Anda di halaman 1dari 5

Sila Dharma Kebajikan Moral

Pelaksanaan Sila dalam Buddhisme adalah merupakan suatu kebajikan moral, etika atau tata-tertib dalam menjalani kehidupan dimana akan mampu menuntun seseorang itu bertingkah laku secara baik dan benar bagi diri sendiri, orang lain termasuk seluruh alam semesta beserta isinya. Kebajikan moral dapat dianggap sebagai suatu dasar yang membentuk semua hal-hal yang positif dalam kehidupan kita saat ini. Kebajikan moral adalah sebagai dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk dari semua yang baik dan indah. Oleh karena itu , hendaklah orang menyempurnakan kebajikan moral (Sila). (Theragatha, 612) Pemahaman berbagai kitab suci agama apabila juga diwujudkan dengan perbuatan atau perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari (Sila) baik secara badan (kaya), ucapan (vak) dan pikiran (citta) , maka akan tercipta suatu dasar kebajikan moral yang sempurna berupa tingkah laku yang terpuji dan bijaksana. Sang Buddha bersabda, Pada orang yang memiliki kebajikan moral yang sempurna, memiliki kebijaksanaan dan pikiran yang terarah, senantiasa melihat ke dalam (diri/batin) dan selalu penuh perhatian murni; demikianlah ia menyeberangi banjir besar. (Sutta Nipata, 174)

Panca-Sila Buddhis
Pelaksanaan Sila tersebut dapat berupa perbuatan-perbuatan yang pantang dilakukan dimana sebaiknya kita menahan diri [veramani] , yaitu : Panca-Sila : (I) Tidak melakukan pembunuhan makhluk hidup [panatipata-veramani] (II) Tidak mencuri [adinnadana veramani] (III) Tidak berjinah [kamesumicchacara veramani] (IV) Tidak berbohong [musavada veramani] (V) Tidak minum minuman memabukkan [surameraya majjapamadatthanna veramani] Sang Buddha bersabda, Barang siapa membunuh makhluk hidup, suka berbicara tidak benar, mengambil apa yang tidak diberikan, merusak kesetiaan isteri orang lain, atau menyerah pada minuman yang memabukkan, maka di dunia ini orang seperti itu bagaikan menggali kuburan bagi dirinya sendiri. Orang baik, ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak mudah mengendalikan hal-hal yang jahat, jangan biarkan keserakahan dan kejahatan menyeretmu ke dalam penderitaan yang tidak berkesudahan. (Dhammapada, 246-248). Sebagai umat Buddha, kita seharusnya melaksanakan secara konsisten Panca-Sila Buddhis tersebut. Tidak melakukan pembunuhan makhluk hidup haruslah kita latih mulai dari membiasakan diri untuk tidak membunuh makhluk terkecil seperti semut dan nyamuk. Adakalanya memang kita jengkel sekali apabila menemukan nyamuk di ruangan kamar kita. Masalahnya harus kita lihat secara jelas, bukan dengan membunuh nyamuk tersebut, melainkan kenapa nyamuk tersebut masuk ke kamar kita. Kemungkinan besar adanya kawat nyamuk yang tidak terpasang secara baik, ataupun pintu kamar yang tidak senantiasa ditutup. Itulah yang harus kita selesaikan, karena kalau tidak maka nyamuk tersebut akan terus berdatangan setiap hari. Dari melihat kebiasaan-kebiasaan kecil inilah, kita akan mampu melihat kepada ruang lingkup yang lebih luas. Dapat kita bayangkan kedamaian di dunia ini, apabila setiap orang selalu menghindari pembunuhan, sehingga tentunya perang yang sering melanda berbagai tempat dapat berubah menjadi pesan-pesan kasih yang lebih berarti. Akibat buruk dari perbuatan membunuh adalah umur pendek, kesehatan yang buruk, selalu berduka karena berpisah dengan mereka yang dicintai, dan hidup selalu dalam bayangbayang ketakutan. Kegiatan membunuh yang secara rutin dilakukan seseorang tanpa disadari akan memupuk kekotoran batinnya sendiri. Membunuh untuk tujuan hidup hanya akan merupakan penyelesaian sementara dalam kehidupan ini. Tetapi seseorang yang dapat membunuh kekotoran batinnya sendiri, telah mampu menyelesaikan segala permasalahan dalam kehidupan ini. Mahabhikshu Memanah Semua Rusa di Hutan Terdapat seorang pemburu, Hui-chang yang sangat mahir memanah. Setiap kali masuk ke hutan, pasti membawa buruan pulang ke rumah. Tidak pernah ada bidikannya yang melesat. Prinsip dia, satu panah satu mangsa. Selain itu dia juga sangat membenci bhikshu, yang dianggap tidak memiliki keberanian untuk membunuh, bahkan semut sekalipun. Sampai suatu hari, Hui-chang bertemu Mahabhikshu Mazu Daoyi (709-788), sehingga terjadi tanya jawab berikut : Mazu Daoyi (MD) ,Apakah Anda bisa memanah? Hui-chang, Tentu saja bisa, satu panah satu mangsa! MD,Ha..haha..,cuman segitu aja udah sombong, saya bahkan dengan satu panah bisa membunuh seluruh rusa yang ada di hutan ini! HC, Lho.., kenapa Suhu membunuh seluruh rusa di hutan ini, mereka kan juga butuh berkembang biak dan layak hidup! MD, Karena yang saya panah adalah kekotoran batinmu sendiri, kenapa Anda tidak panah kekotoran batinmu sendiri? Hui-chang pada detik itu juga menyadari kesalahannya dari kebiasaan membunuh, dan mengalami pencerahan, kemudian mematahkan panahnya dan ikut Mahabhikshu Mazu sebagai muridnya. Perbuatan mencuri adalah perbuatan yang paling hina karena mengambil hak milik orang lain tanpa sepengetahuan ataupun seijin orang bersangkutan. Apabila terdapat suatu barang yang kita ambil tanpa diberikan oleh pemiliknya kepada kita, walaupun menurut kita barang tersebut kemungkinan besar tidak dipakai lagi, tetap hal ini dianggap sebagai pencurian. Keinginan untuk mencuri juga merupakan suatu kehendak yang tidak baik, karena

keinginan tersebut akan menyebabkan tindakan yang sesungguhnya. Akibat buruk dari perbuatan mencuri adalah kemiskinan, penderitaan yang berkepanjangan, kekecewaan, dan kehidupan yang selalu bergantung pada orang lain. Sudah banyak kita dengar dan baca dari berbagai media mengenai pelanggaran seksual yang sangat kental dengan dunia kejahatan. Pelanggaran seksual ini semakin sulit untuk dihindari apalagi ditunjang oleh kebebasan media dalam mengeksploitasikan berbagai cerita pemuasan, kejahatan hubungan seksualitas ataupun mengeksploitasikan keindahan tubuh wanita. Pikiran yang tidak terkendali untuk menikmati kepuasan hubungan seksualitas dengan pasangan hidup suami atau istri, dapat menyebabkan hubungan intim di luar pasangan hidupnya masing-masing. Dalam penjabarannya mengenai sila pelanggaran seksual ini termasuk hubungan seksual yang bukan dilakukan oleh pasangan hidup yang telah menikah, ataupun hubungan seksual yang menyimpang. Akibat pelanggaran seksualitas maka seseorang itu akan menjalani kehidupan dimana memiliki banyak musuh, mendapatkan pasangan hidup yang tidak diinginkan, dan lahir sebagai lelaki atau perempuan yang bertingkah laku tidak sebagai lelaki ataupun sebagai perempuan (banci). Berbicara yang tidak benar yaitu: berbohong, memfitnah, menipu, berbicara kasar, dan bergunjing adalah merupakan perbuatan yang sangat tidak terpuji. Sekali kita berbicara tidak benar maka akan dicap sebagai pembohong, pemfitnah dan penipu untuk suatu jangka waktu yang sulit dilupakan orang begitu saja. Demikian juga kebiasan kita mencaci maki seseorang dengan kata-kata yang kasar akan menciptakan kebencian orang lain terhadap diri kita sendiri. Akibat dari pembicaraan yang tidak benar tersebut akan menyebabkan kita sering dicaci maki, difitnah, tidak dipercaya, mulut yang bau, pecahnya persahatan tanpa ada sebab yang memadai, dibenci, memiliki suara yang parau, cacat alat tubuh, dan pembicaraan yang tidak masuk diakal. Kebanyakan agama di dunia ini selalu mengajarkan untuk menghindari dari meminum minuman memabukkan atau minuman keras mengandung alkohol, karena minuman keras demikian akan menyebabkan seseorang kehilangan kesadarannya dimana dapat menyebabkannya berbuat kriminal sebagaimana sudah sering dilansir di berbagai berita harian surat kabar. Akibat dari ketagihan akan minuman keras dimana sering kehilangan kesadaran dirinya, maka akan menyebabkan seseorang itu terlahir di alam yang menyedihkan ataupun kalau terlahir di alam manusia akan memiliki ingatan atau kesadaran jiwa yang lemah. Selain itu dalam Buddhisme Mahayana juga menjabarkan lebih lanjut dalam Sad Paramita yaitu Sila Paramita dengan hal-hal yang pantang dilakukan sebagai 10 perbuatan buruk (kusala karma) yang diistilahkan virati (pantangan) sebagaimana tercatat dalam Dasabhumika Sutra, Satasaharrika Prajnaparamita dan Maha-Vyutpatti yaitu : Perbuatan yang pantang untuk dilakukan oleh Tubuh/Badan [kaya] Yaitu suatu perbuatan yang pantang dilakukan oleh anggota tubuh (badan) kita. Terdapat 3 (tiga) pantangan yang harus diperhatikan yaitu pantangan membunuh, pantangan mencuri dan pantangan berjinah. 1. Pantangan membunuh [Pranatipatad-virati] Pantangan membunuh tersebut dapat dijabarkan dengan tidak membunuh ataupun menyiksa tubuh atau badan yang mengandung kehidupan [pranin], yang besar atau yang kecil, yang berdosa atau tidak berdosa, selama makhluk itu masih hidup [pranin]. Sila ini mengajarkan agar kita selalu memiliki sifat Cinta Kasih dan Kasih Sayang terhadap semua makhluk hidup. 2. Pantangan mencuri [Adattadanad-virati] Pantangan mencuri dapat diartikan bahwa kita tidak boleh mengambil atau memiliki sesuatu apakah berharga ataupun tidak berharga apabila tidak diijinkan oleh pemiliknya. Pelaksanaan Sila ini akan mengakibatkan kita selalu merasa puas terhadap apa yang telah kita miliki. 3. Pantangan melakukan perbuatan berjinah [Kamamithayacara-virati] Pantangan melakukan perbuatan berjinah dapat diartikan tidak melakukan persetubuhan dengan pasangan yang bukan merupakan suami atau istri sendiri. Sila ini mengajarkan agar kita tidak terjerumus dalam hawa nafsu birahi yang rendah. Perbuatan yang pantang untuk dilakukan oleh ucapan [Vak] Yaitu suatu pantangan perbuatan yang dilakukan melalui ucapan . Terdapat 4 (empat) perbuatan yang pantang dilakukan yaitu pantangan berdusta, pantangan menyebarkan isu yang tidak benar, pantangan mengucapkan katakata kotor, dan pantangan melakukan pembicaraan yang sia-sia. 4. Pantangan berdusta [Mrsavadad-virati] Pantangan berdusta berarti kita harus berbicara secara jujur dimana dengan kekuatan kejujuran tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk menghadapi segala rintangan. Sila ini mengajarkan agar kita senantiasa berterus terang dan bersikap konsekwen terhadap segala sesuatu yang telah diucapkan . 5. Pantangan menyebarkan isu yang tidak benar [Paisunyad-virati] Hal ini berarti kita tidak boleh menyebarkan berita-berita yang tidak benar (palsu) dengan tujuan merugikan orang lain, menimbulkan pertentangan dan perpecahan kelompok/masyarakat. Pelaksanaan Sila ini akan menyebabkan kita senatiasa memiliki sifat toleransi dan kesabaran yang tinggi serta hidup dengan penuh kedamaian. 6. Pantangan mengucapkan kata-kata kotor [Parusyad-virati] Larangan ini dapat diartikan agar kita tidak mencaci-maki dengan kata-kata kasar, kotor, tajam, penuh penghinaan ataupun yang dapat menyinggung perasaan seseorang. Sila ini mengajarkan agar kita dapat bersikap sopan santun, sabar dan penuh kewibawaan serta bijaksana. 7. Pantangan melakukan pembicaraan sia-sia [Sambhinnapralapad-virati]

Artinya segala pembicaraan yang kita lakukan haruslah dipikirkan terlebih dahulu dan tidak melakukan suatu pembicaraan yang tidak berguna. Sila ini mengajarkan agar kita dapat bersikap dewasa dan penuh pengertian. Perbuatan yang pantang untuk dilakukan oleh pikiran [Citta] Yaitu suatu pikiran-pikiran yang tidak baik dimana tidak kelihatan oleh orang lain, hanya diri kita sendiri yang dapat mengetahuinya. Terdapat 3 (tiga) perbuatan yang pantang dilakukan oleh pikiran yaitu pantang memikirkan nafsu serakah, pantang berniat jahat dan pantang berpandangan sesat. 8. Pantang memikirkan nafsu serakah [Abhidhyaya-virati] Pantangan ini dapat diartikan bahwa kita janganlah memikirkan sesuatu untuk memenuhi keinginan dalam memiliki sesuatu yang tidak baik atau sesuatu yang bukan merupakan milik/hak kita. Pelaksanaan Sila ini akan mengajarkan kita menghadapi realita hidup ini dengan penuh keyakinan dan kebijaksanaan. 9. Pantang berniat jahat [Vyapadad-virati] Pantang berniat jahat dapat diartikan bahwa kita janganlah mempunyai pikiran untuk berbuat jahat sehingga tidak terperangkap dalam niat jahat tersebut yang dapat mendorong kita untuk melakukan perbuatan jahat tanpa kita sadari. Sila ini mengajarkan agar kita selalu mensucikan pikiran kita dari segala niat jahat sehingga kita dapat bertindak secara bijaksana. 10. Pantang berpandangan sesat [Mithyadrster-virati] Hal ini dapat diartikan bahwa kita janganlah mempunyai pandangan yang keliru terhadap segala sesuatu. Pelaksanaan Sila ini akan membuat kita tidak terperangkap dalam kesesatan pikiran yang dapat mengakibatkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik oleh tubuh dan ucapan . Selain perbuatan-perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan atau dimana kita harus menahan diri dari melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, maka terdapat juga beberapa sifat dimana seharusnya kita pancarkan untuk kebahagiaan semua makhluk karena akan memperkokoh pelaksanaan Sila-sila tersebut di atas, antara lain : Panca-Dharma atau dikenal juga sebagai Panca Kalyana-Dharma, terdiri dari: 1. Sifat Cinta Kasih dan Kasih Sayang [Metta Karuna/Maitri Karuna]. 2. Pencaharian Benar [Samma-Ajiva/Samyak Ajiva]. Dalam melakukan pencaharian yang benar ini, haruslah kita ingat bahwa terdapat lima macam perdagangan yang dilarang [micchavanija/mithyavanijya], yaitu (a) memperdagangkan senjata [sattha-vanijja/sastra-vanijya]; (b) memperdagangkan makhluk hidup (menjadi germo ataupun memperjual-belikan budak) [satta-vanijja/sattva-vanijya]; (c) memperdagangkan daging [mamsavanijja/mamsa-vanijya]; (d) memperdagangkan minuman yang memabukkan [majja-vanijja/madya-vanijya]; dan (e) memperdagangkan racun [visa-vanijja/visa vanijya]. 3. Menunjukkan sifat yang tidak mencerminkan nafsu indera rendah [Kamasamvara/Kamasamvara]. 4. Menjunjung tinggi kebenaran baik dalam perbuatan, ucapan ataupun pikiran [Sacca/Satya]. 5. Memiliki tingkat kesadaran yang benar [Sati-Sampajanna/Smrti-Samprajnya]. Selain itu, terdapat juga enam sifat baik [Ajjhasaya/Adhiasaya] yang semestinya dikembangkan untuk mendukung pelaksanaan Sila, yaitu: 1. Sifat tidak tamak atau sifat senang berdana [Alobha] 2. Sifat tidak membenci atau senang mendoakan kebahagiaan semua makhluk [Adosa] 3. Sifat tidak bodoh atau senang belajar Dharma dimana dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk [Amoha] 4. Sifat tidak melekat pada nafsu seksualitas atau senang dalam ketentraman [Naiskramya/Nekkhamma] 5. Sifat suka akan ketenangan atau senang dalam ketentraman [Praviveka/Paviveka] 6. Sifat yang tertarik pada Nirvana atau senang berusaha terbebas dari kelahiran di 31 Alam Kehidupan [Nihsarana/Nissarana]. Bukanlah kelahiran yang menjadikan kita itu suci atau hina, melainkan perbuatanlah yang akan menilai kita itu sebagai suci atau hina. Ajaran Sang Buddha tidak mempermasalahkan kehidupan sebelumnya, tetapi lebih mementingkan kehidupan saat ini sebagai cerminan kehidupan sebelumnya dan derap langkah awal kehidupan yang akan datang. Sehingga dalam kehidupan saat ini, kita haruslah senantiasa berjuang demi kesucian karena kesalahan seujung rambutpun akan kelihatan sebesar mendung hitam. Sang Buddha bersabda : Seseorang tidaklah hina karena kelahiran, tidak juga kelahiran menjadikan seseorang suci. Hanya perbuatan (Sila) yang membuat seseorang menjadi hina, hanya perbuatan yang membuat seseorang menjadi suci. (Sutta Pitaka, 136) . Bagi orang yang tanpa kejahatan, selalu berjuang demi kesucian, kesalahan seujung rambutpun tampak sebesar mendung hitam. (Theragatha, 1001) Kutipan dari Buku Tiga Guru, Satu Ajaran oleh Sutradharma Tj. Sudarman, MBA

Vinaya
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Vinaya (kata dalam Bahasa Pali dan Sansekerta, yang berarti 'memimpin', pendidikan', 'peraturan') adalah landasan peraturan kumpulan monastik Buddhis, atau Sangha, berdasarkan naskah-naskah seperti Vinaya Pitaka. Ajaran Sang Buddha, atau disebut juga "Buddhadhamma" dapat dibagi menjadi dua kategori yang meluas: 'Dhamma' atau kepercayaan (doktrin), dan Vinaya, atau peraturan. Istilah lain untuk Buddhisme adalah "dhammavinaya". Patimokkha (dalam bahasa Pali), atau Pratimoksha (dalam bahasa Sansekerta) merupakan kumpulankumpulan peraturan yang menjadi inti dari Vinaya. Vinaya disampaikan secara lisan oleh Sang Buddha kepada para muridnya. Akhirnya, banyak Vinaya berbeda muncul di dalam Buddhisme, berdasarkan letak geografis atau perbedaan kebudayaan dan kumpulan-kumpulan Buddhis yang berkembang. Hanya tiga dari banyaknya Vinaya yang dipergunakan sekarang ini. Semua Vinaya mempunya sifat dan arti yang sama dan hanya terdapat sedikit perbedaan. Di Birma, Kambodia, Laos, Sri Lanka dan Thailand mengikuti aturan Vinaya Theravada, tedapat 227 peraturan untuk bhikkhu dan 311 untuk bhikkhuni (walaupun peraturan untuk bhikkhuni telah punah beberapa abad lalu dan beberapa upaya pemulihan dari tradisi Cina masih merupakan kontroversi). Di Cina, Jepang, Korea, Taiwan dan Vietnam mengikuti Dhammaguptaka Vinaya/ Vinaya Mahayana (Hanyu:), yang memiliki 250 peraturan untuk bhikkhu dan 348 untuk bhikkhuni. Di Tibet dan Mongolia mengikuti Mlasarvstivda Vinaya/Vinaya Tantrayana, yang memiliki 253 peraturan untuk bhikkhu dan 364 untuk bhikkhuni (walaupun peraturan untuk para bhikkhuni tidak pernah diperkenalkan di Tibet, Dalai Lama baru-baru ini memberikan izin). Disamping peraturan-peraturan patimokkha, masih banyak peraturan tambahan lainnya. Sang Buddha senantiasa meningkatkan para pendengarnya bahwa semangatlah yang paling penting. Akan tetapi, peraturan-peraturan itu sendiri dibuat sedemikian rupa untuk menjamin kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, dan menjadi batu loncatan kepada pencapaian tertinggi. Para bhikkhuni dan bhikkhuni diperintahkan oleh Sang Buddha untuk hidup sebagaimana "pulau bagi diri sendiri". Banyak naskah-naskah yang menjadi panduan dari peraturan-peraturan ini. Beberapa menjelaskan asal mula peraturan - perkembangan peraturan dapat ditelusui dari jawaban akan keadaan atau tindakan terhadap penyusunan secara keseluruhan. Juga terdapat naskah seperti Sutta yang memberikan pendapat secara menyeluruh mengenai ajaran Sang Buddha, atau memberikan perincian biografis akan pengikut besar dan pencapaian pencerahan mereka. Bagian lain menjelaskan bagaimana peraturan itu selayaknya diterapkan, bagaimana menangani pelanggaran, dan bagaimana penanganan perselisihan di antara para bhikkhu. Pada awalnya, Sang Buddha dan para pengikutnya hidup dalam keharmonisan, pada saat mereka bersamasama, dan tidak terdapat peraturan-peraturan. Mereka lebih sering berkelana sendiri, tetapi setiap tahun, menjelang musim hujan ketika keadaan tidak memungkinkan untuk berkelana, para bhikkhu berkumpul bersama selama beberapa bulan. Karena Sangha menjadi semakin besar dan mulai menerima orang-orang yang mempunyai kemampuan rendah atau belum mencapai pencerahan, peraturan-peraturan menjadi suatu keharusan. Ada beberapa hal yang menyebabkan Sang Buddha menetapkan Vinaya:

Untuk tegaknya Sangha ( tanpa Vinaya, Sangha tidak akan bertahan lama ), Untuk kebahagiaan Sangha ( sehingga bikkhu mempunyai sedikit rintangan dan hidup damai , Untuk pengendalian diri orang-orang yang tidak teguh ( yang dapat menimbulkan persoalan dalam Sangha), Untuk kebahagiaan bikkhubikkhu yang berkelakuan baik ( pelaksanaan sila yang murni menyebabkan kebahagiaan sekarang ini ),

Untuk perlindungan diri dari asava dalam kehidupan ini ( karena banyak kesukaran dapat dihindarkan dengan tingkah laku moral yang baik ), Untuk perlindungan diri dari asava yang timbul dalam kehidupan yang akan datang ( asava tidak timbul pada orang yang melaksanakan sila dengan baik), Untuk membahagiakan mereka yang belum bahagia ( orang yang belum mengenal Dhamma akan bahagia dengan tingkah laku bikkhu yang baik ), Untuk meningkatkan mereka yang berbahagia ( orang yang telah mengenal Dhamma akan bahagia melihat pelaksanaannya ), Untuk tegaknya Dhamma yang benar ( Dhamma akan bertahan lama bila Vinaya dilaksanakan dengan baik oleh para bikkhu), Untuk manfaat dari Vinaya (Vinaya dapat memberi manfaat kepada mahluk-mahluk, terbebas dari dukkha, menuju Nibbhana).
Anguttara Nikaya

Dalam Mahaparinibbana Sutta, Sang Buddha sebagai bagian akhir dari pengajarannya, mengatakan bahwa para bhikkhu dapat meninggalkan beberapa peraturan kecil, tetapi mereka harus menjalankan peraturan utama, akan tetapi terdapat kebingungan akan hal ini. Oleh karena itu diputuskan untuk menjalani seluruh peraturan. Segera setelah Sang Buddha meninggal dunia (parinibbana), Sidang Agung dilaksanakan guna membaca ulang seluruh peraturan, dikumpulkan dan disusun. Kumpulan besar pengajaran Sang Buddha diutarakan berdasarkan ingatan, dimana Ananda mengulang mengenai Dhamma dan Upali mengenai Vinaya.

Ada kemungkinan, bahwa di antara kalian ada yang berpikir: 'Berakhirlah kata-kata Sang Guru; kita tidak mempunyai seorang Guru lagi.' Tetapi, Ananda, hendaknya tidak berpikir demikian. Sebab apa yang telah Aku ajarkan sebagai Dhamma dan Vinaya, Ananda, itulah kelak yang menajdi Guru-mu, ketika Aku Pergi.

Anda mungkin juga menyukai