu sabar ketika menghadapi masalah.
Keempat hal itulah yang sebaiknya dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
mengembangkan empat sifat luhur tersebut, seseorang akan hidup bahagia dan dapat bermanfaat
bagi dirinya maupun orang lain.
Dari semua pemberian, pemberian Dhammalah yang tertinggi. Semoga semua mahluk
berbahagia.
E. implementasi ajaran sila dalam kehidupan Masyarakat Buddha
Praktek Brahma-vihara dapat dibagi menjadi tiga tingkat : “Kemauan untuk berbuat”
( Kattukamyata Chanda ) adalah permulaan, pembersihan batin dari rintangan-rintangan adalah
pertengahan, dan Appana Samadhi, pencapaian Jhana adalah yang terakhir.
Tidak seperti bentuk-bentuk meditasi lain, empat rangkaian ini pada masing-masing unsure
dilakukan perluasan terus-menerus, perasaan-perasaan yang bersangkutan dari perseorangan
kemasyarakatan, atau dari satu makhluk ke banyak makhluk dan kemudian ke seluruh penjuru
dunia, lalu ke penjuru alam-alam lain, ke semua kehidupan. Diawali dari objek-objek luar, lalu
memperluas pengaruh metta kita sampai kita menjadi satu dengan seluruh alam semesta dan
mengatasi semua batas antar individu.
Sesungguhnya perluasan ini terjadi pada keadaan Upacara-Samadhi, atau juga pada saat
pencapaian Appana-Samadhi ( Jhana ).
Sesuai dengan hubungan kausal, Upekkha Brahma Vihara tidak akan muncul sampai Jhana
ketiga telah diperoleh dengan Metta, Karuna dan Mudita. Karena Upekkha adalah akar Jhana
keempat yang timbul dari Jhana ketiga, dan sebagai suatu Brahma-vihara adalah hasil langsung
yang dicapai dari tiga Jhana-Jhana lainnya.
Upekkha, muncul sebagai suatu factor Samadhi di dalam Jhana keempat menurut system empat
Jhana dan di dalam kelima Jhana menurut system lima Jhana, karena itu, tanpa Jhana ketiga yang
dicapai dengan Metta, Karuna dan Mudita, pencapaian Jhana keempat tidak mungkin. Karena
itulah , siswa yang baru saja mulai latihan Brahma Vihara janganlah mengambil Upekkha
sebagai Kammatthana mereka, karena Upekkha hanya dimaksudkan bagi mereka yang telah
mencapai Jhana ketiga.
Berbagai objek meditasi dipilih sesuai dengan watak ( carita ) sang siswa. Dari keempat ini,
Metta adalah jalan kesucian bagi ia yang watak utamanya adalah kebencian ( dosa ), kemauan
jahat ( vyapada ). Karuna, sesuai bagi seseorang yang penuh dengan pikiran-pikiran merugikan
orang lain / makhluk lain, penuh kekejaman ( vihimsa ). Mudita, sesuai bagi mereka yang
memiliki perasaan-perasaan tidak senang dan iri hati, dan Upekkha adalah bagi mereka yang
berwatak kenafsuan. Untuk alasan ini, cara penyusunan empat Brahma-vihara dikatakan sangat
tepat. Dan juga, mereka adalah cara yang sesuai untuk keadaan-keadaan yang berlawanan
dengan mereka. Juga, empat rangkaian ini bertujuan untuk merangsang sifat-sifat positif
keagamaan siswa, seperti diperlihatkan dalam kemauan baik, kasih saying,
kebajikan,kegembiraan, dan keseimbangan dalam mengorbankan diri demi kebahagiaan makhluk
lain.
Kita dapat membayangkan seorang ibu dalam tugas-tugasnya terhadap empat orang anak, yangs
adalah satu seorang bayi, satunya lagi sakit-sakitan, satu seorang remaja yang masih nakal, dan
keempat adalah seseorang yang telah dapat mengatur urusan-urusannya sendiri. Ibu tersebut
menginginkan pertumbuhan anaknya yang paling muda, aktif untuk menyembuhkan putranya
yang sakit, bergembira atas kesejahteraan pemuda, menginginkan kemajuannya, dan tidak
merasa khawatir tentang anaknya yang telah dapat mengatur urusan-urusannya sendiri. Maka
demikian pula siswa yang mengembangkan keadaan-keadaan yang tidak terbatas. Pertama-tama
ia harus mempraktekkan Metta, memancari semua makhluk dengan kemauan baik, Karuna bagi
mereka yang menderita, Mudita bagi mereka yang berbahagia dan kemudian apabila ia telah
mencapai tahap yang lebih maju lagi, ia harus menuju Upekkha : Keseimbangan batin.

Refrensi
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46636/1/ABDUR%20RAHMAN
%20ASHARI-FUF
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intelektualita/article/view/756/669
https://ratnakumara.wordpress.com/buddha/samadhi/latihan-memurnikan-pikiran/brahma-vihara/
http://repository.maranatha.edu/18259/3/1130016_Chapter1.pdf
https://pustaka.dhammacitta.org/ebook/umum/brahmavihara.pdf

Anda mungkin juga menyukai